Seminggu sudah Forza absen ke kampus dan hari ini hari pertama dia kembali ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Pagi – pagi mamah Ranti dan Gavin sudah sampai di rumah Forza.
“Mamah ko repot – repot sih, Forza bisa ko mah nanti antar Fahri pulangnya biar Firza yang jemput.”
“Mamah nggak repot sayang, justru mamah senang karena bisa flashback dulu saat antar jemput Gavin. Mamah minta kamu dan Firza fokus sama pendidikan kalian urusan Fahri biar mamah sama tante Arum ya mamah mohon kasih mamah kesempatan untuk mengurus kalian.”
“Kami takut menjadi beban buat mamah, kami di beri kasih sayang seperti ini saja sudah bersyukur mah kami nggak mau mamah berlebihan dan membuat kami memanfaatkannya insyaAllah Firza akan selalu membantu kak Forza mengurus dan menjaga Fahri.”
“Mamah nggak merasa kalian menjadi beban mamah, kalian tahu mamah dan om Braga sangat menyayangi kalian seperti anak kami sendiri, kami sudah berjanji pada bunda kalian untuk menjaga dan merawat kalian nak jangan pernah merasa kalian beban buat kami, papah Ardan justru ingin kalian pindah ke rumah kami nak agar papah juga bisa memberikan kasih sayangnya untuk kalian terutama untuk Fahri yang masih sangat membutuhkannya.”
“Terima kasih mah tapi sebaiknya kami tetap di sini kalau menurut Firza nggak baik bang Gavin dan Kak Forza tinggal satu atap nanti akan ada fitnah.”
“Ya kamu benar nak, mungkin kalau kakakmu ini mau menikah sama abangmu nggak akan ada masalah.”
Uhuk uhuk uhuk
Forza tersedak mendengar ucapan mamah Ranti, Gavin segera memberinya minum.
“Makannya pelan dong Za nggak usah buru – buru jadinya kesedak kan.” Kata Gavin yang tersenyum jail, sesungguhnya Gavin menyadari jika Forza tersedak karena kaget mendengar perkataan mamahnya soal pernikahan.
“Tahu nih kak Forza takut apa makanannya Firza ambil hahaha.” Firza tertawa melihat ekspresi wajah kakaknya.
“Mmm sepertinya Forza sudah kenyang, Forza ke kamar sebentar.” Forza segera berlari menuju kamarnya dan yang ada di meja makan tertawa geli melihat tingkah Forza yang salah tingkah.
Di dalam kamar Forza mondar – mandir, memikirkan perkataan mamah Ranti soal pernikahan haruskah dalam waktu dekat ini dia menerima Gavin dan bersedia menikah dengannya tapi Forza belum ingin menikah dia ingin mendapatkan gelar dokter terlebih dahulu.
Aargghh kepala Forza pusing memikirkannya, bagaimana nanti menghadapi mamah Ranti dan Gavin di bawah apa lagi kalau kembali membahas pernikahan, bagaimana pun caranya Forza harus bicara terlebih dahulu kalau dia belum siap untuk menikah dalam waktu dekat.
Tok tok tok
“Mau sampai kapan di dalam Za? Buruan keluar kamu ada kelas jam 8 kan, mas juga sama ada kelas jam 8 ayo berangkat.” Seru Gavin di balik pintu kamar Forza.
“Ya mas sebentar lagi Forza turun.” Jawab Forza.
Forza menarik nafasnya dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan mencoba menenangkan dirinya sebelum keluar, Forza membuka pintu betapa terkejutnya dia karena Gavin masih di depan pintu.
“Kenapa?” Gavin mengangkat satu alisnya dan tersenyum.
“Nggak apa tuh, ayo berangkat.” Forza berjalan meninggalkan Gavin yang masih saja tersenyum karena melihat wajah Forza yang memerah membuatnya semakin gemas.
Di bawah nampak sepi, “Mamah, Firza dan Fahri mana mas ko sepi?” tanya Forza pada Gavin.
“Udah pada berangkat, supir mamah udah datang karena udah siang jadi berangkat.” Jelas Gavin.
“Oh, ya udah kita berangkat yuk.” Ajak Forza dan Gavin pun mengangguk.
“Mas nanti Forza turun di halte saja ya.”
“Ngapain? Jalannya kan jauh Za.”
“Forza nggak mau jadi pusat perhatian karena satu mobil sama dosen yang katanya most wanted.” jawab Forza.
“Nggak usah mikirin mereka semua Za cuek saja sih.”
“Nggak bisa mas.”
“Harus bisa! Lagian kamu memangnya belum ada niatan gitu buat menjawab pernyataan cinta mas, kalau kita resmi ada hubungan kan mereka nggak bakal banyak omong Za.”
“Iya aku tahu ini sudah lebih dari satu minggu, dari waktu yang mas berikan ke aku.”
“Tuh tau, mas mau nagih jawabannya sama kamu, mas nggak mau ya si Alfa itu juga nyatain perasaanya ke kamu dan malah dia yang kamu terima.”
“Ko bawa – bawa Alfa sih mas, lagian dia sahabat aku nggak mungkin ada rasa sama aku.”
“Mas juga laki – laki Za mas tahu dari tatapannya kalau dia sangat memuja kamu dia ada rasa sama kamu emangnya kamu nggak ngerasain.”
“Engga tuh karena bagi aku dia sahabat yang sampai kapan pun nggak mungkin bisa jadi kekasih, aku sayang sama dia sebagai sahabat mas bukan yang lainnya.”
“Kalau sama mas?”
“Jangan mulai deh.”
“Mas kan pengin tau Za.”
“Mas.”
“Hmm.”
“Memangnya kamu beneran serius sama aku?” tanya Forza dan Gavin pun menoleh ke arah Forza.
“Menurut kamu? Mas sudah mencintai kamu dalam diam tanpa kamu tahu sampai 2 tahun lebih belum lagi setelah kita dekat mas masih harus berjuang buat meluluhkan hati kamu apa itu nggak serius?”
“Forza ragu mas, masih banyak yang lebih baik dari Forza, lebih cantik, pintar atau bahkan sukses karena sudah punya pekerjaan sedangkan Forza mas tahu sendiri sebantang kara dan jauh dari kata layak buat mas cintai.”
Gavin menepikan mobilnya, “Za mas nggak peduli sama yang kamu katakan tadi mas cinta sama kamu tulus Za nggak memandang apapun, mas tahu banyak yang menawarkan cinta untuk mas dan mereka ada yang sudah spesialis atau anak pejabat yang siap memberi mas apa pun tapi sayangnya mas nggak tertarik Za.”
Gavin menggenggam kedua tangan Forza dan memandang mata indahnya.
“Mas mencintai kamu bukan karena siapa diri kamu Za mau kaya atau miskin, cantik ataupun kurang cantik. Mas mencintaimu tentang apa yang mas rasakan hanya dengan mendengar namamu di sebut, mas selalu merasakan getaran yang tak pernah mas rasakan hanya sama kamu mas merasakannya.”
Gavin membawa tangan Forza menyentuh dadanya, “Jantung ini berdetak begitu menggila hanya dengan mendengar nama kamu Za, Jantung ini berdetak makin menggila saat mas melihat wajahmu Za, kamu bisa rasakan detak jantung mas kan? Apa kamu masih ragu sama mas?”
“Forza nggak ragu untuk semua itu mas, Forza hanya ragu pada diri Forza sendiri, tapi mungkin saat ini sudah waktunya Forza memberikan jawaban apa yang mas kasih di atas Rooftop.” Forza memandang wajah Gavin kemudian tersenyum.
“Mas, Forza bersedia menerima mas, Forza akan berusaha mencintai mas walau Forza juga nggak tahu kapan Forza akan bisa mencintai mas seperti mas mencintai Forza tapi Forza akan mengusahakannya akan belajar mencintai mas mulai dari sekarang, bantu Forza agar bisa mencintaimu mas.”
Gavin syok mendengar semua ucapan Forza, dia tidak percaya kalau pernyataan cintanya sudah mendapat jawaban sesuai dengan apa yang dia inginkan, Gavin tersenyum bahagia sekali.
“Ka kamu beneran terima cinta mas Za? Mas nggak salah dengar kan?” tanya Gavin dan Forza mengangguk.
“Ya Allah mas bahagia sekali Za, terima kasih Za terima kasih sudah menerima cinta mas terima kasih Za.” Gavin memeluk erat Forza saking bahagianya.
“Sama – sama mas, sekarang tugas mas bantu Forza agar bisa mencintai mas seperti mas mencintai Forza.” Gavin mengangguk.
“Pasti sayang.”
Deg
Forza terdiam kembali mendengar Gavin memanggilnya sayang, “Sayang?” cicit Forza
Gavin melepaskan pelukannya, “Ya sayang, kan kita udah resmi pacaran jadi nggak apa dong mas mulai panggil kamu sayang.”
“Terserah mas saja, tapi Forza minta jangan sampai kelepasan di kampus ya mas karena Forza nggak mau. Forza minta kita merahasiakan ini semua jangan sampai ada yang tahu.”
“Loh kenapa, baru saja mas berpikir bakal umumin hubungan kita saat mas ada di kelas kamu nanti.”
“No mas awas saja kalau kamu beneran umumin, saat itu juga kita putus.”
“Kejam sekali kamu Za baru juga jadian belum 24 jam sudah putus, ya udah mas janji nggak akan umumin hubungan kita nanti saat di kelas.”
“Bagus, dan satu lagi mas jangan terlalu dekat – dekat aku apa lagi kasih perhatian berlebihan kaya kemaren – kemaren aku nggak mau karena itu semua bisa menimbulkan kecurigaan.”
“Kalau yang itu mas nggak bisa janji.”
“Kenapa?”
“Kalau mas kangen pengin liat kamu otomatis mas samperin dong, terus kalau kita ketemu di kantin kamu makan yang nggak sehat mas juga nggak bisa biarin nanti kamu sakit, kalau kamu dekat – dekat cowok lain mas juga mana mungkin diam saja apa lagi kalau sampai nyentuh kamu, Nooo mas nggak bisa.” Jawab Gavin menunjukkan sikap protektifnya.
“Oke kalau mas kangen aku bisa keruangan mas kita ketemu disana, masalah makan atau jajan aku janji bakal makan sehat lagian mas kan punya kantin sendiri khusus dosen dan pegawai jadi mending nggak usah ke kantin mahasiswa, untuk masalah cowok aku bakal usahain buat nggak dekat – dekat apa lagi membiarkannya nyentuh aku.” Jelas Forza.
“Beneran kalau mas kangen kamu akan keruangan mas?”
“Ya asal lagi nggak ada kelas atau ngerjain tugas aku akan datang ke ruangan mas.”
“Masalah pilihan makan kamu boleh lah mas sedikit percaya tapi kalau larangan datang ke kantin mahasiswa mas nggak mau, mas tetap akan kesana buat liat kamu nakal apa enggak.”
“Terserah.”
“Dan yang terakhir mas percaya sama kamu, tapi mas nggak bisa percaya sama laki – laki yang ada di dekat kamu itu mereka akan selalu berusaha dekat sama kamu terutama Alfa dia kan hobby banget merangkul pundak kamu saat jalan atau duduk di kantin, mas sudah perhatiin dari 2 tahun yang lalu loh Za.”
“Ya udah nanti aku usahain biar Alfa nggak nempel – nempel aku lagi. Sekarang buruan jalan 20 menit lagi aku ada kelas mas dan aku turunnya sebelum gerbang saja karena udah siang.”
“Ya ampun mas sampai lupa.” Gavin menjalankan mobilnya kembali.
Mobil Gavin terus melaju memasuki Gerbang dan segera mendapatkan protes dari Forza, “Mas ko jalan terus kenapa nggak berhenti depan gerbang?”.
“Udah siang Za nanti kamu terlambat, lain kali saja oke sayang.” Gavin tersenyum dan mengerlingkan mata kanannya.
“Nyebelin kamu mas.” Gavin diam saja dalam hatinya dia sangat bahagia, perlahan namun pasti Gavin akan membuat semua orang tahu.
“Udah sana turun, masih mau berduaan sama mas?”
“PeDe banget sih pak dosen.” Forza keluar dengan bibir yang masih ngoceh pergi meninggalkan area parkir.
Gavin di dalam mobil hanya bisa tersenyum melihat gadisnya yang ngambek tapi justru membuatnya terlihat gemas.