Gavin Pov
"FORZA!!!" Suara teriakan mamah dan juga yang lainnya membuatku terkejut, refleks aku langsung menangkap tubuh gadisku yang terkulai lemah tak berdaya. Aku menggendongnya ke ruang kerja Reno, menunggunya hingga terbangun dari pingsannya.
Dan sekarang disinilah aku, menemani gadisku di dalam mobil jenazah yang membawa Bunda Fatma. Aku menatap gadisku yang saat ini duduk di sampingku memandang keranda di depannya.
Dadaku terasa sesak dan nyeri melihat gadis yang aku cintai tengah bersedih, aku merangkul bahunya dan mengusapnya dengan lembut mencoba memberinya kekuatan, "Iklhas dan kamu harus kuat, kamu nggak sendirian karena mas janji akan selalu ada untuk kamu." aku mengecup rambutnya, sebisa mungkin aku menahan air mataku jangan sampai aku ikut menangis.
Iringan mobil jenazah membelah jalanan ibu kota yang saat ini gerimis. Mobil sudah sampai di kediaman gadisku, para tetangga terlihat berlarian mendekat karena mungkin terkejut melihat ada mobil jenazah yang datang.
“Nak Forza ada apa ini?” tanya seorang ibu yang kalau nggak salah bernama bu Mia, aku pernah bertemu dengan beliau.
“Maafin bunda ya bu kalau bunda banyak salah.” kata gadisku mencoba setegar mungkin, aku merangkul bahunya lagi dan dia menatapku, aku tersenyum kecil meyakinkan gadisku kalau dia pasti bisa menghadapi semua ini.
“Apa maksud kamu nak?” tanya bu Mia lagi. Gadiski belum sempat menjawab tapi jenazah sudah di keluarkan dari mobil dan di bawa masuk ke dalam rumah.
“Innalilahi wainnailahirojiun, bu Fatma.” Bu Mia ikut terisak menangis dan memeluk gadisku, yang sukses membuat gadisku kembali menangis. Tak lama Pak RT dan warga yang lainnya juga mulai berdatangan.
Aku membawa gadisku masuk ke dalam rumah, mendudukkannya di samping jenazah bunda Fatama.
“Maaf nak Forza rencananya ibu mau di makamin dimana biar bapak dan yang lain ke lokasi menyiapkan semuanya.” kata Pak RT mendekati gadisku.
“Forza juga bingung pak RT.” Jawab gadisku, dia pun menatap mamah dan Om Braga.
“Di tempat Ayah dan Ibunya di makamkan saja pak.” Kata Om Braga mengambil keputusan.
“Baik kalau gitu saya permisi, saya akan segera mengurusnya.” Jawab pak Rt.
“Pak RT mungkin di makaminnya besok pagi saja karena sekarang sudah jam lima lewat.” kata Om Braga lagi.
“Baik pak, saya permisi dulu mari.”
Rumah gadisku begitu ramai, papah juga sudah datang begitu aku kabari kalau bunda Fatma berpulang padahal papah sedang kunjungan ke semarang, papah memang lebih sibuk dari Om Braga karena papah sudah menjabat sebagai Kapolda, papah terpaksa pergi kunjungan sendirian karena mamah ingin menemani bunda Fatma.
Para tetangga juga banyak yang masih mengaji untuk Alm. Bunda Fatma, gadisku masih setia duduk di samping jenazah bersama Fahri yang duduk di kursi roda.
“Forza!” panggil seseorang yang ternyata Abell sahabat gadisku yang berjalan masuk di ikuti Alfa, Nadia dan Adit.
“Hai, kalian tahu dari mana?” tanya gadisku.
“Pak Dhika sama anak BEM dan sampai sama kita semua lewat group, yang sabar ya Za ikhlasin bunda.” Abell dan Nadia memeluk gadisku dan menangis membuat gadisku lagi - lagi ikut menangis.
“Terima kasih kalian sudah datang, maaf kalau bunda ada salah sama kalian.”
“Bunda nggak ada salah sama kita Za, justru kita yang selalu merepoti bunda. Yang sabar ya lu punya kita semua.” Alfa memeluk Forza membuatku mendengus kesal, dan hal itu di ketahui sama Dimas.
“Nggak usah lebay, Alfa cuman meluk ngasih kekuatan gitu aja cemburu.” Bisik Dimas di telingaku.
“Berisik.” Aku berjalan mendekati gadisku.
“Sore Pak Gavin.” Sapa Adit.
“Sudah petang Dit, kalian nggak mau baca Yasin?” kataku pada mereka.
“Mau pak, kita wudhu dulu.” Aku mengangguk.
Semakin malam semakin banyak tetangga yang berdatangan, mereka bergantian membacakan Yasin untuk Almarhumah. Hendrik Adhitama, Ayah dari gadisku itu pun ikut hadir ke rumah duka.
“Firza.” Firza mendongakkan kepalanya melihat Ayahnya datang, aku hanya memperhatikan interaksi mereka berdua karena aku duduk di samping Firza bersama tiga sahabatku juga.
“Mau apa anda datang kesini, Puas sekarang hah, Puas sudah buat bunda pergi untuk selamanya!” bentak Firza.
“Firza, Ayah....”
“Anda bukan Ayah saya Tuan Hendrik Adhitama karena Ayah saya sudah mati 8 tahun yang lalu saat dia pergi meninggalkan bunda yang sedang mengandung.” Bentak Firza, tanpa aku duga Firza berdiri dan langsung memukuli Ayahnya. Aku di bantu yang lainnya berusaha menarik Firza yang membabi buta meluapkan amarahnya.
“Firza hentikan!.” Aku mendengar suara gadisku berteriak, Firzapun berhenti memukuli Ayahnya, segera aku tarik dia agar menjauh, dari atas tangga gadiski turun ke bawah dengan tatapan yang sangat tajam. Aku tahu diapun tengah menahan amarahnya.
“Orang itu yang menyebabkan bunda meninggal kak, Firza nggak bisa diam lagi Firza...”
“Diam Firza.” sentak gadisku, ruangan sunyi sepi tak ada yang bersuara.
“Tapi kak.”
“Kakak bilang diam Firza!.” Firza pun akhirnya diam.
Gadisku menatap Ayahnya, “Ada perlu apa anda datang kesini Tuan Hendrik Adhitama? Apa anda mau membuat pesta merayakan wanita itu yang selalu anda sakiti kini sudah terbujur kaku?” gadisku menunjuk jenazah Buda, menekan setiap kalimat yang dia ucapkan, suaranya terdengar penuh kesakitan membuat sudut hatiku sakit seperti tercubit.
“Forza, Ayah....”
“Jika tidak ada yang penting saya mohon keluar dari rumah ini, saya sedang berduka dan saya sedang tidak ingin berdebat.” Jawab gadisku tegas.
“Forza maafin Ayah nak, Ayah mohon.” tanpa aku sangka beliau berlutut di depan gadisku.
“Kamu bukan Ayahnya kak Forza kamu orang jahat.” Teriak Fahri dari lantai atas dia berusaha turun ke bawah dengan susah payah menggunakan kruk karena kaki kirinya masih belum bisa untuk berjalan. Dhika mendekat dan menggendong Fahri membawanya ke hadapan gadisku.
“Jangan dekati Kak Forza aku bisa marah kalau kak Forza menangis, jangan buat kak Forza nangis nanti bunda sedih. Pergi jangan kesini lagi.” Teriak Fahri membuat semua orang tak lagi bisa menahan rasa harunya.
“Ayah ingin bersama kalian nak.” beliau berjalan mendekati Fahri dan gadisku.
“Pergi!!! Jangan mendekat." Fahri menatapku, "Abang Gavin sudah janji mau jaga kakak sekarang usir dia bang.” Fahri menunjuk Ayahnya, aku pun mendekat setelah sebelumnya meminta Reno untuk menjaga Firza jangan sampai dia kembali memukuli Ayahnya.
“Abang akan jagain kalian semua jagoan.” Aku mengelus kepala Fahri.
“Tuan Hendrik Adhitama mohon maaf jika saya lancang ikut campur, tapi saya mohon sebaiknya anda meninggalkan rumah ini biarkan anak – anak anda berduka untuk bundanya. Anda tidak perlu khawatir karena saya, istri saya dan yang lainnya ada disini untuk mereka jadi saya mohon dengan sangat tinggalkan rumah ini demi mereka.” Kata papah yang tiba - tiba buka suara.
“Baik sekarang saya akan pergi, Forza Firza Fahri Ayah pasti akan datang kembali untuk kalian. Maaf karena Ayah sudah menyakiti kalian.” beliau membalikkan badannya dan berjalan keluar rumah.
“Fahri kok kamu bangun sih, ayo tidur lagi.” Gadisku yang tadi memang sedang menidurkan Fahri bertanya kenapa adiknya ini bangun.
“Nggak mau kak, Fahri takut biasanya bunda peluk Fahri.” Air mata gadisku kembali luruh.
“Fahri tidur sama abang saja ya, abang gendong kita temani bunda di sini rame – rame.” Kataku sambil menggendong Fahri.
“Fahri mau.” Jawab Fahri.
“Za sebaiknya kamu makan dulu mamah sudah pesan makanan tadi, ajak teman – teman kamu juga.” Kata mamah.
“Forza nggak lapar mah.”
“Kamu harus makan Forza, nak sini kalian sahabatnya Forza kan, tolong kalian temani Forza makan ya.” Pinta mamah pada ke empat sahabat gadisku itu.
“Iya tante, ayo Za.” Nadia menarik tangan gadisku membawanya ke meja makan, sedangkan aku duduk di samoing jenazah memangku Fahri sambil mengusap rambutnya agar dia tidur.
Malam semakin larut tak terasa aku pun terserang rasa kantuk, hingga tak terasa aku tidur sambil duduk memangku Fahri.
“Mas.” Aku merasakan ada yang menyentuh bahuku, aku pun membuka mata.
“Hmm kenapa Za?” Saat aku melihat gadisku ada di depanku, ternyata dia yang sudah membangukanku.
“Kamu pasti cape, sini Fahri sama aku saja.” katanya yang akan mengambil alih Fahri.
“Nggak ko, biarin saja dia pulas banget tidurnya nanti malah kebangun.” jawabku.
“Mas pindah saja ke kamar aku tidur di sana sama Fahri.” Katanya lagi, sangat manis dia benar - benar gadis yang memiliki kepedulian tinggi.
“Nggak apa Za di sini saja nemenin kamu dan bunda.” Aku tersenyum menatapnya.
“Forza ambilin selimut dulu.” katanya lagi yang langsung berdiri kembali masuk ke kamar dan tak lama datang membawa selimut.
“Pakai selimut mas biar nggak dingin.” Gadisku memakaikan selimut di tubuhku juga Fahri, karena Fahri masih berada di pangkuanku, gadisku kemudian duduk di sampingku.
“Kamu mau aku buatin teh, kopi atau apa mas?” tanya dia lagi.
“Nggak usah Za aku nggak pengen, kamu duduk saja. Mamah papah tidur di atas?” tanyaku, dan dia pun mengangguk.
“Iyah di kamar bunda, Om Braga sama tante Arum pulang katanya besok pagi kesini.” aku mengangguk.
Aku melirik ke samping gadisku terlihat kedinginan, aku mengulurkan tangan di belakang tubuhnya membuat dia berjingkat kaget.
“Eh, kenapa mas?” katanya.
“Sini mendekat, kamu dinginkan? Sini kita satu selimut bertiga. Masih muat kok asal kamu mendekat lagi.” kataku.
“Nggak usah mas, buat mas Gavin dan Fahri saja.” tolaknya.
“Za, nggak ada penolakan, sini.” Tanganku menarik pinggangnya agar lebih dekat lagi denganku dan tanganku yang satunya memakaikan selimut dalam posisi masih duduk memangku Fahri yang terlelap tidur.
“Kaya gini kan enak, mas ngerasanya kaya suami istri dan anak.” Kataku mencoba melucu.
“Mas ngomong apaan sih.” gadisku mencubit tanganku yang memeluk pinggangnya, dia menatapku, tatapan yang membuat jantungku berdegup kencang.
“Mas tahu kalau mas ganteng, kenapa? Sudah mulai naksir sama mas ya?.” Aku mengerlingkan mata kananku dan tersenyum jail.
Gadisku memukul pelan lenganku, “Anda terlalu percaya diri pak dosen.” katanya sambil memalingkan wajahnya dan sempat aku melihatnya tersenyum.
“Cuman sama kamu Za.” kataku.
“Mas kalau aku pngajuin cuti kuliah prosesnya susah nggak?” aku terkejut memdengar perkataannya.
“Kamu mau cuti?” tanyaku.
“Iya mas, aku mesti ngurus Fahri dan juga nyari kerja, tabungan aku buat balikin uang perawatan bunda ke mas sepertinya kurang. Tadi bunda habis berapa mas?” aku mendengus kesal.
“Kamu apaan sih Za bahas begituan, nggak usah di pikirin dan satu lagi kamu nggak boleh cuti kuliah kamu harus bisa lulus tepat waktu.” kataku.
“Forza nggak bisa mas.” katanya lagi.
“Kamu belum terima formulir beasiswa dari Dhika?” tanyaku, tiba - tiba teringat rencana mamah yang meminta tolong Dhika agar gadisku seakan - akan mendapat beasiswa padahal itu semua dari mamah.
“Beasiswa? Belum mas” katanya lagi.
“Mungkin keburu kita semua sibuk nenangin kamu, Iya ada beasiswa dan mas ngajuin nama kamu sama Dhika. Kamu harus ambil beasiswa itu berusaha buat dapetin dan lanjutin kuliah jangan cuti – cuti segala, urusan Fahri kamu nggak usah bingung karena mamah sama tante Arum akan bergantian antar jemput Fahri kalau mereka sibuk ada aku atau aku bisa bayar pengasuh dan sopir pribadi.” kataku.
“Kamu ini terlalu berlebihan mas.” jawabnya sambil cemberut.
“Nggak ada yang berlebihan kalau menyangkut kamu Za.”
“Udah ah aku ngantuk, akuntidur bentar ya mas.” Gadisku menyandarkan tubuhnya ke tembok dan mulai memejamkan matanya.
Aku memandang wajah cantik gadisku dan menariknya perlahan ke dadaku bersebelahan dengan Fahri. Aku mencium keningnya dan Fahri.
“Aku janji akan jaga kalian dan bahagiain kalian. Bunda tenang saja ya, restui Gavin agar bisa segera meluluhkan hati anak bunda yang cantik ini.” Aku semakin mempererat pelukanku pada gadisku.