Aku turun dari Rooftop tiba di lantai satu dan bertemu para sohibku saat aku keluar dari Lift.
“Za, gimana sudah ketemu pak Dhika?” tanya Abell.
“Sudah, tetap nggak mau ganti jadi kalian siap – siap saja dengerin suara gue yang ancur.” Jawabku tersenyum geli melihat reaksi mereka.
“Serius lu? Emangnya nggak bisa apa ngundang penyanyi beneran bukan abal – abal kaya lu. Kan tamu dari kampus lain juga ada, malu – maluin saja deh.” Gerutu Abell membuatku makin geli.
“Eh itu pak Gavin, lu minta bantuannya saja buat ngomong sama pak Dhika Za.” Pak Gavin berjalan ke arah kami.
“Jawabannya sama saja, tadi waktu gue ketemu sama pak Dhika pas kebetulan 4 dosen itu lagi kumpul semua.” Jawabku.
“Yah terus gimana Za? Apa lu lipsing aja?” ini Abell apa – apaan coba nyuruh lipsing bikin pengen ketawa saja.
“Nggak bisa Bel, lu tahu sendiri gimana pak Dhika.” jawabku, karena pak Dhika terkenal tegas dan sulit di kibuli.
“Siang semua, lagi pada diskusi apa nih?” tanya pak Gavin saat sudah di depan kami semua.
“Siang pak Gavin, diskusi si Forza yang di suruh nyanyi sama pak Dhika. Suara dia ancur pake banget pak emangnya kampus kita nggak bisa ngundang penyanyi yang beneran ya?” coba itu Abell berani banget nyerocos panjang lebar bikin pengen ngakak saja.
“Forza juga bagus kok suaranya, saya rasa nggak kalah sama penyanyi ternama, saya akui hanya perlu sedikit di latih saja.” Jawab pak Gavin santai, iyalah dia sudah tahu tentangku jadi santai begitu coba kalau belum mungkin bakal mempertimbangkan juga.
“Kita semua sudah pernah dengerin suara Forza loh pak, ya ampuuun bikin telinga mo pecah saja.” Gerutu Abell lagi yang masih belum terima aku bakal tampil.
“Oya? Coba tunggu nanti saat acara, kita dengerin suara Forza lagi apa masih bikin telinga mau pecah atau malah bikin kalian histeris karena nggak nyangka sama suaranya.” Tantang pak Gavin.
“Pak latihan nyanyi suara ancur itu nggak mungkin bisa dalam waktu cepat, pak Gavin kenapa yakin banget.” Abell masih saja ngotot bikin aku senyum sendiri.
“Harus yakin dong, saya percaya Forza akan memberikan penampilan yang terbaiknya.” Pak Gavin pun langsung melangkah pergi dengan senyumnya yang manis sekali sambil melirikku.
“Pak Gavin yakin banget kalau lu bakal bisa nyanyi Za.” tanya Abell lagi.
“Meneketehe, tanya lagi sana sama orangnya.” Jawabku, ponselku bergetar ada pesan masuk dan aku segera membacanya.
Pak Gavin
Saya tunggu di halte sekarang.
Aku tersenyum membacanya, “Gue pulang duluan ya, Bunda udah chat terus.” Pamitku pada para sohib.
“Mau gue anterin Za?” tawar Alfa.
“Nggak usah Fa, makasih semua gue duluan ya bhay.” Kataku melambaikan tangan dan pergi meninggalkan mereka.
Aku berjalan menuju halte dimana mobil pak Gavin sudah berada di sana menunggu kedatanganku.
“Lama ya pak, maaf.” Sapaku saat sudah memasuki mobil.
“Mas Za, kamu lupa kalau kita cuman berdua harus panggil apa.” Tegur pak Gavin.
“Iya maaf.” jawabku kesal, nggak boleh lupa sedikitpun hemm.
“Mau langsung pulang apa mau mampir kemana dulu?” tanya pak Gavin.
“Langsung pulang saja mas, Bunda sudah chat suruh cepat pulang karena hari ini Fahri ulang tahun.” jawabku.
“Ko kamu nggak bilang kalau Fahri ultah?” tanya pak Gavin.
“Lah ini bilang.” kataku.
“Maksud mas kenapa nggak dari kemaren – kemaren, kan mas bisa beli kado buat Fahri.”
“Nggak usah mas, do’ain saja yang terbaik buat Fahri karena do’a kado yang lebih berharga dari apapun.” Kataku sambil tersenyum, sok bijak sekali aku ini.
“Itu sih pasti, Za kalau nggak salah di depan ada toko mainan kita mampir sebentar ya.”
“Iya mas.” nurut sajalah dari pada nanti di debat.
Pak Gavin melajukan mobilnya selang beberapa menit berhenti di depan toko mainan. Kami memasuki toko mainan.
“Za Fahri suka mobil atau tembakan?” tanya pak Gavin.
“Suka semua mas, dia kan anak cowok.” Pak Gavin manggut – manggut dan memilih kado untuk Fahri.
“Mbak tolong bungkusin ini ya, sekalian di kadoin.” Katanya pada mbak penjaga toko.
“Banyak amat mas, salah satu saja nggak usah mobil sama tembakan.” Protesku karena menurutku terlalu banyak.
“Nggak apa, mas suka sama mobilnya dan mas ingat kalau Fahri ingin jadi polisi jadi tembakan ini pas buat dia.” Jawabnya.
“Terserah mas saja, Forza nggak akan pernah menang debat sama mas.” Memang benar aku selalu kalah jika debat dengannya ini.
“Siiip, good girl.” Pak Gavin tersenyum.
Selesai bayar di kasir kamii memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumahku, sepanjang perjalanan kami hanya ada suara musik, kami diam meyelami pikiran masing - masing.
Sesampainya di rumah aku turun terlebih dahulu dan masuk ke rumah.
“Assalamualaikum.” aku mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam, ko baru pulang sih kak? Adikmu udah nggak sabar nungguin buat tiup lilin.” Kata bunda menyambut kepulanganku.
“Maaf bun tadi--.”
“Assalamualaikum bunda.” pak Gavin masuk dan mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam nak Gavin, ayo masuk.” Pak Gavin masuk ke dalam rumah dan tak lupa mencium tangan Bunda.
“Bang Gavin!. Wah bawa kado buat Fahri ya?” tanya Fahri.
“Hai jagoan abang, iya ini abang bawa hadiah buat adik abang yang tampan.” Pak Gavin memberikan kadonya pada Fahri yang langsung di terima dengan bahagia.
“Wah ada dua Bunda kadonya, terima kasih bang Gavin.” Kata Fahri bahagia.
“Sama – sama jagoan, selamat ulang tahun ya makin pintar sekolahnya, makin sholeh dan nurut sama Bunda juga kakak.” jawab pak Gavin sambil mengusap rambut Fahri.
“Aamiin.” jawab aku dan bunda berbarengan.
“Nak Gavin kok repot - repot bawa kado segala sih, kamu datang ke sini juga Fahri udah senang.”
“Nggak ngrepotin ko Bunda.” jawab pak Gavin.
“Bunda ayo tiup lilinnya.” kata Fahri sambil berlari ke ruang keluarga.
“Ya ampun anak itu, dari tadi nggak sabar sekali. Ayo nak Gavin kita ke ruang keluarga.” ajak bunda.
Selesai tiup lilin Fahri memberikan potongan pertama cakenya untuk pak Gavin.
“Bunda, kakak maaf ulang tahun Fahri yang sekarang potongan pertama mau Fahri kasih sama bang Gavin karena abang sudah baik dan mau menjadi abang buat Fahri dan kak Firza, abang juga udah jagain kak Forza jadi cake ini untuk abang.” Fahri memberikan potongan pertama untuk pak Gavin dan menyuapinya.
“Terima kasih jagoan, abang jadi terharu karena abang selama ini selalu sendirian. Terima kasih sudah buat abang merasakan punya adik tampan seperti Fahri.” Pak Gavin memeluk Fahri dan menciumnya tak terasa bulir air mata jatuh ke pipinya, aku melihatnya dan ikut terharu melihatnya.
“Sekarang ayo kita makan, Bunda udah masak banyak untuk kalian.” kata bunda.
“Terima kasih Bunda, Oya bun mumpung Gavin ingat takutnya kalau nanti – nanti malah kelupaan. Malam minggu besok mamah mau ajak Bunda, Forza, Firza dan Fahri buat makan malam kebetulan papah pulang jadi sekalian mamah juga mau ngenalin bunda ke papah.” kata pak Gavin.
“Insya Allah nak kami akan datang.” jawab bunda tersenyum.
Setelah selesai makan dan mendengarkan cerita lucu dari Fahri, pak Gavin akhirnya pamit karena harus ke Rumah Sakit untuk berdinas.