Forza Pov
Sudah tiga hari Bunda belum juga sadarkan diri, hari ini aku terpaksa meninggalkan bunda bersama tante Arum karena nggak bisa bolos kuliah terlalu lama. Mas Gavin selalu mengawasiku, bahkan dia juga meminta pada papah Ardan untuk menugaskan beberapa ajudannya menjaga Firza, Fahri dan juga bunda.
Sebelum istri Ayah di tangkap mas Gavin bilang akan selalu ada di dekatku karena berbahaya.
Aku saat ini sedang mengikuti perkuliahan mas Gavin, tiba - tiba pintu kelas ada yang mengetuk dan masuklah pak Dhika berjalan mendekati mas Gavin yang masih berdiri, pak Dhika tampak berbisik dan terlihat jika raut wajah mas Gavin terkejut.
Tak lama pak Dhika pergi, berjalan menuju pintu kelas namun dia menatapku membuat jantungku berdetak, aku takut ada sesuatu yang terjadi sama bunda dan benar saja saat mas Gavin menatapku kemudian berkata."
"Maaf untuk hari ini terpaksa saya akhiri pertemuan kita, saya janji akan saya ganti di lain hari." ucap mas Gavin kemudian menatapku, "Forza segera ikut saya." kata mas Gavin membuat jantungku makin berdetak kencang, tak terasa air mataku jatuh dengan sendirinya.
"Za ada apa?" tanya Abell menyentuh bahuku, dan aku menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku. Segera aku bereskan semua buku dan berjalan mendekati mas Gavin yang masih menungguku.
"Gue pulang dulu Bell." Abell mengangguk, aku dan mas Gavin langsung keluar kelas menuju parkiran mobil, disana pak Dhika sudah menunggu mereka bersama pak Dimas, Pak Dhika segera melajukan mobilnya keluar area kampus setelah aku dan mas Gavin memasukinya.
"Ada mas?" tanyaku penasaran.
"Kata Dhikakamu di minta ke Rumah sakit sekarang." jawab mas Gavin.
"Apa terjadi sesuatu sama bunda?" tanyaku lagi.
"Kata Dhika tadi pas Reno telfon hanya minta kamu cepat datang saja." jawab mas Gavin lagi, sementara pak Dhika masih fokus menyetir mobil.
Sesampainya di rumah sakit kami segera ke ruang ICU.
“Firza.”
“Kak Forza.” Firza memeluk.
“Kenapa dengan Bunda?” tanyaku langsung.
“Bunda sudah siuman kak, tadi mencari kakak. Di dalam sedang ada mamah Ranti dan Om Braga tunggu keluar dulu baru kakak masuk.” kata Firza membuatku tersenyum bahagia.
“Alhamdulillah.” Aku memeluk Firza dan Fahri.
Pintu ruang ICU terbuka dan keluarlah Mamah Ranti dan Om Braga.
“Forza kamu sudah datang nak." Sapa mamah Ranti memelukku.
“Baru saja mah, gimana keadaan Bunda?” tanyaku.
“Kamu masuk gih ke dalam Bunda sudah menunggu.” Aku mengangguk dan segera memasuki ruang ICU.
“Bunda.” sapaku saat melihat wanita yang sangat aku sayangi lemah tak berdaya di atas bed.
“Fo...forza, si.. sini nak.” kata bunda terbata dan pelan namun masih bisa aku dengar, akupun mendekati bunda, menyentuh tangannya dan menciumnya.
“Bunda cepat sehat ya, jangan buat Forza khawatir lagi.” kataku yang sekuat mungkin menahan agar air mataku tak keluar.
“Nak, ja... jaga adikmu ya bu...bunda titip me...mereka.” bunda masih berusaha bicara walaupun nafasnya sesak.
“Bunda ngomong apa sih, tanpa bunda minta Forza pasti akan menjaga dan mengurus mereka.”
“Nak bu...bunda su...sudah nggak kuat la...lagi ka... kamu ma...mau kan pe...penuhi per min taan bu... bunda yang ter akhir kalinya?” kata bunda terbata, air mataku sudah tak bisa aku bendung lagi, aku kesal dengan apa yang bunda katakan.
“Bunda nggak usah banyak omong dulu ya, bunda istirahat Forza nggak mau lagi mendengar bunda bicara aneh – aneh, bun Forza, Firza dan Fahri masih butuh bunda. Forza akan mengusahakan bagaimanapun caranya agar bunda sehat lagi jadi bunda jangan berfikir yang enggak karuan gitu ya, Forza sedih dengarnya bun.” air mataku makin bercucuran keluar, sungguh aku benar - benar takut sesuatu terjadi pada bunda.
“Nak bu...bunda mo...mohon me...menikah lah de... dengan nak Ga...Gavin.” Seketika nafas bunda Fatma sesak dadanya naik turun, aku panik dan segera menekan tombol merah.
“Bunda bunda kenapa, tunggu sebentar lagi pak Reno datang bunda Forza mohon jangan tinggalin Forza.” aku menangis dan terdengar suara Bedside monitor berbunyi tiiiiiiiitttttt.
Aku makin panik, pak Reno sudah masuk ke dalam dan segera memeriksa kondisi Bunda Fatma.
“Pak tolongin Bunda pak saya mohon.” Forza menangkupkan tangannya memohon pada Reno.
“Saya akan berusaha Za, sekarang kamu keluar dan panggil Dhika suruh masuk saya butuh bantuannya.” Aku mengangguk dan segera berlari keluar ruangan memanggil pak Dhika.
“Pak Dhika, pak Reno butuh bantuan bapak.” pak Dhika mengangguk dan segera masuk ke dalam.
“Bunda kenapa kak?” tanya Firza
“Bunda drop lagi.” Akubmenangis memeluk adikku. Mamah Ranti mendekat dan memeluk kami berdua, “Jangan menangis sayang, do’akan bunda kalian ya Reno dan Dhika sedang berusaha di dalam.” kata mamah Ranti.
Pintu ruang ICU terbuka, pak Reno dan pak Dhika keluar dengan wajah lesu dan menunduk, firasatku jelas sudah tak karuan melihat raut wajah mereka berdua.
“Gimana bunda pak?” tanyaku langsung, “Kenapa pak Reno diam, gimana keadaan bunda? Pak Dhika saya mohon beritahu saya bagaimana keadaan bunda?”
“Maaf Za, maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Allah lebih sayang sama bunda kamu.” Kata pak Reno, duniaku terasa hancur, dadaku terasa berdenyut nyeri, sesuatu yang tak aku inginkan terjadi sekarang benar - benae terjadi, bunda pergi meninggalkanku dan juga kedua adikku untuk selamanya.
“Nggak mungkin, bapak jangan becanda nggak mungkin.” Aku mundur bersender pada tembok, pikiranku sudah tak karuan. Teriakan Firza juga tangisan dari yang lainnya masih sempat aku dengar, lalu semakin lama suara itu makin mengecil lalu aku tak mendengarkan apapun karena sekarang semuanya terasa gelap.
****
Aku membuka mataku perlahan menatap langit - langit ruangan berwarna putih, kepalaku masih terasa sangat pusing. Saat ini aku sedang berada di sebuah ruangan yang nggak aku tahu ruangan siapa ini.
"Aduh...” Aku memegang kepalaku yang berdenyut nyeri saat akan bangun.
“Kamu sudah bangun Za, ini minum dulu.” Kata mas Gavin yang memberiku segelas air minum dan aku menerimanya.
“Bunda, bunda gimana mas?” aku teringat bunda, karena seingatku tadi sedang berada di depan ruang ICU.
“Kamu yang sabar dan ikhlas ya demi ke dua adikmu.” Jawab mas Gavin mengusap bahuku.
“Jadi, bunda...” Aku kembali menangis tak kuat lagi aku melanjutkan perkataanku. Mas Gavin mendekat dan menarikku ke dalam pelukannya, aku menumpahkan tangisku dalam pelukannnya.
“Jangan menangis, ada mas di sini yang akan menjaga kamu, Firza dan Fahri. Kamu nggak sendiri Za ada mamah, om dan tante juga yang siap membantu kamu menjaga Firza dan Fahri jangan menangis ya.” Ujar mas Gavin menenangkanku.
“Aku mau lihat bunda mas.” aku melepas pelukan mas Gavin.
“Ayo kita keluar.” mas Gavin memapahku, membawaku ke ruang jenazah. Disana sudah ada pak Dhika, pak Dimas, Mamah Ranti, Papah Ardan, Om Braga, Tante Arum, Firza dan Fahri.
“Kak Forza.” Firza mendekat dan memelukku erat, Fahri juga ikut mendekat dan memeluk aku.
“Kakak kenapa bunda tinggalin Fahri padahal Fahri nggak nakal, kenapa bunda pergi seperti mamahnya Robi. Kata Robi mamahnya nggak pernah pulang lagi kalau sudah dipakein baju putih kaya bunda. Bilangin bunda kak Fahri janji akan lebih nurut lagi sama bunda asal bunda jangan tinggalin Fahri.” Fahri menangis membuatku dan semua yang ada juga merasakan kesedihannya.
Aku jongkok dan memeluk Fahri, dadaku benar – benar sesak melihat adik bungsuku menangis. Mas Gavin mendekat mengelus kepala Fahri.
“Hai jagoan abang, dengar kamu nggak boleh nangis lagi ya. Fahri sayangkan sama bunda?” Fahri mengangguk.
“Kalau Fahri sayang sama bunda, Fahri jangan menangis ya karena bunda sudah bahagia di atas sana. Allah lebih sayang sama bunda, bunda nggak pergi dari Fahri bunda akan selalu ada di sini di hati Fahri dan setiap malam juga bunda akan selalu menemani Fahri karena bunda menjadi bintang di atas langit. Fahri nggak boleh nangis lagi, nanti kak Forza jadi ikutan nangis kalau kalian nangis bunda jadi sedih.” kata maa Gavin, aku menatapnya dan dia pun tersenyum lalu mengusap air Fahri.
“Fahri nggak akan nangis lagi bang, janji. Kakak jangan nangis ya nanti bunda sedih sekarang kakak harus tersenyum.” Fahri menarik kedua sudut bibirku membuatku tersenyum, senyum yang sungguh sangat terpaksa.
“Forza semuanya sudah siap, kita ke rumah sekarang.” Kata Om Braga dan aku pun mengangguk.
“Mah Forza boleh nitip Fahri dan Firza? Forza ingin satu mobil sama bunda.” kataku pada mamah Ranti, karena aku memang ingin dekat dengan bunda untuk yang terakhir kalinya.
“Ya sayang nggak apa, Gavin kamu temani Forza ya.” perintah mamah Ranti.
“Iya mah.” Jawab mas Gavin.