Part 11: Rumor

1416 Kata
Orang-orang kini berjalan melewati dan mendahului Bianca dan Dion yang masih bertatapan selama sepersekian detik. “Mas Dion ngikutin aku?” Akhirnya Bianca bertanya karena terlalu penasaran. “Iya dan tidak.” Jawabannya yang ambigu membuat Bianca semakin mengerutkan kening. “Kita sambil jalan aja yuk.” Pria itu menuntunnya berjalan bersebelahan. Bianca menurut tanpa protes apapun. Sekilas ia sempat melihat sosok di belakangnya tadi masih berada cukup di belakangnya masih mengikutinya. “Kamu lagi diikuti.” Dion memulai berbicara saat mereka sudah mulai berjalan beriringan di atas jembatan penyebrangan. “Kayaknya iya.” Bianca membenarkan. “Kamu sudah tahu dari tadi?” “Nggak lama sebelum Mas Dion muncul.” “Kamu lihat siapa orangnya? Apa kamu kenal dengan perawakannya?” Sebenarnya Bianca sudah menduga dari perawakan postur tubuh pria yang menutup dirinya dengan pakaian serba hitam bakna sampai menggunakan topi berwarna hitam padahal hari sudah malam. Tapi, dia tidak menjawab pertanyaan Dion yang masih menunggu jawabannya dari sebelahnya. Tetapi diamnya Bianca seolah memberikan jawaban pasti akan tebakan dari pria itu. Dengan satu gerakan yang sengat cepat dia menggenggam tangan Bianca dan mempercepat langkahnya. Bianca terkejut. Tapi pria itu memintanya untuk menurutinya. “Aku tahu ini pasti ulah mantan kamu kan.” Dion sengaja mendekatkan mulutnya ke telinga Bianca hanya untuk mengucapkan kalimat itu. Karena sudah kepalang basah. Dia mengangguk. Dion sudah terlalu banyak tahu tentang hubungannya dengan Erlangga. Bahkan mantan pacarnya itu sudah dengan percayanya kalau dirinya dengan Dion memang ada apa-apa. Mereka mulai memasuki trotoar pejalan kaki. Pria itu masih mengikutinya. “Kamu yakin mau pulang ke apartemenmu? Bagaimana jika dia mengikutimu sampai sana?” “Aku sudah bilang dengan pengelola gedung agar dia tidak bisa memasuki gedung. Dia juga tidak akan bisa masuk tanpa kartu akses.” “Itu sama berbahayanya. Aku tahu kamu diteror sama dia. Apa itu betul?” “Darimana Mas Dion tahu?” “Tadi aku nggak sengaja denger kamu sama Sisil ngobrol di ruangan. Sampai kamu nggak sadar kalau aku lagi ada disekitar itu.” Lamunan Bianca menariknya dari kebersamaannya dengan Dion. Pria itu masih menuntun jalannya agar tetap aman. Kehangatan tangannya yang entah kenapa memberikan rasa nyaman bagi Bianca. Dia tahu bahwa hal ini jika dibiarkan lebih lanjut akan berdampak tidak baik. “Kamu itu nggak pantes diginiin, Bee. Dia harus segera dikasih pelajaran. Tidak semua hal harus berjalan sesuai dengan keinginan dia.” Dari nada suaranya. Pria itu seperti sedang menahan emosinya. Bianca diam saja. “Kamu jangan pulang ya. Aku nggak mau terjadi hal yang tidak-tidak sama kamu. Bagaimana kalau nginep di tempat Sisil mungkin?” Dion mendadak menghentikan langkahnya. Bianca menoleh lalu menatap pria itu dengan bingung. “Aku harus pulang, Mas. Percaya deh, dia nggak akan bertindak sejauh itu. Lagipula aku nggak mau ngerepotin Sisil. ” Walaupun sudah beberapa hari terakhir Bianca juga tidak yakin dengan pernyataannya tetapi setidaknya dia mencoba untuk merasa aman. “Aku yakin dia juga berpendapat sama sepertiku.” Sekali lagi Bianca menghembuskan napasnya panjang dan pelan. “Nggak apa-apa, Mas. Dia bahkan nggak bisa masuk gedung.” Mereka berdua diam selama beberapa detik membiarkan langkah mereka terus bergerak menelusuri trotoar pejalan kaki. Lalu kemudian dia berhenti dan menatap wajah Bianca lekat-lekat. “Aku anterin ya. Jangan menolak.” Ujar Dion seolah tahu Bianca akan menolak penawarannya. “Aku sudah terlanjur masuk ke dalam hidup kamu. Aku nggak ingin buta mata dengan apa yang terjadi sama kamu.” Kalimat itu sukses membuat Bianca semakin menyalahkan dirinya kembali. “Maafin aku, Mas. Gara-gara aku, Mas Dion jadi repot begini. Hal yang nggak seharusnya Mas Dion pikirin. Karena ini adalah murni permasalahan aku.” “Aku senang bisa membantu.” Pria itu kembali menggamit tangan Bianca dan menyetop taksi. Aksinya yang tidak bisa diprediksi itu cukup membuat pria yang mengikuti Bianca terkejut dan sedikit kehilangan arah. Bianca menoleh sekali lagi saat Dion membukakan pintu. Posisinya berada di bawah sinar lampu jalanan membuat wajahnya lebih terlihat jelas dan juga membenarkan bahwa sosok itu adalah Erlangga yang sedang menatapnya dengan keterkejutan dan juga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari tatapannya. Erlangga tampak semakin menggila. Di dalam perjalanan, Bianca dan Dion sama-sama berdiam diri. Setelah Bianca menyebutkan alamat tempat tinggalnya. Mereka tidak berbicara lagi. Tidak begitu banyak kemacetan karena memang kendaraan sudah terurai. Dalam benaknya, Bianca masih memikirkan perkataan