Said yang Aneh

1352 Kata
"Duh, Bu. Emang setau saya nggak ada. Wong Pak Said selalu sendirian. Pulang kantor, langsung masuk kamar, ke luar kamar saja kalo mau makan, atau merokok di teras depan." Rasti mulai mencium bau-bau ikan asin. Dia amati mama majikannya dengan tatapan curiga. "Emang kenapa, Bu? Pak Said mau kawin lagi?" tanyanya iseng. "Kalo ibu nggak percaya, buka aja rekaman video rumah," tantang Rasti karena Rema belum menjawab pertanyaannya. "Hm. Tadi dia bilang sedang dekat sama anak temannya. Masih lima belas tahun usianya. Nggak dia jelaskan teman yang mana. Yah, siapa tau kamu pernah liat gadis belasan tahun main-main ke mari..." Rasti manggut-manggut. Pikirannya sudah menjulang ke rumah depan. "Udah serius kayaknya Pak Said sama Non Ayu. Tak kirain cuma seneng-seneng. Eh, sudah ngadu ke mamanya," batinnya. "Ya udah. Nanti kalo liat ada yang berkunjung, khususnya perempuan yang Said maksud itu, kamu coba fotoin, trus kirim ke saya." "Waduh, Bu. Jadi paparazzi saya." "Ya iya. Saya nggak mau ada apa-apa di rumah ini. Kan kamu tau sendiri anak saya sudah dua kali bercerai." "Yakin aja, Bu. Pak Said itu orang baik. Alim. Nggak mungkin berbuat yang nggak-nggak. Gimana sih, Ibu." Rema menatap Rasti dengan tatapan sangat tajam. "I ... iya, Bu. Siap. Saya laporkan kalo ada yang aneh-aneh," ujar Rasti sambil meletakkan tangan kanannya di depan dahinya. "Awas lo," ancam Rema dengan kilat mata tajam. *** Rema was-was dengan apa yang diutarakan putranya. Menyukai gadis lima belas tahun? Menurutnya sangat tidak wajar. Muda sekali usianya. Belum pantas untuk dinikahi. Dan pastin gadis itu belum tahu apa-apa mengenai pernikahan. Ada-ada saja Said. Seleranya sudah berubah sekarang. Dan dia bersedia menunggu? Maksudnya apa? Berapa lama? Rasanya tidak mungkin ada seorang gadis lima belas tahun yang mau saja diajak kenalan dengan seorang duda. Biasanya usia segitu masih senang bermain bersama teman sebaya, dan sama sekali belum memikirkan pernikahan. Kecuali gadis yang tidak jelas pergaulannya. Kok Said mau? Duh. Rema berpikir keras. Rema kemudian mengingat keponakannya yang bernama Gema, 16 tahun, yang menolak dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dan itu adalah hal yang wajar menurutnya. Karena gadis yang akrab dengan anaknya itu memang sama sekali belum memikirkan pernikahan. Namun karena ulahnya, dia malah menikah dengan seorang duda dan tinggal satu atap dengan kekasih sang duda. Rema memejamkan matanya mengingat kisah keponakannya itu. Tidak sedikit yang menganggap Gema gila karena bisa hidup bersama dengan suami dan pacarnya. Yah, mungkin belum mengerti apa-apa mengenai pernikahan, karena usia Gema yang sangat muda. Dan Rema memutuskan untuk tidak menceritakan niat Said ke suaminya. Khawatir akan ada adu mulut yang tak berkesudahan antara Adimas dan Said. *** Wajah Rasti sangat cerah ketika Mbok Min menyerahkan undangan pernikahan Farid Malik Adam dan Renata Paris sore hari. Terbayang di benaknya senyum sumringah majikannya ketika dia menyampaikan undangan berukir emas tersebut. "Kepada Yang Terganteng ... eh, Terhormat Bapak Said Hassan Youdha. Beserta istri? Hahaha..., orang kaya kurang apdet. Hape saja puluhan juta, wong isu-isu terhangat antar tetangga tetap aja ketinggalan. Kalah sama kita-kita yang cuma punya ponsel berekecek..." gerutu Rasti saat membaca nama majikannya yang terukir sangat indah di kartu undangan mewah tersebut. Mbok Min yang di hadapannya mesem-mesem melihat sewot Rasti yang mengeja nama majikannya yang tertera di undangan. "Lha. Mbok nggak bilang ke Pak Guntur kalo Pak Said udah gak punya bojo meneh?" tanya Rasti. "Ya ini aja nikahannya buru-buru. Mana sempat konfirmasi, Rasti. Yang diundang di sini juga cuma Koh Liko dan Pak Said, sama kita-kita." "Ooo. Oke kalo gitu, Mbok. Aku sampein undangan ini dulu ya? Ayu gimana? Udah nggak kecewa lagi kan sama omnya?" "Halah. Nggak usah dibahas. Udah basi. Sekarang biarin dia muf on. Siapa tau sama duda seberang. Bilang ke Pak Said, kalo jadi, mbok ya ingat-ingat aku," ujar Mbok Min sambil menjentik-jentikkan ujung jempol dan telunjuknya. "Gimana sih? Kemarin tak tawari duit nolak ... sekarang berubah minta-minta." "Yaelah, Rasti. Kalo udah berhasil baru aku berani. Kalo urung, yang aku ora wani. Oke?" Rasti tertawa sambil mencibir. "Jadi sesuk mau ikut kita-kita naik Alphard?" "Iya iya ... mau meluuu." *** Dan apa yang diperkirakan Rasti sangat benar. Said dengan wajah binarnya mengucapkan terima kasih yang mendalam ke Rasti yang menyodorkan undangan pernikahan Farid dan Tata. "Terima kasih, Rasti. Saya pasti datang," ucapnya semangat. *** Tubuh Ayu yang tinggi semampai kini dibalut kebaya brokat coklat muda. Bawahannya berupa kain batik yang dililit cantik di sekeliling pinggangnya yang ramping. Rambutnya yang panjang digulung dan diberi konde berwarna keemasan. Make up di wajahnya sangat natural, karena kulit wajah Ayu sangat mulus lagi putih, tidak perlu banyak menghabiskan make up. Ayu anggun dan cantik hari itu. Sekilas dia terlihat bak perempuan berusia dua puluhan yang seharusnya sudah memiliki pasangan. Apalagi Ayu memegang pouch bowling bermanik emas dan mutiara, serta selop berhak tinggi juga keemasan, menambah dewasa penampilan Ayu. Pun Nayra, apa yang melekat di tubuh mungil Nayra senada dengan yang dipakai Ayu. Mereka terlihat sangat kompak. Sementara Guntur sudah gagah dengan jas hitamnya. Dia ditunjuk sebagai saksi pernikahan Farid dan Tata. Dan Guntur tersenyum puas melihat penampilan cantik istri dan anaknya yang sudah siap-siap menuju mobil yang sudah terparkir rapi di jalan depan kediamannya. Tiba-tiba ada yang menyapa Guntur dan keluarganya dari arah depan. Seorang pria gagah berpakaian batik kecoklatan dan berkacamata rayban turun dari mobil sport hitam yang sebelumnya hendak dikendarainya. "Wah. Apa kabar, Pak Said?" sapa Guntur ketika Said berjalan cepat ke arahnya dan menyodorkan tangan kanannya. "Selamat ya. Mabruk. Ada dua pernikahan dalam tahun ini ... Masya Allah," ucap Said dengan senyum lebarnya sambil sesekali melirik kagum ke arah Ayu. Ayu tentu saja gelisah. Wajahnya tertekuk. "Wah. Terima kasih banyak ucapannya, Pak Said. Oiya, ini istri saya, Nayra. Ini Ayu, anak saya..." ujar Guntur yang memperkenalkan anak istrinya ke Said. Said tentu semangat menyalami keduanya. "Maaf, saya ada tugas di Dubai waktu pernikahan Pak Guntur dan Ibu. Jadi saya tidak bisa memenuhi undangan pernikahan Pak Guntur dan Ibu," ucap Said ramah ketika menyalami Nayra. Kepalanya sedikit tertunduk. Guntur tergelak mendengar ucapan maaf dari tetangganya itu. "Yah nggak papa, Pak Said. Kan ada Rasti yang mewakili," timpal Nayra. Dia juga sangat sopan. Lalu Said tidak lupa menyerahkan tangan kanannya ke hadapan Ayu. "Ayo. Salim," senggol Nayra ke Ayu yang terlihat enggan menyalami tangan Said yang sudah tersodor ke hadapannya. "Said," ucap Said tegas. "Ayu," balas Ayu pelan. Wajah Ayu berubah cemberut. Said sepertinya tidak kuasa memaksa Ayu untuk menyalaminya. Dia biarkan tangan Ayu seakan menepis tangannya. Guntur dan Nayra terlihat sungkan dengan sikap Ayu yang agak pongah waktu itu. Tapi keduanya memaklumi sikap Ayu yang memang terkesan angkuh ketika bertemu dengan orang yang baru atau belum dikenalnya. "Dan kali ini saya mantap menghadiri pernikahan Farid, Bu," ujar Said dengan nada senang. "Wah. Terima kasih banyak, Pak Said," ucap Nayra dan Guntur bersamaan. "Mari, Pak Guntur. Saya mohon diri," "Iya. Iya. Silakan. Sampai jumpa, Pak Said." Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi deru mesin diiringi klakson kode dari mobil Said yang meluncur menuju gerbang perumahan. Dan Guntur sedikit terkesima saat mengamati mobil Said berlalu. "Ayo. Giliran kita," ucapnya akhirnya. *** "Kenapa, Yang? Kok kayak mikirin sesuatu?" tanya Nayra ke Guntur yang sudah mulai menjalankan mobilnya menuju luar gerbang. Dahi Guntur memang terlihat mengernyit sejak mengamati mobil Said. "Nggak. Kamu liat ada yang aneh nggak dengan mobil Said?" tanya Guntur ke Nayra. Ayu yang di belakang cemas mendengar pertanyaan papanya. Dia mengira apa yang akan dijelaskan papanya berkaitan dengan dirinya. Nayra menggeleng. "Haha, dia sendirian di mobil. Nggak ada yang mendampingi," kata Guntur. "Yah. Mungkin istrinya sedang pergi ke suatu tempat," duga Nayra. Guntur tersenyum menyeringai. "Dulu memang bercerai. Tapi dia menikah lagi setelahnya. Masa cerai lagi?" "Ah itu tebakan kamu aja, Yang," "Aneh aja. Memang kita jarang komunikasi. Tapi ya tegur sapa tetap kalo bertemu seperti tadi. Syukurlah, dia bisa memenuhi undangan. Dia itu jarang sekali datang jika diundang." "Yah. Maklum, Yang. Kan Rasti bilang Pak Said itu diplomat. Sering wara wiri luar negeri.…" "Iya juga ya?" Guntur tiba-tiba melirik Ayu yang sedari tadi diam tidak berceloteh lewat spion. "Yu. Nanti cari suami diplomat saja kalo Ayu sudah cukup umur. Ayu bisa keliling ke mana-mana..." goda Guntur. Dan Ayu mencibir mendengarnya. Dia bergidik membayangkan diplomat seperti Said. Aneh menurutnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN