Dion berhenti. Bianca memejamkan mata
sedikit ketakutan. Takut akan terjadi sesuatu yang tidak boleh terjadi. Tapi di hatinya ada sedikit rasa menginginkannya. Ia bisa merasakan perutnya mulai bergejolak seperti ada ratusan kupu-kupu yang sedang terbang di dalam perutnya.
“Ada sesuatu di bibir kamu.” ujar Dion lalu mengusapnya menggunakan tissue yang entah kapan pria itu ambil.
Wajah Bianca memerah. Bisa ia rasakan bagaimana hawa panas itu keluar dari wajahnya. Lalu ia pamit keluar mobil dan langsung setengah berlari memasuki lobby apartemennya.
Bodoh kau Bianca! Sesuatu dari dalam hatinya mengutuk tingkah lakunya.
Akibat kejadian malam itu, Bianca tidak bisa tidur dan terus memikirkan dirinya dan juga Dion. Bahkan ia sudah melupakan kekesalannya dengan sikap Erlangga yang tak kunjung menghubunginya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Bukannya sedari awal ia sudah menekankan bahwa ia hanya menganggumi atau menyukai Dion saja. Tidak mengharapkan sesuatu yang lebih?
Kenapa sekarang malah sikapnya mengatakan hal lain dari pikirannya selama ini?
Selama dua hari berikutnya, Bianca kentara sekali berusaha menghindari Dion. Padahal pria itu beberapa kali lewat meja Bianca, untuk menghampiri atasannya. Ia sesekali melirik dan melihatnya diam-diam. Bianca hanya berpura-pura sibuk demi menghindari kontak mata dengan pria itu.
Sudah lewat makan siang, memasuki jam-jam rawan karyawan mendapat serangan ngantuk. Termasuk Bianca dan juga Sisil. Kedua gadis itu sepakat ingin memesan kopi dari luar kantor untuk menyegarkan dirinya tapi, belum sempat Bianca membuka ponselnya, ada office boy yang datang membawakan sebuah bingkisan yang berisi dua kopi. Persis yang tadi dibicarakan oleh Bianca dan Sisil.
Mereka saling bertatapan. Bianca memanggil office boy tersebut namun ternyata pria itu sudah menghilang dari pandangan.
Ada sebuah kertas post it yang terselip di bagian dalam paper bag. Tulisan itu berisi:
Semoga hari ini mood-nya bagus. Aku senang bisa ngobrol santai tentang film yang ternyata kita sukai tempo hari. Maaf jika aku membuatmu salah paham. Terimalah permintaan maafku. Mungkin, permintaan pertemanan?
Seulas senyum terukir dari bibir mungil Bianca dan dibarengi dengan sebuah perasaan aneh ketika ia berkata bahwa yang dibilangnya tadi malam adalah sebuah candaan. Padahal semalaman ia tidak bisa tidur karena dadanya terus berdebar. Apa-apaan pria ini?
Tapi, aku terima sogokannya.
Bianca lupa, tulisan itu bukan hanya dibaca oleh dirinya melainkan juga Sisil yang sudah berada di sebelahnya melongokan kepalanya membaca tulisan rapi milik Dion yang ada di tangannya kini.
“Ada sesuatu yang terjadi rupanya.” Sisil menyimpulkan.
Bianca hanya bisa menyendiri lemah. Selanjutnya, Sisil menuntut untuk diceritakan.
“Ini udah level gawat sih.” Komentar gadis berambut panjang yang selalu diikat cepol itu.
Sekali lagi Bianca menekankan kepada Sisil bahwa tidak ada yang terjadi diantara mereka pada malam itu.
“Bukan itu poinnya. Meskipun tidak terjadi apa-apa, bukan berarti tidak ada apa-apa.”
Apaan si Sisil. Apa bedanya?
“Do you get it?”
Untuk sedetik kemudian. Bianca kembali mempertanyakan dirinya. Apa yang ia rasakan terhadap Dion?
***
Jumat malam akhirnya tiba, Bianca bersama dengan Sisil menghabiskan waktu berdua di dalam sebuah bar yang saat itu sedang menampilkan acara live music. Mereka tertawa bahkan bernyanyi bersama sambil meminum aneka jenis minuman beralkohol. Belum puas hanya menonton live music mereka berpindah tempat untuk meliukkan badannya dan merasakan bagaimana badan ini yang mengambil alih. Melupakan segala sesuatu yang selama ini membuat mereka stress tingkat tinggi.
“Lo kayak habis patah hati!” Sisil berusaha merangkul Bianca yang sudah hampir terhuyung jatuh jika Sisil tidak langsung sigap menariknya. Mengaitkan tangannya ke leher dan berjalan pelan-pelan dengan Bianca yang berjalan sempoyongan. Perempuan itu masih sambil sesekali meracau dan bernyanyi.
“Lo belum diputusin kan?” Sisil mulai nyerocos lagi.
Respon Bianca langsung ngeplak kepala rekan kerja yang sudah dianggap sebagai partner in crime-nya itu. “Jangan sembarangan! Dia cuma belum bisa dihubungi. Karena aku mematikan handphone. Biar dia tahu rasa mencariku!”
“Sakit, Nyet! Jelas-jelas lagi patah hati!” Sisil menarik kembali Bianca langsung membawanya ke dalam lift dan memijit tombol lantai unit apartemen milik Bianca yang dibeli dari uang orang tuanya.
Bianca masih bersenandung. Jalannya masih sempoyongan bahkan lebih parah karena perempuan itu ingin meliukan badannya lagi.
“Mana berikan kunci aksesnya!” Sisil mendorong Bianca hingga sedikit menghantam tembok di samping pintu. Ia merogoh tas kecil dan mengeluarkan dompet kartu. Begitu ia ingin menggunakan kunci akses, pintu sudah terbuka dan memperlihatkan sosok Erlangga yang sedang menatapnya sedikit terkejut.
“Gue pikir salah kamar.” Sisil terkejut.
Erlangga keluar dan melihat Bianca sudah jatuh terduduk dengan kepala menunduk. Rupanya perempuan itu sudah benar-benar tepar.
“Baiknya lo masuk dulu.” Erlangga menggendong Bianca masuk diikuti dengan Sisil.
“Kenapa sampai semabuk ini?” tanya Erlangga ketika sudah membaringkan pacarnya di dalam kamar dan menyelimutinya.
“Kayaknya dia patah hati.”
Erlangga mengernyit. Tidak mengerti. “Kami tidak lagi bertengkar.”
“Itu menurut versi lo. Dia menahan gengsinya setengah mati sampai lo bisa dihubungi. Tapi benar-benar ya, seminggu sekali baru bisa dihubungi.”
“Biasa, sibuk di kantor.”
Sisil tidak bisa menahan memutar matanya. Dia sudah sering mendengar jika Erlangga adalah orang yang paling tidak peka di dunia. Menurut Bianca saat itu. Ternyata benar adanya.
“Baiknya lo tanyain aja ketika dia sudah sadar ya.” Sisil bangkit dari sofa berniat untuk langsung pulang.
“Lo pulang sama siapa?”
“Taksi online.”
“Jam segini? Tadi berangkat nggak bawa mobil?”
Sisil menggeleng. “Rencananya mau menginap disini dulu. Tapi ternyata ada lo. Ya gue balik lah.”
“Nginep aja. Gue yang pulang. Nggak baik perempuan berkeliaran di jam ini. Banyak tindak kejahatan.” Erlangga menunjuk jam dinding di atas televisi. Memang sudah hampir jam tiga dini hari. Sisil juga sebenarnya agak takut jika pulang sendiri.
Akhirnya ia mengangguk setuju dengan Erlangga.
“Besok gue kesini lagi bawain sesuatu untuk dua cewek pemabuk ini.” Erlangga lalu membalikan badan dan berlalu. Sisil tidak tersinggung, memang benar adanya bahwa sudah sejak lama mereka kerap sekali menghabiskan waktu di bar. Sisil tidak ingin berdebat ia hanya berjalan ke kamar dan tidur di sebelah Bianca hingga matahari naik ke atas ubun-ubun, dirinya sudah cabut dari apartemen sebelum bertemu dengan Erlangga lagi.
“Ogah berurusan kalau mereka berantem.” Sisil ngomel sambil merapikan pakaiannya dan bergegas pergi setelah meninggalkan pesan dari post it di samping kasur Bianca.