Tiga hari berlalu, tanpa umpatan dan kata-kata kasar. Dokter visit pun mengatakan bahwa Sena sudah bisa pulang, namun tetap wajib datang untuk melakukan konsultasi setiap minggunya. Selain itu, menjelang jahitan di kepalanya dibuka, Sena harus datang minimal dua hari sekali untuk mengontrol lukanya.
Saat ini, sambil bersiap, Raden mengatakan kepada mamanya bahwa mereka ingin mandiri dan tinggal di rumah sendiri. Semua ia lakukan agar mendapatkan kebebasan dan ketengan seperti apa yang telah direncanakan beberapa hari yang lalu. Seandainya ia dan Sena berada di kediaman tuan Wibowo, pastinya harus berada pada kamar yang sama dan selalu melakukan interaksi manis layaknya pasangan suami istri. Sayangnya, Raden tidak menginginkan hal semacam itu terjadi.
Sena yang tidak memiliki kekuatan, memilih untuk diam dan hanya mengikuti keinginan suaminya. Tatapan dingin itu pun mengintimidasi wanita cantik tersebut, disaat ia akan mengangkat bibirnya demi mengungkapkan pendapat.
"Sena masih butuh perhatian dan pengawasan. Bagaimana mungkin kamu berpikir untuk kembali ke rumah kalian?" tanya nyonya Mila sambil menatap putranya. "Menurut Mama, lebih baik Sena bersama di rumah utama!" sarannya seraya mencuri pandang ke arah sang suami agar mendapatkan dukungan.
"Mamamu benar, Raden. Papa nggak yakin kamu mau bersusah payah untuk menjaga Sena. Lebih baik kita bersama-sama saja, menjelang Sena benar-benar sehat."
"Ya udah kalau memang Papa dan Mama maunya begitu. Tapi ... Raden tetap di rumah sendiri." Raden masih terlihat teguh pada pendiriannya.
"Sena ikut Mas Raden saja, Ma, Pa," tukas Senandung Arimbi, menghentikan pertikaian kata diantara mereka. "Semua pasti akan baik-baik saja."
"Kamu nggak takut?" tanya tuan Wibowo. "Dia loh yang sudah membuat kamu nekat melakukan semua kebodohan ini. Iya, kan?"
"Pa ... please!" Raden menimpali ungkapan dari bibir sang papa agar tidak berlarut-larut.
Tuan Wibowo mengerutkan dahi dan menatap tajam. "Tapi itu faktanya."
"Ya sudah, bawa saja dia kalau memang malah akan menjadi masalah."
"Nggak bakalan jadi masalah, kalau kamu menghargai istrimu."
"Oke-oke, sekarang maunya Papa apa?" tanya Raden kesal. "Raden mulai bosan dengan pertengkaran. Please, Pa! Selama ini hidupku baik-baik saja. Tapi semenjak dia ada, Papa malah sering memarahiku seperti bocah t***l," protes Raden terdengar agak keras kali ini.
Tuan Wibowo memijat dahi, lalu menghela napas panjang secara berulang. "Kamu bisa membawa Sena bersamamu. Tapi ingat! Sekali Papa memergokimu kasar kepadanya, Papa akan bawa dia dan sejak saat itu ... kamu bukan lagi putra Papa," ancamnya untuk yang kedua kali.
Raden membuka kedua tangannya tanda pasrah, dia begitu menghargai papanya dan menyayangi mamanya. Untuk itu, hatinya memang selalu lemah jika harus dihadapkan dengan pertengkaran semacam ini. Sebab sejak dulu, kedua orangtuanya selalu mendukung dan berjalan bersamanya. Oleh karena itu, Raden tak pernah mampu untuk terus menjawab setiap perkataan mereka.
Setelah terdiam beberapa menit. "Sena sudah menentukannya. Papa rasa, kita harus menghormatinya!" kata tuan Wibowo sambil menatap istrinya. "Mereka sudah pada dewasa dan Papa yakin, Sena tak mungkin melakukan kebodohan yang sama."
"Makasih buat kepercayaan dan kesempatannya, Pa," kata Sena tanpa senyum.
"Baiklah ... kamu di kursi roda saja, Sena. Barang-barang biar bibi yang bawakan. Oh iya, Mama rasa kalian membutuhkan asisten."
"Nggak, Ma. Kalau bibi mau bantu, bisa datang sekali seminggu saja!" tukas Raden yang memang tak ingin bercampur dengan orang lain, sebab menurutnya mereka bisa saja menjadi mata-mata dari kedua orangtuanya.
Raden sangat ingin bebas, dan hidup seperti sebelumnya. Apalagi ia tidak menginginkan siapa pun, kecuali gadis matahari yang selama ini ia cari. Rasanya, ruang hati Raden tak pernah bisa menerima orang lain untuk bergabung bersamanya.
"Terserah kamu saja, tapi jangan memperbudak Sena!" Nyonya Milalah yang mengancam kali ini.
"Hm," gumam Raden semakin kesal.
Sepanjang jalan keluar dari rumah sakit, semua orang sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Ini seperti tengah mengantarkan seseorang yang disayangi ke dalam rumah tahanan yang sangat mengkhawatirkan. Mungkin hal ini terjadi akibat tragedi pada pertemuan pertama antara Raden dan Sena.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, keluarga Wibowo tiba di kediaman Raden yang minimalis namun modern. Ketika melihat pemandangan yang sangat indah, kelompok mata Sena terangkat penuh, terutama disaat ia melihat taman Bunga Matahari berwarna kuning cerah yang mengusung konsep dari Itali. Ladang cukup lebar tersebut memperlihatkan keseragaman tinggi dan arah bunga ukuran besar tersebut, hingga mampu membuat mata terpanah dan hati terus mengakui keindahannya.
"Waw... indahnya," gumam Sena tanpa sengaja.
Raden mendengar suara gumaman manis itu, lalu tanpa sadar merespon dengan nada suara yang rendah. Seakan ia tengah berbicara kepada gadis pembawa lambang bunga ukuran besar itu. "Kamu suka?" tanya Raden dan suara tidak seperti biasanya, ketika berhadapan dengan Sena.
"Emh," sahut Sena bersama satu anggukan.
"Kamu harus duduk di situ," tunjuk Raden pada kursi kayu ukuran panjang yang terlihat artistik. "Dari arah sana, akan muncul cahaya menyerupai sinar matahari hingga menimbulkan efek kapas awan jingga yang hampir sama dengan warna kelopak bunganya. Itu ... ," ujar Raden terdengar antusias dalam menjelaskan, namun ketika ia menoleh ke belakang dan menyadari wanita itu adalah Senandung Arimbi, jiwanya baru sadar bahwa perempuan yang ia ajak berbicara saat ini bukanlah gadis pilihan hatinya.
Tuan dan nyonya Wibowo terpukau dengan susunan kalimat yang keluar dari bibir putranya. Mereka semakin merasa aneh dengan sikap yang selama ini Raden tampilkan. Bukan tanpa sebab, situasi dari karakteristik putranya itu tergolong berbeda 180°. Sampai-sampai nyonya Mila bingung dan sering merasa bahwa putranya memiliki kepribadian ganda.
"Sebaiknya kita masuk sekarang!" kata Raden sambil menetralkan hatinya. Lalu membuka pintu mobil, tanpa senyum seperti sebelumnya.
Saat ini memang tidak ada satu orang pun yang tahu tentang hati dan pikiran pria tampan itu. Bahkan kedua orangtuanya saja tak mengerti tentang putranya. Padahal Raden hanya menginginkan gadis masa lalu yang telah memberikannya kehidupan indah. Ia pun ingin menepati janji yang telah dibuat, sebagai laki-laki penuh tanggung jawab.
"Biar Raden yang membawakan barangnya Sena, Bi!"
"Oh iya, Den. Ini."
Mendengar ucapan Raden dan arah langkahnya, tuan serta nyonya Wibowo merasa sedikit tenang. Sebab arah kakinya menuju ke kamar yang selama ini Raden tempati. Itu artinya, Sena dan putra mereka akan tinggal dalam sebuah ruang yang sama layaknya sepasang suami istri.
"Apa pikiran Mama ini benar, Pa?" bisik nyonya Mila dalam tanya.
"Semoga saja ya, Ma!"
Di dalam kamar, Raden melempar tas milik Sena dan menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar yang terasa dingin. Sedih, hatinya nan rapuh pun berkata bahwa mungkin kebahagiaan yang ia perjuangkan selama ini hanya akan berakhir dengan kesedihan. Bahkan ia tidak tahu, bagaimana cara menempatkan diri di antara Sena dan kedua orangtuanya.
"Mas ... ," panggil Sena sembari mendorong pintu kamar mereka. "Papa dan Mama mau pamit pulang."
Tanpa menjawab, Raden berdiri dan meninggalkan istri yang tampak bersusah payah untuk meniti anak tangga tanpa bantuan dari siapa pun. Pada saat yang bersamaan, Raden melirik ke arah wanitanya dan mencoba memahami usahanya.
"Baik-baik ya, jangan kecewakan Mama dan Papa!" Nyonya Mila kembali memperingati.
"Baik, Ma. Bye!"
"Hmmm, bye!"
Seperti hidup di dalam pengawasan, Raden merasa bebas setelah papa dan mamanya pergi. Dengan sigap, ia mengunci pintu rumah dan berlari ke kamarnya untuk memindahkan sebagian pakaian dan perlengkapan lainnya ke kamar tamu.
Pada titik ini, Sena hanya bisa menatap tanpa bercakap. Satu hal yang ia pahami, Raden memang tidak menginginkan dirinya, tetapi berusaha berdamai dengan kemauan orangtuanya.
Jika dilihat-lihat lagi, mana mungkin pria seperti Raden kesulitan untuk mencari pasangan hidup. Tapi yang terjadi malah di luar prediksi. Sampai-sampai kedua orangtuanya harus turun tangan untuk mencari wanita yang dianggap mampu dalam menaklukkan putra mereka.
Anehnya lagi, kenapa harus dirinya yang berada di tengah-tengah urusan keluarga dan menjadi tumbal dari berbagai arah. Padahal Sena hanya ingin kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak, demi memperoleh pengakuan dari keluarganya. Sena yakin, jika ia berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah banyak, papa dan juga mamanya akan menyayangi dirinya sama seperti saudara yang lain.
Namun sayang, satu hal yang tidak Senandung Arimbi ketahui yaitu tentang niat busuk dari papa dan juga mamanya sehingga nyawanya dipertahankan hingga detik ini. Semua bukan hanya tentang harta, ataupun pemerasan tenaga, melainkan permainan nyawa yang telah dipersiapkan sejak semula.
Sedang sibuk seorang diri, telepon genggam milik Sena berbunyi. Kebetulan benda itu berada didekatnya, Raden pun langsung memberikannya kepada si pemilik. Namun sesuatu terjadi, Sena memutuskan untuk tidak mengangkat panggilan tersebut dan meletakkan alat komunikasinya di bawah kakinya.
"Kenapa?" tanya Raden sambil menghentikan aktivitasnya. "Aneh sekali," gerutunya.
"Tidak, Mas."
"Angkat aja! Aku tidak akan marah, tenang saja!" ucapnya terdengar tak peduli akan Sena dan urusan pribadinya. "Yang penting, kamu tidak berpikir untuk berada di dekatku!" Raden memperingati sekali lagi.
"Aku mengerti, Mas. Jangan khawatir!"
Tak lama, telepon genggam milik Sena kembali bernyanyi. Namun suaranya terdengar sangat ketinggalan dan itu membuat Raden berpikir, sudah berapa lama usian alat komunikasi berwarna hitam tersebut. Namun lagi-lagi, otak menepis hatinya agar tidak terlalu memikirkan hal apa pun juga, jika berhubungan dengan wanita.
"Dari pacarmu?" tanya Raden sambil memperhatikan Sena dari cermin. "Angkat saja! Aku tidak peduli." Raden mengangkat ransel dan juga cover miliknya.
Setelah kalimat santai muncul dari bibir Raden, Sena tetap tidak bergumam sedikit pun. Hingga Raden keluar dari ruangan dan wanita itu terpancing tanya mengenai penyakit apa yang diderita pria sempurna tersebut.
'Jangan-jangan ... dia memang seorang pria pecinta lelaki.' Kata Sena dengan bola matanya yang membesar. 'Hah, kasihan sekali.' Kali ini Senalah yang mengejek tanpa suara.