Hujan mengguyur ibu kota pada malam hari ini. Sialnya, bertepatan dengan Bianca yang tidak membawa mobil. Yang ternyata merupakan sebuah keputusan yang salah karena tadi ia berpikir bahwa ia tidak ingin menyetir selagi pikirannya masih menguasai dirinya.
Dirinya tidak bisa fokus menonton film karena kecanggungan yang terasa ketika Dion berada di sampingnya. Mereka sama-sama terkejut dan seolah melupakan bahwa mereka itu rekan kerja tapi malah tidak bisa mengobrol santai seperti biasanya.
“Terkejut?” kata Dion setelah lampu bioskop dinyalakan.
“Yes, actually.”
Perlahan mereka bangkit dan ikut menuruni tangga bioskop dan keluar dari studio. Mendapati bahwa hujan deras yang terdengar sampai dalam mall. Hari sudah semakin malam, banyak tenant yang sudah tutup yang hanya menyisakan lampu di lobby utama menuju lahan parkir mobil dan motor. Bianca juga melihat keresahan yang sama dari beberapa orang bersamanya.
“Siang tadi panas terik, malam ini hujan deras.” Kata Dion. Seolah menyadarkan lamunannya dan kembali mengkonfirmasi bahwa dirinya masih ada di samping.
“Ya, dan sayangnya aku tidak membawa kendaraan malam ini.” Bianca merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Sedikit kecewa karena orang yang diharapkan menghubungi dan mencarinya tidak melakukan itu sama sekali kepada dirinya.
“Pulang sama aku aja.” Tawaran Dion sontak saja membuat Bianca terkejut setengah mati. Tapi ia menolak dengan halus.
“Saya pesen taksi online aja.”
“Nggak baik perempuan pulang sendirian. Udah menjelang tengah malam dan sedang hujan pula. Kita kan rekan kerja. Kamu jangan buat aku terlihat jahat menelantarkan kamu.” Dion tidak memberikan opsi lainnya. Ia menggamit tangan Bianca agar perempuan itu tidak menghilang dan berjalan menuju lahan parkir yang berada di basement.
Yang tidak habis pikir adalah kenapa Bianca tidak bisa menghentikan debaran kencang di jantungnya setelah obrolan ringan mereka di pantry beberapa hari yang lalu?
Mobil sudah keluar dari gedung mal dan hujan deras langsung menghantam mobil mereka. Jalan raya sedikit lebih lengang karena pengemudi motor sedang menepi dan juga karena jam sudah hampir menunjukan waktu tengah malam. Suasana masih hening. Tidak ada yang berbicara di antara mereka. Satu-satunya sumber suara yang sedikit mencairkan suasana adalah radio yang disetel oleh Dion.
“Kamu mau langsung pulang atau mau mampir beli makan dulu?” Dion bertanya setelah mereka sudah memasuki kawasan jalan besar.
“Langsung pulang aja, Mas.”
“Kamu nggak lapar?”
Bianca menggelengkan kepalanya. Tapi di saat bersamaan dengan itu, terdengar sebuah suara yang datangnya dari perut Bianca. Bianca menutup mata menahan malu sedangkan Dion terkekeh sesaat lalu membelokan mobil ke sebuah drive thru yang memang biasanya buka hampir dua puluh empat jam itu.
Dion memberikan inisiatifnya untuk memilih menu apa saja yang akan dipesan. Bianca tidak keberatan.
“Kamu memang suka nonton sendiri atau memang sengaja gak mau bareng pacar?” tanya Dion sembari menunggu pesanan selesai.
“Dari dulu memang suka nonton sendirian kok.” Bianca tentu tidak langsung mengatakan yang sebenarnya kepada Dion. Meskipun pria itu adalah rekan kerjanya, tapi jauh sebelum kedekatan yang mendadak ini cukup membuatnya agak sungkan membicarakan hal pribadi. Takut jika hatinya akan menuntun ke arah yang salah.
“Aku pikir karena kamu lagi berantem.” Ujar Dion.
Bianca menggeleng pelan. “Aku sejujurnya kaget ketemu sama Mas Dion dan duduk bersebelahan pula.”
Dion terkekeh. Memperlihatkan sederetan gigi putih yang rapi.
Senyumnya manis. Komentar Bianca dari dalam hati saja.
“Selain aku juga tim LDR, aku lebih suka nonton sendirian apalagi jika genre film yang jika pasangan nggak suka, kasian takut nggak nyambung.”
Bianca mengangguk setuju.
“Oh jadi pacar kamu nggak suka nonton film superhero ya? Terus kenapa kamu suka?”
O-ou.
“Kalau nggak salah karena aku ngikutin dari perjalanan awal cerita itu. Jadi aku menikmati dengan back story dari latar belakang dan akhirnya ngikutin semua serinya. Bagi yang baru ngikutin sih pasti akan kaget. Sebenarnya aku juga tipikal yang kalau mau nonton nggak harus ngajakin temen sih. Sendirian lebih asik.”
Dion mengangguk. Dalam hatinya ia terkesima dengan cara Bianca mengomentari bagaimana seharusnya film itu bisa jalan dan bagaimana dengan concern Bianca terhadap hal-hal kecil di dalamnya.
“Kayaknya film selanjutnya kita harus nonton bareng deh, biar bisa bahas bareng karena seru ngebahas film bareng kamu.” Ujaran Dion cukup membuat Bianca salah tingkah dan juga over thinking.
Demi menjaga sopan santun, Bianca mengangguk dan berharap Dion akan melupakan ajakannya. Obrolan mereka berlanjut, alih-alih Dion memarkir mobilnya agar bisa makan bersama. Pria itu justru menjalankan mobilnya sambil makan hamburger dalam tangan sebelahnya. Tangan satunya sudah sangat luwes dan dia tampak nyaman dengan posisi seperti itu.
“Kamu makan juga, nanti perut kamu makin keroncongan.” Ujarnya sambil tertawa. Betapa menakjubkannya hari ini ia bisa melihat Dion dengan sisi yang berbeda dari personanya di kantor yang cool, hari ini dia terlihat begitu ramah dan hangat. Bianca lupa, kapan pertama kali ia menganggumi Dion saat pertama kali masuk ke perusahaan dan divisi yang selalu hampir bersama di setiap waktu.
Tapi perasaan itu harus segera ia tepis karena Bianca ingat ucapan Sisil bahwa pria itu sebentar lagi akan segera menikah. Bukankah dirinya harus memikirkan hubungannya juga mau dibawa kemana?
“Kamu tampak lagi banyak yang ada dipikirin?” tanya Dion membuyarkan lamunannya. Ia melamun karena otaknya ini lagi beradu argument satu sama lain. Ia hanya menonton dan terbawa suasana.
Bianca mengelak. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
“Keliatan kalau lagi suntuk kok.”
Sontak saja, Bianca mengambil ponsel dan melihat pantulan dirinya dari kamera. “Nggak kok. Kami baik-baik aja.”
“Aku kan nggak lagi nanyain hubungan kamu sama pacarmu, cuma lagi nanyain apa kamu lagi suntuk?” Dion menoleh dan kini tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan oleh otak Bianca. Ia tersenyum lebih lebar dan bermakna lebih dalam.
“Mas Dion kayaknya cowok terpeka yang pernah aku temui deh.” Secara tidak langsung, Bianca mengatakan bahwa dirinya memang sedang ada masalah dalam hubungannya ke pria asing yang ada di sebelahnya merangkap sebagai rekan kerjanya, merangkap sebagai pria yang diam-diam disukainya.
Respon Dion hanya tertawa. Tapi terbahak-bahak karena merasa tebakannya itu benar. Dia berkata bahwa dia sudah tahu secara garis besar apa yang sedang dialami Bianca adalah masalah ketidakpekaan cowoknya terhadap dirinya.
Bianca akhirnya terpancing dan pada akhirnya menceritakan keresahan hatinya selama beberapa hari terakhir ini. Pria itu kini menyimak dengan serius.
“Anggap saja itu ujian untuk kenaikan level hubunganmu dengannya. Dalam hubungan komunikasi dan kepercayaan penting. Mungkin saja dia memang sedang mempersiapkan semuanya sebelum benar-benar melamarmu.” Dion memberikan komentarnya.
Bianca menunduk. Di dalam hati sebenarnya masih ada yang mengganjal dengan perilaku Erlangga. Tapi dia sedang tidak ingin mengingat pria itu sekarang. Bianca mengucapkan terima kasih kepada Dion yang sudah mengantarkannya sampai ke apartemen.
“Bee.” Panggil Dion.
Panggilan itu lagi.
Bianca hendak melepaskan safety belt, langsung tertegun melihat wajah Dion yang kini memandangi dirinya. Mungkin lebih tepatnya memandangi bibirnya. Lalu perlahan Dion mendekatkan dirinya hingga menyisakan beberapa senti saja dengan wajahnya. Bianca bisa mendengar deru nafasnya dan detak jantungnya berdegup kencang dan untuk pertama kalinya ia melihat Dion dengan sedekat ini dalam kondisi lampu yang temaram. Satu-satunya penerangan adalah lampu yang dari lobby gedung apartemen.
Apa yang akan dia lakukan?
Mundur Bianca! Kalau otak kau masih waras. Dia sudah punya pacar dan kamu juga sudah punya pacar.
Tapi badan Bianca terbujur kaku. Seolah ia juga menginginkannya.