Part 7: Perpisahan

1179 Kata
Akibat menangis semalaman suntuk dan ditambah tidak tidur. Yang terjadi pada Bianca pada pagi hari ini adalah mata sembab, hidung merah, wajahnya sedikit membengkak. Dengan penampilannya seperti ini. Orang akan menilai dengan mudah kalau dia terlihat seperti sedang patah hati. Meskipun berat Bianca melewati hari ini dengan cukup baik. Namun dia tidak dapat menghindari pertanyaan dari Sisil yang pada akhirnya membuat membuka suara. Sisil menawarkan menginap di rumahnya jika Erlangga masih mengganggunya. “Tidak usah, Sil. Dia sudah tidak punya kartu askes jadi tidak bisa menggangguku.” Bianca menolak halus. “Jangan remehkan lelaki seperti itu, Bianca. Dia bisa saja menggunakan cara kekerasan.” Sisil mengungkapkan kekhawatirannya. “Mungkin. Aku akan minta satpam untuk tidak mengizinkannya masuk ke gedung apartemen.” Bianca mencari solusi lain tapi Sisil tampak keberatan. Dia masih bersikeras untuk menemaninya. “Terima kasih sudah perhatian, tapi kali ini gue pengen sendiri dulu.” “Hubungi gue kapan aja lo butuh yah?” Bianca langsung menyetujuinya. Hari itu Bianca menjadi gila-gilaan bekerja. Dia sengaja tidak langsung pulang karena dia tidak ingin terlalu lama berdiam diri. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam saat perempuan itu mulai bangkit dari kursinya dan mengambil tas berwarna hitam bermerk cukup terkenal. Bianca menunggu pintu lift terbuka. Pikirannya kembali melayang ke hari sebelumnya. Karena hari ini dia sudah berusaha keras untuk tidak menangis. Wajah sembabnya sudah cukup banyak memudar. “Bee? Baru pulang jam segini?” Dari arah sebelah kanannya, ada suara Dion menyapa. Bianca menoleh dan melihat pria itu dengan tatapan biasa. Dia memang menyukai DIon dan sesuai dengan dugaannya bahwa dia hanya menyukai lelaki itu. “Lembur, Mas. Mas Dion sendiri gimana juga baru pulang?” “Baru selesai laporan bulanan.” Pria itu menyadari sesuatu yang berbeda dari Bianca. “Bee, kamu sakit? Wajahmu kelihatan lebih sendu dari biasanya.” “Nggak sakit kok, aku memang kurang tidur aja.” Bianca tidak sepenuhnya berbohong. Sedetik kemudian pintu lift terbuka dan membawa mereka turun menuju lantai dasar untuk Bianca dan lantai basement untuk Dion. Di dalam lift mereka tidak banyak terlibat pembicaraan. Bianca sibuk dengan pikirannya sendiri. Tampaknya Dion menyadari ada perubahan dari cara Bianca meresponnya. Namun dia memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa. Pria itu menawarkan tumpangan untuk Bianca tapi perempuan itu menolaknya. Dia benar-benar ingin sendiri dan mungkin mempertanyakan hatinya apa yang salah dengan dirinya sampai dia dibohongi dan berstatus sebagai orang kedua? Tepat di depan pintu apartemen, ada sosok Erlangga yang sedang berdiri. “Sedang apa kamu disitu?” Bianca berhenti di jarak yang cukup jauh dari tempat Erlangga berdiri. “Aku sedang menunggumu. Kamu baru pulang jam segini?” reaksinya begitu santai. “Sungguh mengejutkan. Kamu biasanya tidak pernah datang pada hari Rabu?” Bianca bertanya sinis. “Aku memang biasa pulang jam segini. Waktunya lembur. Kamu bahkan tidak tahu kapan aku pulang Dan kamu ada disini cukup membuatku terkesan. Kamu sudah tidak gila kerja lagi?” “Bianca…” Erlangga memanggil namanya. “Aku kesini membawakanmu makan malam. Bisa kita berbicara sebentar?” Disaat seperti ini dia bisa-bisanya mengajaknya mengobrol sambil makan? Bianca tidak habis pikir. “Kita sudah berakhir, Erl. Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Sebaiknya kamu pergi.” “Aku ingin mempertahankan hubungan kita. Aku tidak mau kita berpisah.” “Apa kamu sudah gila? Setelah aku dijadikan selingkuhanmu, sekarang kamu minta aku apa? Menunggumu?” “Dengarkan aku dulu, Bianca. Aku baru mau cerita sama kamu tapi ternyata waktunya tidak pernah tepat.” “Mungkin memang seharusnya seperti itu. Kamu sudah membohongi aku dari awal kita kenal bahkan kamu tidak meminta maaf dan memaksa untuk mendengarkan dari sudut pandangmu? Apa kamu tidak menyadari kesalahanmu selama ini?” Bianca sudah meninggikan intonasi suaranya. Dia sudah tidak habis pikir dengan cara jalan pikiran pria yang pernah menjadi pacarnya selama tiga tahun itu. “Aku minta maaf, hunny. Aku bukannya berkelit tapi aku memang punya alasan untuk itu. Selama ini aku tidak pernah bisa bahagia bersamanya.” “Aku rasa itu bukan urusanku.” Bianca benar-benar muak kali ini. “Bianca, kumohon. Jangan seperti ini.” Pria itu memajukan langkah mendekati Bianca. Perempuan itu mundur selangkah darinya. Menjauh. “Pergilah, Erlangga. Jangan ganggu aku lagi. Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi.” Setengah memelas karena tidak kunjung mendapatkan pengertian dari Erlangga. Erlangga bergeming. Bianca memilih untuk memasuki rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Malam itu, dia kembali tidak bisa tidur. Setiap kali dia memejamkan mata, yang terlihat adalah bagaimana wajah Ameera dan Erlangga yang terus hadir menatapnya dengan tatapan mengejek. *** Bianca mengajukan cuti selama tiga hari kedepan. Dia tidak bisa bangun dari kasurnya karena kepalanya seperti terasa dihantam sesuatu yang berat. Sisil datang pada sore hari untuk memberikannya makanan dan barang apa saja yang dia butuhkan. Tapi yang lebih mengejutkannya lagi adalah Sisil tak datang seorang diri. Dia datang bersama Dion yang juga tampak mencemaskan dirinya. “Aku tidak sempat memberitahumu lagipula Dion agak setengah memaksa.” Sisil menyampaikan permintaan maafnya karena tidak mengkonfirmasi kepada Bianca. Bianca tidak mempermasalahkan. Dia duduk di sebuah sofa bed yang ada di ruang tengah dan televisi menyala. Dia sudah bisa bangun tapi demamnya masih belum turun. “Kamu sudah memberitahu Ibumu?” Tanya Sisil sambil mengeluarkan beberapa bahan makanan dan obat-obatan yang diperlukan. “Tidak usah. Aku sudah enakan kok.” Sejujurnya, Bianca tidak siap untuk memberitahu keadaan dirinya. Selama ini dia menghindar orang tuanya karena mereka sejak awal tidak setuju dengan hubungannya. Jika sekarang, mereka mengetahui bahwa dia sudah putus dan dikhianati. Entah bagaimana respon mereka dan malunya Bianca dihadapan Papi dan Maminya. Sisil mengetahui itu. Bianca pernah bercerita kepada rekan kerja yang sudah seperti sahabatnya itu. Dion sudah menghampiri dirinya membawakan bubur. “Kamu harus makan dulu agar bisa minum obat.” Bianca menyunggingkan senyum sopan. Dia mengambil mangkuk dan mulai menyuapkan satu sendok demi sesendok bubur yang masih panas itu. Sisil dan Dion pamit pulang setelah memastikan Bianca sudah benar-benar meminum obatnya. Dion bergeming di pintu untuk mengatakan sesuatu kepada Bianca, sedangkan Sisil berjalan dan menunggu di depan pintu lift untuk memberikannya ruang privasi. “Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatmu ketika aku tahu kamu sakit. Aku mau minta maaf kalau aku lancang memaksa Sisil untuk ikut dengannya menjengukmu.” Ujar Dion kepada Bianca. “Tidak apa-apa, Mas. Makasih sudah datang menjenguk.” “Bolehkah, aku datang lagi kesini?” Tanya Dion dengan penuh harap. Bianca bukan orang yang bodoh. Dia tahu Dion mempunyai perasaan lebih dari sekedar rekan kerja yang cukup dekat atau rekan kerja yang datang untuk menjenguknya ketika sakit. Mungkin beberapa hari yang lalu Bianca belum memikirkan bagaimana jika dia berada di posisi Ameera atau pacarnya Dion ketika pacarnya mendekati perempuan lain. Mungkin dia memang tidak tahu tentang Erlangga yang sudah memiliki perempuan lain selama ini. Tapi dia tahu kalau Dion sudah punya perempuan pilihan untuk dinikahi. Inilah saatnya dimana dia mulai menjauh. “Aku udah baikan kok, bentar lagi masuk kantor.” Bianca menolak secara halus. Pria itu bergeming, Bianca setengah berharap bahwa Dion bisa mengerti maksud Bianca. Kalaupun Dion memang benar menyukaiku, tidak ada bedanya saat aku bersama Erlangga. Aku hanya dijadikan kedua. Selingkuhannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN