Bianca tidak pernah menyangka bahwa pria yang ada di depannya sudah harus pergi lagi padahal baru beberapa menit yang lalu mereka duduk berdua dan merayakan anniversary dengan dinner di apartemen Bianca. Memang, sudah beberapa minggu terakhir hubungannya dengan Erlangga, pacarnya itu cukup merenggang karena kesulitan menemukan waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu berdua.
Terlebih perayaan dinner hari jadi ke dua tahun ini memang agak dipaksakan di hari kerja. Keduanya memiliki jam kerja yang cukup padat dan sering kali lembur. Sama-sama pekerja keras sehingga seringkali selalu bertengkar karena keterbatasan waktu yang mereka punya.
“Ini hari jadi kita loh, Yang.” Bianca mulai merajuk.
“Aku tahu, maaf yah. Tapi pekerjaanku tidak bisa ditinggal. Aku cuma bisa luangin waku sebentar.” Pria itu menyorotkan matanya, meminta Bianca untuk bisa lebih pengertian lagi.
“Hari ini aku juga seharusnya masih berada di kantor, menyelesaikan lemburan dan di tambah ada audit. Aku harus ganti jam kerjaku di weekend nanti demi bisa ketemu, beb.” Bianca mulai kesal. Memangnya dia pikir, apa yang dilakukan Bianca itu tidak ada pengorbanannya?
Erlangga berjalan mendekati Bianca dan memeluknya hangat. Lelaki yang sudah menjadi pacarnya selama dua tahun ini masih bisa bersikap menenangkan dengan cara yang sama yaitu memeluknya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun yang keluar dari mulutnya. Seolah, mereka berkomunikasi hanya lewat energi yang sama-sama dikeluarkan untuk menguatkan.
Setidaknya dia tidak meninggalkan kebiasaan ini. Ujar Bianca mensyukuri.
“Aku tahu, kita sedang dalam masa-masa sulit. Tapi, percayalah aku juga ingin mempunyai banyak waktu bersamamu.” Katanya.
“Kalau gitu, kita nikah aja. Jadi kita masih bisa ketemu lebih banyak dibanding sekarang.” Bianca tidak asal bicara. Dia sudah menunggu inisiatif dari Erlangga untuk melamarnya. Tapi pria itu tampak selalu menghindari pembicaraan tentang ini.
“Pernikahan tidak semudah itu, sayang. Ada banyak yang harus kita persiapkan. Materi dan mental tentu saja.”
Bukannya Bianca sombong, tapi jika itu menyangkut materi, keadaan finansial mereka jika digabung cukup untuk menghidupi mereka berdua. Bianca mengutarakan hal itu kepada Erlangga.
“Memangnya kamu akan selamanya bekerja?” Pria itu menjawil hidungnya. “Aku ingin mempersiapkan yang terbaik. Aku ingin sepenuhnya bertanggung jawab padamu dan membuktikan kepada orang tuamu bahwa aku lelaki yang pantas.”
Tentu saja. Erlangga mengalami krisis seperti ini pasti karena sewaktu kunjungan pertama kali Erlangga bertemu dengan orang tua Bianca yang seperti tidak puas dengan jabatannya sekarang yang dirasa belum cukup untuk bisa menghidupi anak semata wayangnya itu.
Sejak saat itu Erlangga tampak menghindari jika Bianca mencoba untuk mengajaknya lagi ke rumah orang tua. Dia terlihat jelas cukup minder dengan situasinya saat ini. Tapi, Bianca sebenarnya tidak pernah mempermasalahkannya. Erlangga adalah seorang yang pekerja keras. Lambat laun mereka pasti akan menerimanya.
Tapi itu tidak menurut Erlangga.
“Aku benar-benar harus pergi.” Ujar pria itu lagi. Mengambil tasnya dan menyampirkannya ke pundaknya yang lebar.
Bianca meminta Erlangga menunggu sebentar, ada yang ingin dia berikan kepadanya. Wanita itu meluncur ke kamar dan mengambil sebuah kotak berisi jam tangan yang cukup mewah. Hadiah hari jadi.
Air wajahnya tampak senang tapi juga merasa bersalah karena dia bahkan belum sempat mencarikan kado untuknya.
“Weekend ini, ya.” Janjinya. Yang tentu saja langsung Bianca setujui.
Selepas pria itu pergi meninggalkan apartemen Bianca, wanita itu hanya termenung di sofa dan membuka pintu balkon membiarkan udara masuk. Malam ini udara cukup sejuk. Bianca kembali mengulang kisah mereka sendirian. Entah berapa lama lagi ia menunggu Erlangga bisa melamarnya.
***
Membuat kopi pagi membuat hari Bianca menjadi lebih tenang dari segala pikiran yang sedang berkelana di dalam benaknya. Tentang Erlangga, tentang pernikahan dan juga tentang rasa sukanya terhadap Dion. Ah, ngomong-ngomong soal Dion. Kemana pria itu biasanya sepagi ini sudah berada di pantry?
Tunggu, apa kamu mengharapkan dia datang?
Bianca mendesah sebal. Perasaan seperti ini nantinya akan menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Dia mengharapkan dilamar oleh kekasihnya tapi masih memikirkan pria lain?
Aku hanya naksir, mengaggumi sosok Dion yang berwibawa. Itu saja. Berulang kali dia mencoba untuk menanamkan pikiran itu.
“Emang dasar, lo aja yang kepedean. Bianca!” wanita itu menoyor kepalanya sendiri sembari mengambil gelas yang sudah terisi penuh kopi s**u tanpa gula itu. Ketika ia berbalik ia dikejutkan dengan kehadiran Sisil yang menatapnya aneh.
“Prik banget lo pagi-pagi ketawa begitu. Kesambet?” wanita itu melangkah lebih dekat dan mengamati raut wajah rekan kerjanya.
Tapi Bianca tidak mengindahkan ejekan Sisil dan malah meninggalkan dirinya. Sisil hanya mengambil air putih ke dalam botol 1L nya. Lalu mengejar Bianca yang sudah duduk manis menghadap layar komputer. Waktu masih ada 15 menit lagi sebelum ia mulai bergumul dengan data dan angka.
“Sil.” Ternyata pikiran Bianca masih belum bisa bebas dari apa yang Dion katakan kemarin. Maka ia akhirnya berbagi cerita dengan rekan kerjanya yang sudah dianggap sebagai sahabatnya itu tentang percakapan pagi hari bersama Dion kemarin.
“Mungkin aja cuma bercanda. Jangan terlalu diambil hati. Nanti kecewa.” Sisil memerhatikan raut wajah Bianca yang sudah memancarkan aura kekecewaan. “Sudah kubilang kan, jangan bermain hati!”
Bianca menghembuskan napas berat.
“I know, gue dalam masalah besar.” Karena membiarkan perasaan ini bertumbuh.
Bianca sudah bersusah payah menyingkirkan berbagai kemungkinan negative hanya karena satu panggilan tak biasa yang dia dapat dari rekan kerjanya. Sayangnya, yang memanggilnya dengan panggilan itu hanya Dion. Bukan teman lelaki yang lain. Siapa yang akan menyangka kalau dirinya malah jadi kebawa arus oleh perasaannya sendiri.
Sudah lewat weekend, dan suasana hati Bianca juga malah semakin memburuk. Dirinya bertengkar lagi dengan Erlangga karena pria itu membatalkan janjinya. Bahkan kado hari jadi hubungan mereka yang ia janjikan juga tidak kunjung diterima. Erlangga sudah bertekad untuk menjadi berambisi dengan karirnya sehingga rela mengorbankan waktunya bersama Bianca.
Sudah kesekian kali. Dan apakah Bianca masih bisa memberikan pengertian yang lebih kepadanya?
Untuk kembali mewaraskan hati dan pikirannya. Bianca pergi ke bioskop hari ini untuk menonton film sendiri. Hal yang sudah biasa ia lakukan sejak dulu. Bahkan karena kegiatannya itu menjadi pertemuan pertamanya dengan Erlangga.
Iya, mereka pertama bertemu waktu menonton film horror. Bianca maupun Erlangga merupakan penggemar film horror. Tapi untuk malam ini, Bianca menonton genre film lain yang merupakan series film kesukaannya. yaitu Action yang less drama tapi juga ada unsur komedinya. Film serial superhero yang menjadi salah satu favoritenya tapi sayang Erlangga tidak terlalu menyukainya.
Malam itu Bioskop cukup ramai karena penayangan perdana. Bianca memasuki studio satu yang terbesar bersamaan dengan beberapa orang lain. Ketika sampai di bangkunya. Dia cukup terkejut ketika melihat siapa yang duduk tepat di sebelahnya.
Dion!
Dari sekian banyak bangku di dalam bioskop ini. Kenapa Dion dan Bianca bisa secara kebetulan duduk bersebelahan?