Hail POV
Bagus. Setelah Glafira dan Norman berdebat selama berjam-jam, mereka masih bisa duduk di meja yang sana. Makan bersama seolah tak ada kekerasan yang terjadi tadi. Sejujurnya aku agak pusing, tak tahu harus bagaimana menanggapi situasi ini. Belum lagi waktu yang terus berjalan, memutar mengejar malam. Mengingatkan kembali pada rencana awal untuk menyergap Regan.
Terlebih, tak ada tanda-tanda Glafira ingin membatalkan rencana. Yang jadi masalah adalah, kenapa dia begitu tenang membiarkan Norman tetap di sini? Merasa cemas, aku mendekat padanya. Berdiri di belakang Glafira, berpura-pura menuangkan teh untuknya. “Mau sampai kapan kalian begini? Kita tak akan bisa melakukan apa pun, bila Norman tetap di sini.” Sedikit menundukkan kepala, berbisik pada Glafira.
“Biarkan dia ikut,” balas Glafira dengan suara keras.
Norman meletakkan garpunya. Matanya kini sepenuhnya tertuju pada kami. “Apa yang kalian bisikan di sana?” Apa yang Glafira pikirkan? Bukannya kami hanya akan bekerja berdua saja?
“Aku menemukan Regan di dalam Umbra. Dia masih jadi anjing pemburu Amber. Dialah yang mendalangi pembunuhan berantai para tetua. Mau ikut memburunya?” Glafira bahkan mengatakan dengan jelas. Selalu saja begitu, bertindak seenaknya tanpa diskusi lebih dulu. Padahal dia sendiri yang paling tak ingin tetuanya tahu akan ikatan darah di antara mereka.
“Aku ikut,” jawab Norman.
Suasana di antara kami berubah menjadi berat. Untuk beberapa alasan yang tak kupahami, pria ini bersikap agak aneh. Kemarahan yang meluap-luap, serta emosi tak tertahan darinya terlihat tak wajar. Itu berbeda ketika dia berteriak marah Glafira.
“Bagus. Kami akan bergerak jam delapan malam. Hanya aku, kamu dan Hail. Jangan bawa-bawa tetua lain. Orang-orang tua itu tak perlu terlibat dalam hal ini.”
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi sekarang. Ada banyak hal yang perlu kusiapkan.” Norman pergi setelah itu, ingin menyiapkan perlengkapannya.
Kutatap Glafira penuh tanya, duduk di sampingnya menuntut penjelasan. “Apa-apaan itu tadi?”
Glafira menyeringai. “Dendam lama. Norman, ayahku dan Regan besar bersama. Dia yang paling kesal saat Regan meninggalkan famili. Ayahku yang cerita, tapi Norman tak tahu Regan pamanku. Tak mengetahui alasan dibalik pengkhianatannya. Begitu tak masalah, kan? Kita dapat bantuan dan tak perlu melibatkan famili.” Dia memanfaatkan orang tanpa ragu, tertawa-tawa puas membuat orang yang dulunya besar seperti saudara ... saling bunuh hanya dengan beberapa kalimat tak lengkap.
“Kamu benar-benar jahat, Glafira.” Kata-kata itu datang dari dalam hatiku. Sedikit banyak aku bisa berempati pada Regan. Sekalipun aku tidak mengenalnya, tak paham jelas apa yang benar-benar terjadi di masa lalu. Namun, aku tetap bisa melihat refleksi dirinya pada diriku sendiri. Kurasa di mata orang-orang Amber, aku mungkin terlihat sama seperti Glafira dan Norman memandang Regan.
“Kamu yang terlalu baik.” Glafira meremas pundakku, ia berbicara begitu dekat dengan telingaku. Mengucapkan apa yang sudah sangat kupahami. “Dengar ini Hail, hidup tak akan semudah pikiran bekerja. Ingat baik-baik saranku saat ini. Suatu saat, ketika kamu kembali pada Amber, pastikan untuk tidak berpikir mereka sungguh menerimamu dengan lapang d**a. Tak peduli sebaik apa mereka, ataupun sebanyak apa dukungan yang mereka berikan padamu. Karena, pada akhirnya ... kamu itu tetaplah pengkhianat di mata mereka.”
“Aku sudah tahu.” Kutepis tangannya. Sedikit marah pada Glafira. Sikapnya yang menyebalkan ini, salah satu yang ku benci darinya. Kata-katanya yang selalu tepat menyentuh dasar hatiku. Seakan dia tahu, mulai tumbuh keraguan besar di dalam hatiku.
Waktu adalah sesuatu yang mengerikan. Saat aku sadar, amarah sepuluh tahun lalu sudah hampir tak tersisa. Aku menyadari itu sedikit demi sedikit. Dari ketika Almeta mengenaliku, lalu saat terlalu sering bertemu dengan Noir. Tahu-tahu saja, pemikiran yang menganggap bahwa ikatan darah itu punya arti tersendiri bagiku, hadir tanpa kuharapkan.
Konyolnya, aku masih saja berdiri di sisi Glafira. Melakukan usaha balas dendam yang tak benar-benar ada artinya lagi bagiku. Akan tetapi, aku juga agak sangsi. Apakah sungguh semua ini hanya berdasar dari keinginan untuk memuaskan ambisi Glafira semata, atau keinginan balas dendam itu masih tersisa.
***
Sekarang sudah jam sembilan malam. Kami telah mengawasi toko yang menjadi kamuflase markas Umbra. Satu per satu anggota mereka sudah pulang, meninggalkan Regan sendirian di dalam sana. Lampu toko masih menyala, tak ada tanda-tanda Regan akan meninggalkan toko.
Aku dan Glafira segera menyadarinya. Bahwa kami harus menyerang ke dalam, atau tidak sama sekali. Norman Kelihatan begitu tak sabaran di posisinya, tak sabar ingin segera mengamuk. Aku tahu kalau semua tetua Ghea itu kuat, terlepas dari usia mereka yang sudah layu semua. Akan tetapi, aku tetap merasa tak nyaman mengajaknya ikut serta.
“Kupikir Norman itu hanya akan menyusahkan saja,” keluhku ke Glafira. Firasatku berkata lain. Merasa kalau Norman tidak ikut dengan kami karena alasan yang sama. Dia punya tujuan pribadi. Dan pertanyaannya adalah, apakah tujuan Norman menguntungkan kami atau tidak.
Wanita itu bahkan tak menatapku. Dia tak peduli. “Ayo masuk.” Glafira memasang sarung tangan kulit, menutup wajahnya dengan masker hingga ke pangkal hidung. Dia masuk dari pintu depan, membuka pintu dengan berani. Aku ingin memakinya, tapi kutahu itu tak ada gunanya. Pada akhirnya aku melakukan hal yang sama, menyembunyikan wajahku dan masuk mengikuti cara Glafira.
“Aku menemukanmu, Regan,” ucap Glafira.
Pria berpelawakan bak prajurit itu refleks berpindah ke balik meja tinggi. Menarik sebuah senapan dari bawah meja mengarahkan pada kami. Regan sungguh cerdas, segera bisa tahu niat buruk kami datang padanya.
“Katakan, siapa yang memerintah kalian!” Regan melepas mengaman pelatuk, memosisikan tubuh untuk menembak kapan saja.
Glafira tertawa kecil, cari masalah tanpa rasa gentar sedikit pun. “Orang yang akan mati, tak perlu banyak tanya.” Detik berikutnya, Glafira mengambil vas bunga, hiasan di dekat pintu. Ia melemparkan vas itu ke arah Regan ketika pria itu menembak. Vas jatuh ke lantai, jatuh pecah tertembak.
Selanjutnya, aku dan Glafira bergerak ke arah berlawanan. Kami berlari mendekati Regan sambil menghindari tembakannya, sesekali menembak untuk membalas. Sesuai perkiraanku, mengenainya bukan hal yang mudah. Seorang profesional selalu jadi lawan yang sulit bagi kami.
Regan begitu cepat, ia bisa mengelak dengan mudah meskipun aku dan Glafira sudah menembak dari dua arah. Dia bahkan masih bisa mengambil senjata lain yang tersembunyi di seluruh toko. Mengganti peluru yang kosong dengan cepat.
Beberapa furniture sudah rusak akibat baku tembak kami. Dinding pun tampaknya tak akan bisa menjadi tameng lagi. Membawa pistol untuk bertarungan dalam ruangan, betapa bodohnya kami.
Belum lagi Norman bodoh itu, disuruh berjaga di posisinya untuk menembak Regan ketika kami berhasil memancingnya ke luar, dia malah menyusul kemari. Masuk dari pintu depan dengan cara yang mencolok.
“Kali ini aku tak akan membiarkanmu lari lagi, Regan!” teriak Norman.
Aku kesal, Glafira sudah emosi jiwa. Baru menyesal sekarang, membawa sniper tak berguna berdarah panas. “Norman, siapa yang suruh kau kemari!” Norman mengabaikan teriakan Glafira, dia berlari menerjang Regan. Perkelahian otot t***l antara orang-orang tua dan masalah di masa lalu.
“Jadi itu kau, Norman,” balas Regan bersemangat.
Kami berdua diabaikan, kedua laki-laki tua itu mulai saling pukul lepas kontrol. “Pak tua sialan itu ... memang melibatkan tetua itu sialan sekali!” Lihat? Glafira sudah memaki. Tangannya bergerak begitu kasar mengisi kembali peluru yang kosong. Wanita ini sama sekali tak ada niat menghargai duel antar laki-laki di antara mereka, dia akan menebak.
“Itu yang coba kukatakan padamu tadi siang,” balasku cuek.
“Jangan memberitahukan apa yang sudah kuketahui, Hail. Kadang prediksiku juga bisa meleset.” Glafira berdecak kesal. Setelah itu ia menembak. Tepat mengenai bahu Regan. “Hentikan itu Glafira!” Norman marah, meneriakkan namanya. Si i***t dan emosi yang tak terkontrol. Segala usaha penyamaran kami jadi sia-sia.
“Tutup mulutmu! Lupa alasan kita kemari, hah!?” Saat Glafira sibuk memaki Norman, Regan melesat dengan cepat ke arah kami. Ia mengeluarkan pisau yang sedari tadi tersembunyi di tapak sepatu, diarahkan pada leher Glafira. Refleks aku menangkap pisau itu dengan tangan, dan dengan tangan lainnya menarik Glafira mundur.
“Konsentrasi Glafira. Kalau sudah ketahuan apa boleh buat, kita harus menutup mulutnya apa pun yang terjadi,” ujarku.
Untuk sesaat Glafira membatu, tubuhnya kaku. Matanya menatap horor pada darah yang membasahi tanganku. Aku hampir mengira perlu menyadarkannya kembali, tapi sepertinya tak perlu. Glafira sudah sadar kembali dalam tiga detik. Ia menyingkirkan tanganku yang memeluknya, menggenggam erat pistolnya. Menerjang Regan dengan buas, memukuli kepala pria itu dengan bagian tumpul sisi pistol tersebut.
“Aku akan membunuhmu!” Kemarahan Glafira terlihat jelas dari wajahnya. Diperkuat dengan nada penuh tekanan dalam suaranya. Kurasa, dia memang begitu tak suka propertinya dirusak oleh orang lain.
“Haha! Itu baru semangat! Kau sungguh anak Garry!” Regan agak aneh, dia malah tertawa dipukul oleh Glafira. Menyinggung nama almarhum ayah Glafira. Memberitahukan padaku, secara tak langsung bahwa ia mengakui Glafira.
Akan tetapi, mereka tetap begitu bersemangat saling melukai. Regan berhasil lepas dari Glafira, ia menendang Glafira hingga terjungkal. Tanpa memberi kesempatan pada Glafira untuk bangkit, Regan kembali melayangkan sebuah pukulan. Aku tidak bisa menahan diri lagi, pergi membantu Glafira.
Kutarik baju Regan dari belakang, memukul punggungnya dengan punggung tanganku. Regan menoleh, membalas pukulanku dengan sebuah tusukan pada pahaku. Aku goyah, meringis sakit memegang bagian yang terluka. Ia mundur sedikit, menyeringai mengarahkan pisaunya ke arah kakiku yang lain.
Kali ini aku berhasil menangkap tangannya, menendang perutnya dengan kuat. Regan terduduk, pisaunya terlempar ke sudut ruangan. Saat itulah Glafira membantuku, ia mengunci leher Regan dari belakang, mencekiknya tanpa ampun.
“Tembak dia, Hail,” perintah Glafira.
Aku berjalan tertatih, mengambil pistolku yang tergeletak di lantai. Berniat menyelesaikannya saat ini juga, tapi pistolku direbut oleh Norman. Pria itu menembak ke arah Glafira dan Regan. Tadinya kupikir dia ingin membunuh Regan dengan tangannya sendiri, tetapi aku salah. Yang Norman tembak adalah Glafira.
“b*****t! Dasar pengkhianat!” Glafira memaki. Regan memukulnya setelah itu, melarikan diri bersama dengan Norman. Aku panik seketika, berlari menghampiri Glafira. Aku sudah tak peduli lagi pada mereka berdua.
***
Hail POV
Kami berada di rumah sakit saat ini. Glafira sudah ditangani, luka tembaknya tak mengenai organ vital. Namun, menembus ke perutnya hingga emosi wanita ini begitu meledak-ledak. Dia tak tampak seperti pasien yang baru saja keluar dari ruang ICU. Ekspresi wajahnya begitu murka, makian tak henti-hentinya tercetus dari mulut kasar itu.
“Aku pikir Norman berbeda. Baru kemarin dia memberi nasihat seolah peduli padaku! Dan sekarang dia mengkhianatiku demi seorang teman masa kecil! Setelah mendukung famili hingga akhir hayat ayahku, sekarang dia meninggalkan famili karena tak bisa menerimaku!” Glafira mencengkeram selimut dengan keras, rasa kecewa kini mengisi hatinya.
Aku hanya duduk di sampingnya mendengarkan. Glafira tak butuh kata-kata penghiburan, dia hanya perlu melepas stres.
“Katakan padaku, Hail! Untuk apa aku berjuang melindung para tetua sialan itu, kalau ujung-ujungnya mereka semua hanya akan menusukku dari belakang!”
“Kalau begitu biarkan mereka mati semua. Kita bisa pergi berdua, bersembunyi hingga keadaan kembali tenang.” Aku tahu Glafira tak akan mendengarkan ajakanku, harga dirinya terlalu tinggi untuk memilih jalan yang mudah.
“Siapa yang sudi! Aku akan melawan dan menang!”
“Aku tahu. Maka istirahatlah, pulihan diri. Setelah itu kita buru mereka berdua, Glafira.” Aku hanya perlu berada di sampingnya, meskipun hanya ada jalan berbatu yang ia pilih. “Aku berjanji akan membawamu pada posisi tertinggi. Kamu akan menginjak Amber dan membungkam mulut orang-orang tua itu dengan kemenanganmu, Glafira.” Ini adalah pilihanku, caraku mencintainya.
“Kalau begitu kau juga istirahat, Hail. Minggu depan, kita akan melakukan serangan dadakan pada wilayah Kenan. Lihat, apa yang akan Umbra lakukan setelah itu.”
“Oke, aku pergi.” Aku bohong. Bilang akan pulang saat meninggalkan Glafira di rumah sakit. Nyatanya, aku pergi menemui Yasa, memintanya mencari keberadaan Norman dan Regan. Tak akan kuberi mereka kesempatan untuk lolos. Kelalaian kali ini akan kubayar berkali-kali lipat dengan keberhasilan.
Lain kali, aku tidak akan membiarkan diriku ditipu lagi. Karena aku tidak berniat melihat Glafira terluka berulang kali. Dia mungkin tak peduli, hanya marah-marah melampiaskan emosi tanpa pernah memikirkan ketakutanku melihatnya terluka. Akan tetapi, aku peduli.
***
“Wow! Kudengar kau tertusuk kemarin, masih bisa jalan-jalan ke sini ya?” seru Yasa, terlihat terlalu bersemangat saat aku menghampirinya.
“Aku baik-baik saja. Daripada itu, aku ingin kau mencari markas baru Umbra.” Toko itu sudah ditutup. Kosong dibiarkan begitu saja saat aku mengeceknya tadi pagi. Regan bergerak dengan cepat, membawa pergi anggota yang lain bersama dengan Norman.
“Beri aku waktu beberapa hari. Ini bukan pekerjaan yang mudah,” jawab Yasa.
“Orang seperti mu pun, bisa kesulitan?” Aku menyindir, tak begitu percaya pada pria ini.
Yasa masih begitu santai, ia tertawa mengejek. “Orang seperti Glafira saja bisa tertembak. Apalagi aku? Aku tak mau berakhir seperti itu bila bergerak terlalu ceroboh melacak Regan.” Membalas sindiranku dengan sarkastis.
“Jadi kau tahu?” Seperti biasa, jaringan informasinya cepat sekali. Padahal aku menangani Glafira sendiri, memastikan tak ada satu pun anggota famili Ghea yang tahu dia terluka dan Yasa sudah mengetahuinya secepat ini.
“Aku punya mata di mana-mana, Hail.”
“Jadi gunakan matamu dengan baik. Aku pastikan kau akan dapat bayaran yang setimpal.” Aku berdiri, pergi dari sana segera. Malas berdebat dengan Yasa, yang kubutuhkan sudah kuminta. Tak ada alasan untuk menemaninya mengobrol.
Aku pulang ke rumah setelah itu, pergi ke kamarku. Duduk di kursi malas dekat jendela, mengistirahatkan kakiku sejenak. Mataku tak sengaja menemukan amplop kiriman Noir sebelumnya. Hatiku tergerak untuk membacanya kembali. Aku ingin memastikan apalah aku masih bisa tersentuh bila membaca ulang sekarang.
‘Aku memberimu informasi ini bukan karena ancaman pacarmu, tapi demi menyelamatkan saudaraku. Kau dan Kenan, sebaiknya kalian berhenti bermain melibatkan orang-orang berbahaya. Umbra dan Ghea sama berbahayanya. Berhentilah sebelum semua makin buruk. Alasan kalian saling membenci sudah tak ada. Ibu sudah meninggal membawa semua ketamakannya. Kau yang harusnya paling tahu, kalau Kenan hanyalah pengecut yang tak bisa berkata tidak pada Ibu. Dia sudah cukup menderita dan tertekan oleh rasa bersalah, maafkan dia dan berbaikanlah.’
Itulah isinya, kata-kata yang sempat membuatku berpikir untuk memaafkannya, beberapa hari yang lalu. Rasa tulus yang sempat terasa ketika aku membaca sebelumnya. Keinginannya untuk menyelamatkan kami, aku dan Kenan. Akan tetapi, saat ini aku merasa ragu ... benarkah kata saudara itu juga berarti aku? Atau hanya Kenan?
Apa artinya Noir ingin aku dan Glafira menghancurkan Umbra karena merasa organisasi itu berbahaya bagi Kenan, atau berbahaya bagi kami berdua? Otakku sudah terlalu lelah, tak bisa berpikir dengan benar. Rasanya semakin sulit percaya, ketika di depan mataku ... pengkhianatan dan kebusukan terus-menerus dipamerkan dari berbagai sisi. Bayang gelap manusia yang mengerikan, hal-hal buruk tersembunyi dibalik kulit yang disebut dengan kebaikan.
Aku lantas bangkit berdiri. Mencoba mengabaikan keraguan itu sejenak, memilih fokus pada apa yang di depan mata. Prioritasku saat ini, menghancurkan Umbra dan setelah itu, akan sangat mudah menyerang Kenan. Kuremas amplop itu, memasukkannya ke dalam laci meja kecil samping tempat tidur. Lalu aku naik ke lantai dua, masuk ke ruang kerja Glafira mempersiapkan beberapa dokumen dengan menggunakan nama bosku itu.
Setelah selesai membuat, aku menghubungi kurir untuk mengirimkannya ke semua tetua Ghea. Sebuah peringatan resmi secara tak langsung, menegaskan pemecatan Norman. “Mari kita lihat, apakah surat ini akan mempengaruhi yang lainnya.” Jika iya, maka aku sendiri yang akan pergi membunuhnya. Tidak ada yang boleh mengkhianati Glafira lagi.
“Apa maksudmu?” Refleks aku menoleh, mencari asal suara itu. Kaget, mengetahui bila ada orang lain di rumah ini selain aku. Dan ternyata orang itu Slader, kaki tangan Ian. Mata-mata yang masih sangat yakin bahwa kedoknya belum terbongkar. Ia duduk di kursi meja bar, terlihat begitu santai minum bir di sana.
“Bukan apa-apa. Kapan kau datang? Glafira tak suka ada orang yang mondar-mandir seenaknya di rumahnya,” balasku. Berpindah duduk di sampingnya, memasang topeng seorang teman.
“Dinginnya, begitu sikapmu pada teman dekat? Kenapa hanya kau yang spesial bagi Glafira?” Mata Slader diam-diam melirik pada kakiku, kurasa dia menyadari kalau aku terluka. Kecerobohanku, tak hati-hati memperbaiki cara jalan di depannya. “Kakimu kenapa? Diseret begitu?” Karena Slader bertanya dengan alami, selayaknya seorang teman. Aku jadi tak bisa berpura-pura, tak ingin membuatnya mencurigai hal sekecil apa pun.
“Ya, aku terlibat bentrok dengan orang-orang Amber,” bohongku.
Slader tampaknya percaya, dia kini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Entah apalagi yang dia cari, yang jelas tak akan kubiarkan dia mendapatkan apa yang ia mau. “Glafira ke mana? Ada yang mau kudiskusikan.” Sekarang ia mencari alasan untuk berada di sini, bertanya keberadaan Glafira padaku.
Aku mengangkat tangan tak peduli. “Entah. Bukan hal aneh kalau dia pergi tiba-tiba tak bilang apa pun.” Mari buat seolah semua baik-baik saja, membangun sebuah kebohongan baru. “Kalau soal masalah famili, kau bisa diskusi denganku. Glafira sudah menyerahkan wewenang sementara padaku.”
“Kau bahkan bukan anggota resmi famili, tapi diberi nama keluarga Ghea dan mendapatkan kepercayaan penuh. Beri tahu rahasiamu, Hail. Bagaimana caranya menjinakkan Glafira?”
“Glafira tak bisa dijinakkan, tak ada rahasia. Kalau kau datang hanya untuk tanya hal begitu, pulanglah. Aku sibuk.”
“Serius sekali ... kau memang tak pernah berubah, Hail.” Aku mengernyit mendengar komentarnya. Sekilas aku hampir tersentuh oleh tatapan sendu itu, hampir saja membiarkan diriku melihatnya sebagai sosok sahabat yang tumbuh bersama. Akan tetapi, akal sehatku telah lebih dulu mewaspadai, mengingatkan padaku untuk berhati-hati.
Aku kembali memasang wajah datar, mengalihkan pandangan saat Slader menggeledah sebuah tas yang ia bawa. “Ini informasi rencana serangan terbaru Amber. Mereka akan menyerang tiga lokasi ini minggu depan, bagaimana menurutmu? Aku pikir untuk menempatkan orang-orang kita semua lokasi.” Ia memberikan sebuah kertas padaku, peta yang telah ditandai dengan spidol berwarna merah.
“Kau bisa bawa masing-masing 50 orang untuk tiga lokasi itu, aturlah orang yang memimpin tiga regu bertahan,” balasku. Sebisa mungkin aku mengambil keputusan dengan dasar kepercayaan penuh pada informasinya. Terlepas dari benar atau tidaknya, akan lebih baik jika membuat Slader berpikir dia masih dipercayai. Memberinya kuasa juga bukan tanpa alasan. Setidaknya, bila dia sengaja membuat timnya kalah, maka aku punya alasan untuk menekannya di kemudian hari.
“Kalau begitu aku pergi.” Lihatlah wajah penuh percaya diri Slader, kesombongan yang akan segera kuhancurkan.
“Oke. Aku percaya padamu, berhati-hatilah.” Pada pilihan dan tindakanmu, bila tak ingin kujatuhkan dengan keras.
Usai Slader pergi, aku menghubungi beberapa orang yang berkeliaran di jalanan. Mereka yang kuperintahkan untuk menyelinap masuk ke dalam kelompok-kelompok pembuat kerusuhan yang dikumpulkan oleh Noir. Bertanya untuk memastikan kecocokan informasi dari Slader dengan informasi yang beredar di sana.
Setelah mendapatkan jawaban pasti, aku memerintahkan salah satu dari mereka untuk membuntuti Kenan. Aku berniat untuk mengatur serangan pada lokasi yang berbeda di saat yang sama. Aku akan mengacaukan segalanya, membuat Slader tampak tak berguna dan dicurigai oleh Ian dan Kenan.
***
Glafira POV
Hari ini adalah waktu yang dilaporkan Slader, penyerang tiga lokasi oleh orang-orang Amber. Sekaligus, hari di mana Hail mengatur serangan balasan di lokasi yang berbeda. Ide yang menarik, kerja yang cepat hingga aku tak perlu repot-repot berpikir lagi. Setelah keluar dari rumah sakit, aku hanya perlu ikut bergabung ke dalam rencananya. Kami berdua akan berbaur dengan anggota famili yang lain, menyerang ke lokasi yang Kenan anggap paling aman.
“Aku dapat info, Kenan sedang menuju ke sebuah kafe miliknya. Dia bersama dengan Fanette. Bagaimana pendapatmu, Glafira?” Hail datang membawakan senjata kuminta tadi pagi. Ia memberikan laporan terbaru yang terdengar menguntungkan bagiku. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
“Carikan tiga orang laki-laki, Hail. Perintahkan mereka untuk mengabaikan kerusuhan, fokus saja menyergap dan mempermalukan Kenan di depan Fanette.” Aku tak sabar menantikan reaksi Fanette ketika melihat betapa menyedihkannya Kenan. Lebih bagus lagi bila Kenan mementingkan diri sendiri dan meninggalkan Fanette. Aku mungkin bisa memanfaatkan hal ini untuk menyetir keputusan Daran.
“Oke. Itu mudah, tapi apa yang akan kaulakukan dengan hal itu?”
Aku tertawa, menyimpan rencanaku sendiri. “Kau akan tahu nanti.” Hail tak perlu terlibat dengan urusan wanita, aku sendiri sudah cukup untuk menjadi sosok pahlawan di mata Fanette. Wanita pembenci laki-laki itu akan lebih mudah ditipu bila aku sendirian. “Pergilah ke lokasi Slader berada, awasi dan pastikan dia tak mengacau.” Itu tugasnya, hanya ini yang perlu Hail ketahui saat ini.
“Baiklah, tapi ingat untuk tidak memaksakan diri. Luka jahitmu bisa terbuka lagi.” Aku pura-pura tak dengar teguran Hail. Tak ingin mendengar kalimat itu dari orang yang mengabaikan lukanya sendiri.
Kami berpisah setelah itu, aku pergi dengan beberapa orang bawahan. Naik ke atas atap gedung terlantar, bersembunyi sambil mengawasi sekeliling dengan teropong. “Pergilah, serang kafe itu,” perintahku. Menyuruh mereka berpisah denganku, ketika aku melihat Kenan memasuki Kafe bersama dengan Fanette.
Mereka pergi menjalankan tugasnya, mengacaukan wilayah Kenan dengan ledakan dan perkelahian di sepanjang jalan. Sedangkan aku terus bergerak mengikuti pergerakkan Kenan.
Setelah anak buahku berhasil menerobos masuk, pria itu berlari keluar dari pintu belakang, menarik Fanette mengikutinya. Melihat itu, aku lalu mengambil ponsel-ku untuk menghubungi tiga orang yang Hail siapkan untukku. Tak lama, mereka sudah meninggalkan posisi mereka, mencegat Kenan dan Fanette dari arah berlawanan. Aku tertawa sendiri melihat betapa menyedihkannya saudara laki-laki Hail itu. Dengan sombongnya dia berani menentangku, tapi hanya berkelahi dengan orang-orang payah itu saja tak becus.
Fanette yang malang, hanya bisa ketakutan sendirian di sana. Jadi target pelampiasan nafsu b******n-b******n itu. Aku menggeleng ketika melihat mereka mengabaikan Kenan. Malah menyeret Fanette pergi. Lupa akan tugasnya. Dasar sampah! Inilah kenapa aku malas mengandalkan orang-orang famili. Mereka begitu t***l seperti hewan buas. Berpikir dengan dengkul, bukannya menggunakan otak.
Terpaksa aku meninggalkan tempat persembunyianku. Pergi menyusul mereka. Berpura-pura kebetulan lewat saat mendobrak masuk menolong Fanette. Aku membunuh ketiga orang itu, satu per satu. Menutup mulut mereka sebelum namaku terseret, membuatnya seolah aku melakukan itu demi menolong seorang teman.
Ini semua terjadi di luar rencanaku, tapi hasilnya malah lebih baik dari yang kuharapkan. Bukan hanya membuat Kenan terlihat konyol, melainkan membuatnya tampak tak berguna sama sekali. Selanjutnya, aku hanya perlu bermain dengan kata-kata. Membawa Fanette pulang bersamaku dengan alasan kepedulian seorang sahabat.
Aku tak sabar menantikan reaksi Kenan dan Daran saat tahu wanita itu berada di pihakku. Akan kupastikan mereka tak salah paham mengira aku menculiknya. Sebab, akan jauh lebih menyakitkan bila mereka tahu Fanette memilihku dan membuang mereka.
***
Malam hari, hanya ada aku dan Fanette. Hail belum pulang dari tugasnya. Kami duduk di lantai atas, saling diam dalam canggung. Sengaja kubuat begitu, membiarkan mentalnya jatuh perlahan-lahan karena pikiran negatif yang berdatangan bersama dengan kesunyian.
Aku berfokus pada pekerjaanku. Tumpukan dokumen yang terlantar ketika aku masuk rumah sakit. Sebagian sudah Hail kerjakan, tapi sisanya memang harus kulihat sendiri. Fanette begitu pengertian, dia tak mengganggu saat tahu aku sibuk. Gadis yang baik, sayangnya terlalu lemah hingga sangat mudah dipermainkan.
Telepon berbunyi tepat ketika Hail pulang. Aku berlari ke lantai bawah, mengangkatnya lebih dulu sebelum tangan Hail menyentuh ganggang telepon. “Halo.” Aku tersenyum pada Hail, menggerakkan tanganku memberi isyarat agar dia masuk ke dalam.
“Aku dengar, putriku ada bersama denganmu.” Sesuai dugaanku, telepon itu dari Daran. Baru sekarang, pak tua bertingkah seperti ayah yang peduli pada anaknya. Padahal sebelumnya yang ia pikirkan hanya bagaimana menjual Fanette demi sebuah perjanjian politik.
“Ya, begitulah! Fanette lari padaku karena laki-laki pilihanmu tak berguna,” balasku riang. Senang rasanya membuat pak tua itu kehilangan ketenangan.
“Nona Ghea, aku serius berbicara denganmu!”
“Aku juga. Mari tak berbicara di telepon. Temui aku besok siang, sendirian. Maka kita bisa berbicara.”
“Apa yang kamu rencanakan.”
“Tak ada, Tuan Daran.”
Daran pastinya tak percaya dengan kata-kataku. Dari nada suaranya, aku bisa merasakan kecurigaan dan kemarahan. Entah apa yang Kenan laporkan padanya saat pulang tanpa Fanette. Yah, apa pun itu tak masalah sih. Aku juga bukannya bakal terpengaruh cuma karena hal sepele.
“Jangan berbohong, kembalikan Fanette padaku,” Daran membentak. Kubalas dengan tawa lantang, naik ke atas meja. Duduk di samping telepon sambil memainkan kabel. “Siapa yang mau kamu gertak, Tuan Daran. Ingatlah, aku tak sesabar itu terima saja diperlakukan dengan buruk. Sikapmu yang menentukan, Fanette akan jadi teman atau sanderaku. Besok siang. Datanglah ke kantorku, aku tidak mau bernegosiasi di telepon.” Kututup teleponku setelah itu, melompat turun menghampiri Hail.
Aku duduk di sofa samping Hail, bersenandung riang. “Jangan pasang muka cemberut begitu, ini baru masuk bagian menyenangkannya.” Hail mengacak rambutku, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. “Siapa yang menelepon tadi?”
“Daran. Aku akan menemuinya besok, temani aku.” Kusingkirkan tangannya. Terganggu dengan bau darah dari tubuhnya. Entah berapa banyak orang yang dia bunuh hari ini. Kusuruh mengawasi Slader, dia malah ikut andil dalam kerusuhan. Kadang aku bingung, Hail itu patuh atau tidak padaku.
“Ini bukan waktunya untuk bermain dengan Daran, Glafira. Kita harus fokus pada Umbra dulu. Aku sudah dapat lokasi mereka. Abaikan Daran, kita pergi menyerang Regan.” Lihat sikapnya, sekarang malah mulai mengatur keputusanku.
“Jangan memerintahku. Aku tahu apa yang harus kuprioritaskan.” Aku berdiri tiba-tiba, menarik tangan Hail, mengajaknya naik ke lantai atas. “Fanette akan tinggal di sini sementara. Bersikap jinaklah, buat dirimu terlihat baik. Misora mungkin akan sering datang juga, pastikan untuk tidak terlihat berbahaya di depan mereka.” Kudekatkan bibirku ke telinganya, berbisik agar Fanette tak mendengarnya.
Wajah Hail cemberut seketika. Ia menghela napas. Lalu memaksakan diri tersenyum palsu saat bertatapan muka dengan Fanette. Ini pertemuan pertama mereka, selama Hail bisa menipunya, Fanette tak akan cemas sama sekali.
“Ini Hail, dia tangan kananku, Fanette. Dia tinggal di sini bersama dengan kita, berteman baiklah,” ujarku.
“Senang bertemu dengan Anda, Nona Ester.” Hail mengikuti peran dengan baik. Terlalu baik malah, hingga rasanya aku ingin memukulnya. Untuk apa tingkah sok sopan begitu? Dia tak kusuruh pura-pura jadi kepala pelayan.
Fanette berdiri, menghampiri kami dengan hati-hati. Ia memaksakan diri tersenyum pada Hail. Di saat yang sama, ia mendekat padaku untuk berbisik. “Kenapa wajahnya mirip dengan Noir?” Mata yang jeli, hanya sedikit kemiripan saja Fanette sudah bisa melihatnya. Bagian dari wajah Hail dan Noir yang mirip dengan Almeta itu.
“Itu hanya perasaanmu saja, Fanette. Biarkan Hail, kamu bisa menganggapnya tak ada. Keberadaannya di sini hanya untuk memasak dan membantu pekerjaanku.” Aku memasang senyuman palsu, menarik tangannya mengikutiku menjauh dari Hail. Merasa kalau tak perlu sampai mendekatkan mereka, cukup perkenalan singkat saja. Lagi pula kalau mereka terlalu dekat, Fanette mungkin bisa mencium bau darah darinya. Aku tak mau perempuan ini melihat Hail sebagai sosok berbahaya.
“Baiklah kalau begitu.” Fanette masih cemas. Ia melirik berkali-kali, matanya menilai dengan seksama. Mungkin karena kesan yang Hail tampilkan tak sesuai dengan sikapnya.
“Hail, pergilah ke kamarmu.” Ya sudah, kuusir Hail. Menjauhkan mereka untuk sementara, sekaligus memberinya waktu untuk membersihkan diri.
“Oke,” jawab Hail. Pergi meninggalkan kami berdua.
Baguslah, dia tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak menyusahkanku dan yang terpenting, tidak berusaha menjadi dekat dengan wanita mana pun. Baik itu hanya teman, orang yang akan dimanfaatkan, atau hanya sekadar rasa penasaran saja. Aku tidak akan membiarkannya.
Selanjutnya aku hanya perlu fokus pada Fanette, mencuci otaknya sebelum pertemuan besok dengan Daran. Jadi, bila pak tua itu memaksa ingin bertemu langsung dengan putrinya, Fanette bisa menolaknya dengan jelas.