Erlangga tidak pernah menyerah dengan keputusannya. Sudah seminggu, Bianca terus melihat pria itu berdiri di depan pintu apartemennya untuk meminta maaf atau bahkan sesekali meninggalkan makanan. Bianca sudah lebih baik lagi. Dia sudah mulai menerima nasibnya yang ternyata dijadikan selingkuhan itu.
Ngomong-ngomong soal Dion, pria itu tampak menyadari perubahan sikapnya semenjak dia menjenguk ke apartemen. Pria itu bisa dibilang sedikit memberi jarak tapi raut mukanya seolah menunjukan rasa tertekan.
“Lo udah nggak suka lagi sama Dion?” Sisil bertanya di sela-sela kesibukan mereka. Di jam-jam rawan begini mata sudah semakin meredup karena terlalu lama menatap layar komputer.
Bianca menggeleng. “Dia udah punya pacar. Kasian nanti pacarnya overthinking.”
“Mentang-mentang udah ngerasain dijadiin selingkuhan itu nggak enak, sekarang baru kebuka matanya ya?” Sisil mencibir. Bukannya dia tidak bersimpati dengan keadaan rekan kerja yang merangkap sebagai sahabatnya itu tapi menurutnya hal yang terjadi pada Bianca adalah sebuah anugerah. Bisa saja dia baru tahu saat Erlangga sudah terlanjur jadi suami orang dan dia akan dikambing hitamkan sebagai perusak rumah tangga orang.
“Di jaman sekarang, perusak hubungan orang itu sama aja buruknya kayak jadi perusak rumah tangga orang.”
“Nggak juga, kalau si cowoknya mau punya selingkuhan ya berarti dia itu gak serius dengan pacarnya yang sekarang. Kalau udah jadi suami orang itu baru dosa!”
Bianca menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar opini dari Sisil yang kalau ngomong suka gak disaring. Tapi ada kalanya setiap omongannya bisa menjadi pengingat untuk dirinya.
“Tapi, kayaknya dari tadi gue liatin Mas Dion itu bulak-balik sambil ngeliatin lo mulu deh.” Sisil menambahkan.
“Perasaan lo aja kali ah, nggak mungkin.” Bianca menepis kesempatan untuk dirinya untuk merasa percaya diri. Dia sudah menentukan sikapnya.
Jika beberapa hari yang lalu Bianca pulang lebih telat dari biasanya. Kali ini dia berusaha sebisa mungkin untuk pulang tepat waktu. Jika ada pekerjaan yang bisa dia bawa untuk dikerjakan di rumah maka dia tidak akan melewati kesempatan itu. Hal ini ia lakukan agar tidak membiarkan Erlangga melihatnya dan menganggu dirinya untuk masuk ke apartemen.
Namun sayangnya, Erlangga tidak semudah itu menyerah. Dia bahkan sudah menunggu Bianca untuk di lobby kantornya. Saat Bianca ingin menghindar pria itu sudah lebih dulu memanggil dirinya dan menghampirinya.
“Kamu nggak bisa menyerah yah?” Tanya Bianca sinis. Dia tidak ingin membuat keributan dan menjadi pusat perhatian. Maka dari itu dia mau tidak mau berbicara dengan pria itu.
“Kenapa kamu menghindar?” Erlangga bertanya.
“Kenapa kamu masih nggak sadar? Aku memang menghindari kamu dari ide konyol mu itu. Aku sudah bilang kan kalau aku mau kita putus.”
“Tapi aku nggak mau. Aku mau kita mempertahankan hubungan. Beri aku waktu sampai aku bisa lepas dari dia.”
Demi apapun. Bianca ingin meninju wajah pria itu dan menyumpal mulutnya pake sol sepatu yang sedang digunakan. Tapi ia hanya bisa bergeming.
“Lebih baik kamu pergi sekarang, aku ingin masuk.”
“Aku akan kembali lagi.”
Bianca tidak mengindahkan lagi. Terserah dia lah mau kayak gimana, orang kayak gitu bebal diomongin pakai kata-kata baik.
“Jangan kembali lagi.” Ada sebuah suara lain yang mendadak membuat Bianca berhenti membuka pintu unit apartemen. Dia mengenali sumber suara itu, lalu menoleh untuk memastikan.
Benar saja, Dion sedang di depan sebuah lift yang ada di ujung ruangan. Bianca menatap pria itu berjalan mendekat dan bertanya-tanya, ada maksud apa dia ada disini?
Sedangkan Erlangga menatap asing Dion. “Lo bicara sama gue?” tanya pria itu kepada Dion.
“Disini tidak ada siapa-siapa lagi.” Memang benar di dalam koridor yang panjang itu tidak ada siapapun kecuali mereka bertiga kini terlibat satu sama lain.
“Gue rasa ini tidak ada hubungannya sama lo. Jadi, lebih baik lo pergi dari sini dan jangan pernah mengganggu urusan orang lain.” Sikap Erlangga terlihat sudah cukup emosi tapi dia cukup menahannya.
“Gue rasa, gue bukan siapa-siapa. Kami saling kenal.” Dion menoleh ke arah Bianca. Dari tatapannya seolah ingin mengirimkan sinyal bahwa gadis itu harus bekerja sama dengannya.
Erlangga kini juga menatap Bianca dengan curiga. Kini Bianca mengerti. Satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya saat ini jika ingin lepas dengannya adalah dengan menyakitinya. Bianca maju mendekati Dion dan berdiri di sampingnya. Lalu sedetik kemudian dia merangkul Dion dengan mesra.
“Ada hal yang tidak kamu ketahui, Erlangga. Di sini, bukan hanya kamu yang sedang bermain hati. Tapi, aku juga…” Bianca berkata mantap dengan menatap mata Erlangga dengan lekat. Agar usahanya tampak semakin nyata.
“Apa maksudnya ini?” Pria itu bertanya. Tidak percaya.
“Kamu tidak salah dengar. Aku sudah berhubungan dengannya selama sebulan ini. Aku memang ingin putus darimu, dan kebetulan kamu ternyata juga menyembunyikan sesuatu yang dariku. Jadi, mari kita putus. Aku anggap kita impas.”
Erlangga memajukan langkahnya dan memicingkan matanya. “Jangan bermain-main, Bianca!”
“Seharusnya kamu katakan pada dirimu sendiri, bukan kepadaku.”
“Sebaiknya kamu pergi dari sini.” Dion menengahi mereka. Mengajak Bianca untuk berpaling dan memasuki apartemen.
“Aku tahu, kamu pasti bohong kan.” Lagi, Erlangga tidak meninggalkan tempatnya. Ucapannya malah membuat gadis itu berhenti untuk kesekian kalinya. Tangannya yang masih menggenggam tangan Dion kini semakin mengeratkan genggamannya. Dion tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Bianca.
Bianca menarik napas panjang lalu berpindah posisi, kini dia berdiri di hadapan Dion dan memajukan badannya ke depan membuat tubuh mereka menempel. Tangan Bianca melingkar di leher pria itu dan bibir mereka kemudian bertemu beberapa detik kemudian.
Dion tampaknya sedikit terkejut dengan tindakan Bianca yang mendadak ini tapi akhirnya dia bisa menguasai keadaan dan menyambut hangat kecupan gadis yang ada di hadapannya saat ini.
***
Apa yang kau lakukan, Bianca?!
Sebuah suara dan alarm di benaknya sudah berbunyi nyaring. Otaknya pun tidak kalah kaget dengan tindakan tiba-tiba dari si pemilik tubuh tanpa berpikir beberapa langkah kedepannya terlebih dahulu.
Terlalu lama jika ia harus berpikir sejauh itu di tengah desakan pertanyaan genting dari Erlangga. Yang ia pikirkan sekarang adalah ia ingin cepat-cepat lepas dari sosok pria yang telah mengkhianatinya dua kali lipat itu. Dikhianati saja sudah cukup buruk, ini apalagi dirinya dijadikan kedua tanpa ia ketahui?!
Akhirnya, mereka melepaskan pagutan setelah mereka rasa butuh oksigen untuk bernapas. Seharusnya ciuman itu hanyalah sebuah validasi mereka memang benar-benar punya hubungan tapi kenapa rasanya mereka memang benar-benar menikmatinya.
Jarak diantara mereka tidak merenggang. Bianca masih setengah berjinjit dan melingkarkan tangannya ke leher Dion sedangkan pria itu menopangnya dengan melingkarkan tangannya ke pinggang mungil Bianca.
Yang tidak mereka sadari adalah sudah tidak ada Erlangga. Pria itu pergi sambil memaki-maki dan dengan tatapan jijik kepada Bianca.
Bianca tidak peduli. Justru disitulah misi-nya akhirnya berhasil. Tapi, dibalik keberhasilannya menimbulkan sebuah masalah baru.