“Jadi kapan kamu akan mengosongkan rumah ini, Ayunda?” tanya Sifa lagi.
“Aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini. Rumah ini dibeli oleh mas Rudi untukku dan anak-anakku. Kalau kalian memang tetap bersikeras menginginkannya, ajukan saja ke pengadilan. Kita akan lihat, siapa yang lebih berhak atas rumah dan mobil peninggalan mas Rudi. Lagi pula asal kalian tahu, rumah dan mobil itu semuanya atas nama aku. Jadi kalaupun ingin menjual, harus persetujuan aku.” Ayunda menjawab dengan tegas. Namun dari intonasi yang ia sampaikan, jelas Ayunda masih mementingkan adab berbicara karena ia masih berbicara dengan nada yang lembut.
“Ayunda, kamu mulai kurang ajar sekarang ya.” Sang ibu mertua terlihat sangat emosi.
“Ma, kenapa mama sangat membenci Ayunda? Dari dulu Ayunda begitu ingin berbakti pada mama. Ayunda sayang sama mama. Kakaupun mama nggak suka sama Ayunda, setidaknya mama kasihan sama cucu-cucu mama. Eril dan Nabila itu adalah darah daging mama.”
“Aku tidak peduli dengan kalian. Yang ingin aku lakukan adalah menyelamatkan harta anakku dari perempuan tidak berguna seperti kamu.”
“Cukup, MA!! Ayunda minta maaf kalau Ayunda tidak sopan. Tapi jika yang kalian inginkan hanyalah hartanya mas Rudi, sebaiknya kalian pergi dari sini. Semua yang mas Rudi beli itu sudah atas namaku. Jadi siapa pun tidak berhak menjual atau memilikinya tanpa seizin dariku.” Suara Ayunda begetar. Wanita itu menangis.
“Ya sudah, Ma. Sebaiknya kita pergi saja. Kita akan urus perempuan ini nnati. Dia benar-benar sudah kurang ajar pada kita.” Sifa menarik lengan sang ibu dan pergi meninggalkan rumah Ayunda dengan mobil sport mewah miliknya.
Ayunda terhenyak di lantai teras rumahnya ketika mobil itu sudah berlalu. Ia menangis sesegukan di sana.
Tapi tiba-tiba, seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh lima tahun datang menghampiri Ayunda. Wanita yang sedikit gemuk dan berjilbab sopan itu, mencoba menenangkan Ayunda. Beliau adalah istri dari sang ketua RT.
“Nda … Maaf kalau tanpa izin tadi ibu mendengar percakapan antara kamu sama ipar dan mertua kamu," kata wanita itu, ramah.
Ayunda yang tadinya terduduk di lantai teras, langsung bangkit dan menyalami istri sang ketua RT yang memang terkenal sangat baik dan ramah.
“Bu Endang … Masuk yuk, Bu. Maaf kalau sudah membuat keributan di komplek ini.”
Wanita itu mengangguk, “Bukan kamu yang membuat keributan tapi mereka.”
“Sebaiknya kita ngobrolnya di dalam saja, Bu.”
Wanita yang Bernama Endang itu mengangguk. Ia memegangi bahu Ayunda dan mereka berdua pun duduk di kursi tamu di dalam rumah Ayunda.
“Ayunda, ibu turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kamu tadi. Sungguh, apa yang dilakukan oleh ipar dan mertua kamu itu tidak ada adabnya sama sekali.”
“Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah biasa kok mendapat perlakuan demikian. Beruntung mas Rudi dulunya selalu terdepan membelaku dan anak-anak kami.”
“Iya, Rudi memang sangat bertanggung jawab kepada kalian. Oiya, apa yang kamu lakukan tadi itu sudah benar, Ayunda. Kamu dan anak-anakmu sangat berhak atas semua harta peninggalan Rudi, apa lagi harta itu diperoleh ketika kalian berdua sudah menikah. Mereka sama sekali tidak memiliki hak apa-apa. Kalau mereka datang lagi, kamu ancam saja dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk hubungi ibu atau bapak.”
“Masyaa Allah … Iya, Bu. Terima kasih, banyak atas dukungannya."
“Sama-sama, Ayunda. Kalau begitu ibu pulang dulu. Kamu dan anak-anakmu baik-baik di rumah. Jangan takut dengan apa pun kalau kalian memang tidak salah.”
“Iya, Bu. Terima kasih ….”
“Ibu pulang ya, Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalam ….”
Endang pun berlalu dari kediaman Ayunda. Ayunda melepas wanita itu sampai depan pagar, lalu ia kembali menutup pagarnya dengan baik.
“Mama, nenek dan tante Sifa sudah pulang?” tanya Eril sesaat setelah Ayunda kembali masuk ke rumahnya.
“Sudah, Sayang … Eril, mama boleh minta sesuatu?”
“Mama mau minta apa?”
“Mama mohon sama Eril, kalau oma dan tante Sifa datang lagi, Eril jangan ikut menyela pembicaraan ya. Itu namanya tidak sopan. Bagaimanapun juga, mereka adalah saudaranya Eril.”
“Tapi mereka sudah menyakiti mama.”
“Sstt … Sayang, Eril harus belajar sabar agar kelak bisa jadi anak yang hebat. Eril adalah pengganti papa bagi mama. Urusan dengan oma atau tante Sifa atau keluarga papa yang lain, itu urusan orang dewasa, jadi biarkan mama yang selesaikan. Eril paham’kan maksud mama?”
“Iya, Ma. Maafkan Eril.”
Ayunda mengangguk, “Mama mau masuk kamar dulu. Mama capek seharian ini bikin cake dan salad buah. Eril kalau mau nonton TV, jangan lupa pintunya ditutup rapat.”
“Iya, Ma.”
Ayunda membelai lembut pipi kiri sang putra, lalu ia pun berjalan masuk ke dalam kamar. Ayunda menutup rapat pintu kamar. Lagi-lagi, ia terduduk di tepi ranjang seraya menatap foto dirinya dan mendiang suaminya—Rudi. Ayunda sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlakuan sekeji ini dari keluarga Rudi.
Ya Allah … Sampai kapan cobaan hidupku akan berakhir … Kenapa bisa mama mertuaku dan saudaranya mas Rudi mengusir kami dari rumah kami sendiri? Bukankah mereka orang-orang kaya yang punya harta yang jauh lebih banyak dari kami. Kalau rumah ini dijual, Eril dan Nabila mau tinggal di mana? Lagi-lagi air mata Ayunda tumpah ruah.
Semenjak kepergian suaminya, air mata kini sudah menjadi teman sehari-hari Ayunda. Wajahnya yang semula sangat segar dan terlihat begitu cantik, kini semakin layu karena terlalu sering menangis.
Baru saja Ayunda merebahkan tubuhnya, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Ada panggilan masuk dari Reindra.
Kembali, Ayunda mencoba mengabaikan. Ia mematikan nada dering ponselnya lalu terlelap di atas ranjang.
Di tempat berbeda, Reindra menjadi sangat tidak nyaman. Sedari pagi Ayunda selalu saja mengabaikan teleponnya. Lelaki yang sudah terlanjur terjerat pesona janda beranak dua itu, langsung mengambil kunci mobilnya dan berniat menyusul Ayunda ke rumahnya.
“Lo, Pak Rei mau kemana?” tanya salah seorang rekan Reindra di salah satu kantor pemerintahan.
“Saya ada urusan dulu ke toko. Ada barang baru masuk, jadi saya mau cek.”
“Oiya? Bukankah anda sudah punya pabrik tekstil sendiri?”
“Iya, tapi ini kain impor dari Saudi. Kata staf saya, ada beberapa pembeli yang memesan kain kualitas impor untuk membuat wedding dress mereka. Selama ini saya sangat jarang stok kain impor karena lebih mencintai produk dalam negeri. Apa lagi saya sudah punya pabrik tekstil sendiri.”
“Terkadang permintaan pembeli memang aneh-aneh ya, Pak. Padahal kalau disandingkan dengan produk local, nggak akan jauh beda kok. Tergantung nanti desainernya bagaimana mengolah kain itu menjadi gaun yang anggun dan cantik.”
“Menurut kita memang begitu, tapi sebagian orang apa lagi desainer ternama memiliki pemikiran yang berbeda. Ya sudah, saya mau ke toko dulu.”
“Iya, Pak Rei. Hati-hati.”
Reindra mengangguk.
Pria yang merupakan salah seorang ASN di salah satu kantor pemerintahan itu, melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kantor menuju rumah Ayunda. Apa yang ia jelaskan kepada rekannya terkait ada barang baru yang masuk ke toko tekstil miliknya, memang benar adanya. Reindra tidak berbohong perkara hal itu. Tapi untuk saat ini, ia tidak benar-benar datang ke tokonya, melainkan berniat menemui Ayunda.
Reindra segera masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobilnya menuju kediaman Ayunda.
Sesampai di depan pagar rumah Ayunda, Reindra pun turun dan membuka sendiri pagar itu. Ia ingin memberi kejutan kepada Ayunda dan anak-anak wanita itu.
“Assalamu’alaikum …,” sapa Reindra seraya mengetuk pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam ….” Terdengar balasan dari dalam. Suara seorang bocah lelaki yang begitu dikenali oleh Reindra.
Pintu rumah itu pun terbuka.
“Eril, mama dan Nabila mana?” tanya Reindra, ramah.
“Mama dan Nabila lagi tidur, Om. Om Rei silahkan masuk.” Dengan sopan, Eril menyuruh pria itu masuk dan mempersilahkan duduk di kursi tamu.
Reindra memberikan sebuah kantong belanjaan yang berisi makanan ringan kepada Eril, “Ini untuk kamu, mama dan Nabila.”
“Terima kasih, Om.” Eril menerima kantong itu.
“Eril mau bangunin mama dulu ya, Om.”
“Eh, jangan … nggak usah, Sayang … Om mau ngobrol sama Eril saja, boleh?”
“Ngobrol sama aku?”
“Iya, boleh nggak?”
Eril mengangguk, “Sebentar, aku mau ambil minuman dulu ya, Om.”
Bocah lelaki itu pun berjalan menuju dapur. Ia mengambil dua kotak minuman dingin dan menyuguhkan cake pisang yang tadi pagi dibuat Ayunda.
Reindra menyusul ke dapur dan duduk di salah satu kursi makan. Ia melihat ada banyak sekali cup di salam lemari pendingin milik Ayunda. Pria itu penasaran dan mendekati lemari pendingin dan mengambil salah satu cup yang berisi salad buah yang rencananya akan dijual oleh Ayunda.