Part 13: You Have My Word

1083 Kata
Sisil datang setengah jam setelah menutup panggilannya. Padahal kalau diperkirakan dari jarak tempat tinggalnya dengan jarak hotel tempat Bianca menginap memerlukan sekitar satu jam kurang dikit. “Cepet amat, ngebut ya?” “Itu nggak penting!” Sisil langsung nyelonong masuk kamar hotel. “So, bagaimana bisa sampai rumor itu terjadi? Lo bener-bener ada disini?” “Satu-satu, Sil. Duduk dulu.” Bianca duduk di pinggiran kasur. Dirinya sudah mengganti baju tidur dan rambutnya dibiarkan setengah kering tanpa bantuan dari hair dryer. “Beberapa hari yang lalu, ada orang yang dengan sengaja menguntit gue sampai di depan pintu unit apartemen. Lo pasti udah bisa nebak dia siapa.” Bianca memulai ceritanya. Sisil terkesiap, raut wajah Sisil langsung dibenarkan oleh Bianca. “Kok bisa-bisanya dia bertindak sejauh itu?” Menurut Sisil, aksi Erlangga mengirim pesan-pesan berisi makian dan juga kirim paket barang pemberian Bianca yang sudah rusak sudah merupakan tindakan yang nggak wajar. Bianca tidak memberikan respon karena dia masih memikirkan hal yang sama dengan yang Sisil pikirkan. “Untung masih ada Dion yang nemenin. Gue nggak bisa ngebayangin kalau lo sendirian ngadepin amukan Erlangga. Lagipula, kenapa nggak lo proses aja ke polisi sih?!” “Gue nggak mau ribet, kalau dia masih berani menunjukan mukanya di depan gue. Mungkin gue baru akan ke polisi.” “Iya kalau lo masih bisa menjamin nyawa lo masih selamat. Kita nggak pernah tahu bisikan setan macam apa ke orang yang udah dikuasai hawa nafsu begitu.” “Besok gue check out, temenin gue nginep di apart ya?” Tanpa berpikir panjang, Sisiliya langsung mengangguk setuju. “Soal rumor nanti kita pikirin gimana cara ngadepinnya. Yang penting lo aman dulu.” “Lo kenapa nggak perlu bilang sama ortu lo aja? Dan kenapa lo lebih milih nginep di hotel dibanding pulang ke rumah orang tua sendiri?” Sisil tampak khawatir dengan apa yang menimpa sahabatnya itu. Bianca menggeleng. “Hubungan gue malah akan tambah jelek kalau gue kasih tau yang sebenarnya. Soalnya kan dari dulu mereka emang nggak suka sama dia.” Itulah sebabnya, kemarin Bianca melarikan diri ke hotel selama tiga hari alih-alih pulang ke rumah orang tuanya. Ia tidak mau menimbulkan pertanyaan dan juga belum siap untuk menjelaskan. “Nanti kalau udah saatnya, gue pasti cerita ke mereka.” Ucap Bianca setelah melihat raut wajah sahabatnya itu tidak kunjung reda dari kecemasan. Ada pesan masuk dari Dion. Setelah tiga hari yang lalu mereka bertukar nomor ponsel, baru kali ini ia menerima pesan dari Dion. Dion Mahesa: Kamu lagi sibuk nggak? Aku mau telepon. Sempat ragu awalnya Bianca karena mengingat dirinya sedang tidak sendirian. Bianca Janitra: Sibuk sih enggak, tapi ada Sisil lagi nemenin. Ada apa, Mas Dion? Dion memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan lewat chat. Dion Mahesa: Sisil sedang bersama kamu? Apa dia menceritakan sesuatu tentang orang kantor? Bianca Janitra: Iya, dia langsung menghubungi aku dan langsung meluncur ke sini. Mas Dion sudah denger juga berarti ya? Dion Mahesa: Iya, aku baru tahu tadi banget. Kita perlu meluruskan hal ini ya. Gosip seperti ini biasanya hanya memandang rendah pihak perempuan bukan laki-lakinya. Bianca Janitra: Aku pikir lebih baik tidak usah dipikirin, nanti pasti akan hilang sendiri gosipnya, kan nggak bener juga apa yang mereka gosipin. Dion berhenti mengetik. Tapi, Bianca baru menyadari bahwa mungkin saja Dion yang keberatan karena kan dia yang punya pacar. Bianca sendiri sudah putus. Bianca Janitra: Mas Dion, keberatan kalau gosip itu terus menyebar ya? Apa pacar Mas Dion udah tahu? Dion Mahesa: Nggak kok. Aku nggak keberatan tapi juga nggak mau berita ini terus menyebar. Aku kepikiran soal kamu yang keberatan pagi itu takut digosipin. Takutnya malah makin parah kenyataannya. You have my word, Bee. Aku akan bilang ke orang-orang kalau apa yang mereka pikirkan itu nggak bener. Bianca tertegun. Ia tidak tahu harus membalas apa. Kenapa Dion sampai segitunya kepada dirinya? Tanpa disadari, Sisil sudah berpindah tempat. Kali ini dia sedang menjulurkan lehernya untuk melihat isi percakapan Bianca dengan Dion beberapa saat yang lalu. “Sudah naik level nih hubungannya. Udah tukeran nomer segala.” Komentarnya. Bianca diam saja. Hanya menghembuskan napasnya. “Hati-hati, Bianca. Kali ini gue serius.” Kata Sisil. Sorot matanya begitu tajam seolah membuktikan perkataannya kalau dia memang bersungguh-sungguh. Bianca tahu itu. *** Sudah diduga oleh Bianca kalau saat dia masuk ke kantor pada hari Senin, setelah rumor menyebar dengan cukup ganas pada akhir pekan kemarin. Hampir semua orang dari yang kenal sampai tidak kenal dengannya sebelumnya melihatnya dengan tatapan penasaran dan sedikit menuntut. Yah resiko karena lagi jadi pusat perhatian. Bianca mengucapkan hal itu dan menanamkan mindset guna menenangkan dirinya. Salah satu rekan kerja yang Bianca kenal tapi tidak begitu akrab datang menghampirinya pada jam istirahat. “Halo, Bianca… apa kabar nih?” Farah namanya. Perempuan bertubuh tambun dengan rambut yang dikuncir kuda berwarna hitam legam itu datang dengan wajah sumringah yang dibuat-buat. “Langsung saja, nggak usah basa-basi.” Tembak Bianca masam. Farah akhirnya menyengir lebar. “Emang gosipnya bener?” “Gosip apa?” Bianca pura-pura nggak tahu. “Masa orang yang digosipin nggak tahu?” Farah meledek. “Lo pacaran sama Pak Dion? Manager Finance?” “Farah, kalau gosip itu berarti berita bohong. Jangan dipercaya.” Bianca mengibas-ngibaskan tangannya sambil menyeruput es kopi yang sengaja ia beli dari luar. “Nggak juga. Gosip itu bisa jadi fakta yang tertunda.” Farah kekeuh. “Nggak bener. Nggak usah di dengerin lah. Orang dia udah punya pacar.” Bianca sedikit menggigit bibir bawahnya. “Bukannya lo udah punya pacar juga? Berarti kalian selingkuh dong?” “Dong? Dongdong. Kan tadi udah gue bilangin kalau itu nggak bener.” “Terus lo ngapain di hotel sama Dion?” Bianca tidak sadar memutar bola matanya. Kesal. Tapi sedetik kemudian dia bingung bagaimana harus mengutarakan tanpa membuka kejadian yang ia alami pada malam itu. “Nggak sengaja ketemu di hotel. Saya lagi ketemu dan sarapa sama teman lama saya lagi nginap di hotel yang sama dengan Bianca.” Tiba-tiba saja ada suara Dion yang datang dari belakang dirinya dan Farah. Keduanya sama-sama menoleh. Farah langsung gelagapan. “Eh ada pak Dion. Maaf, Pak.” Bianca tadinya mau ketawa ngakak kalau ngeliat ekspresi Farah saat ini cuma dia nggak mau memperburuk mood-nya. “Saya mau ngasih ini sekalian.” Dion memberikan sebungkus kotak kue yang berasal dari kampung halamanannya. “Kata pacar saya, ini lagi hits disana. Cobain ya. Kamu juga, Bianca.” Dion menyunggingkan senyuman yang tidak bisa Bianca artikan. Kata pacar saya. Bianca mengulang kalimat Dion dari dalam hati dan ada perasaan sedikit cemburu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN