BAGIAN SEMBILAN BELAS

4777 Kata
Noir POV Aku kaget, mendapati Kenan yang pulang dengan keadaan marah. Tidak biasanya dia membanting pintu seperti itu, membuang pistolnya ke lantai seolah benda berharganya itu tidak lagi berharga. Kuputuskan untuk menghampirinya, menepuk pelan punggungnya untuk menenangkan. “Ada apa?” tanyaku cemas. Mataku melotot menemukan bercak darah di seluruh pakaian bagian depan tubuh Kenan. Kutarik bahunya ke belakang, berpindah ke hadapannya untuk mengecek apa dia terluka atau tidak. Syukurlah itu bukan darahnya, tapi darah siapa? “Apa kau habis membunuh seseorang lagi?” tanyaku kembali, berhati-hati karena Kenan masih belum menjawab. Agak cemas kalau dia tidak ingin membalas perbuatan jahatnya itu. “Lagi? Jangan bicara seolah-olah aku selalu membunuh! Aku tidak pernah membunuh siapa pun!” Kan, apa aku bilang. Dia marah padaku, menyangkal perbuatannya dan bertingkah seolah tangannya itu tidak pernah dibasahi oleh darah. Yah... kenyataannya memang dia tak pernah membunuh sih, soalnya Hail ternyata masih hidup. “Oke, aku mengerti. Lalu itu darah siapa?” Namun Kenan masih belum tahu itu, dia bahkan belum pernah bertemu langsung dengan Hail. “Ian. Hail sialan itu, dia nyaris saja membunuh Ian!” jawab Kenan, lebih mirip sebuah u*****n. Jawaban yang membuatku terkaget sekali lagi, mendengar nama Hail disebut-sebut. Jadi Kenan sudah tahu kalau dia belum mati? “Ma-maksudmu? Dia masih hidup?” Aku pura-pura bertanya, bertingkah seperti aku tidak tahu apa-apa. Kuharap emosi Kenan bisa membuat penilaiannya menjadi tumpul hingga tidak menyadari rasa gugupku. “Tentu saja tidak! Ular betina itu yang membuatnya! Pengganti Hail, menyuruh laki-laki itu memakai nama dan bertingkah seperti orang yang sudah mati untuk menggangguku!” Bukan hanya menjadi tumpul, ternyata tekanan mentalnya bahkan membuat Kenan lari dari kenyataan. Sudah bertemu dengan Hail, masih saja menyangkal akan keberadaannya. Sekali lihat, aku sudah tahu kalau mereka orang yang sama. Itu bukan sosok palsu, tapi Hail yang asli. Bagaimana mungkin Kenan yang paling dekat dengannya, orang yang menembaknya malam itu, malah tidak bisa mengenalinya. Apalagi cara bicara dan apa yang diketahui oleh Hail bukan sesuatu yang bisa dibuat dengan skenario, karena apa yang dia ucapkan semuanya berasal dari masa lalu yang hanya diketahui olehnya sendiri. Aku ingin sekali menampar Kenan, menyuruhnya membuka mata dan menghadapi kenyataan dengan berani. Namun, melihat betapa tertekannya dia, aku jadi merasa kasihan. Kurasa memang aku sendiri yang harus menghadapinya, menjauhkan Hail dari Kenan agar mental abangku ini tidak semakin hancur. Hail yang sekarang sudah bukan Hail sepuluh tahun yang lalu, dia telah tumbuh dewasa dengan mulut berbisa didikan Glafira. Orang yang kini sudah cukup kuat untuk menghancurkan mental Kenan, abangku yang menyedihkan. Terus menerus terbelenggu oleh kesalahan masa lalu yang tak pernah berani dia hadapi. “Begitu... kurasa memang Glafira sudah agak keterlaluan pada kita akhir-akhir ini. Apa menurutmu, Ayah akan mengizinkanku untuk menyerangnya?” Aku memberinya usul secara terselubung. Seolah bertanya pendapat, tapi sebenarnya aku ingin memastikan apa aku boleh membawa nama famili untuk menyerang Ghea atau tidak. “Bukan keterlaluan lagi. Mereka sudah menghinaku terang-terangan. Tak perlu izin dari Ayah, akulah kepala keluarganya sekarang. Aku sudah memutuskan untuk menghancurkan Ghea,” balas Kenan. Aku tercengang, tak menyangka kalau dengan sifatnya yang pengecut itu. Kenan bisa mengambil keputusan yang begitu berani tanpa berdiskusi lebih dulu pada Ayah. Mungkin karena Ian, sahabat baiknya sampai terluka. Kenan jadi kehilangan kontrol dirinya, tapi itu malah bagus untukku. “Jadi kita akan berperang?” tanyaku penuh semangat. Akhirnya aku bisa membalas mereka juga. Setelah apa yang mereka lakukan padaku tempo hari, juga perlakuan Hail pada Misora. Aku akan dengan senang hati menghancurkan mereka. “Ya, aku akan mencuri semua senjatanya. Jika tidak bisa mencuri dari gudang, akan kubajak setiap pengantaran mereka.” Kenan sudah mulai mendendam, dia bahkan sudah membuat rencana. “Kalau begitu biar aku yang melakukannya. Aku kenal orang yang bisa mencari tahu jadwal pengantaran mereka. Bagaimana?” Aku tidak sabar ingin melihat Hail panik saat pasokan senjata mereka terputus. Mereka yang suka bertempur dengan persenjataan lengkap, akan kehilangan taringnya saat kehabisan stok. “Aku juga bisa mencari tahu orang-orang yang membuatkan senjata mereka. Kalau pembuatnya mati, mereka tak akan bisa membuatnya lagi,” sambungku. Aku sangat percaya diri untuk hal ini. Aku kenal banyak orang yang mau melakukan apa saja demi uang, menggunakan yang seperti itu akan lebih menghemat anggota famili. Bisa repot kalau menyuruh anggota famili yang kurang berpengalaman, bisa-bisa banyak yang mati muda. Kami bukan bandit seperti anggota famili Ghea. Anggota famili kami, kebanyakan tak tahu cara membunuh. Itu karena kami kaya raya, jadi pekerjaan kotor begitu tinggal bayar orang luar. Tak perlu sampai mengotori tangan sendiri. “Baiklah. Aku tidak peduli apa pun caranya atau berapa banyak uang yang kau habiskan untuk ini. Selama famili Ghea hancur, aku yang akan bertanggung jawab atas segalanya.” Itu terdengar bagus. Aku suka ide Kenan, aku memang tak suka bertanggung jawab. “Setuju.” Biar aku yang hadapi musuhnya, dan dia yang hadapi para tetua dan ayah kami yang b******n itu. Ini pembagian tugas yang baik. Mengingat Kenan begitu menyedihkan saat berhadapan langsung dengan Hail. Aku lalu pergi meninggalkan rumah, menemui Yasa untuk meminta informasi. Menggunakan uang Kenan untuk membayar. Setelahnya, aku mengumpulkan orang-orang jahat untuk mulai menyerang. Memastikan kalau orang-orang punya dendam pada Glafira, sehingga tak ada alasan bagi mereka untuk takut pada wanita itu. Jika hanya sendirian, mau sedendam apa juga... tak akan ada yang berani membalas pada perempuan itu. Namun bila kukumpulkan semuanya, mereka akan jadi berani. Orang-orang lemah memang begitu, merasa hebat setelah berkumpul. Aku hanya perlu memprovokasi, memberi bantuan dana dan mereka dengan sendirinya menjadi budakku. “Famili Amber telah memutuskan untuk menghancurkan Ghea. Maka dari itu, kami berjanji akan menampung siapa saja memiliki tujuan yang sama. Kami akan menyediakan senjata, dana dan informasi mengenai pergerakan orang-orang Ghea. Siapa pun yang berkumpul di sini, bebas melakukan apa saja pada mereka dengan memakai nama Amber. Kalian boleh merampas, menyerang, membakar bangunan atau membunuh sekalipun.” Aku mulai berpidato, menyatakan dengan tegas sebagai perwakilan famili. Untuk awalnya biarkan orang-orang ini yang mencari masalah, lalu setelah Ghea sudah kewalahan. Aku akan menyewa agen profesional dan baru menggunakan orang famili kami saat mereka telah kehilangan kekuatannya. Orang-orang ini bersorak dengan keras, merasa hebat dan dipercaya. Padahal hanya diperalat saja. Sedangkan aku terus saja berbicara sesuka hatiku, membuat mereka makin panas dan sisanya. Tinggal menyiagakan beberapa bawahanku sebagai perantara mereka. Memastikan mereka dapat bantuan sebanyak yang mereka perlu untuk menghancurkan Glafira dan Hail. *** Hail POV Hari ini ribut sekali. Orang-orang dari famili terus berdatangan mencari Glafira, mereka melaporkan begitu banyak masalah yang berdatangan secara serempak. Dari pembajakan kereta kuda, kebakaran gedung dan pertokoan milik famili, hingga p*********n terhadap beberapa anggota senior. Mood Glafira jangan ditanya. Dia bahkan sudah menghabiskan dua kotak rokok dari pagi, mengoyak sebuah sofa dengan pisau hanya karena emosi. Mulut itu bahkan tak bisa diam, memaki tak henti-henti. Apalagi saat menerima telepon dari salah satu tetua. Tiap kali ditanya kenapa bisa begini, dia menyalahkan Kenan. Tentu saja tetua-tetua itu tidak langsung percaya kalau Kenan yang memulai, mereka menuduh Glafira yang cari masalah lebih dulu. Maka dari itu, makian dan pembelaan diri Glafira bisa sampai berjam-jam lamanya untuk dapat meyakinkan para tetua. Dan saat ia baru saja meletakkan telepon, tetua yang lain menghubungi untuk alasan yang sama. Begitu saja terus dari pagi sampai sekarang, dan mungkin bakal sampai malam jika tetua yang tersisa juga punya pemikiran yang sama. Aku tidak heran. Soalnya yang dengan sombongnya bilang akan memulai perang dan menghancurkan musuh duluan adalah Glafira.  Memang dia juga sih yang cari masalah dulu, tapi yah... mana mau sih Glafira mengaku salah. Susah payah dia membuat Kenan yang menantang lebih dulu, jelaslah dia ingin melemparkan semua kesalahan pada Kenan. Akibatnya, aku yang direpotkan di sini. Jadi pengganti Glafira untuk menerima laporan dan memberi mereka solusi. “Satu-satu. Mau panik seperti apa juga, Glafira tak akan mau mendengarkan kalian. Siapa yang datang dulu, dialah yang akan kudengarkan,” kataku. Berusaha mengendali kondisi saat mereka mulai berbicara secara serentak, bahkan beberapa agak nekat berani mendekati Glafira yang berada di belakangku. Tidak bisa baca situasi, kalau Glafira sedang terlalu emosi untuk mendengarkan mereka. “Tapi ini penting! Sudah tiga orang kita yang dibunuh!” ujar seorang anggota senior, pria yang dengan lancangnya mendekati Glafira. “Lalu kenapa? Kalau mereka bunuh orang kita, kalian bunuh saja pelakunya. Aku yang tanggung jawab, sana pergi!” teriak Glafira, mengusirnya. Memberi solusi yang khas sekali dengan pemikirannya yang kejam. “Tapi membunuh sembarang itu akan membuat para tetua marah,” balas pria itu. Masih punya nyali bahkan ketika sudah diberi tatapan buas Glafira.  “Dengar itu? Glafira sudah memberi izin. Jangan ragu untuk membalas. Ghea tidak akan bertahan saat diserang, melainkan akan memukul balik dengan lebih kejam. Itu perintah kepala keluarga, apalagi yang kau ragukan. Biarkan kami yang mengurus para tetua.” Aku segera menariknya menjauh dari Glafira, mencegah kejadian yang tidak diharapkan. Syukurlah, dia pergi dengan tenang setelah itu. Hanya saja masalah kami belum beres, selanjutnya orang lain yang minta solusi, tapi kali ini lewat aku. Tidak berani mendekati Glafira. Harusnya semua seperti ini saja, jadi lebih mudah untuk kutangani. “Mereka menyerang pengantaran dan merebut semua barang bawaan kami,” lapornya. Menjelaskan bagaimana kejadian yang mereka alami, seperti apa yang terjadi pada setiap pengantaran senjata dan minuman keras kami. Setelah mendengarkan, aku langsung mencari solusi. “Glafira, mereka boleh kuberi izin membawa senjata saat pengantaran?” Meminta izin penggunaan senjata untuk melindungi barang. Jaga-jaga kalau Glafira ingin menentukan batas, berapa banyak yang boleh di bawa. “Terserah. Jangan tanya padaku! Gunamu itu ya untuk membereskan masalahku. Gunakan otakmu untuk menggantikan kerja otakku!” Balasan Glafira tak ada baik-baiknya, tapi setidaknya dia melemparkan stempelnya padaku. Jadi aku bisa membuat keputusan seenaknya menggunakan namanya. “Iya, iya,” jawabku. Lalu menuliskan surat perintah atas nama Glafira, memberikannya pada mereka sesuai kebutuhan. Begitulah bagaimana kami menghabiskan beberapa hari terkurung di rumah sendiri, hanya untuk mendengarkan masalah anggota famili dan keluhan dari para tetua. *** Hail POV Setelah semua keluhan anggota famili telah didengarkan dan kami baru berniat untuk meramaikan kerusuhan, perwakilan dari para tetua datang. Wajah bersemangat Glafira yang ingin berhuru-hara berubah kecut seketika. “Apalagi mau mereka?” tanyanya tak senang. Anggota senior itu melirik padaku saat menerima sambutan tak menyenangkan dari Glafira. Seperti ingin memintaku menjadi penengah di antara mereka. Gara-gara jadi otak pengganti Glafira selama beberapa hari ini, tahu-tahu saja aku sudah diperlakukan seperti seorang yang punya wewenang. Padahal selama ini mereka menyebutku sebagai anggota tak resmi, peliharaan Glafira atau pria simpanan. Terserahlah, ini tak seperti aku punya pilihan. Glafira sudah kesal dan orang itu terlihat tak ingin berurusan dengan Glafira. Jadi aku mengambil peran itu, mempersilakannya untuk masuk dan duduk dia lantai dua bersama kali. Maksudku, hanya denganku saja. Karena Glafira sedang sibuk sendiri, mengasah pedang dan selusin pisau yang rencananya akan dia bawa nanti. “Jadi yang ingin kusampaikan adalah, para tetua mulai ketakutan dan meminta perlindungan untuk keluarga mereka,” tutur pria itu. Memberi tahu tentang serangan yang terjadi kemarin malam, terbakarnya rumah pribadi salah satu tetua. Itu masuk akal. Menyerang pos penjaga dan pengantaran saja tak cukup untuk menghancurkan fondasi famili. Selama kepala keluarga dan para tetua masih hidup, anggota famili akan terus bangkit. Aku tidak akan heran jika akhir mereka menargetkan orang-orang tua serakah itu, tapi tak kusangka kalau secepat ini. Kenan yang kukenal tak biasanya bergerak begitu ceroboh dan berani. “Terus kenapa? Orang-orang tua itu punya prajurit pribadi masing-masing. Tidak perlu sampai minta sokongan agen dari ku!” Belum sempat aku menjawab, Glafira sudah menjawabnya. Marah lebih tepatnya, merasa tak perlu mengeluarkan bantuan apa pun untuk mereka. Kali ini aku tidak setuju dengan pendapat Glafira. Dia seorang kepala keluarga, tak peduli apa pun yang dipikirkannya. Tidak seharusnya dia mengatakan sesuatu yang terkesan tak peduli pada bawahannya. Biarpun mereka begitu buruk, Glafira tetap harus memikirkan keselamatan mereka. Ini bukan soal hati nurani, tapi soal pandangan. Sekali saja dia menunjukkan sikap tak peduli pada para tetua, anggota-anggota kecil yang tak tahu apa-apa akan mengecap Glafira sebagai kepala keluarga yang tidak peduli pada familinya. Mereka akan lebih mudah untuk dicuci otak dan meninggalkan Glafira. Penting untuk menjaga kepercayaan para anggota agar pada saat ia dijatuhkan nanti, mereka akan bersedia membantunya bangkit kembali. Hidup tidak akan selalu di atas, ada kalanya kami akan dihancurkan nantinya. Namun selama kami memiliki ikatan dasar yang kuat, akan lebih mudah untuk bangkit kembali. Kadang Glafira suka lupa akan hal ini saat dia sedang emosi, padahal dia sendiri yang mengajarkan padaku untuk berpikir seperti ini. “Glafira! Serahkan ini padaku! Kau diam saja dan lanjutkan asah pisaumu,” ucapku dengan suara keras. Menegaskan pada Glafira kalau aku ingin dia diam dan mempercayakan padaku segala sesuatunya. Glafira tersentak, lalu diam dan mengasah pisaunya dengan patuh. Sikapnya agak aneh menurutku, tapi aku lega dia mau mendengarkanku kali ini. Kalau hanya satu orang yang mendengar, aku masih bisa melobinya, tapi bila perkataannya tadi sampai ke telinga para tetua. Sudah bisa dipastikan kalau mereka akan langsung pergi mencari Kenan dengan membawa informasi mengenai rahasia famili untuk ditukar dengan keselamatan mereka yang tak mau Glafira jaga. “Glafira akan menyediakannya. Satu tim yang terdiri dari empat orang berpengalaman untuk masing-masing tetua. Akan kusiapkan surat perintahnya sekarang,” ujarku. Mengetik langsung di depan matanya, tentunya akan ditambahkan dengan stempel milik Glafira yang masih kukantongi. Pria itu menatapku dengan aneh, terlihat seperti ingin berkata sesuatu. Namun tak berani bilang, sambil lirik-lirik Glafira mengamati. Aku risih jadinya, menghentikan gerakan jari-jariku yang sedang mengetik. “Bila ada yang mengganggumu, katakan langsung,” perintahku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, berbisik dengan cemas. “Apa yang kau lakukan pada Nona Glafira? Bukannya mendengarkanmu, tapi juga meminjamkan capnya.” Rupanya dia terlalu kaget dengan sikap jinak Glafira yang terkenal bebal. “Tidak ada. Aku hanya diperintahkan untuk menjadi pengganti otaknya sementara ini,” jawabku asal. Aku saja heran, apa yang membuat wanita tiran itu sampai jinak. Entah salah makan atau terlalu stres saking banyaknya diomeli sama para tetua. “Aku tidak mengerti maksudmu,” komentarnya. “Aku juga tak mengerti,” balasku datar. Memang siapa yang bisa mengerti apa maunya Glafira? Tak ada. “Kau ternyata lucu juga. Selama ini aku pikir kau hanya boneka mainan Nona saja.” Jadi sebenarnya seperti apa pandangan anggota famili padaku? Boneka mainan, terdengar tak berguna sama sekali. Inilah akibatnya kalau tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan famili, tapi dibawa ke mana-mana sepanjang waktu. “Kau dengar itu, Glafira? Aku dianggap seperti barang favoritmu oleh anak buahmu,” sinisku. Melemparkan kekesalan pada Glafira. Mengeluh ceritanya. Gara-gara agak stres dengan semua masalah yang datang, aku jadi sedikit lebih berani. “Hei, jangan bawa-bawa ke Nona. Dia bisa kesal.” Pas dengar keluhanku, pria itu segera memprotes, dengan suara kecil mirip bisikan. Khawatir bakal membangunkan beruang ganas yang sedang berhibernasi.  “Kayak aku peduli saja. Pandangan orang lain itu bukan masalah, yang penting pandanganku padamu. Camkan itu!” balas Glafira, lebih tenang dari yang kukira. “Jadi pandanganmu padaku bagaimana?” Ya sudah, aku luruskan saja. Penasaran juga, apa aku sudah naik pangkat, atau masih dianggap b***k olehnya. Glafira diam, membuat sang perwakilan menjadi gelisah. Merasa seperti berada di tempat dan waktu yang salah. Terlihat sekali ingin melarikan diri secepat yang ia bisa, tak mau jadi saksi dari ungkapan perasaan penguasa yang tiran. “Pikirkan sendiri,” jawab Glafira tak jelas. Aku menghela napas kecewa. Setelah menunggu selama lima menit, malah jawaban seperti itu yang kudapat. Glafira malah pasang wajah tak peduli, mulai mengelap granat setelah selesai mengasah pisau. Untuk apa gunanya, kadang obsesinya pada peledak kecil itu sulit dipahami. Akhirnya aku selesai mengetik juga, mengecap dan menandatangani surat itu. Setelah kuberikan padanya, pria itu segera pergi secepat yang ia bisa. Melarikan diri dengan kelegaan luar biasa. Meninggalkan aku berdua saja dengan Glafira. “Jadi sekarang kita sudah bisa pergi menyerang?” Mata Glafira langsung hidup kembali, berbinar menantikan serangan dadakan yang rencananya akan kami lakukan saat mengantarkan pesanan vodka Yasa. Meski sedang berperang, Glafira bilang tetap harus tepati janji. Walaupun cara menepati janjinya sekalian melakukan p*********n sih. “Iya, iya. Aku siap-siap dulu. Mau ajak Slader?” Tiba-tiba aku teringat akan Slader, pengkhianat yang sampai saat ini masih berada di dalam famili. Sengaja Glafira biarkan, ingin membuat Ian dan Kenan berpikir kalau mereka masih punya mata-mata di tempat kami. Itu semua agar bisa dengan mudah mengontrol informasi yang bocor. Selama Slader belum tahu kalau pengkhianatannya sudah terbongkar, maka selama itu pula Glafira akan menyimpannya. “Ide bagus. Biarkan k*****t itu berpikir kita masih memercayainya, tapi kau harus terus bersamanya agar dia tak punya kesempatan untuk bertingkah kali ini.” Lihat itu, senyuman licik itu sudah muncul, tanda akan dimulainya rencana busuk Glafira. “Kalau begitu beri tahu rencananya di menit terakhir saja, akan kuhubungi Slader sekarang,” balasku. “Kau atur saja, kan kau otakku sekarang.” Glafira mulai lagi nyinyirnya, mungkin masih kesal karena aku mempertanyakan pandangannya tadi. Aku pura-pura tak dengar, berjalan ke ruang depan tempat kami menyimpan telepon. Setelah menghubungi Slader aku pergi bersiap, mengumpulkan persenjataan dan beberapa orang yang bisa ikut dengan kami secara dadakan. Mengingat bahwa saat ini kami sedang kekurangan agen, sampai-sampai harus menarik orang-orang yang sedang keluar kota untuk kembali. Namun, jumlah bukan masalah bagi kami. Kami tak datang bukan untuk menghancurkan kastil dalam satu hari. Kali ini kami hanya datang untuk merusak, sebagai pesan kalau kami tak takut pada serangan gencar mereka. Menurut Glafira, menyerang mental di awal adalah salah satu langkah penting untuk serangan sesungguhnya nanti, tapi aku berani bersumpah kalau niatnya itu hanya untuk melepas stres. Alasan saja bicara soal serangan mental dan omong kosong lainnya. Pada kenyataannya, isi pikiran Glafira sama seperti seorang pria brutal dengan kulit luar seorang wanita cantik. Terserahlah. Aku hanya seorang b***k, jika bosku ingin mengamuk ya kutemani saja. Tak perlu dipikirkan secara serius. Kembali ke tujuan awal. Sekarang aku sudah selesai dengan persiapanku, maka dari itu aku segera menghampiri Glafira. Pergi bersama dengannya ke gudang minuman keras kami, masuk ke dalam boks belakang truk pengangkut itu bersama dengan dua orang lainnya dan Slader yang sudah sampai di gudang lebih dulu. Kami masuk ke bagian dalam, sehingga bisa tertutupi oleh peti-peti berisikan minuman di bagian luar. Membawa truk besar hanya untuk mengantarkan satu peti tidaklah aneh. Karena memang biasanya sekali antar, kami mengirim untuk beberapa tujuan sekaligus. Toh truknya akan segera pergi setelah menurunkan kami dan peti pesanan Yasa. Untuk urusan melarikan diri, pikirkan nanti saja. Itulah rencana brilian majikanku yang mengakunya ahli strategi. Memang hanya alasan, bilang saja hanya ingin merusak sambil melihat muka kesal Kenan. *** Hail POV Setelah truk berhenti, kami menunggu hingga penjaga rumah yang menerima pesanan disibukkan oleh kurir pengantar. Yakin kalau ia tak melihat ke bagian belakang boks, kami keluar satu per satu. Mengendap-endap tanpa suara, menyelinap masuk lewat jendela terdekat. Kami bersembunyi hingga truk kami pergi, keluar dari gerbang dengan aman. Barulah setelah itu, kami berpencar. Glafira pergi dengan dua orang bawahannya, sedangkan aku ditinggalkan bersama dengan Slader. Tujuannya adalah mengacaukan persiapan pesta, membuat malu Almeta. Untuk itu, kami tidak langsung bertindak, bersembunyi dulu di aula. Menunggu hingga malam datang dan para tamu berdatangan. Aku dan Slader bersembunyi di bawah meja panjang tempat mereka menyajikan makanan. Meja ini tertutup oleh kain hingga ke lantai, jadi para pelayan yang mondar-mandir tidak menyadari kehadiran kami. Slader tampak gelisah di sampingku, dia beberapa kali membuka taplak meja seolah mencari seseorang. Aku pura-pura tak sadar akan maksud dari perilakunya, hanya menyenggol lengannya sesekali sambil mengingatkan. “Diamlah, para pelayan akan menyadari keberadaanmu,” bisikku. “Maaf, aku hanya penasaran ke mana Nona pergi,” balas Slader dengan berbisik juga. “Biarkan saja dia, tak ada yang tahu apa yang mau Glafira lakukan.” Entah apa mau Slader, mencari tahu tempat Glafira bersembunyi. Yang jelas aku tidak akan membiarkannya tahu, membuatnya berpikir kalau aku tidak tahu apa mau Glafira. Padahal aku tahu jelas kalau Glafira pergi ke ruang ganti musisi yang mereka sewa. Dia berniat mengancam mereka agar membiarkannya berbaur, lalu muncul banyak gaya di atas panggung sesaat sebelum Almeta mengucapkan salam. Hanya satu alasannya, berbicara omong kosong soal memberi selamat ulang tahun dan membawakan hadiah untuk ayahku itu. Namun sesungguhnya, hadiah yang ia bawa bukan sesuatu yang akan membuat Almeta senang. Dia membawa aib keluarga Amber, berniat membeberkan beberapa hal di depan para tamu. *** Akhirnya malam tiba, suara percakapan dari orang-orang telah terdengar mengisi seluruh aula. Gemuruh tepuk tangan ketika tirai panggung telah terdengar. Aku mengintip sedikit untuk memastikan kalau Glafira sudah ada di sana. Dan ya, dia ada. Berjalan bersama dengan musisi-musisi itu, di bagian paling belakang. Jalan menunduk di belalang punggung orang-orang untuk menyembunyikan wajahnya. Tepat ketika mereka sudah berpencar ke kursi masing-masing, Glafira berjalan ke tengah panggung. Mencuri tempat konduktor, kali ini dengan berani menunjukkan wajahnya. Dua orang yang mengikutinya, saat ini tengah bersiaga di lantai dua. Mereka bersembunyi di belakang lampu sorot, bersiap dengan senjata di posisi siaga sambil menunggu perintah. Begitu mendengar suara pidato omong kosong Glafira, aku dan Slader keluar dari tempat persembunyianku. Kami berbaur dengan para tamu, mengambil posisi di belakang saat fokus orang-orang tertuju pada Glafira di atas sana. Kunjungan musuh bebuyutan saat kedua famili sedang bersitegang jelas membuat orang-orang merasa cemas. Khawatir akan ada baku tembak sesaat lagi. Dilihat dari senjata yang melingkar di pinggang Glafira, tanpa ada niat untuk disembunyikan. Orang-orang Amber sudah mulai ricuh, bergerak mengelilingi seluruh aula mencari orang yang mencurigakan. Mereka yakin Glafira tak mungkin datang sendiri. Aku jadi harus terus bergerak untuk menghindari pengawasan mereka, hingga kehilangan Slader. Entah pergi ke mana pria itu, aku bahkan tak sempat mencemaskannya saat mataku tak sengaja bertemu pandang dengan mata Almeta. Pak tua itu duduk di kursi rodanya, melihat ke arahku seolah kehebohan yang Glafira buat tak mengganggunya sama sekali. Kesan seram yang biasa kurasakan padanya sudah tak ada, mungkin karena saat ini dia terlihat tak berdaya. Bagai singa yang sudah kehilangan taringnya, menjadi mengering kalah oleh usia. Tatapan matanya begitu sendu, seolah ingin menyampai berbagai perasaan melankolis yang mustahil ada. Aku sampai mematung sesaat, hilang fokus. Tak mendengarkan apalagi yang Glafira ocehkan, atau apa yang terjadi di atas panggung. Karena saat aku tersadar, suara tembakan dan teriakan sudah menguasai ruangan ini. Orang-orang berjongkok menghindari letusan senjata dari berbagai arah. Orang-orang kami dan orang-orang Amber sudah mulai saling serang. Glafira juga sudah bersemangat, bergerak dengan gesit menghindari tembakan sambil berlari mendekati para penembak. Ia menebas leher mereka, membunuh dengan cepat dan akurat. “Orang itu juga! Tembak dia!” Suara perintah Kenan yang selanjutnya terdengar, dia berteriak dari lantai dua. Menunjuk ke arahku, menyuruh penjaganya membunuhku lebih dulu. Aku menghela napas, mengembalikan fokusku dan mulai bergerak. Berlari mendekati Glafira, sambil menyerang orang-orang yang mendekat padaku. Menembak langsung di kepala mereka, menghemat peluru dan menghindari tembakan sia-sia jika ternyata mereka memakai rompi anti peluru. Kekacauan benar-benar terjadi, persis seperti yang diharapkan oleh Glafira. Setengah dari tamu-tamu terjebak dalam ruangan berbahaya, tak sempat kabur karena Kenan menyuruh anak buahnya mengunci pintu dari luar. Hanya agar kami tak bisa kabur, dia sampai rela mengorbankan keselamatan tamunya. “Lihat keputusan apa yang pemimpin kalian ambil. Dia tak peduli dengan nyawa kalian, tak peduli jika kalian mati asalkan bisa membunuhku!” tak lama, Glafira mulai memprovokasi lagi. Berteriak lantang setelah ia berhasil menangkap salah satu tetua Amber, mencengkeram lehernya. Meletakkan bilah pedangnya di leher pria itu. Hanya satu gerakan saja, ia akan tewas mengenaskan. Beberapa tetua yang berada di dekat Glafira segera menjauh. Mereka berteriak pada Kenan untuk memerintah anak buah yang berada di luar agar membukakan pintu, tapi Kenan tak mau melakukannya. Karena jika ia membuka pintu sekarang, Glafira akan pergi sambil membawa sanderanya. “Diamlah! Mana harga diri kalian. Kepala keluarga Ghea ada di sini sekarang, ini kesempatan kita untuk membunuhnya. Aku tidak akan menukarnya dengan nyawa siapa pun! Jika kalian berani menyebut diri kalian sebagai tetua famili Amber, maka melawanlah. Lindungi diri kalian sendiri.” ucapnya tiran. Mulai menunjukkan sikap yang sama seperti Glafira, tapi Kenan lupa satu hal. Glafira bisa berkata seperti itu kalau berada di posisi serupa karena semua tetua kami minimal menguasai satu jenis bela diri hingga sabuk hitam. Dan tetua Amber, tidak terbiasa bertarung dengan cara yang brutal. Mereka bermain siasat, memerintah dari belakang sambil melindungi diri sendiri. “Jangan bicara hal yang mustahil! Tugasmu melindungi kami, melindungi famili!” protes salah satu tetua. Kenan tak menjawabnya, dia menatap dingin. “Tembak perempuan itu!” Malah memerintah mereka untuk menembak. Di saat itulah, senyuman puas Glafira merekah di wajahnya, dia menjadikan tetua yang ia sandera sebagai tameng. Membawa-bawa mayat itu untuk dipakai menerima semua tembakan yang tertuju padanya, sambil sesekali menembak beberapa orang. Aku dan dua orang lainnya juga telah sampai di sisi Glafira. Kami bertiga berada di dekatnya, melakukan hal yang sama. Mengambil secara acak tamu yang ketakutan sebagai tameng, menjadikan aula ini bermandikan darah dan tangisan. Hanya Slader yang masih menghilang entah ke mana, tak terlihat di mana pun, tapi untuk saat ini kami tak bisa memikirkannya. Salah-salah malah kami yang akan tewas di kepung kalau tidak bisa fokus. Untuk saat ini, misi kali telah terpenuhi. Menunjukkan sisi buruk Kenan pada tetua dan tamu yang merupakan kolega mereka. Masalah yang tersisa hanyalah, bisa tidaknya kami kabur dari sini. Atau mungkin, hanya aku yang berpikir kalau kami punya masalah. Sebab, Glafira masih saja memasang wajah bersemangat, membiarkan aku menjaga punggungnya sementara fokusnya sepenuhnya dia berikan pada Kenan. “Dinginnya, tugas kepala keluarga itu menjaga para tetua dan kau malah membiarkannya mati begini.” Dia mengolok Kenan, menepuk-nepuk pipi mayat yang masih ia seret-seret. Bicara seolah dia peduli saja, padahal Glafira sama tak pedulinya dengan Kenan. “Kalau aku jadi tetua, aku akan meminta penggantian kepala keluarga,” ocehnya kembali. Namun kali ini, kalimat itu ditujukan pada tetua lain yang sengaja dia biarkan hidup. Tujuan adalah untuk membuat mereka sadar kalau kemungkinan itu ada, kalau mereka bisa meminta Noir menggantikan posisi Kenan. Tentu saja itu hanya kedok, karena yang ia mau adalah membuat aku yang menjadi kepala keluarga. Tinggal menunggu waktu yang tepat untukku muncul sebagai sosok Hail Amber yang mereka kenal. Meskipun ada sedikit rasa ragu bagiku, apakah mereka bisa menerimaku atau tidak. Mengingat kalau saat ini, aku sedang menjadi musuh mereka. Membantai seperti penjahat. Yah, setidaknya sampai saat ini aku belum membunuh satu pun tetua. “Itu benar! kami tak akan mendengarkanmu lagi! Biarkan Noir yang memimpin!” teriak beberapa dari mereka secara serempak. Daripada mengurus kami, para tetua lebih ingin menyingkirkan Kenan dan Kenan tak peduli dengan itu. Semua kekacauan itu membuat kami leluasa bergerak, karena anak buah dengan posisi rendah kebingungan mau mendengarkan perintah siapa. “Hei, ayo kita kabur sekarang.” Aku segera mendekati Glafira, mengajaknya pergi selama masih dan kesempatan. Namun Glafira tak mendengarkan, dia malah membuang mayat itu. Dengan berani menghampiri Almeta yang sedari tadi hanya duduk di pojokan, dilindungi oleh seorang penjaga. “Familimu menyedihkan sekali ya? Padahal dulu Amber sangat kokoh saat kau yang memimpin, tapi lihat sekarang. Kau tak lebih dari pria tua yang tengah sekarat.” Terpaksa kami bertiga harus melindunginya dari sang penjaga. Seorang laki-laki di akhir empat puluhan tahun, tapi masih terlihat sangat bugar dan tentunya sangat ahli hingga cukup percaya diri untuk bisa menjaga Almeta seorang diri. Almeta tak terintimidasi oleh Glafira, matanya masih saja tertuju padaku. Ia menatap dengan lekat, bersama dengan si penjaga. Seolah mereka tahu kalau aku memang Hail yang mereka kenal. Glafira sudah pasti peka, dia tak mungkin sadar kalau perhatian mereka sudah seintens itu. Dan sudah pasti juga, dia akan menggunakan ketertarikan itu sebagai senjatanya. “Kenapa? Kalian tertarik dengan mainanku? Sini Hail. Mendekat dan perlihatkan wajahmu pada mereka,” perintah Glafira. Aku menghela napas panjang, mendekati Glafira hingga berdiri tepat di sampingnya. Kedua orang kami terlihat kebingungan, jadi aku menyuruh mereka untuk fokus menjaga punggung kami saja. Mengawasi perkembangan perselisihan Kenan dan para tetua. Almeta menyipitkan matanya, menatapku dengan lebih tajam sebelum ia berkata, “Apa yang kau lakukan bersama dengan perempuan itu. Aku menyediakan tempat terbaik untukmu dan kau pergi kepada musuhku.” Jadi begitu, dia mengenaliku. Seperti yang diharapkan oleh orang yang jeli dan cerdas. Mengenali seorang anak yang menghilang selama sepuluh tahun, ternyata sangat mudah baginya. Saat itu juga, perselisihan di belakang kami senyap seketika. Perkataan Almeta telah mencuri seluruh perhatian yang ada. Mereka mulai penasaran apa maksud perkataan Almeta, kenapa berbicara padaku seolah-olah aku bagian dari famili mereka. “Dia bukan Hail, Ayah. Jangan biarkan wanita ular itu menipumu!” Kenan membalas lebih dulu, sebelum aku bisa menemukan kata yang tepat untuk menjawab. Apa yang Kenan pikirkan? Kupikir aku sudah jelas mengenalkan diriku kembali waktu itu. Apa dia mencoba lari dari kenyataan, atau tidak ingin mengakui keberadaanku? “Diam Kenan! Apa kau pikir aku begitu buta, hingga tidak bisa membedakan putraku sendiri.” Almeta membentak, membuatku begitu kaget. Untuk hitungan seorang ayah berhati dingin sepertinya, perkataan itu terdengar seperti sebuah mimpi. Suaraku tercekal, untuk beberapa detik... ada rasa haru yang menyelinap masuk ke dalam hati dan pikiranku.                                                        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN