Part 9: Canggung

1113 Kata
Sedetik kemudian Bianca akhir tersadar dan menjauhkan diri dari dekapan Dion yang masih memeluknya erat. Menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Semburat merah sebenarnya sudah keluar dari kedua pipi Bianca tapi ia mencoba untuk menutupinya dengan menunduk dan akhirnya berakhir salah tingkah. “Maaf atas sikapku tadi, Mas. Aku sudah kehabisan akal, dan hanya itu yang terpikirkan olehku.” Gadis itu sudah berkali-kali minta maaf. Dion tidak langsung menjawab. Selagi Bianca tidak berani menatap Dion, yang dilakukan oleh pria itu adalah menatap gadis di depannya dengan sebuah tatapan yang cukup sulit untuk ditebak. “Nggak apa-apa, aku paham kok situasi kamu saat ini.” Jawabnya pada akhirnya. “Untung aku datang kesini, kalau tidak mungkin sudah terjadi sesuatu yang tidak-tidak diantara kalian.” “Mungkin saja. Terima kasih, Mas.” Pria itu kini menyunggingkan senyum tipis. “Aku kesini lagi karena ingin memberikan kamu ini.” Dion menyerahkan satu buah paper bag yang ternyata berisi minuman kesehatan salah satunya minuman herbal yang Bianca tahu untuk menjaga imunitas tubuh. “Aku sedikit khawatir melihatmu sakit beberapa hari yang lalu. Terlebih disaat kamu sebenarnya ada masalah dengan mantan kamu.” Bianca bergeming. Kini, masalahnya sudah diketahui oleh Dion. Sebenarnya Bianca tidak ingin Dion tahu tentang permasalahannya dengan Erlangga tapi karena kejadian ini Dion jadi ikutan terlibat. Karena Dion paham akan ketidaknyaman yang sedang dialami oleh Bianca, maka ia langsung pamit pulang. Meninggalkan Bianca merutuki sikapnya yang bisa bisanya nyium cowok orang di depan mantan pacarnya sendiri? Cowok orang itu bukan sembarang cowok orang, tapi cowok orang yang ia suka. Jaga hatimu, Bianca! Tapi, malam itu Bianca tidak bisa tidur karena bayang-bayang bagaimana mereka berpelukan dan berciuman masih menguasai pikirannya. *** Setelah kejadian itu, Erlangga benar-benar menghilang dari hidupnya. Dia tidak lagi menunggu atau meninggalkan jejak apapun di depan pintu apartemen Bianca. Akhirnya, gadis itu bisa bernapas lega meskipun kehilangannya masih meninggalkan lubang yang menganga di dalam hatinya. Walaupun Bianca menginginkan perpisahan ini bukan berarti dia langsung melupakan Erlangga. Dia perlu waktu, dan ini adalah langkah awalnya. Tapi hubungannya dengan Dion malah jadi canggung. Keesokan hari dan seterusnya dia melihat pria itu melakukan aktivitas seperti biasa. Padahal Bianca sudah susah tidur hanya karena memikirkan pria itu. Lalu ia menggelengkan kepalanya keras. “Mulai lagi konsletnya nih.” Sisil rupanya melihat tingkah aneh dari Bianca. “Nggak ke pantry? Biasanya pagi-pagi ada maksud sekalian kesana?” Bianca menimbang-nimbang, “Nggak ah, masih ada kok ini tadi bawa dari apart.” Sebenarnya, dia hanya takut bertemu dengan Dion. Karena melihatnya saja, dia sudah kembali menjadi salah tingkah. Sahabatnya itu Sisil rupanya menyadari ada kejanggalan dari Bianca dan ingin mengutarakan pendapatnya bahwa pagi ini bukanlah seperti Bianca pada biasanya tapi dia mengurungkan niatnya dan mulai bekerja. Tapi namanya bekerja di satu perusahaan dan satu lantai cubicle yang terbuka seperti ini pasti tidak mungkin mereka tidak saling bertemu dan bertatap muka. Sesudah makan siang, Bianca sudah bersiap dengan kopi kedua untuk semakin memfokuskan diri. Selama menunggu mesin kopi bekerja di Pantry, Bianca lagi-lagi termenung sambil mengetuk-ngetukan jari ke maja yang tanpa ia sadari ada Dion yang sudah berada di Pantry. Menunggu Bianca tersadar dari lamunannya. Bianca cukup terkejut karena melihat Dion sudah bersandar di dinding menyilangkan tangannya. Sedang menatapnya. “Ngelamunin apa sih? Sampai nggak sadar ada orang disini?” Tanya Dion basa-basi. Sikapnya lebih tenang dari yang Bianca sangka. Mungkinkan dia hanya menganggap ciuman itu hanya angin lalu saja? Jangan coba-coba berpikir seperti itu. Nanti kamu nyesel sendiri. Siapa elo mau ciumannya diakui sama dia? Kata suara lain di dalam benaknya membuat Bianca sadar diri. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok.” Bianca tentu saja berbohong. Nggak mungkin kan dia ngaku kalau dia mikirin orang yang lagi ada di depannya. Dion hanya menganggukkan kepalanya. “Mantan kamu udah nggak gangguin kamu lagi kan?” “Sejauh ini, nggak ada. Semoga seterusnya.” “Laki-laki seperti itu biasanya tidak terima harga dirinya terinjak-injak. Kamu harus berhati-hati, Bianca. Kalau bisa minta pihak apartemen untuk blacklist dia sebagai tamu.” Bianca mengangguk mengerti. “Aku turut sedih tentang permasalahan kalian, semoga kamu bisa cepet move on dan tidak terjadi apa-apa kedepannya.” Bianca mengamini. “Mas, aku minta maaf banget waktu itu sudah buat masalah baru, jadinya Mas Dion mau nggak mau terlibat dalam masalah aku.” “No worries. Kalau itu bisa buat kamu nyaman.” “Kalau Mas Dion butuh bantuan aku, aku dengan senang hati mau bantuin.” “Aku ikhlas kok, jangan dipikirin ya.” “Jangan ditolak dulu ya, Mas. Aku sebenarnya nggak enak dan kepikiran selama beberapa hari ini.” “Oke, nanti aku hubungi kalau butuh bantuan kamu ya.” Dion memasang senyumannya. “Sekarang sudah lega?” “Sedikit.” Sudah beberapa hari berlalu. Bianca sudah melupakan kejadian malam itu karena sikap Dion yang tidak mengingatnya kembali. Pria itu kini sudah tidak lagi memanggilnya dengan panggilan ‘Bee’ yang biasa dia lakukan. Entah kenapa Bianca merasa sedikit kehilangan juga. Padahal, sebelum ini. Bianca bersikeras untuk menolak niat baik pria itu demi menjaga hatinya agar tidak kebablasan. Bianca masih tidak bisa memandang Dion hanya sebagai rekan kerjanya karena di dalam hatinya, dia menyukai pria itu tapi hanya sebatas suka tanpa berniat untuk memberitahu pria itu. Terlebih, Dion katanya juga sudah berencana untuk menikah. Bianca harus bisa menahan rasa sakit hatinya karena dia juga tidak ingin dijadikan kedua terus menerus oleh Erlangga. *** Bianca baru pulang pada pukul sembilan malam hari ini, karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, biasanya di awal bulan di akhir dan awal bulan divisi accounting akan extra bekerja menyusun laporan untuk diserahkan sampai ke jajaran direksi. Baru saja dia meletakan tas dan tubuhnya di sofa bed yang ada di ruang tamu. Membuka ponsel untuk memastikan apakah ada yang menghubunginya atau tidak. Karena dirinya pulang duluan dan rekan kerjanya masih bertempur dengan tumpukan laporan, tidak jarang ketika sudah sampai di rumah ada beberapa chat yang menanyakan perihal pekerjaan. Sebelum naik ke lantai apartemennya berada, Bianca sempat mengambil beberapa paket yang ditaruh di loker penerimaan barang. Karena Bianca memang sempat berbelanja online beberapa hari terakhir dan belum sempat ia ambil karena kesibukannya. Setelah cukup mengistirahatkan sejenak raga dan pikirannya, Bianca mulai membuka satu persatu paket. Ada satu paket tersisa yang tidak ada pengirimnya, hanya tertulis nama penerimanya saja yaitu Bianca Janitra. Awalnya ia ragu takut jika paket itu bukan untuk dirinya atau tertukar tapi ketika melihat nama lengkap dan nomor unit apartemen yang tertulis jelas membuat Bianca yakin bahwa ini memang untuk dirinya, Hati-hati, ia membuka bungkusan luar yang hanya dilapisi plastik menyisakan kotak polos berwarna silver. Bianca membukanya lalu terkejut sampai melempar kotak tersebut beserta dirinya yang terjungkal ke belakang menghantam pinggiran sofa yang ada di sebelahnya. “Aaah!” Pekik Bianca kencang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN