Matahari sudah berada di atas ubun-ubun, saat Bianca baru tersadar dan kepalanya terasa sangat berat seperti dihantam oleh beban yang sangat dahsyat. Ia meringis kesakitan. Untungnya tirai jendelanya bisa menahan cahaya matahari yang terlihat terik di luar sana. Ia ingat semalam ia diantar oleh Sisil yang masih bisa terjaga dari pengaruh alkohol. Tapi ia tidak melihat dimana Sisil berada, apakah ia langsung pulang atau menginap semalam disini?
Pertanyaannya sudah terjawab ketika ia melihat ada sticky notes di nakas samping kasurnya yang mengatakan kalau ia akan pulang duluan sebelum Bianca bangun.
“Sudah bangun?” Sebuah suara mengagetkan Bianca. Ia melihat Erlangga tengah bersandar dari daun pintu kamar sambil menyilangkan kedua tangannya di d**a.
“Kok kamu ada disini?” Suara Bianca terdengar parau. Ia lupa minum air putih. Sebelum ia menoleh ke samping nakas yang tidak ada persediaan air. Erlangga sudah memberikannya lebih dulu.
“Thanks.” Bianca langsung meneguknya habis.
“Minum ini juga untuk menghilangkan pengarnya.” Pria itu memberikan satu tumbler berukuran sedang yang ternyata berisi air madu hangat.
Bianca menuruti sekali lagi. “Kamu belum jawab pertanyaan aku.”
“Aku sudah ada disini sejak tadi malam. Kamu mematikan ponsel jadi aku tidak bisa menghubungimu. Maka dari itu aku datang kesini dan menunggu kamu. Aku pikir kamu sedang lembur di kantor tapi ternyata sedang party.” Erlangga menjelaskan dengan tatapan tajam dan nada suara yang dalam.
Rencananya yang paling pertama sudah berhasil. Dia memang sengaja mematikan ponsel karena terlalu kesal dengan pria itu yang tidak ada niatan baik untuk menjelaskan apa yang terjadi terakhir kali mereka bertemu.
“Ini sudah sampai hari Sabtu dan kamu baru bisa menemui aku?” Bianca tidak tertarik lagi bagaimana upaya pacarnya untuk menemui dirinya tadi malam, dan apakah ia bertemu dengan Sisil atau tidak.
“Aku sudah menghubungimu. Berusaha menghubungimu.” Jawabnya santai. Seperti biasa.
“Yang mana baru berusaha menghubungiku pada Jumat malam. Bukan pada hari-hari sebelumnya.” Bianca sepertinya bisa lebih cepat sadar jika pembahasannya seperti ini.
“Kamu kan tahu, aku sulit menghubungimu karena lagi sibuk.” Tangannya mengusap-ngusap keningnya yang berkerut.
“Aku tahu. Jika hari-hari kita tidak sedang dalam masalah, aku masih bisa paham. Tapi bukannya minggu lalu apa yang terjadi tidak masuk hitungan dalam mode ‘biasa-biasa’ saja?”
Erlangga diam saja. Dia rupanya bisa menyadari dari sikap dan nada suara pacarnya yang sudah mulai meninggi.
“Sebaiknya kamu merapikan diri kamu dulu. Sehabis itu mari kita obrolin lagi.” Erlangga mencoba menarik lengan Bianca dan mendekapnya ke dalam pelukannya yang hangat. “Maafin aku ya, sudah tidak peka. Seharusnya memang aku bisa langsung menjelaskan apa yang terjadi. Bukannya malah menghilang. Bukannya aku sudah melarangmu untuk mabuk-mabukan lagi, apa lagi jika nggak sama aku? Kalau ada pria jahat yang gangguin kamu gimana?”
“Kalau aja kamu bisa memberitahuku lebih awal. Tidak akan sampai seperti ini.” Bianca tidak terima jika keadaannya dibalik.
Erlangga hafal betul sifat Bianca, maka dari itu dia tidak meneruskan lagi topik ini sesudah meminta maaf. Gadis itu langsung memaafkan dan bisa bersikap seperti selayaknya mode ‘normal’ mereka.
“Kita makan siang dulu ya. Aku sudah beliin makanan.”
“Aku bebersih dulu ya.”
Erlangga mengangguk setuju lalu meninggalkan kamar untuk memberikan ruang pribadi kepada Bianca. Gadis itu langsung bangkit dan melihat seberapa mengerikannya dirinya begitu ia melihat cermin.
Setelah selesai mandi dan menggunakan kaus rumah yang nyaman yaitu kaus oblong dan celana pendek kesukaannya. Dirinya melihat dari celah pintu kamar bahwa Erlangga sedang berada dalam telepon dan sedang terlibat pembicaraan yang serius.
“Iya sebentar lagi aku pulang.” Ujarnya lembut. Nada suaranya bukan seperti berbicara ke teman atau rekan kerja. Ada sesuatu yang aneh. Tapi, Bianca masih belum yakin. Bianca masih bergeming. Menunggu.
“Aku tahu, sabar ya. Sebentar lagi aku pulang. Ada yang harus aku lakukan di sini.” Kini, nada suara pria itu makin melembut. Seperti bukan berbicara ke teman, rekan kerja atau bahkan.. saudara sendiri?”
“Hunn, kamu lagi ngobrol sama siapa?”
Begitu Erlangga menyadari kehadiran Bianca, ia tersentak kaget. Bianca dengan jelas melihat perubahan sikap itu. Apa yang sebenarnya yang Erlangga sembunyikan darinya?
“Bukan siapa-siapa kok.” Pria itu buru-buru menaruh ponselnya ke dalam saku bajunya. Mengamit tangan Bianca dan menuntunnya ke meja makan.
“Apa kamu yakin itu bukan seseorang yang kamu kenal? Kok dari nada bicara dan juga pembicaraan seperti dia lagi menunggu kamu?”
Erlangga terdiam. Dia menatap Bianca lekat-lekat. Ada perbedaan yang Bianca sadari dari tatapan pacarnya kini. Yaitu, tatapan menyelidik. Seolah pria itu ingin memastikan apakah Bianca mendengar pembicaraan?
“Sebenarnya, aku udah ada janji dengan seseorang.” jawabnya kemudian. Setelah menghembuskan nafas berat.
Tidak cocok. Alasannya tidak cocok dengan kalimat bahwa ia akan sebentar lagi pulang. Batin Bianca.
“Oh ya? Siapa?” Tapi Bianca ingin mencoba mengikuti arah pembicaraan dari pacarnya. Matanya sambil menelisik ke raut wajah dan apa saja pergerakan yang pria itu lakukan. Katanya, semakin seseorang berbohong maka bagian tubuh yang jauh dari wajah akan kesulitan mengendalikan. Seperti, menyentuh hidung, mengusap-usap paha. Wajah mungkin bisa disetel untuk biasa-biasa saja. Tapi bagian tubuh lain tidak sepenuhnya mampu.
“Adikku, kamu ingat kan? Dia lagi di apartemenku sekarang. Kabur dari rumah karena orang tuaku melarangnya pacaran dengan pacarnya sekarang.”
Ah, adik. Erlangga memang punya adik perempuan yang saat ini sudah menduduki bangku sekolah menengah atas tahun terakhir.
“Sejak kapan dia ada di sini?”
“Dua hari yang lalu.”
Dengan asumsi bahwa baru hari ini mereka kembali bertemu. Pasti saja, Erlangga belum memberitahunya.
“Aku tadinya mau memberitahumu. Setelah masalah ini selesai. Maaf yah.” Erlangga buru-buru meminta maaf ketika melihat raut wajah Bianca berubah menjadi sedikit muram.
“Kenapa menunggu sampai selesai? Apakah menurut kamu aku bukan seseorang yang bisa diajak berdiskusi atau ikut mencari jalan keluarnya?”
Erlangga bergeming. “Aku tidak berpikir sejauh itu. Karena aku pribadi juga tidak setuju dengan sikap Fira.” Fira adalah nama adik perempuan Erlangga satu-satunya. Mereka hanya dua bersaudara.
“Aku pikir, hubungan kita sudah sejauh itu.”
Bianca mengaduk-aduk sup daging yang dibeli oleh Erlangga. Tidak berselera untuk memakannya satu suap sendok pun.
“Aku hanya tidak ingin membuatmu terbebani.”
“You don't get my point, Erlangga.” Perempuan itu kini bangkit dari kursi berjalan menuju dapur dan mengeluarkan satu botol air mineral dingin. Meneguknya hingga habis. Sejak tadi kepala dan hatinya tidak bisa berhenti bekerja lantaran melihat Erlangga dan memperlihatkan bagaimana pria itu merespon setiap perkataannya.
Erlangga kemudian bangkit dan menghampiri kekasihnya. Memeluknya dari belakang dengan erat. “Hunny, stop berpikiran seperti itu. Kamu harus percaya bahwa aku pasti akan memberitahumu pada waktu yang tepat.” suara melembut. Seperti waktu Erlangga berbicara di telepon.
Pikiran buruk kembali muncul ke permukaan. Tapi, Bianca tidak menunjukkannya. Ia kini berbalik dan menatap Erlangga dari jarak yang cukup dekat. “Kalau gitu, aku boleh bertemu dengan Fira? Siapa tahu dia mau cerita kalau sesama perempuan?”
Bianca baru mengingat, bahwa hampir dua bulan ini dia sudah jarang datang ke apartemen milik Erlangga. Pria itu kerap sekali mengajak ketemuan di luar atau di apartemen miliknya.
“Nanti aku atur yah. Untuk saat ini biarkan dia menyendiri dulu.”
Jawaban Erlangga, sekali lagi tidak biasa. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi, Apa?