Isak tangis berbaur rasa sakit dari perempuan pemilik bibir penuh dan seksi itu, terdengar jelas di telinga Raden. Ditambah lagi dengan rasa sesak yang menyekap jalur pernapasannya. Ia seperti sedang disekap secara bebas, dan disiksa dalam diam.
Siapa pun yang melihat reaksi tubuh perempuan itu saat ini, pasti akan merasakan dan memikirkan hal yang sama dengan Raden. Cemas dan terkejut, hingga ia menyerahkan tubuhnya sebagai bahan pelukan erat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Sus, tolong!" pinta Raden yang sudah menahan laju aliran darah dari pergelangan tangan Sena. "Tenanglah!" ucapnya sekali lagi, dengan suara tenang hingga sampai dengan baik kepada wanita cantik itu.
Perawat berusaha bekerja dengan cepat untuk menutup lubang infus pertama dan kembali mencari sumber yang lain dari tangan berbeda. Sementara Raden masih saja membiarkan tubuh kekarnya menjadi sandaran kesakitan bagi Senandung Arimbi.
Sekitar 30 menit setelah pelukan spontan terjadi, Sena mulai tampak tenang. Ia pun menyadari sesuatu, yaitu tubuhnya memeluk erat sosok laki-laki yang paling ingin ia hindari saat ini. Namun, semua telah terjadi dan ia tidak dapat melakukan apa pun, kecuali mengucap kata maaf dan terima kasih.
"Jika kamu sudah tenang, lepaskan aku!" kata Raden dengan deep voice yang singkat hingga terkesan menyeramkan.
'Dia jauh lebih seram dari pada mimpiku, tapi ... bagaimana aku bisa memeluknya?' Tanya Sena tanpa suara, dan ia benar-benar tidak sadar dengan apa yang telah terjadi.
"Ma-af!" pintanya sambil menjauhkan kedua tangan, dengan kepala tertunduk. "Maafkan aku!" ucapnya sekali lagi, dan saat ini terdengar jelas ketakutan di dalamnya.
"Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" Raden menjauh, sembari mengibas baju yang ia kenakan, seolah Sena adalah penyakit langka dan menular.
"Maaf ... ," gumam Sena semakin tertekan dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Raden kembali duduk di atas kursi sofa yang berhadapan dengan Sena. Lalu mengangkat kaki kanan untuk ditimpa pada kaki kirinya. Dengan gaya khasnya yang penuh karisma, ia merentangkan kedua tangan dan bersandar di punggung kursi.
Perawat bekerja ekstra, membersihkan beberapa tetes darah yang membasahi kulit putih, serta ranjang perawatan Sena.
Detik ini, pria tampan itu hanya terus memperhatikan tanpa melakukan apa pun. Setelah bersih, sekitar 20 menit dalam ketenangan, akhirnya ia mulai mengangkat bibir untuk berbicara.
"Sudah tenang?" tanyanya dari jarak yang cukup jauh. "Bisa kita berbincang sekarang?" Raden terdengar seperti orang lain yang memang tidak peduli akan keadaan Sena.
"Ya," jawab wanita cantik ini, seraya mengangguk pelan. "Katakan saja!" ungkapnya yang tampak siap dengan tekanan selanjutnya, tanpa menatap wajah suaminya.
"Aku sangat lelah beberapa hari ini dan menurutku, kamu sudah menjadi beban bagi hidupku," kata Raden terdengar dingin.
Seperti tersambar kilat secara horizontal, hati Sena terkejut dan merasa bahwa perkataan Raden sangat tajam. Namun ia teringat kembali akan tuan dan nyonya Wibowo, sehingga bibir itu mengatupkan kuat agar tak menjawab dengan sembarangan.
"Aku ingin kita mengatur ulang cerita ini!" sambung pria angkuh itu, sembari menyatukan jari jemarinya. "Maksudku ... ini merupakan sebuah penawaran yang akan membuat hidupmu dan hidupku menjadi lebih nyaman dan damai."
Sena memberanikan diri untuk menoleh, demi dapat memperhatikan ekspresi wajah Raden saat ini.
"Hei, jangan memandangku seperti itu! Aku bukan seorang bajingan."
Sena kembali menundukkan kepala. "Maaf-maaf!"
"Dasar perempuan aneh," cibir Raden yang selalu memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Senandung Arimbi, meskipun wanita itu tidak melakukan apa pun.
"Apa yang kamu inginkan, Mas?" tanya Sena yang berusaha fokus, dan melupakan rasa sakitnya.
"Aku akan membantumu, melindungimu, dan memenuhi segala kebutuhanmu secara finansial. Syaratnya hanya tiga saja. Yang pertama, kamu cuma perlu menyentuh kulitku disaat aku memintamu, jadi ... jaga jarak denganku! Dua, jangan mengatakan apa pun kepada orang lain tentang hubungan kita ini, tanpa seizin dariku! Dan yang paling utama, jangan pernah jatuh cinta serta mengharapkan cinta dariku!" Raden menatap tajam dan tatapannya terasa penuh paksaan.
