Sudah 8 bulan Forza menikah tapi belum juga ada tanda – tanda dia hamil, rumah terasa sepi jika Gavin sedang bekerja, hanya ada pembantu yang setiap jam 5 sore pulang, Firza melanjutkan pendidikannya di Akmil, Fahri masih satu rumah dengan mamah Ranti, Ayah Adhitama sudah berpulang 2 bulan yang lalu karena kanker yang di idapnya. Sudah jam 10 malam tapi mata Forza belum juga bisa terpejam.
Pintu kamarnya terbuka, terlihat suami tercintanya sudah pulang kerja, “Hei ko belum tidur sayang? Nungguin mas ya?” Gavin mendekat dan mencium kening Forza.
“Iya, kok tumben pulangnya sampai jam 10.”
“Tadi Dhika minta masukan mas sama Reno juga, kebetulan Reno mampir, besok Dhika ada operasi besar istri pejabat.”
“Oh gitu, ya sudah mandi gih bau tahu, aku buatin teh ya.” Gavin mengangguk, Forza pergi keluar kamar untuk membuat teh manis hangat.
Tak lama Forza masuk ke kamar membawa teh manis, suaminya juga sudah duduk bersandar di sofa kamar sambil memainkan ponselnya. Forza duduk di sampingnya.
“Mas besok aku izin ke makam ya, kangen bunda dan ayah sudah lama nggak kesana.”
“Boleh sayang, nanti mas temenin kamu bisanya jam berapa?”
“Sore mas.”
“Ya sudah nanti mas temani besok mas cuman di Rs nggak ada kelas.”
“Kamu sekarang lebih sering di Rs mas, padahal dulu kayanya di kampus terus.”
“Dulu kan di kampus ada kamu jadi mas betah di sana, sekarang kamu di Rs jadi mas betah di Rs.” Jawab Gavin nyengir.
“Aneh tahu nggak, sistem kerja kamu gimana sih kok beda sama kak Dhika atau kak Dimas yang memang jam kerjanya jelas berapa jam di kampus berapa jam di Rs nggak kaya kamu kayanya sesuka hati”
Gavin menjentikan jarinya di dahi Forza, “Sembarangan, mas juga jelas kali sayang sesuai jadwal, cuman bedanya memang sekarang mas nggak ngambil jam kaya dulu di kampus, cuman 3 kelas saja.”
“Kirain sesuka hati mas saja.”
“Ya nggak lah, Dhika yang pemiliknya saja sama masa mas beda, kamu kenapa sih lagi ada yang di pikirin? Mas nggak mau ya kamu sakit karena banyak pikiran.”
“Aku cuman ngerasa sepi mas, kita kok belum juga dipercaya dapat momongan ya mas sedangkan Nadia dan kak Dimas yang baru nikah sudah hamil.” Tak terasa Forza menitikkan air mata.
Nadia menikah sama Dimas karena di jodohkan kedua orang tua mereka.
“Sssttt jangan nangis, mas nggak masalah ko kalau kita belum punya momongan itu berarti Allah ingin kita menikmati masa – masa pacaran setelah nikah yang Masya Allah nikmatnya, kita sudah berusaha dan juga berdo’a hasil akhir pasrahkan sama Allah, mas mau kamu selalu bahagia, jangan pernah menangis karena rasanya sangat sakit melihat orang yang mas cintai menangis, mas merasa gagal jadi suami dan nggak bisa nepatin janji mas sama bunda juga ayah buat bikin kamu selalu bahagia.” Gavin mengecup kepala Forza.
“Maaf mas kalau aku baper, kayanya mau masuk periode deh makanya suasa hati aku kaya gini.”
“Oya? Tanggal berapa sekarang? Kalau gitu mas mau ya sebelum puasa seminggu.”
“Kamu mah mas.”
“Kan kita mesti rajin bikinnya sayang, kapan pun ada waktu dan kesempatan langsung hajar. Jadi, boleh ya?”
“Emangnya aku bisa nolak permintaan kamu yang satu itu.”
“ Tentu tidak honey, terima kasih.” Gavin mengecup kening Forza.
****
“Nyonya Gavin sakit ya? Ko pucat amat.” Tegur mas Ciko.
“Nggak tahu mas lemas banget rasanya.”
“Ya sudah duduk saja, mau aku panggilin dokter Gavin?”
“Nggak usah mas, lagian dia lagi di kampus ada kelas.”
“Vi, tolong pesan teh manis anget anterin kesini buat Nyonya pucat banget nih.” Kata mas Ciko meminta tolong mbak Via.
“Oke bentar.” Mbak Via memesan teh manis lewat interkom Rs.
“Kamu sakit Za? Istirahat saja di dalam nanti aku yang ngomong sama dokter Rangga kamu sakit, kamu stasenya dokter Rangga kan?” tanya mbak Via mendekat.
Forza mengangguk, “Di sini saja mbak nggak apa, nanti kalau sudah minum teh manis pasti segeran.” Kata Forza.
“Ada pasien datang, hubungi dokter Antonius Vi, kamu di sini saja Za.” Kata mas ciko yang segera berlari menarik brankar dan masuk ke salah satu tirai.
Forza melihat mba Via yang berlari keluar masuk tirai, sepertinya pasien emergency Forza merasa nggak enak meskipun sudah bukan stase dia lagi, Forza pun berjalan menuju tirai berusaha membantu.
Pasien sudah bisa di tangani semua bernafas lega, “Za kamu kok ke sini sih bukannya istirahat.” Kata mba Via.
“Kamu sakit Za?” tanya dokter Antonius.
“Sudah enakan kok dok.”
“Jaga kesehatan, belum masuk stase bedah udah ngedrop gimana kalau di stase bedah sama dokter Dhika yang butuh tenaga sangat ekstra dan gesit.”
“Iya dok terima kasih nasihatnya.”
Mereka berempat keluar tirai menuju ruang jaga, namun baru beberapa langkah Forza merasakan kepalanya berdenyut nyeri tanpa sengaja dia mencengkram pundak mba Via membuat pemilik pundak menoleh.
“Kenapa Za? Pusing lagi?” belum sempat Forza menjawab dia langsung jatuh pingsan untungnya langsung di tangkap mbak Via, “Forza!!!” mas Ciko dan dokter Antonius menoleh ke belakang mendengar mbak Via berteriak dan mereka berdua segera berlari menghampirinya.
“Biar saya gendong.” Kata dokter Antonius yang langsung mengangkat tubuh Forza.
“Dari kejauhan Dhika melihat ramai – ramai dan dokter Antonius menggendong seseorang yang sepertinya anak koass, dia pun berjalan mendekat menuju tempat istirahat perawat.
“Ada apa ini.” Tegur Dhika.
“Forza pingsan dok.” Mendengar nama Forza di sebut Dhika langsung mendekat dan melihat dokter Antonius sedang memeriksanya.
“Gimana dokter Antonius?” tanya Dhika.
“Sepertinya perlu dokter Rangga dok, USG buat memastikan saya rasa Forza hamil mau saya cek lebih lanjut tapi bukan ranah saya.”
“Vi panggil dokter Rangga.” Perintah Dhika sama mba Via, “Kalau begitu biar saya gendong Forza ke luar, mas Ciko tirai yang ada USGnya kosong atau ada pasien?”
“Kosong dok.” Jawab mas ciko ,”Oke.” Dhika segera menggendong Forza membuat dua orang yang di sana terheran melihatnya.
“dokter Dhika panik amat ya dok.” Kata mas Ciko.
“Wajarlah, Forza kan istri sahabat sekaligus sepupunya, nggak usah nething mas Ciko.” Kata dokter Antonius yang juga berjalan keluar dari ruang istirahat.
Dhika membaringkan Forza dengan hati – hati, tak lama dokter Rangga datang, “Ada apa dok?” tanya dokter Rangga.
“Tolong cek Forza dok, apa benar dia hamil dari palpasi sepertinya iya tapi biar lebih meyakinkan coba USG, dia pingsan.” Kata Dhika menjelaskan.
“Oke, coba saya USG ya, dokter Gavin sudah tahu belum kalau istrinya pingsan?”
“Ya ampun saya sampai kelupaan, saya telfon sebentar.” Dhika pun menghubungi Gavin memintanya segera datang.
“Dugaan anda benar dokter Dhika, Forza hamil dan sudah 6 minggu.” Kata dokter Rangga, mendengar Forza hamil entah kenapa ada rasa begitu bahagia yang Dhika rasakan, rasanya seperti Dhika Ayah dari janin itu tak terasa setetes air mata jatuh begitu saja dari matanya.
“Alhamdulillah dokter Gavin pasti bahagia sekali mendengar kabar baik ini, terima kasih dokter Rangga.” Kata Dhika.
“Sama – sama dokter Dhika, bukan hanya dokter Gavin yang bahagia tapi kita semua turut bahagia dok, saya permisi dulu.” Dhika mengangguk.
Dhika memandang wajah Forza yang terlihat pucat tapi masih terlihat sangat cantik, ada rasa bahagia mendengar Forza hamil tapi juga ada rasa sakit karena bukan dia Ayah dari janin yang ada didalam rahim Forza.
“Forza!” Gavin datang dan mendekat brankar mengelus kepala istrinya, “Kenapa bisa pingsan Dhik?” tanya Gavin dengan tetap memandang wajah istrinya.
“Kecapean, makannya nggak teratur, malu – maluin istri Gavin Mahendra sampai kurang Gizi, mulai sekarang mesti kamu pantau makanannya karena ada anakmu di rahimnya.”
“Anak?” Gavin menoleh melihat ke arah Dhika.
“Iya Forza hamil sudah 6 minggu tadi dokter Rangga sudah mastiin, selamat ya brother sebentar lagi bakal jadi Ayah.” Ucap Dhika tersenyum.
“Alhamdulillah, aku seneng banget Dhik akhirnya aku nggak akan liat Forza sedih lagi karena belum juga hamil, terima kasih Dhik.” Gavin memeluk Dhika dengan air mata yang terus turun.
“Sama – sama, sudah hapus itu air mata malu kalau ada yang lihat, dokter Gavin yang terkenal galak malah nangis.”
“s****n, tapi aku nggak peduli Dhik aku nggak malu karena air mata ini air mata kebahagiaan.” Gavin menatap wajah istrinya.
“Terserah deh, aku cabut dulu mau ke kampus ada kelas jam 1.” Dhika pun pergi meninggalkan Gavin dan Forza yang belum sadarkan diri.
Gavin memandang wajah istrinya yang masih terlelap, “Bangun sayang, mas sudah nggak sabar ngasih tahu kamu kabar bahagia ini, kita akan menjadi orang tua.” Gavin mengusap wajah Forza.
Perlahan Forza membuka matanya dan melihat mata hitam suaminya menatap dengan penuh kebahagiaan ,”Mas kamu di sini? Bukannya masih ngajar?”
“Mas nggak bisa konsentrasi pas dengar istri mas pingsan, jadi mas buru – buru ke sini.”
“Maaf sudah membuat mas khawatir.”
“Lain kali jangan buat mas khawatir lagi ya, makan kamu harus teratur juga karena di sini ada calon anak kita.” Gavin mengelus perut Forza yang masih rata.
“Anak? Aku hamil mas?”
“Iya sayang kamu hamil sudah 6 minggu kita akan menjadi orang tua, mas bahagia sekali sayang selamat ya kamu akan menjadi mommy.” Forza menutup mulutnya tak percaya jika akhirnya hamil juga.
Forza bangkit dan segera memeluk Gavin, “Mas aku bahagia banget mas akhirnya aku bisa hamil.” Forza menangis dalam pelukan Gavin.
“Mas juga bahagia sayang, kamu nggak boleh banyak pikiran, nggak boleh kecapean, harus makan tepat waktu dan kamu harus selalu bahagia.”
“Iya mas.”
“Sekarang kamu istirahat ya, nanti mas mintain izin sama dokter Rangga, kamu belum makan siang kan?”
“Belum mas.”
“Mau makan apa? Sudah ngidam mungkin?”
“Nggak mas, apa saja aku makan.”
“Baiklah Nyonya, suami tampanmu ini beli makan siang dulu.” Gavin mencium kening Forza dan berjalan keluar.