Siapa yang menyangka atau bahkan membayangkan hidupnya tidak aman hanya karena masalah asmara? Bianca sebelumnya hanya melihat dan mengetahui dari sekitarnya bahwa ada tipikal orang yang bisa melakukan apapun hanya untuk memuaskan hasratnya untuk membalas dendam.
Dan tidak pernah menyangka bahwa dirinya juga akan ikut mengalami. Dengan sosok Erlangga yang berbeda total.
Bianca terduduk di lantai kamar hotel bersandar pada kasur dan membuka tirai jendela yang besar. Tatapannya kosong dan pikirannya melayang menjauhi raganya. Malam itu dia tidak bisa tidur. Membiarkan tubuhnya terjaga. Ketika matahari sudah muncul, Bianca baru bangkit dan memasang topeng bahwa dirinya baik-baik saja di depan semua orang.
Di dalam lobby hotel, Dion sudah menunggu Bianca turun. Sudah hampir satu jam ia menunggu tanpa mengeluh sedikitpun.
“Kamu kurang istirahat.” Dion tidak bertanya tetapi menyimpulkan dari raut wajah Bianca yang walaupun sudah terpoles riasan wajah tetap dia masih bisa mengetahuinya.
“Nggak kok, aku tidur cukup.” Bianca berbohong tapi tidak dipermasalahkan oleh Dion. “Kenapa mas Dion ada di sini?”
“Melihat keadaanmu.”
“I’m fine, sekarang sudah berada di tempat yang aman. Yah walaupun harus merogoh kantong lebih dalam untuk menginap per hari seperti ini.” Bianca berusaha untuk ceria.
Dion terkekeh. “Aku bersedia membantu.”
“Aku bercanda. Bantuan mas Dion semalam dan selama ini sudah lebih berharga dibandingkan dengan uang.” Bianca mengucapkan dengan tulus.
“Ya udah, yuk berangkat!” Kini pria itu tampak tidak ragu lagi untuk menggandeng tangan Bianca di depan umum.
“Katanya cuma mau lihat keadaan aku aja.” Bukan tanpa sebab kalau Bianca sebenarnya agak khawatir dengan sikap rekan kerja (yang ia sukai) pada pagi hari ini.
“Kita kan sekantor, Bee. Masa aku ninggalin kamu yang jelas-jelas aku emang mau jemput kamu dan berangkat bareng ke kantor.” Jelas Dion dengan santai. Langkahnya semakin mendekati mobil yang terparkir di depan gedung hotel.
“Nggak enak nanti digosipin sama anak-anak kantor kalau ketahuan.” Bianca mengutarakan apa yang ada di benaknya.
“Kita kan sekantor, Bee. Nggak akan ada yang aneh-aneh emangnya kita pacaran?” Pertanyaan Dion sontak membuat Bianca agaknya salah tingkah. Sepertinya dia sedikit berharap?
“Kayak nggak tahu penggosip aja, Mas. Kita ngapain juga akan berbeda sampenya jika sudah dari mulut ke mulut.” ujar Bianca.
“Nggak. Percaya deh. Kalau ada apa-apa nanti aku pasang badan.” Dion membukakan pintu penumpang untuk mempersilakan Bianca masuk kemudian Dion menjalankan mobilnya membelah kepadatan jalanan menuju kantor yang memakan waktu empat puluh menit dari jarak hotel.
Tanpa mereka sadari ada salah satu orang kantor yang mengenali mereka dan menatap mereka dengan keheranan juga senang.
“Kita makan dulu ya, aku agak laper tadi berangkat kepagian karena takut kamu sudah berangkat.” Dion membelokan mobil ke sebuah kedai kopi yang juga menyajikan menu-menu ringan untuk sarapan itu. Bianca tidak menolak karena dia juga lumayan lapar. Dia tidak sempat makan di hotel karena sudah cukup siang.
“Kenapa nggak telepon aku dulu tadi biar aku turun lebih dulu?”
“Aku nggak punya nomor telepon kamu dan media sosial kamu juga nggak tahu. Jadi aku nggak bisa ngehubungin.”
“Kan bisa telepon dari resepsionis.” Bianca melirik Dion tampak salah tingkah kemudian nyengir lebar.
“Aku nggak kepikiran. Aku kalau belum ngopi suka nggak konek otaknya.” Dion beralasan.
“Sebuah fun fact tentang Dion.” Celetuk Bianca dan kemudian mereka berdua tertawa bersama.
Kini tiba mereka untuk memasan. Dion mengatakan pesanannya juga Bianca. Lalu sembari menunggu, Dion memberikan ponselnya.
“Kalau gitu, aku minta nomor kamu ya. Biar gampang kalau mau menghubungi.” Dion menatapnya dengan manis pagi hari ini. Meskipun masih dalam mode patah hati tapi dia masih bisa merasakan adanya perut yang menggelitikinya.
Bianca tanpa ragu memberikan nomornya kepada pria itu. Kemudian, pria itu memberikan pesan singkat yang mengatakan bahwa nomor itu dari dirinya. Bianca menyimpannya sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya dia mempunyai orang yang dia sukai.
Sadar ya Bianca. Dia sudah punya pacar!
Tentu sebuah suara yang menyadarkan Bianca untuk tetap waras.
***
Apa yang ditakutkan Bianca agaknya akan terjadi. Hari ketiga yang sekaligus menjadi hari terakhir dia menginap di hotel. Besok pagi ia harus check out dan kembali ke apartemen yang sudah ia tinggal selama tiga hari berada dalam pelarian dan mencari ketenangan. Sisil, sahabatnya itu sudah menelepon Bianca beberapa kali saat dirinya tengah mandi sehabis pulang dari kantor.
“Kok nggak diangkat-angkat telpon sih?!” Sembur Sisiliya langsung ketika Bianca mengangkat telepon.
“Habis mandi.” Jawab Bianca santai.
“Lo dimana nih sekarang?”
“Di kamar.” Jawab Bianca tidak sepenuhnya bohong. Sejujurnya saja dia belum memberitahu Sisil perihal apa yang terjadi terhadap dirinya. Entah kenapa dia merasa belum siap dan malu mengatakan apa yang sudah terjadi dengan dirinya pada malam hari itu. Meskipun itu kepada sahabatnya sendiri.
Lain dengan Dion yang memang saat itu menyaksikannya secara langsung dan Bianca tidak perlu menceritakan seperti apa kronologi ceritanya. Jika diingat-ingat, Bianca masih bergidik ngeri.
“Di kamar mana, di apartemen?”
“Ada apa, Sil?” Alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya, dia mencoba mengganti topik pembicaraan.
“Lo denger gosip terpanas nggak?”
“Nggak. Apa tuh?”
“Ada yang digosipin cinta lokasi di kantor kita.” Ujar Sisil memulai sesi gosipnya.
“Oh ya, gitu doang kenapa digosipin? Emangnya nggak boleh pacaran di kantor? Tempat kita kan nggak ada aturan begitu. Jadi sah-sah aja lah harusnya.” tanya Bianca duduk di kursi dan menghadap ke luar jendela.
“Karena yang digosipin itu dikenal udah pada punya pacar, satu baru putus deh. Tapi beritanya mereka itu selingkuh dari pacarnya!”
“Wah seru nih gosip.” Bianca tampaknya cukup antusias untuk mendengarkan lebih lanjut. “Tapi biasa aja sih, mereka kan belum pada nikah ini. Cinta lokasi di kantor wajar aja lagi. Lagian belum tentu juga beneran pacaran.”
“Ya karena yang digosipin itu lo sama Dion!” Sisil mulai berteriak histeris juga gemas dengan tingkah laku temannya yang kelewat polos itu. Padahal sejak tadi Sisil sudah memberikan clue-clue yang mengarah kepada dirinya.
Bianca melongo sebentar. Masih tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Kenapa gue malah digosipin?”
“Kan tadi udah gue bilangin! Bahkan ada foto lo berdua keluar dari lobby hotel pagi-pagi!”
Oh no!
“Makanya gue tanya sekarang lo dimana dan apa yang sudah lo sembunyiin dari gue?” Dari nada suaranya terdengar siap untuk menyemprot Bianca dengan omelannya.
“Lo dateng aja deh kesini, gue jelasin. Sekalian nginep yah.”
“Ya, bagus. Jadi kalau ada apa-apa gue bisa nimpukin lo secara langsung. Gue siap-siap dulu ya.”
“Oke, gue share loc.”
“Ngapain share loc, kan gue tahu alamatnya.”
“Gue di hotel, Sil.”
“APA?!” Teriak Sisil kelewat kencang. “Tunggu gue disitu!” Ujarnya langsung mematikan telepon. Bianca menarik nafas panjang. Hal yang selanjutnya akan terjadi sudah bisa ia prediksi.
***