BAGIAN DUA PULUH

4874 Kata
Hail POV “Kenapa tak tanya pada Kenan?” Pikiranku kembali seketika, tepat ketika Glafira memeluk lenganku. Menggantikan aku untuk menjawab pertanyaan Almeta. “Jangan marah pada Hail-ku yang manis, dia hanya membalas budi padaku.” Tak lupa menambahkan beberapa perkataan yang akan membuat orang main berpikir keras. Almeta tak mendengarkan perkataan Glafira, dia tak percaya. Yang ia lakukan adalah terus menatap tajam padaku, menuntut sebuah jawaban dari mulutku sendiri. Sekilas ia melemparkan tatapannya pada Kenan, lebih tepatnya mencari jawaban dari kami berdua. Ini waktu tepat yang Glafira maksudkan, mendorongku kembali pada keluargaku agar aku bisa menggunakan mereka demi kepentingannya. “Kenan mencoba membunuhku dan Glafira menyaksikan itu. Dia menolongku, merawat dan melindungiku dari Kenan. Jadi aku tinggal dengannya untuk membalas budi.” Tak kusangka, kalau aku bisa mengatakan semuanya dengan tenang. Kupikir aku akan lebih terbawa emosi. Kurasa tanpa kusadari, aku sudah tak terlalu memikirkan lagi tentang semua ini. Sampai beberapa bulan lalu aku masih begitu marah dan ingin membalas Kenan, tapi seiring dengan berjalan mulusnya taktik Glafira. Semakin banyak aku berhadapan dengan Kenan dan melihat betapa menyedihkannya saudara tiri-ku itu, perasaanku berubah. Alih-alih melakukan semuanya demi balas dendam, aku lebih menjalaninya secara alami demi sebuah pujian dari Glafira. Entah sejak kapan, segalanya hanya berdasar dari kepatuhan saja. Mungkin sebenarnya sejak awal yang kuinginkan hanyalah perhatian saja, bukannya kehancuran keluargaku. Sekarang, saat keinginan masa remajaku telah hilang, ambisi dan keinginan balas dendam itu pun redup dengan sendirinya. Semua ini bukan tentangku, tapi tentang ambisi wanita yang kupuja. “Benarkah itu, Kenan?” Almeta bertanya, meminta kejujuran dari putranya. “Itu tidak benar. Jangan biarkan pikiranmu terpengaruhi oleh wanita itu, Ayah,” jawab Kenan. Kenan tak ada niat untuk mengakui, dia membantah hingga akhir. Memasang wajah keras yang tak kuduga. Akibatnya, orang-orang mulai ragu. Percaya kepada satu pengakuan dari laki-laki tua yang tengah sekarat terasa kurang meyakinkan. Ini adalah sebuah kegagalan, tanda bahwa sudah waktunya bagi kami untuk kabur. Tak ada yang percaya padaku saat ini, dan kami perlu mencari cara lain untuk bisa membawaku kembali pada famili Amber. Bertepatan dengan itu, sebuah bom asap dilemparkan dari balik tirai panggung. Slader keluar dari sana, memberi aba-aba agar kami ikut dengannya. Dia telah menemukan jalan keluar. “Kita pergi!” perintah Glafira, memutuskan untuk memercayai Slader kali ini. Kami memanfaatkan saat penglihatan lawan terganggu, segera melarikan diri lewat rute yang telah Slader temukan. Pelarian itu tidaklah sulit, ketika semua penjaga berkumpul di aula. Kami pun berhasil lolos, kembali ke rumah dengan keadaan baik-baik saja. Glafira mengumpat kesal begitu memulangkan Slader dan dua orang lainnya, dia tak menyangka kalau mereka akan lebih memercayai bantahan Kenan. Kalau menurutku, keputusan famili Amber itu tepat. Lebih mudah memercayai kepala keluarga tiran daripada musuh yang lebih keji. Terlepas dari apa asumsi Almeta tentang ini, famili tetaplah sebuah kelompok yang mementingkan suara terbanyak. “Tenanglah Glafira, setidaknya penilaian mereka tentang Kenan sudah memburuk. Mungkin mereka tak percaya padaku, tapi bisa saja mereka mengganti kedudukan Kenan dengan Noir,” bujukku. Mencoba menenangkan bos yang sedang mengamuk, sebelum ia mencoba menghancurkan lebih banyak perabot. “Itu tak akan terjadi. Sebenci-bencinya mereka pada kepemimpinan Kenan, mereka tak akan mengangkat orang tak berguna seperti Noir. Setidaknya selama Almeta masih hidup, pendapat k*****t tua itu masih akan diprioritaskan.” Glafira tak terbujuk. Sebagai sesama pemimpin famili yang dibenci, dia tahu jelas bahwa penggantian posisi bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan begitu saja. Tak lama, ia mulai mencengkeram kerah bajuku dengan kesal. “Kau sendiri kenapa? marahlah sedikit! Pembalasan dendammu terhambat, dan kau malah memasang wajah tak peduli.” Glafira