Forza Pov
Aku berjalan masuk kembali ke kelas sambil berfikir kenapa pak Dhika memintaku tampil di acara kampus, dari mana pak Dhika tahu kalau aku bisa memainkan alat musik dan juga bernyanyi. Pak Gavin, ya hanya dia yang patut di curigai karena pasti Bunda sudah banyak bercerita sama pak Gavin saat berada di rumah tempo hari.
“Ada apaan anak BEM nyari lu Za?” tanya Nadia.
“Ngasih tahu gue kalau gue di pilih pak Dhika suruh tampil buat acara ulang tahun Universitas.” Jawabku.
“Lu bakal bawain apa Za?” tanya Abell.
“Gue suruh nyanyi.” Jawabku lagi
“Emang lu bisa Za hahaha.” Abell kurang asyem nih ketawanya.
“Waktu di tempat karaoke saja suara lu Fals banget haha.” Lanjutnya lagi.
“Itu dia, kenapa pak Dhika malah pilih gue coba.” Jawabku lagi.
“Ya sudah lu temuin pak Dhika gih, protes sono jangan sampai lu malu depan umum karena suara lu.” Kata Nadia.
“Ya sudah gue ke ruang dekan dulu ya.” Jawabku.
Aku berjalan menuju ruang dekan dan masih seperti biasa banyak yang memandangku dengan benci bahkan ada yang terang – terangan menghinaku, tapi bomat lah asal mereka nggak keterlaluan suka – suka mereka saja.
“Eh dia kan yang katanya pak Gavin lagi PDKT, emangnya diliat apanya coba penampilan tomboy dan biasa aja kaya gitu.”
“Pakai pelet kali makanya Pak Gavin naksir.”
Aku hanya bisa diam dan bersabar karena jika di urusin yang ada sama – sama gilanya, toh aku memang cuek nggak peduli dengan omongan orang lain.
Aku menuju ruang dekan, sebelumnya aku melewati ruangan pak Gavin, sebelum menemui pak Dhika lebih baik aku menemui Pak Gavin terlebih dahulu untuk menanyakan kenapa dia membocorkan jika aku bisa memainkan alat musik dan juga bernyanyi.
Tok tok tok
“Masuk.” Jawab dari dalam dan akupun membuka pintu ruangan.
Ceklek
Pintu terbuka, aku terkejut karena nggak cuman pak Gavin tapi juga ada ke tiga sahabatnya. OMG bagaimana ini bisa – bisa aku jadi bahan ledekan mereka semua.
“Maaf pak kalau saya mengganggu, nanti saja saya kembali lagi, permisi.” kataku berusaha sesopan mungkin dan menutupi kegugupanku.
“Nggak ko Za, ada apa ko tumben ke ruangan saya? Kangen ya?” kata Pak Gavin yang mengedipkan satu matanya lagi dan tersenyum, sungguh makin kesini terlihat makin genitnya ini dosen bikin aku gelagapan saja.
“Eh enggak ko pak, tadinya saya mau ke ruangan pak Dhika tapi saya ke sini dulu untuk memastikannya terlebih dahulu.” Jawabku.
"Memastikan apa? memastikan saya beneran suka sama kamu apa enggak?" kata pak Gavin menujukkan senyuman jahilnya, sungguh aku benar - benar di buat kesal sama dosen satu ini. Untung tampan kalau nggak sudah aku tendang jauh pindah planet.
"Nggak ya, Bapak terlalu percaya diri sekali." jawabku kesal.
"Harus lah, kalau nggak percaya diri gimana saya bisa dekati kamu." jawabnya santai.
"Maaf pak saya ada penting sama pak Dhika, nggak jadi bertanya sama Bapak." aku pun menatap pak Dhika.
“Ada penting ap Za? Apa soal kamu yang di tunjuk buat acara ultah universitas?” kata pak Dhika.
“Ya benar pak, saya nggak bisa nyanyi apa lagi main alat musik jadi sebaiknya bapak cari pengganti saya yang lainnya ya.” Kataku mencoba memelas.
“Tapi saya sudah tahu kualitas suara kamu dan ke ahlian kamu dalam memainkan berbagai alat musik.” Jawab pak Dhika.
“Saya nggak bisa pak, saya –“
“Saya hadir di acara lamaran sepupu saya di Cafe D&G Za, saya melihat semuanya dan kamu nggak boleh menolak karena saya nggak suka penolakan.” Jawab pak Dhika membuatku tak bisa berkutik lagi, aku kira karena pak Gavin nggak taunya pak Dhika lihat sendiri.
“Jadi, Bapak bukan tahu dari pak Gavin?” tanyaku.
“Bukan lah saya lihat dan dengar sendiri, eh ko kamu bisa nuduh Gavin si emangnya Gavin udah tahu ya?” tanya pak Dhika, mampus lu Za kena juga kan gara – gara pertanyaan nggak penting lu itu.
“Oh itu... itu cuman tebakan saya saja pak, pak Gavin juga pastinya belum tau.” Jawabku gugup.
“Oh gitu, sekarang udah clear ya, kapan kamu bisa latihan?” Kata pak Dhika lagi.
“Baiklah pak dengan sangat terpaksa saya menerimanya, nanti saya konfirmasi lagi kalau saya sudah tahu kapan bisa latihan pak.” Jawabku.
“Jangan terpaksa dong Za, anggap saja kamu tampil khusus hanya buat Gavin.” Kata Pak Dimas yang sukses makin membuatku gugup karena jantungku pun makin cepat detaknya.
“Apaan sih mas, udah kalian keluar sana aku ada penting sama Forza.” Pak Gavin membuka suara.
“Kita keluar dulu ya Za, jangan lupa segera kabari kapan bisa mulai latihan.” Aku hanya menganggukan kepala sebagai jawaban iya.
“Duduk dulu Za.” Perintah pak Gavin saat ketiga sahabatnya sudah keluar ruang kerjanya dan aku pun duduk.
“Terima kasih, maaf Bapak ada keperluan apa ya sama saya?” tanyaku karena ingin segera pergi dari ruangan ini, jantungku sudah tak baik - baik saja jika berdekatan dengan pak Gavin.
“Malam minggu besok mamah undang kamu, Bunda, Firza dan Fahri buat makan malam kebetulan papah pulang jadi sekalian mau di kenalin sama papah.” Kata pak Gavin.
“Nanti saya sampaikan ke Bunda pak, kalau begitu saya pamit” aku segera bangkit dan saat akan membuka knop pintu pak Gavin memanggilku lagi.
“Za.” panggil pak Gavin.
“Ya.” Jawabku menatapnya.
“Kamu sudah nggak ada kuliah lagi kan?” aku mengangguk.
“Bisa ikut dengan saya? Ada yang ingin saya bicarakan tapi nggak di sini.” kata pak Gavin.
“Maaf pak, saya—“
“Mau ya Za, atau kalau kamu nggak mau keluar kita bisa bicara di Rooftop? Biar lebih enak bicaranya kalau di sini saya kurang nyaman.”
“Baik pak kita ke Rooftop kalau begitu, bapak duluan saja nanti saya menyusul.”
“Kenapa nggak bareng saja Za?”
“Saya nggak mau makin banyak gosip tentang kita pak, saya jujur kurang nyaman dengan semua gosip yang sekarang beredar.” Jujur aku benar – benar tak nyaman.
“Gosip apa kok saya nggak tau?”
“Gosip yang katanya kita ada hubungan hanya karena kesalahpahaman atas sikap Bapak tempo hari saat di kantin dan beberapa perilaku Bapak juga ke tiga sahabat Bapak yang membuat persepsi mereka tentang gosip itu makin menjadi.” Jawabku panjang lebar dan pak Gavin hanya mengangguk.
“Oh itu, nanti kita bahas di Rooftop saja ya kalau begitu saya duluan dan jangan kelamaan ya Za.” Pak Gavin bangkit berjalan membukakan pintu, aku pun keluar dari ruangannya berjalan pelan di belakangnya menatap punggungnya hingga tak terlihat karena masuk ke dalam lift.