Pengakuan Said

1196 Kata
Said senang sekali menyambut mamababanya datang berkunjung ke rumahnya suatu Sabtu. Dipeluknya keduaorangtuanya erat-erat secara bergantian seakan-akan sudah lama tidak bertemu. Tampak Rema dan Adimas saling pandang sedikit heran melihat sikap anak lelaki kedua mereka. Biasanya Said tidak terlalu menunjukkan kesenangan dengan kedatangan mereka. Sikap senang Said tidak berhenti di depan pintu utama rumahnya saja, dia dengan semangat bersama para asisten mengatur makanan-makanan yang terhidang di atas meja makan. Mamanya menghela napas berkali-kali seraya mengamati gelagat anaknya yang sangat di luar dugaan. Akan tetapi, sebaliknya Pak Adimas terlihat santai dan menikmati layanan serta sikap senang anaknya hari itu. Jika biasanya dia tampak kesal jika bertemu Said karena perceraian yang menimpa Said, kini sepertinya dia melupakannya. *** Setelah kenyang makan siang, Said bersama keduaorangtuanya berpindah duduk di teras belakang rumah. Teh manis dan baklava terhidang di meja kecil di hadapan mereka bertiga. “Jadi sekarang kamu ditugaskan di dalam negeri saja?” Adimas membuka percakapan. “Iya. Tapi nggak tau juga, Ba. Tergantung SK dari Dirjen.” “Huh. Apa karena kasus perceraian kamu yang baru, jadi kamu nggak lagi ditugaskan ke luar.” “Yah. Nggaklah, Ba. Biasalah, kadang memang ada perubahan di tempat kerja.” “Jadi berapa tahun kamu nggak ditugaskan ke luar?” “Menurut SK sih dua tahun. Tapi ya lagi-lagi tergantung SK dari atas. Kalo ada perubahan, ya mesti dilaksanakan.” Adimas tampak berpikir. “Biasanya kamu yang sering diutus. Baba curiga jangan-jangan ada kaitannya dengan hidup kamu, Said….” Said terkekeh. Mungkin saja. Dan dia tampak tidak terlalu ambil pusing dengan perubahan tempat kerja. Lagipula dia menikmati statusnya sekarang, lebih lega tanpa merasa tertekan. “Ah. Tau begini, mending kamu dulu nikah dengan Nasrah. Baba sih, terlalu kekeh milih Hawa.” tiba-tiba Rema mengalihkan pembicaraan. “Mamanya sudah bersedia, eh … malah tiba-tiba sodorin Hawa. Jadi diambil Rahman kan Nasrahnya?” rutuk Rema. “Mama. Rahman itu sudah menjadi jodohnya Nasrah. Lagipula Sarah juga menikah sama adiknya Nasrah. Masa Said kita jodohkan pula dengan Nasrah. Yang benar saja. Yang sudah ya sudah,” sanggah Adimas. Rema tampak kesal. “Atau Said kita jodohkan….” “Ma, aku nggak mau dijodohkan. Aku baru saja bercerai. Kasihlah waktu. Dulu aku merasa terpaksa menikah karena perjodohan. Kali ini aku mohon dengan sangat berhentilah menjodoh-jodohkan,” potong Said cepat. Rema menghela napasnya. “Yang ketiga ini, kasihlah aku kesempatan mencari sendiri,” lanjut Said dengan nada memohon. Rema dan Adimas saling pandang. “Memangnya sudah punya calon?” tanya Rema seraya meraih sepotong baklava dan mengunyahnya. Dia amati wajah Said yang tampak jengah ketika disinggung mengenai calon pendamping hidup. Said melirik babanya. Dia tampak segan menjawab pertanyaan mamanya. “Yah. Nggak papa cari sendiri. Tapi usahakanlah yang satu rumpun. Abangmu sama Uzma, Sarah sama Hanif. Jelas keturunan mereka darimana,” kata Adimas. Dia meraih teh manisnya, dan menyeruputnya. Kakak Said yang bernama Saif, menikah dengan Uzma yang merupakan keturunan Arab. Lalu adik Saif yang bernama Sarah, juga menikah dengan laki-laki yang bernama Hanif, keturunan Arab Amerika. Adimas benar-benar ingin Said menikah juga dengan perempuan keturunan Arab. *** Rema yang berada di dalam dapur, mengawasi suaminya yang masih duduk di teras belakang. Tampak Adimas masih asyik berbicara dengan rekannya lewat telepon genggamnya. Saat merasa yakin bahwa suaminya masih terlibat pembicaraan yang cukup serius dan lama, Rema langsung memanggil anaknya yang sedang membawakan piring kosong dari teras belakang. “Said. Huna,” desis Rema pelan tapi tegas. Rema ingin Said mendekatinya. Said menurut. Dia mendekati mamanya setelah meletakkan piring ke atas meja dapur. “Iya, Ma?” “Memangnya kamu sudah punya calon istri? Mama liat tadi kamu segan jawab pertanyaan Mama.” Said mendengus tersenyum. “Iya, masih tahap perkenalan, Ma.” Rema menganga. “Man hiya?” tanya Rema dengan wajah keponya. Dia ingin tahu siapa yang diinginkan Said. “Anak teman,” jawab Said santai. Pandangannya tertunduk ketika mengingat wajah Ayu. Rema kembali mengawasi teras belakang. “Laisat Arabiyyan,” lirih Said pelan. Perempuan yang dimaksud Said bukan orang Arab. Rema menghela napasnya. Cukup tersentuh mendengar jawaban Said. Lalu dia tersenyum seraya menepuk pundak Said. “Masih muda, Ma. Belasan tahun,” “Ha? Kamu serius?” Said mengangguk lemah. Rema memegang dadanya. “Duh. Kayak Gema,” desahnya yang mengingat anak adiknya yang menikah di usia belasan tahun. Gadis yang keras kepala dan penuh tekad kuat. “Yah. Nggak mesti langsung menikah. Aku bersedia menunggu jika memang harus menunggu,” lanjut Said. Wajahnya berubah agak kecewa mengingat pesannya yang tidak dibalas, juga tatapan sinis Ayu ketika dirinya melambaikan tangan. Lebih-lebih, nomornya juga diblok. “Orang mana?” “Jawa Sunda, Ma. Papanya Jawa, mamanya Sunda. Tapi orangtuanya bercerai. Papanya menikah lagi, dan dia tinggal bersama papa dan mama tiri.” “Halah. Paling nggak suka kalo berasal dari keluarga yang cerai berai. Mama nggak suka.” Said tersenyum kecut. “Tapi aku menyukainya,” sanggahnya dengan wajah ceria. *** Meski wajahnya ceria, tapi sebenarnya Said kurang menyukai pernyataan mamanya yang terang-terangan tidak menyukai seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak utuh. Tidak salah menyukai orang yang berasal dari keluarga berantakan menurutnya. Buktinya, dua kali dia menikah dengan perempuan yang berasal dari keluarga alim ulama yang cukup terpandang, akan tetapi pada akhirnya bubar juga, malah pihak dari mereka yang bersikeras menggugat cerai darinya. Sebelum pamit pulang, Rema menyempatkan dirinya bertemu dengan Rasti. “Rasti, akhir-akhir ini apakah ada perempuan belasan tahun berkunjung ke rumah?” tanya Rema. Sebelumnya dia sudah menanyakan perihal gadis yang disukai Said, tapi Said tidak mau berterus terang. Bahkan terkesan tutup mulut. Rasti berpikir sejenak. Lalu dia menggeleng cepat. “Nggak ada, Bu,” jawabnya. Sekarang Rema yang terlihat berpikir. “Coba kamu ingat-ingat. Siapa tau ada,” “Duh, Bu. Emang setau saya nggak ada. Wong Pak Said selalu sendirian. Pulang kantor, langsung ke kamar, ke luar kamar saja kalo mau makan, atau merokok di teras depan.” Rasti mulai mencium bau-bau ikan asin. Dia amati mama majikannya dengan tatapan curiga. “Emang kenapa, Bu? Pak Said mau kawin lagi?” tanyanya iseng. “Kalo ibu nggak percaya, buka aja rekaman video rumah,” tantang Rasti karena Rema belum menjawab pertanyaannya. “Hm. Tadi dia bilang sedang dekat sama anak temannya. Masih muda. Nggak dia jelaskan teman yang mana. Yah, siapa tau kamu pernah liat gadis belasan tahun main-main ke mari.” Rasti manggut-manggut. Pikirannya sudah menjulang ke rumah depan. “Udah serius kayaknya Pak Said sama Non Ayu. Tak kirain cuma seneng-seneng. Eh, sudah ngadu ke mamanya,” batinnya. “Ya udah. Nanti kalo liat ada yang berkunjung, khususnya perempuan yang Said maksud itu, kamu coba fotoin, trus kirim ke saya.” “Waduh, Bu. Jadi paparazzi saya.…” “Ya iya. Saya nggak mau ada apa-apa di rumah ini. Kan kamu tau sendiri anak saya sudah dua kali bercerai.” “Yakin aja, Bu. Pak Said itu orang baik. Alim. Nggak mungkin berbuat yang nggak-nggak. Gimana sih, Ibu.” Rema menatap Rasti dengan tatapan sangat tajam. “I … iya, Bu. Siap. Saya laporkan kalo ada yang aneh-aneh,” ujar Rasti sambil meletakkan tangan kanannya di depan dahinya dengan gerakan hormat. “Awas lo,” ancam Rema dengan kilat mata tajam. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN