Chika Dan Ancamannya

1634 Kata
Seperti biasanya, Sena tampil paripurna dan mengambil alih proses presentasi di muka kelas. Menurut rekan-rekan yang hatinya tidak busuk, penjelasan yang diberikan Senandung Arimbi, jauh lebih dalam dan mudah untuk dipahami. Mungkin ini juga alasan mengapa ia bisa menjadi asisten dari seorang dosen yang paling sangar dan sadis cara bicaranya, di kampus ini. Lebih dari 40 menit, Sena berada di posisi depan dan Tias hanya mengamati dari kursi, bersama gayanya yang sok seksi. Memang dosen muda yang satu ini tergolong cantik dan sempurna, secara fisik. Tetapi jika diadu kepiawaiannya, maka Senandung Arimbi, tak dapat digeser begitu saja. Selain memiliki kecerdasan, sopan santun, dan semangat belajar, wanita cantik yang satu ini juga terkenal dengan kepandaiannya dalam mengolah serta mengelola informasi yang berkaitan dengan materi sehingga dapat diterima dengan sangat ringan oleh orang lain. "Ada pertanyaan?" tanya Senandung Arimbi sambil menantang mata semua orang. Iya, ini merupakan waktu satu-satunya bagi Sena untuk mengangkat kepala dan menegakkan lehernya. Sebab biasanya, ia tidak suka bertentangan mata dengan orang lain dan lebih memilih untuk menatap tanah dibandingkan langit. Namun semua itu berbeda nyata jika dirinya sudah berada di muka kelas dan mengambil alih materi pembelajaran. Bak dosen profesional, ia tersenyum penuh percaya diri dan siap akan hujan soal ataupun pertanyaan dari siapa pun, termasuk dosen yang kerap kali suka mengujinya. Lio mulai mengangkat tangan, memberikan pertanyaan sesuai dengan materi yang telah Sena sampaikan. Pada titik ini, wanita berbibir penuh tersebut langsung menarik kedua sisi bibirnya sama rata. Ia suka ketika Lio kembali aktif, dan mendukungnya. Setelah pertanyaan pertama berhasil dituntaskan dengan baik, soal berikutnya menyusul. Beberapa mahasiswa lainnya juga tampak turut serta meramaikan kelas mereka. Pertanyaan yang diajukan pun tergolong sulit dan unik, tetapi Sena mampu menggilas habis soal-soal tersebut. Jam istirahat pertama pun dimulai, Sena kembali ke tempat duduknya dan Tias meninggalkan ruangan di mana ia hanya berdiri sebagai pembuka dan berakhir dengan aksi seorang Senandung Arimbi. "Ih ... cakep," puji Dea bersama tatapan bangga. "Bahkan lebih mulus dan jelas, dari pada ibu ... ."Dea mengibaskan rambut dan menjilati bibirnya, meniru gaya dosen Tias. "Eh, jangan gitu!" Senandung Arimbi memberi peringatan. "Ntar kualat loh." "Lah habis, semakin lama, gayanya makin norak, sok cantik, sok seksi. A ... padahal biasa aja," oceh Dea yang paling tidak suka dengan dosen mudah tersebut. "Bukannya iri atau apa ya, tapi gaya seperti itu lebih cocok digunakan di luar kampus. Seperti club' atau diskotik." "Sudah-sudah, ayo keluar! Aku traktir makan," ajak Lio memenggal ucapan Dea. "Terus kamu juga," tukas Dea seraya menunjuk ke arah wajah Lio. "Dari mana aja kamu? Menghilangkan kayak Sena, atau jangan-jangan ... kalian ... ," terkanya sambil melipat dahi. "Weih ... otak!" Lio mengusap wajah rekan yang cukup dekat tersebut. Hal itu membuat Sena terkekeh kecil, sambil menutup mulut dengan tangannya. "Astaga ... kalian sangat kekanak-kanakan," timpal Sena bersama gelak tawa. "Hentikan itu!" sarannya dengan suara kalem. "Dia yang memulainya," sahut Lio menunjuk ke arah Dea. Sena memicingkan mata, menghentikan rencananya untuk mengetahui alasan di balik hilangnya Lio selama hampir dua Minggu terakhir. "Kamu penyebabnya, dasar aneh." Dea menimpali ucapan Lio, seraya memasang wajah kesal. "Udah, ah. Ayo! Jadi nggak makannya?" tanyanya sambil menyandang tasnya di bahu. Saat ini, tampak jelas bahwa Lio berupaya untuk menetralkan hati dan kembali berniat untuk mendekati Senandung Arimbi. Walaupun berada diantara kebingungan dan kekhawatiran, tetapi hatinya tak bisa dibohongi. Parahnya lagi, Lio lebih memilih untuk menjadi bayangan bagi Sena, dari pada melepaskannya begitu saja dengan pria asing tersebut. Diawal, Lio sangat ragu akan pemikiran dan keputusannya. Bahkan hingga detik ini, hatinya masih bergerak seperti menarik dan mengulur perasaannya. Ia tahu bahwa keputusan besar tersebut tidaklah benar, hanya saja dirinya masih belum mampu untuk melepaskan wanita yang ia sukai dan incar sejak lama. Ketiganya melangkah bersama ke kantin andalan mereka. Sambil menghitung jumlah dari sisa uangnya di dalam hati, Senandung Arimbi memperhatikan ke sembarang arah. Walaupun ia tahu, Lio akan memberikan makana secara gratis, tetapi tetap saja Sena cemas. Bukan tanpa alasan, wanita ini beberapa kali dikerjai oleh rekan-rekannya. Setelah bilang ditraktir dan makan bersama, ia ditinggalkan seorang diri dan harus menebus sejumlah biaya yang besar. Sampai-sampai, Sena pernah mencuci piring di sebuah restoran hingga pagi, demi bisa membayar menu makanan mereka. Setibanya di kantin. "Ayo makan yang banyak!" tukas Lio, terdengar penuh semangat. "Terserah mau makan apa saja." Dea memilih tiga menu makanan kegemarannya, sementara Sena hanya memilih bakso dengan harga terendah. Ia juga cuma memilik air mineral gratisan, ketimbang jus ataupun minuman bermerek lainnya. Semua demi menjaga kondisi kantong yang terus saja dikhawatirkan olehnya. "Kenapa nggak es jeruk atau teh hangat?" tanya Lio sambil menatap dalam. Puing-puing cinta pun, terekam jelas di sana. "Kamu diet?" goda Raden sambil menaikkan kedua alis matanya secara berulang. Sena tergoda untuk tersenyum. "Tidak, aku sudah kering begini." "Hahaha, kamu Thu nggak kering kok," jawab Raden. "Malah ideal," pujinya tanpa henti. Dea memperhatikan kedua rekan yang duduk saling berhadapan. "Heh, kalian pacaran?" "Nggak kok, siapa bilang?" "Aku." Dea yang suka berbicara blak-blakan langsung menimpali pertanyaan Senandung Arimbi. "Habis, yang satu terlihat suka menggoda dan yang satunya lagi malu-malu guguk." "Hahaha, makan sana! Banyak cerita, ntar keselek sendok batu tahu rasa," ucap Lio demi kenyamanan wanita favoritnya. Sedang asik menyantap makanan panas, terdengar suara telepon genggam milik Sena. Ketika melihat layar, wajah wanita yang semula dipenuhi senyum, kini menegang. Lio memperhatikan raut tersebut dan ia menyadari bahwa ada yang tidak beres saat ini. 'Aku tunggu kamu, 30 menit di tempat foto copy di depan kampus!' Sena membaca pesan yang Chika kirimkan kepadanya. Lio mengejar manik mata Senandung Arimbi, guna mengatasi apa yang terjadi. "Ada apa?" "Emh, nggak ... semua baik-baik saja." Sena berupaya menutupi perasaannya yang gusar. 'Kenapa lagi, ada apa ini, kenapa kakak mengejarku sampai ke kampus?' Tanya Senandung Arimbi tanpa suara. Sena terlihat hilang fokus, semua tampak dari reaksinya terhadap pertanyaan yang dilontarkan Dea, tetapi dijawab random olehnya. Lio pun menyadari sesuatu, ada yang tidak beres dengan wanita kesayangannya. Setelah selesai menikmati makanan dan minuman, ketiganya kembali ke dalam ruangan. Hingga waktu ini, Sena masih terlihat gelisah. Lalu suara telepon genggam kembali berbunyi satu kali dan ia membaca pesan masuk, sekali lagi. "Kalian tunggu di sini sebentar ya!" pinta Sena yang tak ingin ada siapa pun ikut campur dalam urusannya. "Aku mau keluar sebentar." Dea menarik tangan Sena, menahan sambil berdiri. "Kamu mau ngapain? Kita masuk loh sebentar lagi." "Bentar aja, oke?" "Hm, baiklah. Jangan lama-lama!" "Iya-iya." Sena beralih pandang kepada Lio. "Aku keluar dulu!" kata Sena seolah meminta izin. Lio merasakan ada yang tak beres. Dengan sigap ia membuntuti Sena dan terus melanjutkan langkahnya. Sena menghentikan gerakan karena sadar ada yang mengikutinya. "Kenapa?" tanya Sena sesaat setelah berbalik arah. "Apa?" tanya Lio yang jaraknya cukup jauh. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa?" "Kak Chika ingin bertemu denganku, mungkin dia ingin menyerahkan uang yang papa titipkan untukku," ucap Senandung Arimbi, jelas berbohong. 'Uang?' Tanya Lio pada diri sendiri. 'Mana ada orang yang mau mendapatkan uang, jadi tegang seperti itu wajahnya. Sena malah terlihat seperti sedang diancam.' Kata Lio tanpa suara. "Kalau memang Chika, biarkan saja aku ikut!" "Ya ampun ... itu memang kak Chika. Ngapain aku bohong?" Lio mendekati Sena, menatap tajam penuh pengawasan. Lalu mendekatkan bibir pada telinga wanita cantik itu. "Bisa saja suamimu dan aku ingin bicara banyak sama dia." "Jadi kamu pikir aku bohong?" "Maybe." Lio masih tetap ingin bersama dengan Sena. "Dengar! Aku sudah menuruti keinginanmu. Semua ada harganya, Sena. Setidaknya, izinkan aku mengetahui siapa orang yang akan kamu temui saat ini!" "Baik." Sena tampak kesal kali ini. "Terserah kamu, tapi ingat! Jangan macam-macam dan ini terakhir kalinya kamu berpikir ingin berbicara macam-macam dengan dia. Bagaimana?" Lio mengangguk berulang. "Oke, dan biarkan aku puas meluapkan segalanya!" Lio masih berpikir jika seseorang yang akan Sena temui saat ini adalah suaminya. "Terserah dan tolong jaga jarak!" "Oke." Lio juga sudah memasang wajah kesal. Setelah selesai dengan kesepakatan tersebut, keduanya kembali melangkah bersama dengan jarak yang sudah diatur. Tanpa Lio duga, rupanya memang Chikalah yang telah menunggu Sena di depan teras rumah foto copy. Hatinya sedikit malu, tetapi ia masih penasaran dengan apa yang terjadi. Lio menyelinap masuk ke dalam ruangan sepetak, dan memasang kuping untuk mengetahui percakapan diantara Sena dan kakaknya. "Ada apa, Kak?" tanya Sena dengan suara lemah. "Ada masalah?" "Iya," jawab Chika tanpa bersedia membalas tatapan penuh cinta dari adiknya. "Mama sakit? Atau Papa?" Sena kembali memperlihatkan kepeduliannya yang besar. "Atau ... ," tebaknya ke arah sang adik. Chika memutar tubuh, menantang bagian depan badan Senandung Arimbi. "Akulah yang sakit, kenapa kamu tidak mempertanyakan tentang diriku?" "Maaf, Kak. Soalnya Kakak jarang sakit, dan saat ini ... aku lihat Kak Chika begitu segar dan cantik, seperti biasanya." "Heh, pujian kamu itu tidak akan berpengaruh kepadaku." Chika membesarkan kedua matanya, hingga membuat Sena menundukkan kepala. "Kembalikan Raden kepadaku!" "A-apa?" Kedua manik mata Sena, bergetar. "Kamu bilang, sejak awal tidak menginginkan dia, bukan? Kalau begitu, serahkan dia kepadaku!" "Kak ... sebaiknya kita bicarakan ini semua di rumah, bukan di sini!" Sena tidak ingin Lio mendengar perdebatan ini." "Jangan mengulur waktuku!" ucap Chika geram, dan bibirnya juga kian menipis. "Sejak semula, dia adalah milikku, calon suamiku. Jadi ... selesaikan semuanya sekarang juga!" Sena menghisap air hidungnya yang terasa perih. "Aku ... kita akan membicarakan ini nanti, Kak," jawab Sena dan suaranya terdengar bergetar. "Aku sudah bicara sama mama dan juga papa, mereka semua oke. Tinggal kamu saja, Sena. Soal Raden, aku yakin ... dia tidak akan menolakku." Chika memainkan rambutnya yang telah ditata rapi. "Emh, aku mengerti." "Bagus. Aku tunggu kabar darimu, paling lamban hari Minggu. Tidak ada kata tidak! Atau ... kamu tahu sendiri kan akibatnya?" ancam Chika yang terkesan sudah tidak tahan lagi ingin segera memiliki Raden Wibowo. Sayang sekali, Chika tidak mengetahui bahwa pria itu lebih dingin dari pada Kutub Utara dan lebih sadis dari pada pembunuh berdarah dingin. Sebab yang ada di dalam isi kepalanya hanyalah, visual Raden yang sempurna, berikut dengan kemapanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN