“Aneh banget.” gerutu Bianca melihat layar ponsel yang saat itu sedang menghubungi Erlangga selama beberapa kali tapi tidak diangkat.
Hari ini, tiga hari kemudian Bianca mencoba bertanya bagaimana keadaan Fira. Tapi tidak ada jawaban dari pria itu. Bahkan, yang lebih anehnya lagi adalah ketika Bianca menghubungi Fira juga tidak direspon oleh gadis itu.
Berbicara soal kebiasaan yang mendadak berubah dalam sekejap membuat Bianca sudah kehabisan akal sehatnya. Maka hari ini dia memutuskan untuk nekat mendatangi Fira di apartemen pacarnya.
Keanehan yang kesekian kalinya adalah ketika Bianca menekan bel apartemen tidak ada satupun orang yang keluar. Baik itu Fira ataupun Erlangganya sendiri. Seharusnya, pria itu kini sudah pulang dari kantor.
Sebenarnya Bianca punya kartu akses, tapi dia mengurungkan niatnya takut Fira merasa tidak nyaman jika ia bertindak terlalu jauh. Saat hendak membalikkan badan. Suara pintu terbuka.
“Cari siapa ya?” sebuah suara perempuan yang asing di telinga Bianca. Begitu menoleh, ia pun tidak kalah terkejut. Yang membuka pintu itu bukan Fira. Tapi perempuan lain yang tidak ia kenal dan sedang berada di dalam unit apartemen pacarnya!
Bianca memastikan kembali nomor unit yang tertera tepat di samping pintu.
1720. Lantai 17 nomor kamar 20.
“Kamu siapa?” Bukannya menjawab, Bianca bertanya balik. Ia mengingat kembali, Erlangga tidak punya saudara lain selain Fira. Sepupu? Ia bahkan belum pernah mengenal perempuan di depannya.
“Anda mencari siapa? Kenapa malah bertanya balik?” Nada suara perempuan itu tampak tidak suka.
“Ini apartemen Erlangga, kan?” Bianca memastikan kembali.
“Betul. Tapi dia belum pulang. Mungkin mau menyampaikan sesuatu, biar saya bantu sampaikan ketika tunangan saya sudah pulang.”
Wait, what? Dia bilang Erlangga adalah tunangan?
“Kamu tunangannya Erlangga?” Bianca bertanya seperti orang bodoh. Perempuan itu mengangguk dan menatapnya dengan aneh.
“Kamu siapanya Erlangga?” Mungkin kali ini dia baru menyadari ada yang aneh dengan perempuan yang mendatangi tempat tinggalnya.
“Aku …” Bianca tadinya sudah mantap ingin menyebut bahwa dia adalah pacar Erlangga yang sudah bersamanya selama tiga tahun ini tapi kalimatnya terpotong karena panggilan dari sebuah suara yang sudah Bianca hafal. Ia menoleh, menatap Erlangga dengan wajah pucat pasi. Mendekat dengan terburu-buru dan nafas yang masih tersenggal-senggal.
“Kamu ngapain ada disini?” Tanya Erlangga setelah mengatur nafasnya kepada Bianca. Baik dirinya maupun perempuan yang sedang bersamanya kini menatapnya dengan tanda tanya yang sama besarnya. Siapa perempuan ini?
“Menemuimu. Aku kira, Fira ada bersamamu sekarang.” Bianca menyebut nama Fira.
“Aku akan beritahu Fira kalau kamu mencarinya.” Jawab Erlangga sedikit gugup. Matanya kini beralih ke perempuan berambut panjang. “Ini temanku, juga kenal dengan Fira. Aku minta waktu sebentar menemani dia ya.” Erlangga meminta izin.
Kedua bola mata Bianca terbelalak. Ia seperti bukan Erlangga yang ia kenal.
Perempuan itu mengangguk. “Mau mengobrol di dalam?”
“Nggak usah, aku mau ngobrol di kafe sebelah gedung saja.”
“Kenapa nggak di dalam saja?” Bianca kini sudah mengenali situasi apa yang sekarang ia alami. Perempuan ini tidak tahu bahwa ia adalah pacar Erlangga. Tampaknya pria itu juga menyembunyikan Bianca darinya. Sama seperti Erlangga menyembunyikan tunangannya dari Bianca.
Sekarang, Bianca ingin tahu. Siapa yang pertama dan siapa yang selingkuhan? Dia cukup percaya diri bahwa ia pasti yang lebih dulu bersama Erlangga.
“Di luar saja ya, kasian Ameera ingin istirahat.” Dari tatapannya Erlangga seperti menyiratkan permohonan. Detik berikutnya ia menganggukan kepalanya dengan samar. Sorot matanya kian menajam seolah ingin menyampaikan sesuatu.
Bianca ingin mengangguk. Tapi hatinya pikirannya yang masih waras berkata lain.
“Perempuan ini berhak tahu siapa aku, Erlangga!” Bianca meninggikan suaranya. Ia tidak ingin terlihat seperti selingkuhan di depan selingkuhan pacarnya. Janji apa yang dilontarkan oleh Erlangga sampai dia menyebut dirinya adalah tunangannya? Sedangkan Bianca meminta untuk dinikahi oleh Erlangga saja susah sekali!
“Kita ngobrol di dalam saja.” Ameera membuka suara yang lebih dalam dan terkesan tegas kali ini. Erlangga langsung mematuhinya.
Lalu mereka bertiga memasuki apartemen Erlangga yang bertipe one bedroom itu. Beberapa tata letak sudah terasa asing karena terakhir Bianca kesini.
Ameera mengambil air minum botol kemasan dari dalam kulkas dan menaruhnya di meja tamu.
“Mau kamu yang bicara apa aku?” Kali ini Bianca mengeluarkan suaranya. Dia menatap Ameera dengan pandangan yang menilai dari atas hingga bawah. Perempuan itu berambut panjang yang dikuncir kuda tanpa polesan make up namun masih memancarkan aura kecantikan yang alami, ia mengenakan gaun tidur yang cukup menerawang.
“Bianca, kenalin ini adalah tunanganku.” Dari caranya memperkenalkan Ameera sudah jelas berbeda dengan cara panggilannya terhadap Bianca.
“Dan ini Bianca … teman dekatku.”
Tunggu, apa maksudnya ini? Selama tiga tahun mereka bersama hanya disebut sebagai teman dekat? Darah Bianca sudah mendidih. Bisa ia rasakan hawa panas menguar dari tubuhnya.
“Kalian sudah dekat berapa lama?” Ameera bertanya santai. Tidak ada sedikitpun kepanikan terpancar dari raut wajahnya.
“Tiga tahun.” Jawab Bianca mantap menatap Ameera yang juga bersikap sama dengannya. Ia menunggu perempuan itu terkejut tapi alih-alih terkejut ia malah tersenyum.
“Kami sudah berpacaran selama lima tahun dan baru meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Yaitu, pernikahan.” Ujar Ameera. Menekankan pada kata pernikahan.
Sontak saja Bianca menoleh ke Erlangga meminta penjelasan. Tapi pria itu masih bergeming. Seolah dia sudah tahu apa yang diucapkan oleh Ameera.
Mereka sudah bersama selama lima tahun sedangkan Bianca baru saja merayakan anniversary mereka tahun ketiga? Bagaimana bisa? Selama ini Bianca telah dibodohi oleh Erlangga.
"Kalian kenal dan dekat dimana?" Pertanyaan Ameera membuyarkan lamunan sekaligus keterkejutannya.
"Dia rekan menontonku." Erlangga kali ini menyahut. Dia benar-benar tidak membuat Bianca mencoba atau bahkan membuka status mereka.
Tapi Bianca yakin. Tanpa harus disebutkan pun harusnya Ameera bisa langsung.
"Aku memang tidak terlalu menyukai menonton film. Bulan depan kita nikah, kamu datang ya Bianca." Ameera memamerkan deretan giginya dengan senyuman meledek.
Kepercayaan dirinya perlahan mulai runtuh. Senyum kemenangan juga sudah sirna.
Terlalu malu dengan apa yang sedang terjadi, Bianca bangkit meninggalkan mereka. Ia sudah tidak ingin tahu kebenarannya lagi. Setengah berharap Erlangga mengejar dan memberikan permintaan maaf tapi pria itu hanya terdiam.
Selesai sudah.
Ia harus menelan pil pahit karena sudah berharap pada seseorang yang ternyata sudah menjadi tunangan orang lain tanpa ia sadari.
Selama ini dia telah dijadikan kedua oleh pria itu. Pantas saja, Si b******k Erlangga itu tampak tidak tertarik jika sedang membahas hubungan yang lebih lanjut.
Kini semuanya telah terjawab.
Bianca melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya adalah bukan apartemen tapi luar kota. Rasanya dia ingin menghilang.
***
Bianca baru kembali ke apartemen pada pukul lima pagi. Dia tahu hari ini masih harus kembali bekerja. Tapi dia tidak ingin membuat dirinya tidak beraktifitas dan menjadikannya menangisi nasibnya.
Saat memasuki unit, dia cukup kaget dengan kehadiran Erlangga.
"Kemana aja kamu semaleman?"
"Aku rasa itu bukan urusan kamu lagi." Bianca menjawab ketus. Ia melewati Erlangga dan berjalan menuju dapur. Mengambil air mineral dingin kemudian meminumnya dengan sekali tegukan panjang. Berjam-jam menyetir tanpa menepi membuatnya kehausan.
Erlangga mendekat. "Pergilah, Er. Aku nggak mau ketemu kamu lagi. Kita selesai."
"Ini gak seperti yang kamu pikirin, Bianca. Aku mau jelasin." Pria itu mengenggam tangan Bianca tapi langsung ditepis.
"Kamu udah kehilangan kesempatan buat menjelaskan tadi malam. Bertiga!" Bisa Bianca rasakan darahnya kembali mendidih dan intonasi suaranya sudah meninggi.
"Dia belum boleh tahu tentang hubungan kita. Sejujurnya aku ingin berpisah dari dia tapi belum tahu bagaimana caranya."
"Oh, jadi itu benar? Bahwa aku ini adalah selingkuhanmu? Makanya dia belum boleh tahu tentang hubungan kita?"
"Dengerin aku dulu, Bianca! Dulu situasinya memang kita sedang tidak baik-baik saja."
"Seharusnya kamu jangan dekati aku kalau kamu nggak bisa tegas dengan dirimu sendiri!"
"Aku udah terlanjur sayang sama kamu. Aku bisa merasa kembali dicintai ketika bersama kamu yang tidak aku dapatkan lagi dari dia." Wajahnya memelas.
"Kamu udah bohongin aku selama ini. Terus kamu berharap aku bisa percaya sama alasan kamu?"
"Bianca, percayalah padaku."
"Apa gunanya? Agar namamu bersih dari pria tukang pembohong? Itu gak akan mengubah fakta kalau kamu emang tukang bohong! Buat apa lagi kamu capek-capek ngejelasin ke aku kalau ujung-ujungnya kamu mau nikahin dia!" Cukup sudah. Bianca sudah tidak menerima penjelasan dan kehadiran Erlangga lagi di depannya.
Beberapa kali pria itu mencoba mendekat untuk memeluk Bianca. Tapi perempuan itu kembali menolak.
"Pergilah! Jangan pernah menemuiku lagi."
"Aku akan kembali lagi." Erlangga mengalah. Kemudian ia mulai berjalan menuju pintu. Sebelum berhenti dipanggil oleh Bianca.
"Erlangga. Berikan kunci akses apartemenku. Kamu sudah tidak boleh keluar masuk sesuka hatimu."
Sekali lagi, Erlangga menurut. Ia mengeluarkan kartu pipih berlogo unit apartemen itu ke Bianca dan kemudian pergi.
Detik itu juga, tangisan Bianca pecah.