"Baiklah," jawab Sena yang tak memiliki pilihan di dalam hidupnya. "Tapi kalau aku salah, bisakah kamu tidak menghinaku lagi, Mas? Ini sangat menyakitkan," ucap perempuan cantik pemilik bibir penuh persis seperti Angelina Jolie, sembari menggenggam tangan yang sudah terbebas dari jarum infus.
Raden melirik, berusaha berdamai dengan satu permintaan Sena. Sebab ia mengajukan tiga syarat, sementara wanita itu hanya satu saja. Rasanya tak adil jika dirinya bersikap egois dan kejam seperti ini, apalagi Sena tak pernah menyakiti dirinya.
"Oke, aku bisa melakukannya kalau kamu tidak dekat-dekat denganku. Pulang nanti, kamu tidur di kamar utama, sementara aku di kamar tamu. Lakukan saja apa yang kamu inginkan di rumah nanti! Yang tidak boleh hanya mengambil kesempatan untuk menggodaku. Deal?"
Senandung Arimbi mengangguk berulang dan tiba-tiba perasaannya menjadi sedikit lega. Entah mengapa, hanya saja ia merasa kondisi (Terbuka) seperti ini jauh lebih baik, dari pada ia harus menanggung hinaan dan bentakan karena tanpa sengaja menatap suaminya.
"Oke, rehat lah! Aku harap kamu lekas sembuh dan kita bisa melanjutkan hidup masing-masing, tanpa ada yang merasa lelah."
"Iya, Mas. Makasih, dan maaf sekali lagi!"
"Aku ingin minum kopi sebentar. Sesampainya di sini nanti, aku harap kamu sudah tertidur pulas!"
Sena semakin menundukkan wajahnya, bahkan pundaknya juga semakin tersuruk. Ia merasa bahwa Raden benar-benar tidak menyukai dirinya. Jangankan untuk bersama, menatapnya saja tak sudi. Iba, hanya itu yang dapat menggambarkan hatinya. Sebab dari saat remaja dan ia tahu akan kata cinta, dirinya sudah diperlakukan secara tidak adil oleh keluarga, teman, dan dunia.
Di sebuah kantin, Raden duduk seorang diri dan menghela napas panjang berulang. Baru saja ingin memesan minuman, ia melihat tuan Dani dan keluarganya menyusuri jalan utama menuju ke ruang perawatan Sena. Tiba-tiba, pikirannya tak enak dan memilih untuk mengikuti langkah mereka semua.
Bak ada aura lain yang mendorongnya kali ini, Raden berpihak kepada Sena dan merasa tak rela jika ada orang lain menyakiti wanita tersebut. Aneh sekali, sebab ia merasa hanya dirinya sajalah yang boleh menistakan Senandung Arimbi.
"Kamu, kenapa tidak mati saja?" Suara Chika terdengar cukup jelas di telinga Raden yang saat ini berdiri di pintu ruang perawatan dan disiapkan khusus untuk Sena dari mertuanya. "Aku sangat membenci kamu, Sena. Sangat!" bentak Chika sekali lagi dan Raden tidak mendengar satu suara pun menahan ataupun menyudahi ucapan menyakitkan dari bibir wanita berambut sebahu tersebut.
Tiba-tiba suasana menjadi sunyi, tapi itu bukanlah akhir. Sebab, diselang waktu sepersekian detik, Sena merintih kesakitan dan menangis. Suara guguhan itu terdengar begitu tipis, namun berhasil menimbulkan rasa sakit yang mendalam pada hati Raden yang telah lama tak terusik.
Keheranan pertama pun dimulai, Raden mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang sejak kapan ia peduli terhadap Sena. Tak ingin terlihat, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada suster jaga dengan mengatakan tentang kebenaran pendengarannya.
Khawatir akan informasi yang diterima, suster segera bergerak cepat ke arah ruang perawatan Sena. Benar saja, ketika ia masuk, dirinya mendapati perempuan muda lainnya, sedang mencubit sangat keras lengan pasiennya.
Perawat mengerengitkan dahi, dan menajamkan pandangannya. "Ada apa ini?" tanyanya sambil menatap tanpa kedip, sementara Raden masih berdiri di sisi luar dengan punggung yang menempel pada dinding. "Kamu menyakiti pasien saya," ungkapnya langsung menuding.
"Jangan sembarang tuduh kamu ya!" Chika yang sudah melepaskan kedua jari, yaitu telunjuk dan ibu jarinya dari Sena, segera menantang dengan tatapan yang sadis.
"Saya melihat semuanya," tukas perawat tersebut, terdengar tegas.
