Part 1: Panggilan Sayang (?)
“Kenapa ya cowok orang keliatan lebih menarik dibanding cowok sendiri?” ujar Bianca Janitra berkata pada dirinya sendiri setelah melihat Dion, pria yang dikenalnya sebagai rekan kerja baru saja lewat di depannya sambil menyapa semua orang di dalam ruangan besar ini.
Disebelahnya ada Sisil, rekan kerja satu perjuangannya di divisi accounting sebagai senior accounting staff bersama dengan Bianca, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku rekan kerja yang sudah menjelma sebagai sohibnya selama empat tahun bersama-sama.
“Masih aja kesemsem sama cowok orang.”
Bianca tidak menanggapi.
“Puas-puasin deh, karena katanya sebentar lagi doi udah mau nikah.” Perkataan Sisil sontak langsung membuat Bianca menoleh.
“Sumbernya kali ini valid?” tanya Bianca serius.
Sisil mengangguk.
“Yang bener? Dari tahun lalu gosipnya itu-itu aja. Buktinya dia nggak ada sebar undangan.”
“Yee, nggak percaya. Waktu gue makan siang kemarin, anak-anak pada ngomongin. Kalau ada yang ngeliat Dion lagi diskusi sama HRD soal cuti menikah.” Kata Sisil bersemangat.
Wajah Bianca berubah menjadi sendu.
“Katanya cuma kesemsem, kok kayaknya patah hati karena mau ditinggal nikah sama gebetannya?”
“Yah, wajar lah orang selama ini gue ngeliat dia masih single.”
“Udah punya pacar lo bilang masih single.” Sisil mencibir.
“Kalau belum nikah itu di KTP statusnya masih single, neng!” Ujar Bianca tidak mau kalah.
“Lagian, lo kenapa sih naksir sama cowok orang? Kan lo udah punya cowok sendiri.”
“Sil, gue itu cuma naksir bukannya pengen jadi pacarnya.” Ujar Bianca mantap, karena ia yakin bahwa ia tidak salah.
Hubungannya dengan Erlangga –pacarnya, sebenarnya baik-baik saja. Hanya saja sedang berada di siklus jalan di tempat, lantaran setiap kali Bianca bertanya tentang kesiapan pria itu untuk menikah, pria itu kerap menghindarinya. Akhirnya, Bianca menyerah untuk mendesak Erlangga lebih jauh. Dia hanya bisa pasrah berada di siklus ini.
“Hati-hati, naksir juga bisa dibilang selingkuh.”
“Hah? Gimana? Kok bisa selingkuh?”
“Selingkuh hati.”
Bianca memicingkan matanya. “Jangan bercandain gue.”
“Bukan gue yang ngomong, tapi kata seorang pakar. Kalau kita udah mengikutsertakan hati di dalamnya, sudah masuk kategori selingkuh hati.”
“Gue cuma naksir, memendam perasaan sendirian. Itu belum masuk kategori selingkuh.” Bianca kekeuh dengan pendapatnya.
Sisil menghembuskan napas berat, lebih baik mengalah dengan Bianca yang keras kepala dan ngeyel kalau dikasih tahu.
“Gue cuma mau ngingetin, hati-hati. Karena hati nggak ada yang tahu, kalau lo jadian beneran gimana?”
“Pikiran lo kelewat jauh, Sil. Udah ah, gue mau isi botol minum dulu di pantry.” Bianca lalu bangkit sebelum memberikan kesempatan Sisil untuk menjawab.
“Jangan salah belok!” Teriak Sisil yang langsung dihadiahi pelototan Bianca kepadanya.
Ruangan besar itu terdiri dari beberapa cubicle dan dipisah sebuah ruangan kecil yang digunakan sebagai pantry yang luasnya cukup besar untuk menampung beberapa karyawan dari dua divisi yang dijadikan satu lantai yang sama. Biasanya memang divisi accounting dan finance selalu bersebelahan.
Sebelum masuk ke pantry, pintu divisi finance terbuka lebar dan memperlihatkan beberapa karyawan termasuk Dion sedang asik mengobrol dengan rekan kerjanya. Bianca melihat Dion sesekali tertawa menanggapi obrolan dari temannya itu.
Sambil mengulum senyum, Bianca memasuki ruangan pantry. “Beruntunglah, di hari Senin pagi bisa ngeliat senyuman manis, Mas Dion.” Kata Bianca pada dirinya sendiri, karena pantry itu sedang kosong.
Ritual Bianca setiap pagi adalah mengisi botol minum berkapasitas satu liter diisi dengan air mineral untuk persediannya seharian ini.
“Pagi, Bianca.” Sebuah suara sudah sangat Bianca kenali menyapanya. Sontak saja, Bianca menoleh dan terkejut ketika melohat Dion sedang menyapanya saat ini dari pintu pantry dan berjalan menghampirinya.
Kini dirinya dan Dion berada dalam satu ruangan yang cukup kecil bersama! Bianca kegirangan dalam hatinya.
“Pagi juga, Mas Dion.” Bianca menjawab sapaannya sedikit gugup.
Dion berhenti di depan sebuah mesin kopi lengkap dengan kapsul kopi dengan berbagai jenis yang tersedia di sebelahnya.
“Mau bikin kopi, Mas?” tanya Bianca basa-basi yang kemudian langsung ia sesali.
Nggak ada basa-basi lain apa, Bianca? Dia merutuki kebodohannya.
“Iya, nih. Kamu ngopi juga, nggak?” tanya Dion setelah memasukan kapsul dan menyalakan tombol memproses kopinya ke dalam gelas kaca bening lalu menatap Bianca.
Bianca mengangguk. “Aku biasanya ngopi siang, setelah makan siang. Kalau pagi, perutku belum kuat.”
“Oh, lambungnya ya?”
Bianca menggeleng. “Kalau belum makan yang proper, dadanya suka berdebar.”
“Tapi, kamu nggak apa-apa ngopi selama ini?” tanya Dion khawatir.
Bianca mengangguk. “Aku suka ngopi kok, kalau nggak ngopi rasanya hidupku hampa.”
Dion terkekeh memperlihatkan senyuman manisnya lagi. Bianca sungguh beruntung kali ini bisa melihatnya dari jarak sedekat ini.
“Biasanya minum kopi apa?” Mesin kopi berhenti, tanda kopi hitam milik Dion sudah siap untuk diminum. Dion mengambil gelas tersebut dan menghirup aromanya yang memang tercium sampai ke hidung Bianca.
“Aku lebih sering minum Latte sih atau Caramel Machiato.” Bianca menyebutkan varian kopi yang biasa ia pesan jika ke coffee shop.
“Kamu udah cobain kopi hitam?” tanya pria itu lagi.
“Tanpa gula?”
Dion menganggukkan kepalanya.
“Kayaknya pernah dan aku kurang suka.”
“Bukannya sekarang cewek-cewek lagi ngetrend minum Americano ya gara-gara drama korea?”
Bianca sedikit tertawa. “Mas Dion tahu drama korea juga?”
“Ya sedikitlah, cewekku suka nonton juga soalnya.”
Sekarang dia sudah mulai memberikan tanda kalau dirinya sudah punya pacar. Bianca mencoba untuk tersenyum. “Siapa sih cewek-cewek yang nggak suka drama korea sekarang semakin menjamur tapi dibarengi dengan kualitas ceritanya juga bagus.”
“Ceweknya Mas Dion suka Americano?”
“Dia nggak suka kopi. Dia lebih milih matcha.” Jawab Dion singkat lalu menyeruput kembali kopi dari cangkirnya. “Cowok kamu suka ngopi juga?”
Dion melontarkan pertanyaan yang membuat Bianca sedikit bimbang untuk menjawabnya.
“Kayaknya semua cowok suka ngopi deh, Mas.” Jawab Bianca pada akhirnya.
Kini mereka saling terdiam karena sudah kehabisan kata-kata. Kalau dipikir-pikir memang kali ini adalah pertama kalinya ia mengobrol panjang dan tidak seputar pekerjaan. Lalu, Bianca terkesiap karena menyadari hal itu.
“Sebaiknya kita segera kembali ke ruangan. Aku duluan ya.”
Bianca mengiakan.
“Selamat bekerja, Bee.” Dion pun akhirnya keluar ruangan tanpa menunggu respon dari Bianca yang saat ini hanya terdiam tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Apa ia tidak salah dengar?
Tidak ada yang memanggilnya ‘Bee’ di kantor. Semuanya memanggilnya, Bianca. Bi-an-ca. Lalu kenapa Dion memanggilnya dengan panggilan yang tidak biasa?
Yang mungkin bisa disalahartikan olehnya. Karena tanpa Bianca sadari, ia sudah tersenyum malu.
Kata-kata Dion terus terngiang di dalam benaknya selama seharian ini. Bianca memilih untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada Sisil agar tidak menghadirkan kecurigaan dari perempuan itu.