Ih, Sebel

1471 Kata
Ayu senang. Besok Mama dan Papa akan pulang dari Bintan. Dengan semangat dia membantu Mbok Min dan Bu Sari membersihkan dan merapikan rumah. Tidak mereka saja yang bekerja, setidaknya ada dua pegawai lainnya yang sedang membersihkan kolam renang dan taman belakang. Sementara Pak Johan asyik bersiul-siul ria mencuci mobil yang akan dipersiapkan untuk menjemput sang majikan. "Udah, Non. Rehat. Nggak perlu capek-capek bantu-bantu," cegah Bu Sari. Ayu yang sedang melap-lap pajangan-pajangan di atas sebuah lemari kecil di ruang tamu tertawa kecil mendengar Bu Sari mencegahnya. Tiba-tiba Mbok Min muncul dari dapur. Sepertinya dia baru menuntaskan rasa haus. Terdengar dia berdecak lega begitu mendekat Ayu dan Bu Sari di ruang tamu. "Duh. Cah Ayu. Rajin amat. Mentang ditaksir duda sugih," goda Mbok Min sambil meraih kain lap dari Ayu dan mengambil alih kerjaan Ayu. "Ih, Mbok. Ayu mau kerjain," sungut Ayu kesal. Sebelumnya dia sudah tenang bekerja. Ini malah diambil alih, eh, digoda lagi. "Halah. Non Ayu mbok ya duduk manis aja. Ini mana majikan, mana pembantu?" balas Mbok Min. Tapi melihat wajah cemberut Ayu, Mbok Min menyerahkan kembali kain lap ke Ayu. Dan Bu Sari tentu terperangah mendengar godaannya sebelumnya. "Lha, Min? Beneran dudo depan naksir Non Ayu?" tanyanya mulai menyelidik. Mbok Min mengamati wajah Ayu sesaat. Sepertinya Ayu sudah mulai asyik dengan kerjaannya. "Iya, Bu Sar. Wong kemarin itu Rasti datang ke mari ikutan cari kutune Non Ayu dalam rangka ingin memperkenalkan Abu Said sama Non Ayu," tegas Mbok Min dengan gaya khasnya, wajah serius dengan mulut sedikit mencebik serta mata besarnya menari-nari. Wajah Bu Sari perlahan mendongak. Lalu manggut-manggut tersenyum menyeringai. Gosip baru nih, batinnya sambil melirik wajah cantik anak majikan. Ayu tampak jengah, tapi dia tetap bekerja. "Jadi pas dia bilang tetanggaku menantuku itu memang serius, Min?" tanyanya memastikan. Mbok Min mengangguk. "Walah ... kalo jadi ini bakal jadi nobar malam pertama episode loro," kikik Bu Sari yang mengingat dirinya duduk-duduk bersama teman-temannya di depan jendela samping kamar Guntur saat malam pertama berlangsung sangat panas dan penuh drama. "Halah, Bu Sari ini gimana sih. Kemarin ngelarang Ayu sama Wan Said. Sekarang malah berubah. Aku jadi ikutan ngelarang. Tapi yo sayang juga kalo nggak jadi. Ganteng lo, banyak duitnya. Mau kenalan sama Non Ayu saja, Rasti udah ketiban dua puluh jutaaaa," tutur Mbok Min sambil senyum-senyum mengamati Ayu. Ayu hanya mampu menghela napas. Dia semakin jengah. Sikap dua asisten keluarganya ini sangat membingungkan. Awalnya melarang, sekarang tampaknya malah mendukung Rasti. "Ha? Dua puluh juta? Waduh ... kamu nggak dibagi?" "Satu mangkok bakso." "Lho?" "Mbuh ikut-ikutan, Bu. Biar Rasti tanggung jawab tugasnya. Nggak mau urus keluarga orang. Wong aku kerjo sama Bu Hanin." Bu Sari memandang kagum Mbok Min. Dia tahu betul, Mbok Min meski sedikit bawel dan agak pemalas, tapi kesetiaannya sangat teruji. "Wah. Kok bisa naksir Non Ayu yo, Min? Perasaan Said itu jarang keliatan lo. Masih mending majikannya Uli, masih negur sapa," gumam Bu Sari sambil membelai rambut Ayu yang panjang berkilau. "Yah. Mungkin karena sering ke luar negeri, Bu." "Lha, justru sering ke luar negeri kenapa bisa naksir Non Ayu? Wong Non Ayu jarang-jarang ke luar juga." "Iya juga ya, Bu? Aneh...." Ayu juga tampak ikut berpikir. Bagaimana bisa Said mengetahui nomor kontaknya. "Apa Non pernah berpapasan sama Pak Said?" tanya Mbok Min ke Ayu yang mulai menghentikan kerjaannya. Ayu menggeleng. Dia memutuskan untuk tidak memberitahu mereka berdua perihal pesan dari Said tempo hari. Dia sendiri juga bingung. "Tapi Non pernah liat orangnya nggak?" Ayu mengangguk. Mbok Min dan Bu Sari saling pandang keheranan. "Kemarin sore, Mbok. Dia ngintip dari jendela rumahnya yang di lantai dua," "Non Ayu liat?" Ayu mengangguk. "Ganteng kan, Non?" goda Mbok Min. Bu Sari turut mengiyakan. Ayu hanya mengangkat bahu. Tapi menurutnya Said tampan. Dia sempat sekilas melihat wajah Said yang dihiasi jambang dan kumis tipis yang dicukur rapi. Juga postur tubuh yang tinggi dan berisi. Meski Said berdiri di depan kaca jendela besarnya yang berasa di atas lantai dua rumahnya dan berjarak agak jauh dari rumah Guntur, ingatan dan penglihatan Ayu lumayan tajam. "Bu Sari tahu keluarga depan?" tanya Mbok Min. Dia yang semula berdiri, mengajak Bu Sari duduk di bangku panjang kayu jati yang ada di sekitar mereka. Ayu ikut diseretnya duduk di sampingnya. "Nggak terlalu sih, Min. Cuma dulu pernah dengar-dengar rumah yang Said diami sekarang ini sebelumnya bukan punya Said. Tapi punya sodara iparnya Said. Namanya Akhyar. Hadiah perkawinan Said yang pertama ceritanya. Aku juga pernah liat mantan istrinya yang pertama, Bu Suha. Baik banget. Suka ngasih makanan ke Pak Edi dan kawan-kawan. Aneh aja begitu dengar mereka cerai. Kalo Bu Hawa nggak pernah liat malahan. Mungkin karena sering diajak ke luar negeri atau punya rumah lain. Nggak ngerti juga aku.…" Mbok Min manggut-manggut. Sebagai orang yang lumayan lama bekerja di rumah Bu Hanin, tentu Bu Sari paham mengenai kehidupan tetangga sekitar. Apalagi Bu Sari juga sangat disegani di kalangan para ART komplek. "Keluarganya emang kaya-kaya, alim-alim. Cuma kurang ramah dan sombong-sombong. Yah biasalah. Akrabnya sesama mereka saja. Nah, Kalo Non Ayu masuk ke sana, bisa hilang sombong mereka. Gimana, Non?" tawar Bu Sari yang usil mencolek pinggang Ayu. "Ih. Bu Sari mah. Sama aja dengan Mbok Min," rutuk Ayu. Mbok Min dan Bu Sari tertawa melihat reaksi kesal Ayu kala digoda. *** Malamnya Ayu yang pikirannya dipenuhi wajah cerah mamapapanya yang akan pulang ke rumah besok, dengan semangat dan penuh senyum menarik selimutnya. Terbayang kehidupannya akan kembali normal seperti biasa lagi. Apalagi akan ada pesta pernikahan Om Farid dan Tante Tata, Ayu sudah membayangkan keluarga besar akan berkumpul di suatu tempat, merayakan pesta yang pasti akan meriah. Inilah yang Ayu impikan, hidup bersama keluarga yang saling mendukung, saling sayang dan saling memahami. Ditambah para asisten rumah yang baik-baik dan selalu memberinya perhatian. Ayu sangat bahagia dengan kehidupannya sekarang. Tidak seperti sebelumnya, selalu bertiga saja dengan Mami Mila dan Daddy Richard. Itupun jarang ada komunikasi di rumah, karena mereka yang luar biasa sibuk. Ayu juga jarang diajak berkunjung ke rumah kerabat atau ke tempat lain. Les pun dilarang maminya. Ayu merasa terkekang. Tapi senyumnya surut karena bayang-bayang sang duda depan tiba-tiba muncul di benaknya tanpa permisi. Ayu membuka matanya kembali. "Ih, sebel," rutuknya sambil memejamkan matanya kembali kuat-kuat berharap bayang-bayang tampan Said hilang dari pikirannya. *** Ayu meluapkan kerinduan mendalam ketika melihat kedatangan Mama Nayra dan papanya di gerbang kedatangan Bandara. Dia berlari menuju Nayra dan memeluknya kuat-kuat. Dia tumpahkan perasaannya yang selama ini dia tahan. Nayra mengusap-ngusap punggung anak sambungnya itu sambil terus membujuk. Diapun menyanggupi permintaan Ayu yang ingin ditemani tidur malam ini di kamarnya. *** Dan ternyata Guntur juga ikut tidur di kamar Ayu. "Udah hilang kutunya?" tanya Nayra sambil membelai rambut Ayu yang rebahan di sampingnya, sesekali diciumnya wangi rambut anak sambungnya itu. Sementara Guntur tampak berbaring santai di atas kasur tipis sebelah dipan, mengamati keduanya. "Iya, Ma. Habis dicariin kutu, Mbok Min bantu keramasin rambut Ayu sambil dikucek-kucek pake kain putih. Dia tunjukin kain putihnya ke Ayu. Hi ... kutu dan telur-telurnya lengket di situ. Eh, ama Bu Sari berdua Mbok Min berebutan matiin kutu-kutu. Hihihi.…" Nayra tertawa mendengar cerita Ayu. Terbayang dua ART itu sedang mengurus anak gadisnya sambil berceloteh seru. "Kok nggak pake pembasmi kutu?" sela Guntur bertanya. "Tau tuh Mbok Min. Katanya lebih seru kalo dipites-pites kutu-kutunya. Puas gitu katanya. Bu Sari juga ikutan. Lucu deh, Pa." "Papa peratiin kamu gendutan, Yu." "Ya iyalah, Kalo Ayu kepingin apa aja, Mbok Min dan Bu Sari selalu nyanggupin. Sampe-sampe Pak Jo juga mau jalan jauh ... cariin makanan buat Ayu ... hahaha," "Ayu ikutan juga jalan sama mereka?" "Iya dong, Ma. Ketawa terus sepanjang jalan. Ada aja celoteh mereka yang bikin Ayu ketawa. Tapi tetap kangen Mamaaaa…." Ayu memiringkan tubuhnya dan memeluk Nayra. "Nggak kontak sama Om dan Tante?" tanya Nayra sambil mengusap pipi Ayu. Ditatapnya Ayu yang masih memendam kerinduan mendalam terhadap dirinya. "Hm ... Om Farid pernah sekali pesan ke Ayu, katanya Tante Rena udah dapet sekolahan yang pas buat Ayu. Tapi ntar ke sananya setelah pernikahan," jawab Ayu semangat. "Duh. Sebenarnya kemudaan si Farid menikah. Tapi apa boleh buatlah. Semoga lancar nantinya ke depan," harap Guntur. Sebenarnya dia masih sangat berharap dengan perjodohan yang sebelumnya sudah diatur ibunya antara adik iparnya itu dengan putrinya. Dan setelahnya Ayu yang masih dengan perasaan senangnya terus bercerita tentang keadaan dirinya selama ditinggal papamamanya selama kurang lebih satu pekan. Saking bahagianya, dia lupa dengan perasaan gundahnya terhadap duda seberang rumah. *** Sementara itu di rumah seberang... Rasti kini tampak bersemangat bekerja. Sejak dirinya pulang dari menraktir bakso tetangga depan, tampaknya Said mulai menunjukkan sikap lebih ramah. Said yang biasa cuek bahkan tidak menyapa para pegawai rumahnya, kini mulai membuka diri. Teman-teman Rasti yang bekerja di rumah itu turut merasakan aura positif Said. Mereka bahkan berpendapat sepertinya majikan mereka lebih baik duda saja ketimbang memiliki istri. Masalahnya selama beristri, Said jarang terlihat senyum ketika berada di rumah juga tidak ramah saat memerintah. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN