Kotak itu terlempar cukup jauh yang mengakibatkan isinya terurai ke lantai. Ada beberapa barang yang Bianca kenali sebagai pemberiannya untuk Erlangga yang kini sudah hancur lebur di tambah ada percikan darah yang cukup banyak sehingga mampu membuat Bianca terpekik terkejut.
Ketika Bianca mendekat menyerok pecahan kaca dari jam tangan merk ternama itu ada rasa sakit yang menghinggapinya. Tapi dia hanya bisa tersenyum getir.
Ditemukannya selembar kertas yang terlipat. Bianca membuka dan menemukan satu kata yang ditulis dengan menggunakan goresan pulpen.
Wanita Jalang!
Ia cukup tersentak. Selain kata itu ditulis untuk Bianca yang dikirimkan oleh Erlangga. Nada dering ponselnya berbunyi dan menampilkan nama pria itu dari layarnya.
Walaupun ragu untuk menjawabnya, tapi pada akhirnya Bianca menjawab setelah membiarkannya berdering cukup lama.
"Sudah terima hadiah dariku?" Suara Erlangga terdengar dari seberang. Dari nada suaranya, terdengar pria itu seperti sedang menahan emosinya.
Bianca diam saja. Mengatur nafasnya agar untuk membantunya agar tidak meledak.
"Kenapa diam saja? Kamu pasti tidak menyangka aku merusak pemberianmu kan? Aku hanya memberikan contoh untuk dirimu. Sekarang, aku melihatmu sebagai jam tangan yang sudah hancur. Sama seperti dirimu. Perempuan yang berselingkuh."
Bianca memejamkan matanya. Dia masih bergeming.
"Kamu menolak untuk menungguku, ternyata kamu sudah menjalin hubungan dengan pria lain dan memojokkanku seolah-olah aku yang paling bersalah. Tapi ternyata, kamu yang jauh lebih buruk. Sudah sampai mana hubunganmu dengan pria itu? Sudah pernah tidur bareng? Hah! Menjijikan."
Bianca menghembuskan napasnya perlahan. Sangat perlahan. Dadanya sudah mulai terasa sesak.
"Seharusnya aku memang tidak pernah bertemu denganmu. Aku menyesal telah bertemu wanita jalang sepertimu!" Pria itu berteriak lalu terdengar sesegukan kemudian beberapa detik kemudian dia tertawa.
Lalu telepon dimatikan dan segalanya mendadak sunyi.
Bianca masih termenung di tempatnya. Menyerap semua perkataan Erlangga terhadap dirinya.
Apa yang sudah aku lakukan?
Bulir air mata perlahan turun membasahi pipi Bianca sepanjang malam hari itu.
***
Sampai dua hari kemudian, Erlangga masih cukup sering mengirimi pesan berisi makian dan memojokan Bianca. Makian itu berisi sumpah serapah dan panggilan jalang sudah menjadi sebuah sebutan yang sudah harus disebutkan oleh pria itu.
Sampai pada hari kedua itu Bianca memutuskan untuk memblokir nomor mantan pacarnya demi kebaikan dirinya. Selama dua hari itu, Bianca berusaha untuk menutup diri dan memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, Sisil merasakan adanya perubahan dari diri Bianca. Dia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Tapi Bianca menolak untuk menceritakan lebih lanjut.
Malam hari itu, Bianca pulang sudah cukup larut. Bianca tidak lagi menerima paket dan dia juga tidak membeli barang secara online untuk beberapa hari ini dan lebih memilih untuk pergi ke toko offline. Dia juga bilang kepada satpam apartemen untuk mengingat-ingat wajah Erlangga dan melarangnya masuk.
Langkahnya berjalan menuju lift yang masuk tertutup dan digunakan oleh penghuni lain. Dia menunggu sambil termenung.
Pesan terakhir dari Erlangga masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Pria itu masih menyalahkan dirinya. Mengatakan penyesalan tiap pesan yang berhasil dikirimkannya.
Memang benar apa kata orang bahwa orang terdekatmu akan berpotensi tinggi untuk menyakitimu. Semasa mereka bersama, ruang lingkup hidupnya hanya di kantor dan juga sosok pria itu sendiri. Kini, pria itu yang paling lugas melontarkan kata-kata kasar hingga membuat dirinya semakin terpuruk.
“Bee?” Suara Dion menyadarkan Bianca dari lamunan panjang di pantry. “Are you okay?” Tanyanya lagi ketika melihat wajah Bianca yang tidak seceria biasanya.
“Aku baik-baik saja kok.” Ia tersenyum. Untuk menguatkan dirinya sendiri. Karena sedari tadi dia sudah berusaha untuk menahan air mata agar tidak terjatuh membasahi pipinya.
“Kopi?” Dion mengalihkan pembicaraan.
Dia mengangguk dan kemudian mengambil kopi yang masih ada di mesin kopi. Ternyata dia sudah cukup lama berdiam diri disini. Bianca bangkit dan pamit kembali ke cubiclenya. Pikirannya masih berkecamuk.
Pria itu memanggil lagi, tapi Bianca sudah terlanjur pergi menjauh. Bianca yakin, kalau Dion akan beranggapan kalau dia tidak mendengar karena jarak diantara mereka sudah cukup jauh. Padahal, Bianca hanya menghiraukannya.
Di meja, ada sebuah kotak yang mengingatkannya pada kotak pemberian Erlangga beberapa hari yang lalu. Seketika dadanya langsung berdegup kencang.
“Sil, ini dari siapa?” Bianca bertanya pada rekan kerjanya.
“OB yang kirim katanya ada titipan. Lo bukannya pesen sesuatu?”
Bianca menggeleng. Wajahnya terlihat sudah pucat pasi. Sisil menyadari hal itu langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Bianca. “Erlangga masih coba menghubungi lo selama ini?”
Bianca tidak tahu harus jawab apa. Tapi, tidak lama kemudian dia mengangguk. “Tapi gue abaikan setelah mendapatkan ini…” Wanita itu memperlihatkan sebuah gambar yang diambil dari ponsel setelah menerima paket berisi jam tangan rusak dan ada bercak darah yang entah dari mana. Dia juga menjelaskan secara singkat tentang sikap Erlangga yang terus menghubunginya dan mengirimkan cacian dalam bentuk pesan singkat.
“Lo pacaran sama psikopat selama ini.” Sisil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Dari sekian banyak kasus putus hubungan yang disaksikan itu tidak berdampak cukup parah yang dialami oleh Bianca.
Sahabatnya itu hanya mengangkat kedua bahunya.
Mereka berdua kini melihat ke arah kotak misterius itu bergantian. “Mau dibuka bareng?”
Bianca menggeleng, “Lo aja, nggak apa-apa kan?”
Sisil mengangguk mantap lalu langsung membuka kotak berwarna coklat yang dibungkus paper bag dengan perlahan. Ketika membukanya, tidak ada yang mencurigakan. Kotak itu berisi makanan cookies yang dikirimkan oleh Ibunya Bianca. Detik itu juga mereka berdua langsung menghembuskan napas lega.
Bianca mengecek pesan dari Ibunya yang baru sempat ia buka dari ponsel.
Mama: Mama ada keperluan di dekat kantor kamu, mau mampir tapi bukan jam istirahat. Mama bawakan cookies kesukaan kamu. Minggu ini pulang ya, Papa kamu sudah kangen.
Belakangan ini hubungannya dengan kedua orangtuanya tidak berjalan dengan baik dan Bianca sudah jarang sekali pulang ke rumahnya bahkan di hari-hari libur besar. Padahal jarak antara apartemen ke rumahnya hanya sekitar satu jam perjalanan. Mengingat kejadian ini, Bianca masih saja meninggikan egonya untuk bertemu orang tua yang sedari awal sudah menentang hubungan mereka.
Apakah hubungan yang tidak direstui oleh orang tua akan selalu berakhir seperti ini?
“Lo sampe parno begini, kenapa nggak langsung cerita sama gue waktu kejadian?” Panggilan Sisil membuyarkan lamunannya. Sejak putus dengan Erlangga dengan dramatis, Bianca jadi lebih sering melamun.
“Gue cuma butuh waktu itu berpikir dan merenung. Dia begini kan juga atas andil perbuatan gue.” Karena dia melibatkan Dion yang berpura-pura sebagai pacarnya demi meninggalkan Erlangga yang masih ingin bersamanya.
Tidak jauh dari tempat mereka, ada seseorang yang mendengar pembicaraan mereka tanpa mereka sadari.
***
“Lo yakin malam ini tidur sendiri? Nggak mau tinggal di tempat gue atau gue nginep di tempat lo?” Sisil kembali memastikan saat mereka sudah di jalan keluar gedung perkantoran.
“Nggak apa. Gue udah menghubungi pihak keamanan gedung apartemen.” Walaupun di dalam hatinya ia masih sedikit was was, tapi dia tidak mau ada orang lain yang ikut susah dengan keadaannya.
Sisil dan Bianca berpisah di depan gedung. Malam hari itu mereka berdua tidak membawa kendaraan pribadi. Bianca memutuskan untuk berjalan-jalan sepanjang jalan trotoar sampai menghubungkan jembatan penyeberangan untuk berpindah rute menuju arah apartemennya.
Tapi entah perasaannya saja atau bukan Bianca merasa ada yang mengikutinya sejak tadi dia keluar dari gedung perkantoran. Suasana malam hari itu sebenarnya tidak sepi, masih banyak pejalan kaki yang menemaninya dengan tujuan yang sama. Apalagi saat Bianca naik ke jembatan penyebrangan.
Saat Bianca menoleh ke belakang dengan hati-hati. Pria yang sejak tadi ada di belakangnya juga membelok ke arah yang sama dengan Bianca. Kali ini dia yakin ada yang mengikutinya.
Bianca mulai mempercepat langkahnya menyebrangi jembatan penyebrangan orang yang sudah direnovasi dan diberikan penerangan yang optimal. Tetapi jantungnya masih berdegup kencang sampai ada orang yang menepuk pundaknya.
“Ah!” Pekik Bianca cukup terkejut dan membuat orang-orang disekitarnya menoleh dan menatapnya bingung.
“Bee?” Dion memandang wajah Bianca yang terkejut setengah mati.
“Mas Dion?!” Bianca juga tidak kalah terkejut melihat kenapa rekan kerja yang disukainya itu kini ada di hadapannya.