"Eh, Sus. Sepertinya Anda salah paham saja, kami ini adalah keluarga Sena, jadi mana mungkin menyakitinya," jelas nyonya Dani sambil memaksakan senyumnya. "Kita hanya berbincang kecil saja kok, iya kan, Papa?"
"Iya, itu benar," tukas tuan Dani yang tampak memasang wajah malaikat palsu, seperti biasanya.
Perawat memperhatikan semua orang, terutama Sena yang masih menahan kesakitan. "Ini sudah malam, di luar jam besuk. Kamar ini didesain khusus hanya untuk satu orang yang menjaga dan malam ini sudah diisi dengan suami pasien. Demi kenyamanan bersama, saya harap semua orang mematuhi peraturan di ruangan ini, sebab sama dengan ICU!" ucapnya tegas. "Silakan!" usir nya terdengar berani sambil menekuk dahi, sebab Raden sendirilah yang menugaskannya untuk melakukan hal tersebut.
"Tapi kami keluarganya," tukas Chika tampak belum puas, menyakiti Sena. "Pa!"
"Putri saya benar, apalagi suaminya juga tidak ada di sini."
"Tuan Raden sedang keluar sebentar dan sebelum itu sudah menitipkan istrinya kepada saya. Karena beliau adalah orang yang bertanggung jawab sekaligus sumber pendanaan pasien, jadi saya memegang ucapannya. Saya harap pengertian dari semua orang dan menghentikan perdebatan ini. Silakan!" usir nya sekali lagi dan semakin yakin bahwa Chika memang menyakiti Sena secara sengaja.
"Besok pagi, kita temui saja tuan Wibowo, Pa! Mama nggak terima, kita diperlakukan seperti ini."
"Pasti, Ma. Bahkan rumah sakit ini akan mendapatkan masalah besar," ancam laki-laki yang terlihat sudah begitu geram dengan perawat tersebut.
Si perawat terhenyak, mentalnya sedikit terpukul atas ucapan tuan Dani. Namun tiba-tiba Raden masuk ke dalam ruangan dan memperhatikan semua orang yang tampak tegang. "Ada apa ini?"
"Anda sudah kembali, Tuan?" tanya perawat melanjutkan perannya. "Kalau begitu, tugas saya sudah selesai."
"Terima kasih," jawab Raden seolah mengiyakan sikap perawat itu.
"Sama-sama, Tuan."
Melihat interaksi yang bagus antara perawat dan Raden, tuan Dani memutuskan untuk segera angkat kaki dari ruangan tersebut. Ia tidak ingin keadaan meruncing sehingga memperlihatkan tabiat asli mereka semua. Dengan tarikan yang cukup kuat, pria setengah baya itu menarik tangan Chika agar segera mengikutinya.
"Silakan datang besok pagi, Pa, Ma! Malam ini, biar Raden dan para perawat saja yang menjaga Sena."
"Baiklah kalau begitu," sahut tuan Dani. "Kamu suami yang baik," sambungnya sambil tersenyum palsu.
"Thanks," jawab Raden yang mengikuti tarikan bibir palsu dari keluarga Sena.
Setelah percakapan tersebut, tuan Dani langsung membawa anak dan istrinya keluar dari ruangan. Sepanjang jalan, keempatnya tampak kesal tetapi berusaha untuk menutupinya.
"Kamu, tidur lagi!" Raden menunjuk Sena dengan garangnya.
"I-iya," sahut wanita pemilik bibir bervolume itu, dengan suara yang terbata-bata.
Raden memalingkan wajah, menghela napas berat, dan terbungkam. 'Ada apa ini? Kamu menyakiti pasien saya?' Suara perawat yang sempat masuk ke dalam ruangan ini kembali terngiang-ngiang di telinga Raden Wibowo dan itu cukup membuat hatinya tergores.
Hampir tengah malam, Sena pun sudah tampak lelap. Penasaran, Raden memutuskan untuk memeriksa bagian yang sebelumnya suster kabarkan telah dicubit oleh saudara istrinya. Pria tampan itu pun menarik lengan baju Sena ke atas dan dapat melihat warna kulit Senandung Arimbi yang telah membiru.
'Heh, yang benar saja?' Gumamnya tanpa suara. 'Berarti papa dan mama memang benar, ada yang tidak beres dengan mereka semua.' Raden menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, setelah melihat perlakuan keluarga ini terhadap Sena.
Raden kembali menjaga jarak, namun tatapan matanya tidak dapat berbohong. Ada secuil kesakitan yang tiba-tiba menyentil hatinya ketika Senandung Arimbi disakiti. Entah apa dan bagaimana semua itu bisa terjadi, hanya saja ia merasa turut prihatin dan iba hati.
'Apa yang seharusnya aku lakukan?' Tanyanya sambil memasukkan kedua tangan di dalam saku celana, dalam posisi berdiri.