Sudah satu jam lebih Reindra berbincang ringan bersama Eril, namun Ayunda masih enggan keluar dari kamar walau sebenarnya wanita itu sama sekali tidak tertidur. Ayunda sangat berharap Reindra segera pergi dari rumah itu karena kehadiran Reindra benar-benar membuantnya tidak nyaman.
Reindra pun merasakan hal yang sama. Berbincang dengan Eril memang cukup menyenangkan. Tapi kalau terlalu lama berada di sana, Reindra takut akan ada fitnah nantinya dari tetangga Ayunda yang selama ini banyak yang tidak baik ibu Eril itu.
“Eril, ini sudah sangat sore. Om harus pulang dulu. Oiya, jangan lupa pesan om tadi, kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi om Rei. Bilang juga nanti sama mama kalau mama sudah bangun, mama tidak perlu menjual salad buah atau cake atau menjual apa pun. Om akan bantu kalian sebisa om. Nanti om akan carikan pekerjaan yang baik untuk mama kamu.”
“Iya, Om. Terima kasih ....”
“Oiya, satu lagi. Sampaikan pada mama, segera hubungi om Rei kalau mama sudah bangun. Kebetulan om ada pekerjaan untuk mama. Sementara sebelum mama dapat pekerjaan di kantor yang sesuai dengan pendidikan terakhir mama, mama bisa bekerja di toko tekstil atau pabrik tekstik milik om. Om akan carikan posisi yang baik untuk mama.”
“Iya, Om. Terima kasih ... Kalau nanti om butuh tenaga Eril, Eril juga bersedia kok bantu om di toko. Sepulang sekolah, Eril juga bisa bantu angkat-angkat barang atau bungkus pesanan pembeli.”
Reindra lagi-lagi tersentuh mendengar ucapan bocah itu. Ia membelai lembut pipi Eril.
“Kamu tidak perlu melakukan hal itu, Sayang ... Kalau Eril memang sayang sama mama dan Eril mau buat om Rei bangga, maka belajarlah yang rajin. Jangan kecewakan mama atau siapa pun yang selama ini mendukung Eril. Om yakin, Eril pasti akan jadi orang yang sukses suatu saat nanti.”
“Aamiin ... Makasih ya, Om.
Reindra mengangguk, “Ini ada sedikit jajan. Nanti kasih Nabila satu lembar ya.” Reindra memberikan dua lembar pecahan seratus ribu kepada Eril.
“Ini banyak sekali, Om.”
“Tidak apa-apa, Sayang ... Beli’lah apa pun yang Eril mau. Om pulang dulu ya ... Baik-baik di rumah dan jangan lupa segera hubungi om Rei kalau terjadi sesuatu sama kamu.”
“Iya, Om.”
Reindra pun berlalu dari rumah itu. Sebelum benar-benar melangkahkan kakinya keluar dari pintu, Reindra menatap pintu kamar Ayunda sesaat. Pria itu berdecak pelan, ia cukup kecewa karena tidak bisa menemui wanita cantik yang kini sudah menganggu relung hatinya.
Pada akhirnya, Reindra meninggalkan rumah itu. Eril dengan sopan menemani sampai pintu pagar dan menutup lagi pintu pagar itu setelah mobil Reindra menghilang dari pandangan.
“Mama ... Mama sudah bangun?” Eril cukup kaget melihat ibunya tengah berdiri tepat di depan pintu.
“Mama sebenarnya sudah bangun dari tadi, Sayang. Tapi mama malas menemui om Rei, takut nanti ada yang salah paham dan fitnah mama.”
“Tapi om Rei’kan baik, Ma. Om Rei tadi ngobrol sama Eril terus kasih Eril dan Nabila jajan.” Eril memperlihatkan dua lembar pecahan seratus ribu yang diberikan Reindra tadi kepadanya.
Ayunda mengangguk, “Kasih Nabila satu ya ....”
“Iya, Ma. Ini memang buat Nabila satu. Tapi ini kebanyakan deh, mending Eril masukin tabungan saja yang punyanya Eril.”
“Terserah kamu saja, Sayang ....”
“Oiya, Ma. Tadi om Rei pesan. Katanya kalau mama sudah bangun disuruh segera hubungi om Rei. Katanya ada pekerjaan untuk mama.”
“Pekerjaan untuk mama?” Kening Ayunda mengernyit.
“Iya ... Eril juga kurang paham. Sebaiknya mama segera telepon om Rei saja. Eril ke belakang dulu ya, Ma. Mau beresin meja makan dan dapur.”
“Iya, Sayang ... Terima kasih sudah mau membantu mama.”
Eril tersenyum seraya mengangguk. Bocah itu menyimpan ke dua uang itu di dalam saku celana lalu ia bergegas menuju meja makan dan mengemas gelas dan piring kotor bekas minuman dan makanan ringan yang ia suguhkan untuk Reindra.
Semenjak kepergian Rudi, Eril memang sangat senang membantu ibunya. Bahkan berkali-kali ia mengatakan ingin pindah sekolah atau berhenti sekolah saja agar bisa membantu ibunya mencari uang.
Tapi Ayunda selaku meyakinkan putranya itu kalau semua pasti akan baik-baik saja.
Ayunda kembali masuk ke dalam kamar, ia mengunci kamar dari dalam karena khawatir Eril dan Nabila masuk dan mendengar percakapannya dengan Reindra. Bagaimanapun juga, Reindra punya niat yang lain yang beum sepantasnya diketahui oleh ke dua anak-anak Ayunda.
Ayunda mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. mengarahkan pandangan ke jendela yang langsung tembus ke halaman belakang. Ia mulai menghubungi Reindra lewat ponsel baru yang diberikan Reindra untuknya.
“Halo ... Ayunda, kamu sudah bangun?” tanya sebuah seuara lembut dari balik panggilan suara. Bahkan panggilan suara yang baru dibuat Ayunda langsung diangkat oleh pria yang ada di seberang sana.
“Mas, tadi Eril bilang kamu punya pekerjaan buat aku?” Ayunda langsung to the point tanpa melakukan basa basi.
“Begini, aku ada rencana mau buka toko baju. Baru rencana sih, karena sebenarnya aku tidak punya keahlian dibidang itu. Aku memang punya pabrik tekstil dan toko kain yang lumayan besar di tanah abang. Ada beberapa pabrik garmen dan butik yang menjadi langganan toko dan pabrik tekstil kami. Sebelumnya aku tidak kepikiran membuka toko baju jadi karena tidak ingin direpotkan dengan merekrut karyawan lagi. Toh Alhamdulillah, usahaku berjalan lancar dan lebih dari cukup selama ini.”
“Jadi?”
“Sebenarnya aku bisa saja mempekerjakan kamu di pabrik tekstil atau toko kain, tapi aku bingung mau meletakkan kamu di bagian mananya. Untuk bagian kantor, semua sudah terisi. Aku juga tidak mungkin menjadikan kamu pramuniaga dengan latar pendidikan sarjana.”
“Terus?”
“Apa kamu mau mengelola toko pakaian jadi yang akan aku dirikan nanti? Atau kamu punya ide?”
Ayunda hanya terdiam.
“Ayunda, sepertinya pembicaraan kita ini lumayan serius. Aku ingin ketemu sama kamu. Kita akan bicara serius mengenai bisnis ke depannya. Lupakan sejenak masalah pribadi, bagaimana?”
“Kamu serius dengan tawaran kamu itu, Mas?”
“Sangat serius, Ayunda. Tadi Eril sudah menceritakan semuanya. Aku sudah tidak heran lagi dengan kekejian Sifa dan ibunya Rudi. Tapi aku tidak menyangka mereka akan mengusir kalian dari rumah kalian sendiri. Eril juga mengatakan katanya kamu mau keliling jualan salad buah dan cake pisang? Kamu tidak perlu melakukan hal itu, Ayunda. Kalau kamu memang tidak ingin menerima bantuanku secara cuma-cuma, maka terimalah tawaran pekerjaan dariku ini.”
“Tapi, Mas ....”
“Tapi apa lagi, Ayunda? Aku sudah katakan, lupakan sejenak masalah pribadi kita. Aku tahu kamu berusaha menghindariku karena tidak ingin aku membahas masalah lamaran dan pernikahan, bukan? Sekarang lupakan saja masalah itu sejenak. Aku sungguh-sungguh hanya ingin membantu kalian. Tolong jangan tolak tawaranku.”
“Baiklah, Mas. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih atas semua bantuan kamu selama ini.”
“Baiklah, Ayunda. Aku akan mulai survei lokasi dan mencari pabrik garmen untuk memasok pakaian di toko kita.”
“Toko kita?” Kening Ayunda mengernyit. Ia tidak suka dengan kata terakhir yang diucapkan Reindra kepadanya.
“Maaf ... Maksudku toko aku. Aku akan usahakan dalam seminggu ini semuanya rampung dan kamu bisa mulai bekerja di sana. Apa kamu punya saran pakaian seperti apa yang akan akan kita jual agar perputarannya bagus?”
“Maaf, Mas. Aku sudah katakan kalau aku tidak punya pengalaman sama sekali. Semenjak menikah dengan mas Rudi, mas Rudi begitu memanjakan aku hingga aku bingung harus bagaimana sekarang.”
“Oiya, aku mengerti ... Nanti aku akan cari tahu lewat kolega-kolegaku. Kamu persiapkan saja diri kamu. Nanti setelah aku dapat tempat dan dapat ide, aku akan segera hubungi kamu lagi.”
“Terima kasih, Mas ....”
“Sama-sama, Ayunda. Aku mohon jangan menghindar lagi dariku. Kamu harus bisa buktikan kepada kleuarganya Rudi kalau kamu bisa mandiri tanpa Rudi. Jangan mau diperbodoh apa lagi diancam oleh mereka. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk segera menghubungiku. Jangan pernah merasa sendiri di sini karena aku akan selalu ada buat kamu.”
“Iya, Mas ... Sekali lagi terima kasih. Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya.”
“Baiklah, Ayunda. Selamat sore.”
“Selamat sore, Mas.”
Panggilan suara itu pun terputus. Ayunda menarik napas lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Kembali ia menatap figura yang ada di atas nakas dengan netra berkaca-kaca. Hari ini ia cukup lelah.
Setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah, Ayunda disibukkan dengan membuat salad dan cake, berharap ke dua makanan itu bisa memanjakan lidah para tetangganya dan ia siap menerima pesanan. Tapi sayang, ada saja orang julid yang menjatuhkan mental Ayunda disaat ia ingin berjuang sendiri demi anak-anaknya tanpa mau menerima bantuan dan Reindra.
Belum habis rasa lelah itu, tiba-tiba ibu mertuanya dan iparnya datang ke rumah dengan sikap sombong dan pongah. Mereka berniat mengusir Ayunda dari rumahnya sendiri, berniat menjual rumah dan semua aset peninggalan Rudi.
Sungguh, cobaan yang berat dan terus bertubi-tubi menghampiri Ayunda. Sementara selama ini ia tidak terbiasa mandiri karena Rudi begitu memanjakannya.