Tidak Mungkin

1526 Kata
Sepuluh hari berlalu, Sena menguatkan diri untuk kembali melanjutkan aktivitasnya. Ia tak ingin hanya diam saja dan meratapi apa yang telah terjadi di dalam hidupnya. Lagipula, ia harus mengambil kesempatan dalam hubungan ini demi bisa menyelesaikannya kuliahnya. Jadi jika Raden membuangnya nanti, ia bisa mandiri dan melanjutkan masa depan secara terhormat. Lima hari sebelumnya, Raden mengatakan kepada Sena bahwa ia harus keluar kota untuk melakukan tugasnya. Tanpa penjelasan, pria tampan itu meninggalkan Sena seorang diri dan wanita cantik tersebut tak mampu banyak melontarkan tanya. Ia hanya mendengar, dan mengatakan 'iya' di setiap kalimat yang keluar dari bibir suaminya. Sena pikir, mungkin Raden ingin bersenang-senang bersama wanita lain dan Sena memang bukan tipenya. Sambil berdiri di muka cermin, Sena mengenakan bandana berkain lembut dan tampak lebar hingga mampu menutupi bekas lukanya. Rambut yang diurai, ia rapikan hingga membentuk gulungan sosis yang manis. 'Aku harus tampil lebih baik di setiap harinya! Ini bukan untuk laki-laki itu, melainkan diriku sendiri.' Kata Sena tanpa suara, sembari tersenyum seolah ia baik-baik saja. 'Oke, mari ke kampus!' Titah hati pada otaknya. Dengan pakaian seadanya, Sena melangkah perlahan menuruni anak tangga yang menghiasi teras rumah modern milik Raden. Jika diperhatikan, hanya wajahnya saja yang tampak lebih baik, sementara pakaiannya masih sama saja. Jeans tiga tahun yang lalu, masih ia kenakan bersama cardigan batik berwarna senada dengan celananya. "Mbak, mau ke mana?" tanpa sopir dengan tubuh membungkuk. "Biar saya antar ya?" Senandung Arimbi tersenyum, kecantikannya menyusul secara alami. "Nggak usah deh, Pak!" tolaknya santun. "Sena biasa sendiri kok." "Jangan gitu, Mbak! Nanti saya dimarahin tuan dan nyonya besar." "Emh ... bapak sudah lama di sini?" "Iya, Mbak. Saya diminta buat antar jemput Mbak Sena. Sekaligus ngejagain sampai mas Raden kembali. Ya ... harusnya hari ini sudah tiba, tapi mungkin langsung urusan. Kan beliau itu sangat menghargai waktu dan pekerjaan," ungkap laki-laki paruh baya dan ia tampak sangat mengenal Raden. "Benarkah? Terdengar hebat," puji Sena yang masih mempertahankan senyumnya. "Iya, Mbak. Orangnya kan sangat disiplin dan pendiam," timpal pria tersebut sambil terus membungkuk. "Ya sudah, dari pada jadi masalah buat Bapak, ayo kita berangkat sekarang! Tapi ... jangan sampai ke dalam ya, Pak! Cukup di luar pagar saja," pinta Sena yang tak ingin terlihat mencolok karena mobil yang akan ia tunggangi merupakan salah satu merek terkenal yang hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. "Tapi, Mbak?" "Kalau nggak mau, ya Sena naik bus aja." "Jangan gitu to, Mbak. Ya sudah, iya ... mari!" "Makasih, Pak." "Silakan, Mbak." Sopir membuka pintu belakang dan memperlakukan Sena dengan sangat baik. Perjodohan secara tiba-tiba ini memang membuat sepasang anak manusia, menjadi tidak saling mengenal. Di dalam hati dan pikiran senandung Arimbi sejak awal adalah Raden sama dengan papanya, yaitu seorang pengusaha. Namun sesuatu nan berbeda terjadi dan pria tampan itu malah akan berada di tempat yang sama dengan dirinya. Jika dihitung-hitung, Sena sudah absen dari kampusnya hampir dua minggu. Tetapi karena beberapa dosen senior tahu tentang pernikahannya, mereka memaklumi keadaan perempuan cantik itu. Meskipun tak diundang sehingga tidak mengetahui tentang siapa suaminya, namun situasi Sena sangat dimaklumi. "Selamat pagi!" sapanya pada teman satu ruangan. "Heh," cibir sekelompok mahasiswa yang sejak awal memang tak menyukai Senandung Arimbi karena semua keunggulannya. "Kirain sudah mampus, Lo!" kata Sisilia sambil melipat tangan dan memeluk dirinya sendiri. Senandung Arimbi menatap hangat, lalu bibirnya tampak melengkung sempurna. "Maaf sudah membuatmu kecewa," jawabnya sambil menegakkan leher yang jenjang dan mengangkat kepalanya. Wanita yang satu ini memang tidak menyukai perkelahian, namun pantang baginya dihina oleh orang yang tidak berhak atas dirinya. "Bagus loh ya, dasar udik," hardik Sisilia sambil menatap geram. "Sena!" panggil yang lainnya sambil melambaikan tangan. "Kamu baik-baik aja, kan?" Dea berdiri menyambut rekan yang biasa duduk di sampingnya. "Emh," sahut Sena seraya menganggukkan kepala. Tanpa ingin melanjutkan adu mulut pagi ini, Sena langsung meninggalkan Sisilia yang terlihat geram. "Aku baik, kamu?" Sena menyambut obrolan manis dari rekan yang lainnya. "Aku juga oke, Sena." Dea tersenyum manis, penuh tanya. ", Akhirnya kamu masuk juga, aku kepayahan dengan semua tugas-tugas kelompok. Tahu sendiri kan yang lainnya bagaimana?" ocehnya sambil melirik ke arah tiga anggota kelompok mereka. "Weh ... jangan gitu dong!" tukas dua pria lain yang langsung berdiri dan mendekati Sena. "Kita juga bantuin Dea kok, Sena." "Bantu apa? Makan?" ucap Dea tampak berang. "Menyebalkan," sambungnya ketika mendengar suara tawa kecil dari anggota kelompok itu. "Maaf! Aku sedang ada urusan penting." Sena memperhatikan wajah teman-teman yang cukup dekat dengannya. "Kalian ini ... tidak bisa berubah ya?" "Ya kan selama ini tugas kita jelas, Sena. Membeli semua keperluan penugasan dan juga mencari informasi di mana saja. Soal yang lainnya ya kita nggak tahu." "Kamu terlalu memanjakan mereka Sena!" Dea kini memarahi Sena dan pipinya terlihat menggembung. "Sudah-sudah! Ntar hilang loh cantiknya." "Kamu baru muncul, Sena? Aku kira kamu kawin lari loh sama Lio." "Apa, dengan Lio?" "Iya ... Lio. Dia nggak pernah masuk juga tahu, sama kayak kamu." "Aku benar kan, Sena," timpal Dea memperkuat keterangan dari rekan-rekannya. Sena terkejut, dahinya terlipat secara spontan. "Lio?" "Dih ... jangan pura-pura kaget kenapa?" goda Dea dalam tanya. "Gimana kita nggak curiga, dia menghilang bersama kamu." Sena semakin terdiam sambil berpikir keras. Sebab, terakhir kali ia bertemu dengan Lio adalah disaat hari pernikahannya. Meskipun tak diundang, pemuda yang sangat menyukai dirinya tersebut dapat tahu mengenai hari pernikahan itu. "Hei, Sena!" Dea memegang tangan Senandung Arimbi dan menggoyangkannya perlahan. "Please! Kamu benar-benar nggak tahu?" Sena menggelengkan kepalanya berulang. "Buat apa aku bohong?" ujarnya sambil memasang wajah muram. "Oke, hm ... lupain aja deh!" Dea menatap dalam dan ia tahu bahwa Sena tidak sedang berbohong. "Ayo bubar! Sebentar lagi dosen datang." "Oke-oke, wanita terbawel di seluruh dunia." Sedang asik mengobrol, salah seorang dosen senior masuk ke dalam ruangan dan menyapa dengan senyum hangat khas miliknya. Wanita cantik berambut salju itu memang terkenal sangat familiar, ramah, dan murah tersenyum. "Selamat pagi!" "Pagi, Bu ... ." Para mahasiswa menjawabnya bersama antusias yang tinggi. Dosen berdiri di belakang mejanya. "Seperti yang sudah Ibu utarakan sebelumnya, hari ini merupakan waktu terakhir kebersamaan kita. Setelah ini, akan ada seseorang yang menggantikan posisi ibu sebagai dosen mata kuliah yang Ibu ampu sebelumnya, sekaligus pembimbing kalian," papar dosen tersebut, mulai memperkenalkan sosok baru pengganti tugasnya. "Ibu yakin, kalian akan lebih bersemangat bersama dosen baru ini." Dosen bersuara lembut, namun tegas itu tersenyum lebar. "Tapi kita kan sudah asik sama ibu," timpal Sisilia yang paling gemar mencari muka. "Dosen yang telah ditunjuk ini adalah pendidik dari kampus besar di ibukota. Meskipun usianya jauh lebih muda dibandingkan saya, tapi beliau terkenal pandai dan memiliki prestasi cemerlang selama ini. Ditambah lagi dengan karisma, dan penampilannya yang sama sekali tidak mengecewakan, Ibu percaya kalian akan lebih bersemangat, terutama para cewek-cewek di kelas ini." "Jadi penasaran." Gumaman memenuhi ruang kelas tersebut. "Baiklah, Ibu akan segera memperkenalkannya. Silakan, Pak!" Sena yang masih kepikiran tentang Lio, tampak kurang fokus dan hanya menatap kosong ke punggung rekan yang berada didepannya. Sementara suara riuh, keluar dari bibir para mahasiswa wanita yang telah terkagum-kagum akan visual dosen baru mereka. Pria tampan pemilik rahang tegas, jembatan hidungnya sangat kokoh dan tinggi, kulit wajah bersih, bibir merah muda, bahu lebar dengan aroma tubuh yang maskulin. Ketika ia berdiri di depan ruang kelas, semua orang dapat melihat kemeja putih yang ia kenakan, ketat akibat otot panas di sepanjang lengan dan dadanya. "Waaah ... ." Para mahasiswi bersorak kegirangan, bahkan ada diantara mereka yang wajahnya telah memerah. "Gays ... gue nggak salah lihat, kan?" kata Sisilia dan tangannya langsung berkeringat dingin. "Tampannya ... Tuhan," puji gadis cantik nan centil, dan merupakan salah satu putri konglomerat di kota ini. "Meleleh gila ...." sambut yang lainnya sambil menahan d**a. Suara rusuh dan riuh itu, tak juga memecah lamunan Senandung Arimbi tentang Lio. Bahkan ketika Raden Wibowo memperkenalkan dirinya dengan suara yang khas, Sena masih terpaku seorang diri. "Sena!" Dea menepuk punggung tangan Sena agar konsentrasi wanita itu kembali. "Ya?" "Fokus dong!" "Eh, sorry!" timpal Sena sambil mengerjapkan matanya berulang. "Mulai hari ini, semua tugas saya akan dilimpahkan kepada Bapak Raden Wibowo!" kata dosen senior sekali lagi. "A-apa?" gumam Sena yang baru tersadar dan matanya langsung terbuka lebar. "Raden Wibowo? Aku tidak salah dengar, kan?" tanyanya dengan suara tipis dan kecil, sehingga hanya telinganya sendirilah yang dapat mendengarkannya. Penasaran, Sena pun memiringkan wajah. Ia mengintip dari sisi lengan para mahasiswa yang berada di depannya. Posisi duduk dengan urutan tiga susun dari depan, membuatnya cukup mudah melihat semua gambaran nyata maupun situasi di muka kelas. "Ha!" Sena benar-benar terkejut, hingga ia sulit untuk berkata-kata. 'Ya Tuhan ... dia? Kenapa bisa ada di sini? Di tempat ini?' Tanya Sena tanpa suara, seraya menepuk kedua pipinya perlahan. 'Tidak mungkin.' Sementara matanya melihat kesenangan di mata para mahasiswi lainnya, ketika menyambut dosen termuda dan tertampan di kampus ini. 'Mampus aku!' Sena menundukkan kepala, lehernya terasa pendek, begitu juga dengan nyalinya. 'Tidak mungkin!' Lagi-lagi ia tak percaya dengan apa yang dilihat pagi ini. Bukan tanpa alasan, sebelumnya Sena berpikir bahwa kampus mungkin adalah tempat yang akan menyeimbangkan ketengan dan kebahagiaan batinnya. Sepertinya dulu, tempat ini telah berhasil membantunya untuk pulih secara mental karena jauh dari tekanan dan siksaan keluarganya. Namun kini apa yang terjadi, bahkan di tempat ini pun Raden masih ada dan siap menelannya hidup-hidup, begitulah perasaan Senandung Arimbi detik ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN