Ternyata harapan Ayu yang akan senang ketika berkumpul bersama keluarga besar --di gedung di mana pernikahan Farid dan Tata berlangsung-- tidak seperti yang dibayangkannya. Dia lebih banyak diam, juga tidak tenang. Terutama saat dia dan mamapapanya baru saja tiba di dalam gedung sebelum acara inti dimulai. Mereka diajak bergabung untuk menyambut dan melayani tamu-tamu khusus yang datang dari luar negeri.
Yang membuat Ayu tidak senang saat itu adalah keberadaan Said yang selalu dekat dengan papanya. Guntur memang sengaja meminta Said yang pandai bicara dalam beberapa bahasa asing ini menemaninya ikut menyambut para tamu pernikahan adik iparnya, terutama dari Eropa dan Timur Tengah.
Tampak Said tidak menyia-nyiakan kesempatan curi-curi pandang bahkan mengamati Ayu secara detail dari jarak yang sangat dekat. Beberapa kali mata Said dan mata Ayu beradu pandang. Beberapa kali pula Ayu berdecak kesal. Kenapa orang aneh itu selalu mendekati papanya. Sementara mamanya, juga diminta tidak jauh-jauh dari posisi Guntur.
Tapi perasaan Ayu perlahan tenang ketika proses ijab kabul dimulai. Sebagai bagian dari anggota keluarga pihak mempelai laki-laki, Ayu duduk di dekat mama dan kedua eyangnya. Papa Gun sendiri tentu duduk di meja seputar penghulu, wali nikah, dan kedua mempelai, karena bertindak sebagai saksi pernikahan.
Mata Said yang duduk bersebrangan dengan anggota keluarga pihak Laki-laki tidak berkedip memandang Ayu. Yang menarik, saat ijab kabul diucapkan secara lancar oleh Farid, Said memejamkan matanya, berharap kata-kata itu akan dia ucapkan untuk ketiga kalinya suatu saat. Membayangkan Ayu yang akan berada di sisinya di depan wali dan para saksi.
Dan Said menghela napas panjang ketika ucapan ijab kabul selesai. Dia pandang lagi Ayu yang tampak gelisah ingin beranjak dari tempat duduknya. "Masya Allah. Jamilah," decaknya dalam hati penuh rasa kagum. (Cantik)
***
Perasaan jengkel Ayu semakin bertambah ketika dirinya memandang seperangkat es kacang merah yang sudah tertata rapi di dalam wadah-wadah kecil di sebuah stan. Cukup banyak orang yang berdiri di area itu ingin menikmati minuman segar tersebut. Baru saja dirinya hendak beranjak ke sana, ada yang sudah menawarkannya dengan sopan.
"Ini. Buat Adek," ucap Said yang tiba-tiba menyodorkan wadah kecil berisi es kesukaan Ayu ke hadapan Ayu. Ayu tentu saja kaget. Ini sama sekali tidak dia harapkan. Said benar-benar meresahkan. Dia tahu saja celah di mana Ayu duduk sedang tidak ditemani keduaorangtuanya.
"Nggak usah, Pak," tolak Ayu yang masih dibalut perasaan kaget bercampur gelisah.
Said tersenyum simpul mendengar kata 'Pak' dari mulut pink Ayu. Setua itukah dirinya?
"Panggil Abang aja, Dek," ujar Said sambil tetap menyodorkan mangkuk tersebut ke hadapan Ayu. Dia mulai berani memaksa.
Ayu yang menyadari ada beberapa mata asing yang memandang dirinya, akhirnya menerima pemberian Said. Said pun tidak mampu menahan rasa senangnya. Namun, dia cukup tahu diri. Tahu bahwasanya kehadirannya tidak diharapkan Ayu, Said perlahan menjauh.
***
Ternyata...,
"Waduuuh. Sudah pedekate Wan Said, Bu eeee," decak Mbok Min sambil mencolek pinggang Bu Sari. Matanya tidak lepas dari posisi Ayu yang lumayan jauh di seberang.
Bu Sari jadi ikutan memandang Ayu dan Said yang tampak bercakap-cakap.
"Tuh. Bener kan. Udah ancang-ancang," sela Rasti yang juga duduk di dekat mereka berdua. Ada Uli juga di sampingnya.
"Lhaaa, piyee. Kok Pak saidnya malah pergi dan nggak duduk di samping Ayu, padahal bangkunya kosong lho," gerutu Mbok Min. Dia yang awalnya semangat melihat kedekatan keduanya, kini berubah kesal.
"Gimana mau deket-deket. Wong muka Ayu cemberut gitu," Bu Sari ikut mengomentari gelagat Ayu.
"Kira-kira dimakan Ayu nggak ya esnya?" gumam Uli.
Lalu keempat perempuan itu memutuskan menunggu reaksi Ayu yang masih duduk sembari memegang wadah kaca kecil berisi kudapan segar. Ayu tampak sebentar menoleh ke arah punggung Said, ingin memastikan tubuh tinggi itu menjauh dan berbaur di kerumunan para tamu-tamu lainnya.
"Alhamdulillah," ucap Bu Sari dan teman-temannya ketika Ayu akhirnya mendaratkan suapan pertamanya ke mulutnya.
"Wah, Pak Said sudah tau seleranya Ayu," decak Bu Sari kagum.
Mbok Min dan Rasti hanya saling pandang menahan senyum.
***
Hari-hari Ayu kembali seperti sedia kala. Ayu dengan cepat menghilangkan gelisahnya yang merasa selalu diperhatikan Said. Ini juga karena Mbok Min dan Bu Sari tidak lagi menggodanya dengan menyebut-nyebut duda tampan dua kali cerai itu di depannya, setelah acara pernikahan Farid. Sepertinya Mbok Min dan Bu Sari memahami perasaan Ayu yang tidak menyukai ketika dirinya dikaitkan dengan Said.
Bu Sari memang sempat mengingatkan Mbok Min yang selalu semangat jika membicarakan Ayu dan Said. Bagi Bu Sari, reaksi jutek Ayu ketika dihampiri Said saat acara pernikahan, cukup menunjukkan bahwa Ayu memang sama sekali tidak menyukai Said. "Nggak usah digoda-goda lagi, Min. Kasihan. Dia baru menyelesaikan terapinya. Baru mau senang-senang karena papamamanya juga baru pulang. Nek jodoh nggak bisa dipaksa-paksa. Lagian, Ayu masih belasan tahun. Pasti dia sebenarnya nggak suka kita-kita yang godain dia dengan Said. Cuma dia nggak bisa marah. Ayu kan memang begitu orangnya. Kalo marah, cuma cemberut, karena hati dan perasaannya halus. Ingat saja dulu, meski gayanya sok, tapi sebenarnya dia itu banyak sekali tekanan. Jangan sampai membuat dia galau lagi."
Akhirnya Mbok Min menyetujui usulan bijak Bu Sari.
Dan kebahagiaan Ayu memuncak saat mendapat kunjungan khusus pagi ini. Farid dan Tata ternyata hendak mengajaknya pergi mengunjungi sebuah sekolah bertaraf internasional yang lokasinya ternyata tidak terlalu jauh dari rumah. Sekitar lima belas menit jika ditempuh dengan kendaraan pribadi.
"Asyik kan sekolahnya?" tanya Tata. Mereka sedang menikmati makan siang di kantin sekolah tersebut.
Ayu mengangguk mantap. Tentu saja dia senang. akhirnya dia mendapatkan sekolah bagus yang menunjang minat dan bakatnya di bidang teatrical dan peragaan busana. Sekolah tersebut ternyata juga sedang menyelenggarakan program penyaringan para pelajar yang yang memiliki minat dan bakat modelling. Dan program tersebut tidak lama lagi akan segera dilaksanakan.
"Om kapan berangkat ke Caen?" tanya Ayu manja ke Farid yang duduk di sampingnya.
"Dua bulan lebih lagi, Yu," jawab Farid sambil merangkul Ayu. Dia tahu Ayu merasa sedih jika membahas keberangkatannya. Dan Farid tampak berusaha menenangkan keponakannya tersebut.
"Nggak usah sedih dong, Yu. Kita tetap bisa komunikasi. Ingat. Rajin belajar, fokus sama kegiatan yang Ayu senangi. Kita berdua kan bakal balik ke mari juga," bujuk Tata dengan senyum hangatnya. "Kita senang-senang lagi. Ok?" tambahnya menyemangati Ayu.
Ayu hanya mengangguk-angguk mendengar bujukan Tata. Dia belum bisa menghilangkan perasaan sedihnya membayangkan dua orang yang sangat menyayanginya yang ada di hadapannya sekarang akan pergi jauh dalam jangka waktu yang cukup lama.
Dan gundahnya semakin menjadi saat Farid dan Tata mengantarnya pulang dari sekolah.
Wajah Ayu berubah pucat ketika mobil yang dikendarai Tata perlahan berhenti tepat di depan rumahnya. Dilihatnya papanya sedang berdiri di sisi jalan utama depan rumah berbincang akrab dengan Said. Tampak Said sesekali menoleh ke mobil yang dia tumpangi.
Setelah turun dari mobil, Farid yang menyadari perubahan wajah Ayu yang tidak biasa, akhirnya bertanya mengenai apa yang dikhawatirkan Ayu. Tapi Ayu diam saja sambil terus menekuk wajahnya.
"Makasih, Om. Tante Rena," ucap Ayu sambil memeluk Tata dan Farid bergantian. Namun Ayu cukup lama memeluk Farid. Dia palingkan wajahnya ke Said yang kebetulan juga menoleh ke arahnya yang sedang berada di dalam pelukan Farid.
Said hanya tersenyum kecut melihat keakraban Ayu dan Farid.
Bersambung