Dion yang bisa saja membebaninya. Rasa bersalah karena membawanya masuk ke dalam hidupnya. Sebagai pacar pura-pura di depan mantan pacar yang ingin ia hindari. Sedangkan di dalam benak Dion, pria itu memikirkan bagaimana menghentikan ulah dari Erlangga demi Bianca bisa hidup dengan aman. Dia hanya memikirkan keselamatan Bianca. Taksi yang membawanya pulang sudah berhenti di depan pelataran lobi untuk menurunkan penumpang. Bianca mengucapkan terima kasih lalu membuka pintu. “Dia sepertinya sudah tidak mengkuti lagi karena kita sudah buru-buru naik taksi. Kamu bisa langsung masuk dan jangan keluar lagi malam ini ya. Pastikan juga kepada pihak keamanan soal wajah Erlangga agar jangan sampai lolos.” Ujar Dion tampak masih mengkhawatirkan gadis itu. “Iya, Mas. Makasih udah perhatiin aku. Aku turun dulu ya.” Dion mengangguk. “Sampai bertemu besok di Kantor.” *** Bagaimana mungkin sosok itu sudah ada di depan pintu apartemen? Bianca sudah kepalang basah terlihat oleh pria yang kini tengah menatapnya dengan pandangan nanar. Namun, menghadapi Erlangga bukanlah hal yang tepat. Bianca lalu membalikkan badan dan setengah berlari menuju lift yang baru saja menutup. Serangan panik langsung menyerbunya karena ada sebuah tangan memegang pundaknya dan membalikkan badannya secara paksa. “Bersenang-senang, eh?” Tatapan Erlangga bukanlah seperti tatapan yang pernah ia kenal dari pria itu. “Kenapa kamu bisa ada disini?” Hanya itu yang bisa ia keluar dari mulutnya. “Terkejut, ha?” Seringainya semakin menakutkan. “Tidak pulang bersama pacar barumu dan bermalam di apartemenmu, wanita jalang?!” Tangannya semakin keras mencengkram bahu Bianca hingga ia meringis kesakitan. Terlebih dadanya juga terlanjur sakit dan sesak akibat makian dari pria itu. “Kenapa kamu seperti ini, Bianca?! Aku tidak percaya kamu wanita rendahan seperti itu! Kamu menipuku selama ini!” Erlangga terus mengguncang-guncangkan tubuh Bianca dan meracau di dalam lorong apartemen yang membuat suaranya bergema. Kenapa tidak ada orang yang keluar? Siapa saja tolong aku! Detik itu juga pintu lift kembali terbuka. Dentingan suaranya tidak terdengar karena Erlangga masih berada di posisinya yang sama. Namun kemudian pria itu seketika sudah berada di lantai dan ada seorang pria yang memukulinya. Bianca terlepas dari cengkraman Erlangga dan sempat kehilangan keseimbangan kalau saja tidak ada orang lain yang menangkapnya. “Mbak, nggak apa-apa?” Pria yang Bianca kenal sebagai petugas keamanan gedung apartemen itu menatapnya cemas. Bianca mengangguk. Lalu pria itu menghampiri orang yang masih memukuli Erlangga dan menariknya untuk memisahkan mereka. “Sudah, Mas. Cukup! Biar nanti kita akan tindaklanjuti di kantor saja.” Pria petugas itu langsung mengangkat tubuh Erlangga yang sedikit babak belur. “Silakan ikut kami dan jelaskan di kantor! Mbak Bianca dan Mas-nya juga ya sebagai saksi.” Detik itu juga Bianca baru menyadari bahwa pria yang sedang memukulinya itu adalah Dion! *** “Kamu yakin?” Setelah memberikan keterangan di kantor keamanan gedung apartemen. Dion masih bersama Bianca dan menemaninya mengemas beberapa barang untuk pindah sementara di hotel dekat kantor. “Aku cuma butuh tiga hari. Weekend ini aku akan pulang ke rumah orangtuaku.” Dion mengangguk. “Aku setuju. Kamu bisa menenangkan diri disana.” Bianca menutup koper berukuran sedang untuk menampung bajunya selama di hotel dan membawa baju cadangan juga. Dia menghampiri Dion yang sudah menunggunya di depan pintu. “Mas Dion menyelamatkan aku lagi. Aku nggak tau kalau nggak ada Mas Dion akan terjadi apa malam ini.” Bianca menunduk. Suaranya lemah. Saat memberikan keterangan. Dion memang berniat langsung pulang setelah mengantarkan Bianca namun dia berhenti dan memastikan kepada petugas keamanan perihal Erlangga. Untungnya ada satu diantara mereka yang sadar akan gerak-gerik Erlangga. Dia mempunyai kartu akses yang didapatkannya dari salah satu penghuni apartemen yang merupakan temannya. Orang itu juga tidak menyangka bahwa Erlangga akan bertindak sejauh ini dan kemudian meminta maaf kepada Bianca. Mereka berakhir damai lantaran Bianca yang tidak mau memperpanjang masalah ini. Dengan satu syarat bahwa Erlangga tidak boleh lagi menginjakkan kaki di apartemen ini dan juga bertemu dengan Bianca. Disaksikan oleh pihak keamanan dan juga Dion lalu penghuni unit lain yang memberikan kartu akses, Erlangga menandatangani perjanjian di atas materai itu. “Aku akan menjaga kamu, Bee.” Dion berujar mantap. Malam itu tepat pukul dua belas, Dion masih bersikeras untuk mengantarkan Bianca sampai ke kamar hotel. Dia benar-benar ingin memastikan Bianca aman dengan mata kepalanya sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN