“Eril, mama buat salad sebanyak ini buat apa?” tanya Reindra memerhatikan isi salah satu cup yang baru saja ia ambil.
“Rencananya mama mau jual, Om. Mama juga buat cake pisang. Eril akan hidangkan juga.”
“Jualan salad? Jualan cake pisang juga?”
Eril mengangguk lalu meletakkan secangkir teh hangat dan beberapa potong cake pisang yang baru saja ia ambil dari lemari pendingin.
“Silahkan, Om. Maaf kalau Eril kurang pandai membuat teh hangat.”
“Justru Eril sangat hebat, Nak. Anak-anak lain kebanyakan tidak mengerti abad memperlakukan tamu seperti yang kamu lakukan ini.”
“Mama yang mengajarkan Eril, Om. Kata mama, papa sudah tidak ada lagi di dunia. Jadi Eril bertanggung jawab untuk menggantikan papa. Eril harus bisa menjaga mama dan Nabila. Eril juga harus bisa membantu mama mengerjakan pekerjaan rumah karena mama katanya mau jualan.”
Reindra terenyuh mendengar penjelan anak pertama dari Ayunda dan Rudi itu. Betapa hebatnya Ayunda mendidik Eril hingga pemuda sekecil itu bisa memiliki pemikiran luas seluas samudra.
“Kamu hebat, Sayang … Oiya bisa ngobrol sama om?”
“Iya, Om. Om mau salad buah?”
“Ini sudah om ambil satu cup.” Reindra memperlihatkan cup yang tengah ia pegang.
“Oiya ya … Om Rein mau ngobrol di sini atau di ruang tamu?”
“Di sini saja biar enak.”
Eril mengangguk lalu mendudukkan bokongnya di salah satu kursi makan.
“Om, tadi oma dan tante Sifa ke sini.”
“Oiya, mau ngapain? Mau jenguk Eril dan Nabila?” Reindra pun duduk di hadapan Eril. Pria itu menenggak teh hangat buatan Eril. Teh itu memang terlalu manis, tapi Reindra berusaha menyembunyikannya untuk menjaga dan menghargai hati Eril yang sudah susah payah membuatkan teh hangat untuknya.
Eril menggeleng, “Oma dan tante Sifa mau mengusir kami dari sini.”
“Mengusir kalian, maksudnya?”
“Tadi Eril menguping dari balik jendela. Oma dan tante Sifa yang tidak mau ditawarkan masuk oleh mama mengatakan akan menjual semua barang-barang peninggalan papa dan akan mengambil ali semuanya. Kata tante Sifa, mereka lebih berhak atas semua harta peninggalan dari pada mama, aku dan Nabila.”
“Ya Ampun … Kamu serius, Nak.”
Eril mengangguk. Sepasang Netra hitam pekat dan kecil itu mulai berkaca-kaca. Tidak lama, Eril pun menangis. Namun sebagai laki-laki yang tidak pernah dibiarkan cengeng oleh mendiang ayahnya, Eril langsung menyeka air matanya dengan cepat.
“Tadi Eril sempat keluar dan memarahi oma juga tante Sifa. Tapi mama malah mencegah Eril. Mereka juga menghina mama, mengatakan kalau mama tidak becus mendidik anak. Mama dituduh sudah salah mendidik aku dan Nabila. Eril mau tanya sama Om, kalau mama om dihina orang sampai mama menangis, apa om akan diam saja?”
“Tentu saja om tidak akan diam, Sayang … Sebagai laki-laki, om punya kewajiban untuk membela mama atau ke dua orang tua om.”
“Itu juga yang Eril lakukan terhadap mama, tapi oma dan tante Sifa malah semakin menjadi menghina mama.” Air mata bocah itu kembali tumpah. Eril segera menyeka air mata itu dengan baju kaos yang saat ini ia kenakan.
“Kalau Eril mau menangis, menangis saja, Nak.”
Eril menggeleng, “Papa tidak pernah membiarkan Eril cengeng. Kata papa, Eril itu anak paling besar. Eril itu laki-laki. Laki-laki itu harus tegas dan kuat.”
“Papa Eril tidak salah, Nak. Tapi sebagai laki-laki, kita juga adalah manusia biasa yang juga punya sifat lemah dan mudah menangis. Jika memang ingin menangis, menangis saja. Terkadang menangis itu bisa mengeluarkan segala beban pikiran dan beban yang ada di dalam hati hingga otak jadi fresh dan hati jadi plong.”
Mendengar ucapan Reindra, tangis Eril pun semakin pecah. Rasa rindu kepada mendiang ayahnya, rasa kasihan kepada ibunya dan rasa marah kepada nenek dan bibi yang sudah menyakiti ibunya, membuat Eril menumpahkan segala rasa itu lewat air mata.
Reindra bangkit dan memeluk putra pertama Ayunda itu. Eril pun menumpahkan segenap rasa dan air mata di dalam pelukan Reindra.
“Maaf’kan Eril, Om,” lirih Eril seraya melepaskan dirinya dari dekapan Reindra.
Reindra mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya kepada Eril. Bocah itu menerima lalu menyeka air mata dan ingus yang keluar akibat rasa sedih yang mendalam.
“Eril punya hand phone?” tanya Reindra.
Eril menggeleng, “Mama tidak memberi izin. Kata mama takut nanti Eril kecanduan hand phone. Tapi kalau sesekali Eril atau Nabila pinjam hand phone lama mama, mama biasanya meminjamkan tapi sebentar saja.”
Reindra mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya lalu memberikan sebuah kartu nama kepada Eril.
“Di sini ada nomor hand phone om. Kalau ada apa-apa atau Eril butuh apa-apa, jangan sungkan untuk segera menghubungi Om Rei. Siapa tahu nanti ada yang jahatin mama lagi. Pokoknya sebisa mungkin om akan segera ke sini membantu Eril, Nabila dan juga mama.”
Eril menerima seraya mengangguk, “Terima kasih, Om.”
Reindra menyugar rambut bocah tampan itu, “Sama-sama, Sayang … Anak tampan dan baik. Mama kamu pasti sangat bangga sama kamu, Nak. Eril harus berjanji pada diri sendiri agar rajin belajar, rajin ibadah dan jagain mama dan adik selamanya. Eril harus membuat mama bangga dan bahagia. Jangan kecewakan mama Eril dan mendiang papa.”
“Iya, Om. Eril berjanji akan membuat mama bahagia dan bangga.”
Reindra menatap bocah itu dengan tatapan sayu. Betapa inginnya ia punya anak seperti Eril dan Nabila. Anak yang baik, yang dididik dengan penuh kasih sayang hingga punya rasa empati yang tinggi kepada ke dua orang tua dan rasa ingin melindungi.
“Om, silahkan makan dulu cake dan salad buahnya. Cobain deh, mana tahu enak. Kalau enak, Eril boleh minta tolong?”
“Minta tolong apa, Sayang?”
“Tolong promosikan ke teman-teman, Om Rei. Kalau pesanannya banyak, mama’kan bisa dapat uang banyak buat bayar cicilan rumah ini dan mobil. Eril janji akan membantu mama untuk membuat pesanan-pesanan itu. Eril tidak akan membiarkan mama bekerja sendiri.”
Lagi-lagi, hati Reindra tersentuh karenanya. Pria itu tidak mampu menahan luapan lahar dingin yang sedari tadi ia tahan. Reindra pun langsung memeluk Eril dengans angat erat.
“Mama dan Eril tidak perlu melakukan hal itu. Om akan bantu buat bayar cicilan rumah dan mobil. Eril sekolah saja yang baik, jadilah anak yang membanggakan untuk mama. Om janji akan membantu kalian semaksimal yang om bisa.”
Eril melepaskan pelukan itu, “Tidak, Om. Kalau oma dan tante Sifa tahu, mama akan semakin dihila oleh mereka. Kata mama, walau bagaimanapun, kita tidak boleh mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Eril nggak apa-apa kok pindah sekolah untuk mengurangi besarnya pengeluaran bulanan mama atau kalau ada pekerjaan yang bisa Eril kerjakan, akan Eril lakukan demi mama.”
Air mata Reindra tumpah. Ia tidak menyangka anak sekecil Eril bisa memiliki pemikiran sedewasa itu.
“Om Rei kenapa menangis?”
“Sayang, Eril tahu’kan kalau om Rei itu belum punya anak. Eril mau nggak jadi anak om?”
“Maksudnya?”
“Ma—maksudnya … Om akan angkat Eril jadi anak. Jadi semua kebutuhan sekolah Eril dan Nabila akan om penuhi.”
“Maksudnya jadi anak angkat? Kayak temannya Eril itu ya, Om? Ada temannya Eril yang sudah yatim piatu tapi semenjak bayi tinggal sama orang tua angkatnya. Orang tua angkatnya baik banget dan sudah menganggapnya seperti anak kandung sendiri.”
Reindra hanya bisa mengangguk lemah walau sebenarnya niatnya bukan itu. Reindra memang ingin Eril dan Nabila jadi anaknya, tapi bukan anak angkat melainkan anak sambung.
“Karena eril dan Nabila sudah jadi anak om Rei, jadi Eril dan Nabila jangan sungkan minta bantuan om Rei kalau ada apa-apa, oke.”
Eril tersenyum seraya mengangguk. Bocah itu terlihat sangat bahagia ketika bersama Reindra.
Tanpa sepengetahuan Eril dan Reindra, ternyata Ayunda sudah melihat kebersamaan itu sedari tadi. Ayunda segera masuk lagi ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar itu secara perlahan. Wanita itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang, mengambil figura yang ada foto dirinya dan Rudi dan memeluk foto itu dengan erat.
Ya Allah, aku harus apa … Aku lihat mas Rei cukup tulus menyayangi anak-anakku. Anak-anak juga butuh sosok dan figur seorang ayah dalam hidupnya. Tapia pa aku sanggup meneriam setiap hinaan itu jika aku menerima pinangan mas Rei? Ya Allah, mohon berikan aku petunjukmu …
Ayunda terisak sangat pelan. Ia tidak ingin suara isakannya terdengar sampai keluar. Ia masih membiarkan Reindra dan Eril menikmati kebersamaan mereka di ruang makan. Berharap Eril akan sedikit bahagia karena sudah dua bulan kehilangan sosok ayah dan kedatangan Reindra cukup membuat Eril tampak bersemangat.