protes akan reaksiku. Yah... apa boleh buat. Perasaan bukanlah sesuatu yang bisa kuubah semau hatiku, tapi mengakui kalau ambisiku tidaklah sekuat dulu juga tak mungkin. Glafira bisa saja membuangku saat ia merasa kalau aku sudah tak berguna. “Aku marah, Glafira. Aku hanya tidak menunjukkannya,” bohongku. Dengan perlahan kudekatkan bibirku ke telinganya, berbisik dengan nada suara rendah. Kedua tanganku menarik tangan Glafira yang mencengkeramku, menariknya agar melingkar di leherku. Aku memeluknya dengan erat, berupaya menyembunyikan segala perasaanku yang tampak di wajah. Glafira menjadi jinak, dia membalas pelukanku seolah memberi harapan. Tentu saja aku tahu kalau itu hanya harapan sepihak saja, sebab yang sebenarnya yang ia inginkan hanyalah kehangatan sesaat untuk menenangkan emosi. Dia tak pernah punya hati untuk diberikan padaku. Perasaanku hanyalah cinta sepihak yang tak berujung. *** Kenan POV Aku pergi ke rumah sakit, menjenguk Ian yang masih dirawat di sana. Hanya untuk meyakinkan pada hatiku bahwa apa yang kukatakan tidaklah salah. Dia Hail palsu. Tak peduli meskipun Ayah berpikir kalau dia adikku, aku tetap tak akan memercayainya. Glafira mungkin memang ada di hutan itu ketika aku membunuh Hail, tapi perempuan ular itu tak akan menolongnya. Aku lebih percaya kalau Glafira melenyapkan mayat Hail dan membuat penggantinya untuk menghancurkanku. Aku membuka pintu ruang rawat Ian, masuk dan langsung duduk di kursi samping tempat tidur. Ian terlihat lebih baik dari sebelumnya, hanya tersisa sedikit memar di wajahnya. “Bagaimana keadaanmu?” tanyaku. “Sudah baikkan. Jadi, sampai kapan kau berniat menahanku di sini? Dokter bilang aku sudah boleh keluar kapan saja.” Ian balik bertanya, merasa dia sudah tak butuh perawatan lagi. Aku tahu itu, tapi aku tidak ingin dia keluar dulu. Karena Ian mungkin akan berbuat semaunya dan mendatangkan masalah lagi untukku. Aku bukannya tak percaya padanya, hanya saja Ian memang suka membuat masalah secara tak sengaja. “Istirahatlah beberapa hari lagi. Sampai saat ini kita masih unggul, Ghea tak akan menyerang untuk sementara waktu.” Mereka sudah menyerang pesta ulang tahun ayahku dan kabur seperti tikus pengecut setelahnya. Aku yakin kalau Glafira tak akan menyerang sementara waktu, setelah dia gagal membuat para tetua percaya kalau laki-laki yang dia bawa adalah Hail. Aku lalu menceritakan pada Ian apa yang terjadi kemarin. Mengenai tindakan tak jelas Glafira, juga pengakuan dari si palsu. Ian mendengarkan dengan seksama, sesekali mengumpat saat mendengar berapa banyaknya korban di pihak kami. Sementara lawan kami yang hanya berlima itu, kabur tanpa ada yang tewas satu pun. “Katakan padaku, Ian. Dia bukan Hail, iya, kan?” ujarku kemudian. Meminta Ian menegaskan padaku, hanya untuk memperkuat keyakinanku. “Dia bukan Hail. Akan kukatakan berapa kali pun hingga kau paham, Kenan. Jangan biarkan pikiranmu terganggu. Ini saat penting, apa pun kata Paman Almeta dan para tetua, aku akan selalu di pihakmu.” Itulah yang ingin kudengar, seseorang yang dengan yakin mengatakan kalau Hail yang itu palsu, adikku sudah tewas. “Ya, kau benar Ian.” Aku lega sekarang, merasa lebih baik. “Daripada itu, bagaimana dengan p*********n pada orang-orang Ghea?” Ian segera mengalihkan pembicaraan, bertanya mengenai perkembangan serangan kami. “Noir yang mengurusnya, tapi kita sudah berhasil membajak beberapa kali pengantaran mereka. Dan kudengar mereka sampai menutup kantor untuk sementara gara-gara serangan tak terkontrol orang-orang yang muncul entah dari mana. Mereka bahkan menarik orang-orang mereka yang di luar kota untuk kembali. Gimana menurutmu, Ian?” Aku rasa kami memang sudah unggul, tapi mengingat lawan kami adalah Glafira. Aku merasa kalau tindakan kami masih belum cukup untuk bisa menghancurkannya. “Jadi begitu, tapi kalau kita bicara soal Glafira. Ini saja tak cukup, aku yakin kalau mereka akan segera menemukan solusi atas serangan Noir. Jangan percayakan sepenuhnya pada adikmu, kita juga harus bertindak sendiri.” Ian sependapat. Ia tahu benar betapa licik dan cerdasnya Glafira, belum lagi betapa banyaknya jumlah tentara pribadi yang mereka latih sendiri. Sekumpulan pembunuh profesional seperti itu tak akan mudah dikalahkan hanya dengan melipatgandakan jumlah orang kami. “Bunuh satu per satu para tetua Ghea. Begitu jumlah mereka berkurang, sisanya akan terus menekan Glafira. Perempuan itu tak akan bisa bergerak bebas jika mendapat serangan dari pihaknya sendiri, ketika kita juga dengan gencar menyerangnya.” Ian kemudian memberikan saran. Memintaku mengirim tim pembunuh untuk melenyapkan orang-orang tua itu. “Bukannya lebih baik kalau kita membujuk mereka bekerja sama dengan kita? Sekali kita mulai membunuh, tak akan ada yang mau jadi mata-mata lagi,” tolakku. Rasanya terlalu berisiko. Selama ini kami selalu berusaha melobi tetua Ghea, membuat mereka membocorkan gerakan Glafira. Sekali saja kami mencoba membunuh mereka, maka kami tak akan pernah bisa punya kesempatan untuk melobi lagi. “Memangnya masih bisa? Mereka sudah ketakutan duluan setelah Martin mati. Lagi pula aku masih punya Slader yang jadi mata-mata. Kita sudah tak butuh para tetua itu, Kenan. Jangan jadi lembek. Kau yang memulai perang ini, maka kau yang harus mengeraskan hati jika ingin menang.” Ian tak setuju denganku, dia pikir tak ada gunanya lagi main belakang. Menyerang dengan gencar dan berani adalah satu-satunya pilihan yang kupunya. “Glafira sudah membunuh seorang tetua kita, Kenan. Kau harus menunjukkan pada famili kalau kau akan membalaskan kematiannya. Yang harus kau lobi adalah tetua kita sendiri, bukan tetua musuh. Saat ini posisimu mulai melemah, kau harus memperkuatnya kembali. Ayahmu tak selamanya hidup, penyakit Paman Almeta semakin buruk. Kau butuh dukungan dari familimu untuk bisa berdiri di puncak dengan kokoh. Dengarkan nasihatku, itulah kenapa aku ada di sisimu.” Aku tahu itu, aku mempekerjakan Ian sebagai penasihat ku karena dia bisa membaca keadaan, tapi masalahnya Ian suka mengambil keputusan berisiko tinggi dan berakhir dengan buruk. Aku tidak bisa mendengarkannya mentah-mentah, tapi aku juga tak bisa mengabaikan peringatan Ian. Sikapku sebelumnya sudah membuat mereka meragukanku, belum lagi desas-desus mengenai kembalinya Hail mulai menyebar di antara seluruh anggota famili. Mereka mungkin memutuskan untuk percaya pada penyangkalanku kemarin, tapi aku tahu kalau beberapa tetua kami juga ada yang memercayai perkataan Ayah. Mereka mungkin saja gelap mata, membawa si palsu itu masuk ke famili untuk merebut posisiku. Mungkin satu-satunya pilihan yang kupunya memang membunuh tetua Ghea, untuk menunjukkan kalau aku masih peduli pada kematian tetuaku sendiri. “Jangan diam saja, Kenan. Kau harus bergerak sekarang. Jangan ragu, mulailah kumpulkan orang dan bunuh mereka.” Ian menekankan sekali lagi, menghapus sisa keraguanku. “Aku tahu.” Kuputuskan untuk pergi, mencari anggota famili yang ahli dalam pembunuhan terencana. Ian benar, sudah terlambat bagiku untuk merasa ragu sekarang. *** Glafira POV Aku baru saja bisa menenangkan pikiran, datang ke rumah utama untuk memberi instruksi pada para tetuaku. Namun, mereka sudah membuatku marah lagi, menyalahkanku atas kematian salah satu mereka. “Aku sudah memberi bantuan perlindungan, jangan menyalahkanku saat dia tak bisa menggunakannya dengan benar,” balasku kasar. “Semua yang ada di rumahnya tewas! Orang-orang Amber lebih baik dari yang kaukira!” “Itulah kenapa wanita tak seharusnya jadi pemimpin. Prediksimu asal-asalan.” “Amber akan membunuh kami semua. Gunakan kekuatanmu, bukan kesombonganmu.” Omong kosong saja yang bisa mereka kicaukan, seakan melemparkan kesalahan padaku bisa menyelamatkan hidup mereka. Aku menutup telingaku, pusing mendengar semua ocehan itu. “Baiklah! Aku akan cari pelakunya dan melenyapkan mereka. Puas kalian!” “Jangan hanya bisa berteriak. Buktikan pada kami. Kekacauan sudah berlangsung berhari-hari dan masih belum ada solusi.” Aku berdiri, memukul meja dengan tinju. “Tak ada solusi? Buka matamu, pak tua! Aku sudah menyerang balik, menghancurkan properti mereka dan memperkuat pengantaran. Lihat laporan dulu sebelum menyalahkan!” Orang-orang tua itu tersentak kaget. Jantung renta itu mungkin sudah tak kuat menghadapi bentakan kasarku, tapi aku tidak peduli. Aku tidak salah. Aku sudah bekerja keras demi famili dan masih saja disalahkan. Kuharap dia mati saja besok! Sayangnya aku harus melindungi hidupnya, mempertanggungjawabkan posisiku sebagai Kepala Famili. Salah satu dari mereka ikut berdiri. Mengetuk tongkatnya pada lantai. “Kurang ajar sekali sikapmu, Glafira! Begitu sikapmu pada orang tua, hah? Jangan lupa, kaulah yang memulai semua ini!” “Setiap kali pertemuan, selalu saja ... berteriak dan memukul yang kamu bisa. Kami di sini berkumpul untuk meminta solusi atas serangan serius ini, bukan untuk berkelahi sesama bagian famili. Bila tak bisa melindungi familimu, jangan mengeraskan suara.” Cih! Begitu satu bersuara, yang lainnya ikut mengoceh. Bikin muak saja. “Aku mengeraskan suara karena kalian tuli semua. Duduk diam saja dan biarkan aku yang bertindak dengan caraku. Toh, sejak awal itulah yang biasanya kalian lakukan.” Aku duduk kembali. Mendengus, membalas perkataan mereka acuh tak acuh. “Kalau begitu, jangan minta bantuan pada kami bila terdesak.” Itulah yang kudapat, diabaikan setelah aku menyerahkan setengah prajuritku untuk melindungi mereka. Rasanya malas sekali, harusnya aku duduk saja dan biarkan mereka semua mati. Akan tetapi, aku tak bisa secuek  itu. Fondasi famili akan runtuh nanti. Inilah repotnya memimpin organisasi dengan sejarah panjang seperti ini. Terlalu banyak pengorbanan tak berarti. Aku heran, bagaimana cara almarhum ayahku mengendalikan orang-orang itu. Kayaknya dulu, famili tidaklah sekacau ini. Setelah itu, mereka meninggalkanku satu per satu. Tentunya sambil mencibir dan mengeluh tentang apa saja. Mencari kesalahanku demi memuasakan hati sendiri. Aku memejamkan mata, meneguk segelas martini untuk menyegarkan pikiran. Saat kupikir mereka sudah pergi semua, seseorang mendekat padaku. Kalau tak salah namanya Norman. Orang paling dekat dengan ayahku dulu. “Bukan begitu cara menghadapi para tetua. Mereka tidak akan pernah menghargaimu, jika kamu menyelesaikan segalanya dengan teriakan dan kekerasan.” Jangan lagi. Ceramah konyol bukan hal yang ingin kudengar saat ini. “Aku tidak peduli. Pada akhirnya yang mereka pedulikan hanya dirinya sendiri. Aku tidak mau susah-susah menjaga perasaan orang egois seperti itu.” Aku mengisi kembali gelasku yang kosong, tak mau mendengarkan lebih serius. Alkohol selalu menjadi teman terbaikku, bukan Norman cerewet ini.  Norman tidak tersinggung. Ternyata dia punya emosi yang lebih tenang dari tetua yang lain. Pria itu duduk di sampingku, ikut minum menemani tanpa diminta. “Kita famili, sebuah keluarga Glafira.” Aku tidak menggubris perkataannya. Sudah terlambat untuk bersikap seperti seorang keluarga. Memangnya di mana dia, saat orang-orang mencoba membunuhku ketika baru mengambil alih famili? “Kamu pernah mendengar tentang Umbra?” Norman masih saja belum menyerah, entah apa yang dia mau dari pembicaraan ini. “Kayak aku peduli saja,” jawabku kurang ajar. Norman menghela napas. Ia mengambil bolpoin dan kertas dari tengah meja, menulis beberapa dan menggambar sebuah lokasi. “Pedulilah. Jika bicara soal pembunuh ahli dari Amber, itu pasti Umbra. Mulailah dari toko ini, mendiang ayahmu dulu selalu mewaspadai mereka. Sebaiknya kamu juga tidak terlalu meremehkan. Mereka hanya berlima, tapi sulit sekali mendapatkan informasinya.” Norman pergi setelah berbicara sedikit. Kayaknya dia menyerah untuk bicara banyak denganku. Aku agak menyesal bersikap menyebalkan pada orang yang punya petunjuk, tapi ya sudahlah! Sudah terlanjur. Setidaknya Norman meninggalkan kertas itu padaku. Benar atau tidaknya informasi ini, biar kupastikan dengan Noir saja. Menagih hutang lama rasanya akan sedikit menyenangkan. Aku lalu mengambil kertas itu, mengantonginya dan pulang ke rumah. Berniat mencari Hail untuk minta bantuan. Bermain sendiri itu membosankan. Kalau bicara soal mengancam Noir, ya harus membawa Hail. *** “Hail, di mana kau?” panggilku. Menutup pintu dengan kaki, melepaskan mantelku sambil berlarian ke lantai atas. Hail ada di sana seperti biasanya. Dia tidur dengan pulas di atas sofa. Mukanya tertutup oleh sebuah dokumen tebal. “Bangun! Bersantai saat bosmu ini bekerja keras diteriaki, kurang ajar sekali!” Aku jadi kesal, menendang kakinya mengomel. Hail bangun seketika, menoleh padaku dengan kening mengerut. “Kamu diteriaki karena berteriak duluan. Biasanya juga begitu,” balas Hail kurang ajar. Aku tahu itu benar, tapi aku tak mau mendengar siapa pun mengingatkanku. “Jangan ikut menceramahiku. Sana cari tahu agenda Noir, aku ingin mengejutkan dalam waktu dekat.” “Noir lagi? Kenapa kau suka sekali mengganggunya? Aku tidak terlalu suka berurusannya dengannya.” “Aku tak peduli kau suka atau tidak! Aku mau memperbudaknya! Lakukan saja perintahku! Kita harus cepat. Aku tak mau diomeli tetua-tetua bau tanah itu lagi, kalau ada yang tewas.” Hail merenggut tak suka, tapi tetap mengangkat pantatnya mengambil telepon. Menghubungi beberapa orang untuk mencari tahu. Sementara aku mengambil posisi duduknya, membaca dokumen yang ia baca dari tadi. Kebocoran informasi pergerakan Noir, beserta waktu dan tempat. Ini terlihat lebih asyik, kerusuhan yang cocok untuk berolahraga sedikit. “Aku sudah dapat jadwalnya. Dia ada pertemuan dengan kelompoknya hari ini, lepas sore kita bisa menyergapnya,” lapor Hail. Cepat dan cekatan. Memang harus begitu baru bisa kuhargai keberadaannya. “Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo jalan! Kita siapkan senjata.” “Yang begini saja, baru bisa membuatmu bersemangat.”Hail mendesah lelah. Tampaknya agak capek meladeni segala semangat kekerasanku. Tak sadar diri sekali, padahal dia juga sama saja. Sekali diajak berkelahi, ekspresi wajahnya lebih hidup daripada disuruh mengurus dokumen. “Tutup mulut dan seret kakimu mengikutiku!” Aku mana mau peduli! Aku bosnya! “Oke, aku mendengarkan,” sahut Hail malas. Kami bergegas ke ruang penyimpanan. Mencari senjata kecil yang tidak mencolok. Pisau dan pistol sepertinya sudah cukup. Lawannya toh hanya Noir. Memangnya apa yang tuan muda manja itu, bisa lakukan? Pengawalnya juga tak terlalu jago. Kulirik Hail di sebelahku, melihat apa yang dia bawa. Hanya dua buah pisau panjang saja, lebih meremehkan dari ku. “Pakai sarung tangan, jangan meninggalkan sidik jarimu.” Kulemparkan sarung tangan kulit untuknya, ditangkap dengan mudah tanpa ada keluhan sama sekali. Setelah itu kami ke kandang kuda. Berangkat beberapa jam sebelum waktu yang ditentukan untuk menghindari perhatian orang-orang di sekitar. Meninggalkan kuda terikat di halaman parkir sebuah klub. Pergi ke atap bangunan terbengkalai, menunggu dengan sabar di sana. Noir datang tepat waktu, ditemani seorang supir dan dua orang pengawal pribadi. Anak manja itu masuk ke gedung yang dipakai untuk pertemuan, dilanjutkan dengan kehadiran belasan orang lainnya. Kami sengaja menunggu mereka masuk semua, barulah berpencar menjalankan misi. “Hail, pancing tiga orang itu mengikutimu. Bersihkan di tempat tertutup,” perintahku. “Oke, jangan terlalu emosi sampai membunuh Noir. Ancam saja seperlunya,” Hail membalas dengan berani. Tak seperti biasanya, membela adik tiri tak berguna itu. “Sejak kapan kamu jadi abang perhatian?” sindirku. Hail pura-pura tak dengar. Ia menuruni tangga darurat yang kami gunakan untuk memanjat tadi. Pergi menghampiri ketiga orang di bawah sana. Aku pura-pura merasa tak diabaikan juga, kesal dan sebal. Harga diriku berasa diejek, tapi ada secuil pengertian yang terselip. Setelah semuanya, Noir toh, tidak benar-benar pernah mengkhianati Hail. Ibu dan abangnya yang melakukan semua perbuatan keji itu, tak heran jika Hail tidak terlalu berambisi untuk membalas dendam padanya. Hem ... atau tidak, ya? Aku agak ragu, tapi rasanya belakangan ini Hail memang jadi agak lembek. Kugelengkan kepala dengan kuat, mencoba menepis dugaan t***l itu. Rasanya konyol sekali menduga yang tidak-tidak. Tak ada alasan bagi Hail untuk melunak. Usaha kami sudah hampir mencapai 70%. Setelah ini, semua kerja keras selama sepuluh tahun itu akan terbayarkan. *** Hail sudah berhasil mengiring tiga penjaga itu untuk pergi mengikutinya. Ini saatnya untukku bergerak. Aku turun, berkeliling di area sekitar mobil Noir mencari tempat bersembunyi untuk menyergapnya. Menahan diri untuk tidak tersenyum membayangkan hal menyenangkan saat melihat wajah muaknya padaku, tapi dengan terpaksa menyanggupi keegoisanku. Noir keluar satu jam setelahnya. Sendirian, terlihat lengah untuk dipermainkan. Tuan muda manja itu terlihat kesal, melampiaskan dengan makian dan kekerasan pada mobilnya. Aku menyeringai, menyapanya dengan riang. Wajah Noir memucat terkaget, menambah kesenanganku. Aku lantas bergerak cepat, menyeretnya untuk diancam, memastikan ia bersedia mengkhianati Kenan sekali lagi. Jaminannya adalah nyawa Misora, dengan itu saja ... kata persetujuan lolos dari mulutnya. Kami berpisah setelah itu. Aku melepaskannya untuk bayaran atas informasi mengenai Umbra yang disinggung oleh Norman. Malam harinya, kami menemukan amplop bertuliskan tulisan tangan Noir di kotak surat rumahku. “Mempermainkannya memang asyik,” komentarku. Kuoper amplop itu ke Hail, memberikannya setelah melihat tulisan tangan Noir tertuju untuk Hail. Isinya kuambil, berniat membacanya lebih dulu. Hail sedikit kaget, matanya berubah sendu. Namun, dengan cepat ia mengeraskan rahang. Melipat amplop itu dan dimasukkan ke dalam saku tanpa berkata-kata. Dasar konyol. Setelah saling bunuh, saling mengancam, dan saling memaki ... masih saja bisa tersentuh hanya dengan beberapa kalimat pendek. Apa nilai sebuah persaudaraan sebegitu tingginya? Sebagai anak tunggal, aku tidak punya gambaran sama sekali mengenai perasaan Hail dan Noir. *** Hail POV Glafira melemparkan berkas yang dikirimkan oleh Noir ke atas meja. Dari raut wajahnya, aku sudah bisa menebak sesulit apa masalah kami kali ini. Kuambil salah satu kertas paling atas, membaca dengan seksama. Data dari pemimpin Umbra. Pria berumur awal empat puluhan, bernama Regan. Regan sungguh punya banyak kemampuan, pengalaman dan anggota yang hebat. Empat orang lainnya pun, tak kalah baik di segala bidang. Baru melihat profil mereka saja, aku sudah merasa kalau peluang kami untuk menang itu, sangat tipis. Aku kira Glafira juga berpikiran sama. Itulah kenapa dia terlihat bad mood. “Sialan! Seleksi agen kita yang bisa menandingi mereka.” Mudah sekali Glafira memerintah. Berpikir ingin melakukan serangan ke markas musuh, walaupun tahu seberapa jauh perbedaan kemampuan kami. “Lupakan itu, Glafira. Kita tak akan mengumpulkan tim dan menyerang mereka,” balasku. “Kenapa? Kau takut?” Glafira marah. Gengsi dan kesombongannya itu benar-benar ingin sekali kuhancurkan sekali saja. “Jangan jadi bodoh. Mau seleksi tim dari apa? Pasukan kita hampir semua dipinjam oleh tetua, sisanya menjaga properti penting. Mau mengambil mereka untuk serangan bunuh diri? Lagi pula kalau kita mengumpulkan orang, Slader akan segera tahu.” Aku tidak ingin meremehkan dan mengambil risiko ketika sudah tahu pasti betapa kuat musuhku. Bila ingin menang, maka harus kami kerjakan sendiri. “Kau benar. Bisa susah kalau Kenan tahu pergerakkan kita. Jadi memang tak ada jalan lain?” Untung saja otak Glafira menang dari egonya kali ini, jadi aku tidak perlu membuang-buang waktu untuk berdebat dengannya. “Kupikir begitu. Kita serang mereka satu per satu, hanya kita berdua.” Tanpa sepengetahuan famili. Tanpa melibatkan orang luar. Meniru cara kerja Umbra, menargetkan satu orang secara acak dan menghabisinya dengan bersih tanpa saksi dan bukti. “Apa boleh buat,” Glafira mengeluh. Ia menghela napas, mengambil kembali dokumen yang ia lemparkan padaku tadi. “Pilih yang mana?” Ditariknya kelima foto yang terlampir, menempelkan ke dinding. “Jadi pilih pakai wajah? Lihatlah profilnya, targetkan yang lemah dulu,” usulku. Glafira mendengus sebagai balasan. Ia mengacak rambutku kasar, meletakkan tangannya di sana. Dan dengan tangan lain menarik lembaran kertas yang berserakan di atas meja. “Jangan pakai cara membosankan. Yang mana sama saja. Toh, mereka akan mati juga.” Aku menyingkirkan tangannya, mengambil profil Regan. “Kalau begitu yang ini.” “Kenapa bosnya? Yang namanya bos itu terakhir. Semua permainan seperti itu!” “Jangan jadi membosankan. Yang mana saja sama, kan?” Aku senang sekali melihat wajah kesal Glafira, merasa puas berhasil membalas dengan kata-katanya sendiri. Tertawa saat ia merampas kertas di tanganku dengan muka judes. Aku lalu berdiri, berjalan mengikuti Glafira ke beranda. “Bagaimana? Akan kuselidiki sedikit dulu, lalu kita tentukan kapan menyergapnya, oke?” Sengaja aku memainkan kepalanya, membalas perlakuannya tadi. Glafira menendang lututku dengan kejam, tak peduli ketika aku mengaduh kesakitan. “Tak perlu. Kita bergerak malam ini.” Akulah yang lebih peduli dengan perubahan ekspresi wajahnya. Dia begitu serius, seakan telah menemukan celah yang tepat. “Kenapa terburu-buru?” tanyaku penasaran. Glafira tidak menjawab, ia menyodorkan lembaran kertas itu padaku. Perintah tak langsung untuk membacanya. Aku menerimanya, membaca di beranda ketika Glafira masuk ke dalam. Kurasa aku sudah membacanya tadi, isinya tak lain hanya informasi kemampuan dan keahlian saja. Tak ada yang spesial atau kelemahan yang terbuka jelas, hingga membuat Glafira bisa begitu yakin ingin menyergapnya secara dadakan. Namun, setelah aku membaca lembaran kedua yang terlewatkan tadi ... aku tahu kenapa Glafira bisa begitu serius. Regan ternyata mantan famili Ghea, orang yang meninggalkan famili dua puluh tahun yang lalu dan menjadi tim pendukung Almeta. Ironisnya, setelah meninggalkan famili demi musuh, dia malah diabaikan oleh Amber ketika Kenan mewarisi posisi pemimpin. Setelah membaca riwayat hidupnya, aku jadi heran. Kenapa Regan masih bersedia membantu Kenan. Penasaran juga, kenapa reaksi Glafira begitu lambatnya? Padahal dia masih terlihat tak terlalu peduli ketika melihat foto Regan sebelumnya. Aku masuk ke dalam, menyusul Glafira. “Kenapa kamu membawanya masuk ke hati? Bukannya, sudah biasa orang-orangmu berkhianat?” Aku ingin tahu apa yang sebenarnya mengganggunya. Aku tahu dia tak akan menyimpan rahasia padaku. “Dia berbeda. Regan adalah bagian dari Ghea. Dia memiliki garis darah yang sama denganku.” Eh? Apa yang dikatakannya tadi? Bukannya Glafira adalah satu-satunya yang tersisa? Jika kalau memang ada yang lain, para tetua sudah pasti tak akan membiarkannya memimpin semudah itu. “Apa yang kamu maksudkan?” “Dia saudara tiri ayahku. Anak simpanan, tapi berbeda dengan Almeta. Kakekku tidak pernah mengakuinya sebagai anak. Hanya saja ayahku tahu dan membiarkannya masuk ke dalam famili sebagai tetua. Akhirnya dia tetap meninggalkan famili, membawa rahasia itu bersama dengannya.” Aku terdiam terpaku. Tak menyangka kalau akan mendengar pengakuan semacam ini. Ini seperti bercermin pada masalahku sendiri. Dengan sedikit situasi yang berbeda. “Para tetua tak ada yang tahu. Ayahku menceritakannya padaku sebelum dia berpulang,” sambung Glafira. “Jadi begitu ....” Kalau begitu aku tak akan heran. Glafira yang sejak awal menginginkan kepemimpinan, pastinya akan mengunci mulutnya rapat-rapat. “Itu menjijikkan, bukan? Para menguasa hanya terlihat bagus di depan publik. Akan tetapi, dibaliknya begitu banyak hal busuk yang tersembunyi. Perselingkuhan, pengkhianatan, perebutan kekuasaan, dan saling bunuh antara saudara. Terkadang, aku bahkan tak tahu lagi apa arti famili itu sendiri.” Aku hanya tak menyangka akan melihatnya sesedih ini. Mengakui betapa kotornya hidup yang kami jalani. “Bahkan jika sebuatan famili itu diambil dari kata keluarga, bukan berarti seluruh anggota famili itu keluargamu, Glafira. Itu hanya sebuah organisasi dengan satu tujuan yang sama. Terima kenyataan itu dan hadapi dengan berani. Jangan cengeng. Bangun dan ayo bunuh dia, singkirkan sainganmu.” Itu bukan Glafira yang kukenal. Dia hanya akan menyesal kemudian, jika membiarkan hatinya bimbang barang hanya sekali. Itulah tugasku, menyadarkannya sebelum membuat kesalahan. Regan yang meninggalkan Ghea lebih dulu, dia memilih menjadi pengkhianat bagi familinya seperti yang kulakukan. Maka harusnya dia sudah paham dan sadar akan konsekuensinya. Ketika telah memilih untuk menjadi musuh, maka sudah sewajarnya menyiapkan diri untuk dilenyapkan. “Tak perlu kau suruh. Aku memang sudah berniat untuk melakukannya.” Glafira bangkit, pergi ke gudang senjata untuk bersiap-siap. Meninggalkan aku dengan dokumen yang berserakan. Yah, kupikir begini tak masalah. Setidaknya dia tahu apa yang harus ia lakukan. Aku kemudian membereskan semuanya, menyimpan berkas itu dengan rapi sebelum menyusul Glafira. Tak ingin sampai terlihat oleh orang yang mungkin saja akan datang kemari. Baru saja aku menuruni tangga, pintu depan diketuk dengan pelan. Menghela napas, aku berjalan ke depan, membukakan pintu. “Glafira ada?” “Ada, di dalam.” Aku kaget. Seorang tetua datang sendiri ke sini, tanpa pengawal yang kami sediakan. Ini pertama kalinya kami bertemu, tapi sepertinya dia sama sekali tak penasaran ataupun ingin tahu tentangku. Aku sendiri memang sudah mengenalinya dari data yang Glafira berikan dulu-dulu hari. Namanya Norman, tetua paling muda dalam famili. Orang yang pernah menjadi tangan kanan kepala keluarga sebelumnya. Salah satu tetua yang masih ambigu, apakah dia berpihak pada Glafira atau tidak. Yang pasti, orang ini sudah berada di dalam famili sejak kanak-kanak. Anggota yang mengikuti jalan hidup orang tuanya bukan hal yang aneh, terutama bagi famili yang sudah ada selama ratusan tahun. Dia juga, teman masa kecil ayah Glafira. Seorang yang seperti sosok paman bagi wanita itu, tapi tentunya tak benar-benar dianggap oleh Glafira. Sebab, Glafira selalu percaya kalau tetua yang setia pada almarhum ayahnya, belum tentu setia padanya. Aku menuntunnya ke ruang tamu, menjamu dengan kopi hangat. “Akan segera kupanggilkan Glafira. Mohon tunggu sebentar,” ucapku berbasa-basi. Aku lalu berbalik badan, berniat ke belakang menuju ke pintu ruang penyimpanan. Namun, Norman menghentikanku dengan tatapan penuh kecurigaan. “Kenapa kau memanggil nonamu dengan hanya namanya saja. Aku tak ingat wajahmu dalam jajaran petinggi atau senior dalam famili. Kau juga terlihat terlalu rapi dan cerdas hanya untuk ukuran seorang pelayan. Katakan padaku, berada di posisi mana kamu dalam famili.” Norman berspekulasi, membaca dengan sangat tepat. Para anggota famili kelas bawah, hingga senior jelas mengenalku sebagai tangan kanan Glafira, tapi bisa kupastikan. Kalau tidak ada satu pun tetua yang mengenal, ataupun tahu akan keberadaanku. Mereka mungkin pernah melihatku beberapa kali menemani Glafira, tapi mereka selalu terlalu angkuh untuk memperhatikan seorang pengikut rendahan. “Aku bukan bagian dari famili Ghea,” balasku. Pria itu mengernyit. Tangannya mencengkeram pegangan sofa dengan keras. “Orang luar? Jangan coba menipuku. Tidak mungkin gadis keras kepala itu akan membiarkan orang luar, berkeliaran bebas di rumah pribadinya.” Rasa curiga padaku makin kentara, tercampur kemarahan yang tak kuketahui dari mana asalnya. “Aku juga bukan orang luar. Bagaimana menyebutkannya ya? Hem ... kita sebut saja kalau aku ini properti pribadi Glafira. Aku melayani Glafira, mendukung famili demi dia. Jelas?” Penjelasanku tak bisa ia terima. Norman berdiri. Ia berteriak padaku. “Jangan bicara omong kosong! Aku tidak terima dengan ini! Orang yang bukan anggota famili, tak seharusnya ikut campur dalam urusan kami!” “Siapa yang peduli kauterima atau tidak. Hail propertiku, alatku, senjataku, dan bonekaku. Aku bisa memerintahnya apa pun, menyuruhnya mengurus atau menghancurkan famili. Itu terserah padaku. Sejak kapan, kalian orang-orang tua mulai punya hak untuk mengatur urusan pribadiku!” Glafira datang sambil berteriak. Tampaknya suara Norman terdengar hingga ke ruang penyimpanan. Tak perlu ditanya lagi, sudah pasti ribut kalau dia ikut campur. Aku mundur, membiarkan dia melakukan apa yang ia mau. Bukan tempatku untuk ikut berdebat. Terlebih ketika Glafira sudah menegaskan bahwa aku adalah alat. Akan lebih baik jika aku patuh. Hal ini demi menjaga harga dirinya di depan Norman. “Ini masalah lain, Glafira. Bagaimana bisa kamu berbuat begini pada kami? Kamu tak memberi kepercayaan pada satu pun tetuamu, dan malah memberikannya pada orang luar. Apa kata anggota famili yang lain?” “Berkaca sana! Alasan kenapa aku tidak bisa percaya, bukannya karena kalian sendiri yang membuatku tidak bisa percaya?” Pada akhirnya mereka saling berteriak. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Jadi ini yang selalu terjadi saat bertemu dengan tetua? Pantas saja dia selalu pulang dengan kesal.                              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN