15 menit berlalu aku pun memasuki Lift menuju rooftop untuk menemui pak Gavin yang sudah kesana duluan.
“Duduk di sana Za.” pak Gavin menunjuk bangku yang ada di pojok Rooftop saat aku baru datang.
“Ini tempat favorit saya sejak kuliah hingga sekarang, tempat ternyaman untuk membuang penat.” aku diam mendengarkan setiap perkataan pak Gavin tanpa ada niat untuk menjawabnya.
“Za, gimana kabar Bunda dan adik – adik?” tanya pak Gavin lagi menatapku membuatku salting, aneh tumbenan dia tanya keluargaku.
“Alhamdulillah baik pak.” Jawabku seadanya.
“Syukurlah." pak Gavin nampak diam sesaat dan menarik nafasnya dalam, "Za ada yang ingin saya bicarakan sama kamu ini menyangkut soal gosip yang sekarang sedang beredar juga.” Pak Gavin menatapku makin lekat membuat jantungku berasa ingin loncat keluar, sungguh tatapannya bikin meleleh hati adek bang.
“Za kamu masih ingat apa yang mamah saya katakan saat di rumah sakit?” aku mengangguk, gimana aku lupa coba, gara - gara itu aku jadi gugup setiap bertatap muka dengan dosen tampan di depanku ini.
“Za semua yang dikatakan mamah itu benar, kalau saya sudah menaruh perasaan sama kamu sejak dua tahun yang lalu, kamu berhasil membawa seluruh hati aku bahkan tanpa tersisa sedikit pun Za. Setiap hari kamu selalu ada di pikiran, saya sangat bahagia walau hanya bisa memandang kamu dari kejauhan dan saya juga sangat cemburu saat melihat kamu berdekatan dengan pria lain, entahlah rasa itu datang begitu saja. Za saya ingin membuat gosip yang sekarang beredar menjadi fakta, Forza Shanum maukah kamu menjadi ibu untuk anak – anak saya?” kata pak Gavin sambil menatapku dan kedua tangannya menggenggam kedua tanganku.
Apa – apaan ini, pak Gavin nembak bukan lagi untuk jadi pacar tapi langsung jadi istrinya. Ini beneran nggak sih, ada rasa bahagia di hatiku tapi juga ada rasa takut yang muncul karena aku tak ingin mengenal cinta, cinta bagiku hanya menyakiti saja.
“Maaf pak tapi ini terlalu cepat dan lagi pula saya belum memikirkan untuk menikah.” Jawabku mencoba sesopan mungkin.
“Saya tahu Za, kamu ingin membahagiakan Bunda dan juga ke dua adikmu, saya juga tahu kalau kamu benci cinta juga pernikahan karena apa yang terjadi dengan ke dua orang tua kamu. Tapi Za percayalah nggak semua cinta dan pernikahan berakhir seperti kedua orang tua kamu contohnya orang tua saya yang makin menua mereka makin mesra dan romantis saja.” Jelas pak Gavin.
Ya memang mungkin tak semuanya selalu menyakiti tapi di hatiku sudah benar – benar tak ingin mengenal cinta karena aku tak mau tersakiti seperti bunda.
“Maaf pak tapi saja tetap nggak bisa.” Jawabku lagi.
“Kenapa?”
“Karena saya belum ingin memikirkannya, dan saya juga nggak mau membuat Bapak kecewa terlalu lama menunggu saya untuk siap karena saya nggak tahu sampai berapa lama saya akan siap.” Jawabku.
“Saya akan tetap menunggu kamu Za, berapa lama pun saya siap menunggunya tapi saya mohon izinkan saya menjadi sahabatmu, menjadi bagian dari orang terdekatmu hingga saatnya nanti kamu siap menerima saya. Please jangan menjauh dan menghindar dari saya.” Pak Gavin makin erat menggenggam kedua tanganku.
“Baiklah, tapi saya tetap nggak bisa janji kalau saya akan menerima Bapak jadi kalau menurut saya lebih baik Pak Gavin cari wanita lainnya lagi yang jauh lebih baik dari saya, jangan menunggu saya.”
“Saya sudah terlatih sabar demi kamu Za, 2 tahun saya mencintai kamu tanpa kamu tahu dan saya akan tetap sabar menunggu kamu sampai siap membalas perasaan saya Za.” Jawab pak Gavin tegas membuatku makin tak karuan.
“Terserah Bapak saja yang penting sudah saya ingatkan dari awal.” Kataku mengingatkan.
“Terima kasih sudah mengingatkan, tapi percayalah kalau saya akan sabar menunggunya. Oya BTW sekarang kan kita udah jadi sahabat berarti kita mesti ganti panggilan kita dong.” kata pak Gavin membuatku bingung tak tahu maksudnya.
“Maksudnya Bapak?” tanyaku.
“Kamu kalau pelajaran paling cerdas, tapi kalau masalah ginian lemot amat sih Za. Jadi maksud saya sekarang kita jangan pakai saya lagi tapi ganti aku kamu dan jika kita lagi di luar kampus kamu jangan panggil Bapak, panggil Gavin aja bisa kan?”
“Maaf nggak bisa pak” tolakku langsung.
“Kenapa nggak bisa?”
“Pak Gavin kan dosen saya dan lebih tua dari saya kan nggak sopan pak kalau panggil nama, juga pakai aku kamu.” kilahku.
“Saya masih muda ya Za umur saya 25 saja belum pas masih kurang, umur kita nggak beda jauh palingan 3 – 4 tahun jadi nggak masalah kan.” protes pak Gavin.
“Bapak serius? Kok udah jadi spesialis?” tanyaku penasaran karena ternyata usianya maaih muda tapi sudah ambil spesialis dan jadi dosen pula.
“Dulu saya ikut kelas akselerasi, kamu lupa ya kalau pria yang ada di depanmu ini selain tampan otaknya juga sangat pintar.” Aduh ini dosen sombongnya makin ke sini makin akut saja.
“Sombong.” cibirku.
“Jadi?”
“Apa?”
“Kamu setuju panggil aku Gavin dan nggak usah pakai bahasa formal lagi, ganti aku dan kamu saja?”
“Rasanya tetap nggak sopan kalau hanya panggil nama pak, karena usia Bapak di atas saya gimana kalau saya panggilnya mas Gavin saja dan untuk aku kamu okelah saya setuju.”
“Mas? Deal aku setuju pakai banget. Jadi mulai saat ini panggil aku mas dan ubah saya menjadi aku, jika kita hanya sedang berdua. Oke?” aku mengangguk saja.
“Za kamu tahu nggak.”
“Nggak.”
“Dengerin dulu aku belum selesai Za.”
“Oke lanjut.” Kataku lagi nyengir.
“Aku masih nggak nyangka kalau mamah dan bunda bersahabat dan ternyata bunda banyak berjasa untuk mamah dan Om Braga.” ksta pak Gavin, sama aku juga nggak nyangka sama sekali.
“Bunda sering cerita kalau Eyang memang orang yang baik, Bunda juga sering cerita sahabat kecilnya tapi saya nggak tahu kalau ternyata sahabatnya itu mamah Ranti.” jelasku.
“Aku Za bukan saya.” Koreksi pak Gavin.
“Iya maaf kan belum terbiasa.” jawabku kesal.
“Makanya mulai sekarang biasain.”
“Iya, sekarang kamu kok makin bawel banget sih mas?” kataku spontan sambil menghentak tangannya yang dari tadi masih menggenggam tanganku.
“Tuh kan sekarang malah senyam – senyum gitu, kan aneh.” Pak Gavin bukannya menjawabku malah senyam senyum sendiri bikin merinding disko saja.
“Aku seneng Za saat mendengar kamu manggil mas, rasanya nggak bisa di ungkapin dengan apapun juga.” Pak Gavin mentapku dan kembali tersenyum.
“Lebay deh, udah ya aku mau pulang takut Bunda nyariin soalnya sudah tahu kalau hari ini pulang cepat.” Pamitku.
“Mas anterin ya Za, kebetulan mas juga nggak ada kelas lagi.” Rasanya ingin ketawa karena sekarang pak Gavin merubah kata aku jadi mas.
“Tapi mas.”
“Za kita kan sekarang bersahabat, kaya mamah dan bunda jadi jangan menolak.” rayunya.
“Terserah, tapi Forza jalan duluan Forza tunggu di Halte depan.” jawabku memutuskan.
“Jauh amat Za, kenapa nggak tungguin di parkiran.” protes pak Gavin.
“Bawel, kalau nggak mau ya sudah.” aku berdiri dan berjalan meninggalkan pak Gavin.
“Iya mau, ya sudah tunggu mas di halte jangan kabur.” Teriak pak Gavin, aku mengangguk kembali berjalan meninggalkan pak Gavin di belakangku.