BAGIAN SATU
Tahun 1969
Hail POV
Sepanjang yang kuingat, aku tidak pernah punya seorang ayah. Namun, di hari pemakaman ibuku, seseorang yang menyebut dirinya sebagai ayahku itu muncul. Almeta Amber, salah satu dari tiga penguasa kota Jade Vine. Amber, Ghea dan Ester. Amber yang memonopoli seluruh pertambangan yang ada, Ester yang menguasai seluruh bisnis hiburan dan pangan. Serta yang terakhir Ghea, penguasa bisnis minuman keras dan senjata, pemilik dari seluruh perkebunan anggur yang ada.
Pria tua berumur sekitar lima puluhan tahun itu, terlihat mengerikan. Dengan setelan pakaian mahal serba hitam, mata tajam yang seolah bisa menyayat siapa saja yang menatapnya dan empat orang pengawal bertubuh besar berdiri kokoh di belakangnya.
“Mulai hari ini, namamu Hail Amber. Kau akan menjadi salah satu penerusku, putra kedua keluarga Amber,” ucapnya.
Aku menatapnya dingin, tak bisa merasakan sebuah kepedulian dari sosok yang mengaku dirinya sebagai seorang ayah. Keluarga asing yang ia bilang akan menjadi keluargaku dan saudara yang bahkan tak pernah kulihat itu, terdengar tak menyenangkan di telingaku.
Hari itu, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke kediaman keluarga Amber. Apa yang terlihat begitu pintu terbuka adalah sesosok wanita paruh baya yang dipenuhi oleh kebencian padaku. Serta dua orang laki-laki di belakangnya, seorang yang sudah cukup dewasa dan seorang lagi terlihat seumuran atau lebih muda dari ku. Mereka tak menatapku dengan kebencian seperti wanita yang merupakan nyonya rumah itu, tetapi juga tak ada kehangatan yang ditawarkan.
“Aku tak akan pernah menerima anak harammu! Putraku hanya Kenan dan Noir,” teriak Fuchia Amber. Sang nyonya rumah yang akan menjadi ibuku mulai saat ini, orang yang pertama kali menolak keberadaanku.
“Itu tak mengubah kenyataan bahwa ia putra keluarga Amber, Fuchia,” balas Almeta. Tak ada rasa peduli sama sekali dalam kalimatnya, hanya ada keegoisan dan keangkuhan. Dia tak peduli apakah istri sahnya menerimaku atau tidak, yang ia pedulikan hanyalah seberapa bergunanya aku untuk masa depan keluarganya. Keluarga yang bahkan tak ia cintai.
“Kalau begitu kau harus memilihku atau anak haram itu!” Fuchia yang malang, dia tak bisa melihat betapa tak berperasaannya laki-laki yang menjadi suaminya itu.
“Kau bisa pergi. Yang kubutuhkan hanya ketiga putraku.” Jawaban dingin tanpa ragu yang ia dapat. Seorang Almeta Amber tak akan pernah peduli pada istri atau simpanannya, yang ia pedulikan hanya putra yang mereka lahirkan untuknya. Setelah ia mendapatkannya, ia bisa membuang Fuchia dan ibuku dengan sangat mudah.
“Kenan, bawa Hail dan Noir ke dalam,” perintahnya.
Kenan yang takut pada ayahnya, segera menarik tanganku dan tangan adiknya. Dia tak akan peduli apakah aku anak simpanan ayahnya atau adik kandungnya. Laki-laki itu terlalu takut untuk membantah, dia cukup cerdas untuk tahu kalau ayahnya bukanlah orang tua yang akan memaafkannya hanya karena dia anaknya.
Ini bukanlah keluarga yang baik, bukan juga tempat yang bisa membuat seorang anak bahagia. Namun, juga merupakan satu-satunya tempat untukku pulang. Kedua saudara tiri yang hanya bisa diam bersandar di balik pintu, sambil mendengarkan pertengkaran orang tua mereka itu, terlihat sama menyedihkannya denganku.
“Ini salahmu! Harusnya kau tak pernah datang ke sini!” teriak Noir, menyalahkanku. Kemudian dia berlari masuk ke kamarnya, setelah mendengar suara tangis putus asa ibunya yang memilih tinggal demi mereka.
Aku menatap Kenan dengan mata yang dingin, menunggu ia menyalahkanku seperti adiknya. Namun, sebagai putra sulung, ia memilih untuk bertingkah layaknya saudara yang baik. Senyuman yang ia berikan padaku terlihat terpaksa, dengan suara yang keluh ia berucap, “Jangan takut, aku akan menjadi abangmu mulai sekarang. Ibu dan Noir hanya sedikit terkejut. Setelah tenang nanti, mereka akan menerimamu, Hail.” Kemudian ia memberikan sebuah arloji dengan lambang keluarga Amber di atasnya. Terlihat seolah ia telah menerimaku menjadi anggota keluarga barunya, tapi yang kurasakan adalah sebaliknya.
Kebohongan. Hanya itu yang bisa kupercayai saat mendengarnya. Aku tak sebodoh itu untuk tak bisa melihat kebencian mereka berdua. Tak ada yang menerimaku di sini. Seorang anak simpanan tak akan pernah mendapatkan tempat di rumah istri sah, semua orang tahu itu. Aku adalah aib keluarga Amber yang tersohor, dan satu-satunya alasan kenapa aku dibawa kemari hanya karena aku punya kecerdasan luar biasa yang tak dimiliki oleh Kenan dan Noir.
Itu adalah hari terburukku, hari di mana aku terjebak dalam kastil busuk pada usia lima belas tahun. Setidaknya, itulah yang kupercayai saat itu. Sebelum aku mengalami hari-hari buruk lainnya saat tinggal di rumah besar bak kastil ini.
***
Setahun setelahnya, ketika Almeta dengan berani mengenalkan aku sebagai putranya secara resmi. Fuchia kehilangan seluruh hati nuraninya, tertelan oleh kemarahan, kekecewaan dan kebencian.
Di malam ketika pesta besar itu diselenggarakan, aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya dengan Kenan. Seorang ibu yang harusnya lemah lembut itu, mencengkeram kedua lengan putra sulungnya. Dengan kuat, ia menatap Kenan dengan mata yang menakutkan.
“Bunuh dia. Bunuh anak haram itu, Kenan,” perintah Fuchia.
Aku terdiam kaku di dinding sebelah pintu, menelan ludah gugup saat mendengarnya. Tanganku bergetar karena rasa takut dan kejut di saat yang sama. Aku tak mengira bila kebenciannya padaku bisa sampai ke tingkat di mana membunuhku menjadi satu-satunya pilihan yang ia punya.
“Tapi dia adikku, Bu. Aku tidak bisa melakukannya,” tolak Kenan. Untuk sesaat aku merasa lega mendengarnya, tubuhku menjadi rileks seketika. Syukurlah, Kenan tidaklah seburuk itu. Namun, semua itu tak bertahan lama. Karena pada akhirnya, keluarga Kenan yang sesungguhnya adalah Fuchia, bukan aku. “Jangan pernah mengatakan itu! Adikmu hanya Noir! Jangan pernah menjadi lemah anakku, Hail akan merebut posisimu. Dia akan mencuri semuanya. Ayahmu yang b******n itu akan lebih memilihnya daripada kau atau adikmu. Dengarkan ibumu, pergi dan bunuh dia.” Aku bisa merasakannya, ketika melihat reaksi Kenan setelah apa yang ibunya katakan selanjutnya.
“Lakukan sekarang atau kau akan menyesal nantinya, putraku. Ambil ini dan bunuh dia.” Kenan mengambil senapan yang Fuchia berikan, ia menatap besi dingin itu dengan tatapan yang dipenuhi oleh kekacauan. Tangannya yang terkepal erat, seolah tengah mengumpulkan keberanian.
“Jangan takut, ibu akan melindungimu dan Noir. Lakukan tanpa ragu dan selamatkan masa depan kalian, singkirkan Hail.” Bisikan Fuchia itu seperti benar-benar bisa memberinya keberanian dan kesolidan dalam mengambil keputusan.
“Baiklah. Akan aku lakuan,” jawab Kenan, ia telah sepenuhnya terhasut. Satu-satunya orang yang berkata kalau dia di pihakku itu, memilih untuk mengkhianatiku demi dirinya sendiri.
Aku terlalu sakit hati, terluka hingga kehilangan ketenanganku. Aku harusnya lari sesegera mungkin dari sana, tapi yang kulakukan malah dengan cerobohnya menimbulkan suara yang membuat perhatian mereka tertuju padaku.
Aku menjatuhkan arloji pemberian Kenan yang tadinya kugenggam erat, membawa mereka yang ingin membunuhku datang padaku. Ketika pintu itu terbuka, dan senyuman Fuchia terpantul di mataku, aku tak tahu harus bagaimana bereaksi.
“Lihat, keberuntungan ada pada kita, dia datang sendiri. Sekarang tembak, Kenan,” ujar Fuchia.
Kenan tak membalas ibunya, tapi tangannya dengan patuh bergerak mengikuti perintah. Senapannya ia acungkan padaku, menatap dingin tanpa ragu. Jarinya berada di pelatuk, siap ditarik kapan saja.
“Ibu, Ayah memanggilmu untuk menemaninya mengantarkan kepulangan tamu,” seru Noir dari arah belakangku. Dia datang di saat yang tak tepat, membuat Fuchia dan Kenan tersentak kaget. “A-apa yang kalian lakukan?” tanyanya, menatap horor pada ibu dan kakaknya.
Aku memanfaatkan saat itu untuk melarikan diri, berlari ke arah berlawanan mencari pintu terdekat yang bisa kutemukan. Masih bisa kudengar percakapan mereka, perintah untuk mengejarku. “Pergi Kenan, biar ibu yang bicara dengan Noir. Jangan biarkan dia lolos!” teriak Fuchia.
Selanjutnya, aku tak lagi mendengar apa pun. Yang kutahu hanyalah berlari secepat yang aku bisa untuk lolos darinya. Sialnya, aku pergi ke arah yang salah. Pintu belakang yang menuju ke hutan belakang kastil, bukannya bagian depan yang dipenuhi oleh tamu.
Suara derap kaki Kenan terdengar begitu mengancam, bersama dengan suara napasku yang berburu. Gelapnya hutan di tengah malam membatasi pandanganku, dan suara langkahku terdengar sangat berisik tiap kali menginjak ranting pohon. Membuat Kenan bisa dengan mudah menemukanku.
“Huaaa!” teriakku, terjatuh akibat tersandung akar pohon.
Saat aku tersadar, Kenan telah berada di depan mataku. Wajahnya tak tampak jelas, tertutup oleh bayang-bayang, tetapi ujung senapannya terlihat sangat jelas terarah ke jantungku. Dari jarak yang sangat dekat, memberi rasa takut lebih padaku.
“Kau benar-benar akan membunuhku?” tanyaku takut-takut. Kakiku sudah kehilangan tenaganya, tanganku yang terluka saat terjatuh terasa begitu pedih. Sama seperti luka tak terlihat dalam hatiku. Namun, keinginanku untuk hidup masih begitu kuat. Memberi kekuatan pada tubuhku untuk bergerak refleks, berbalik badan. Mencoba untuk bangkit sekali lagi dan melarikan diri meskipun tahu itu hanya akan berakhir sia-sia.
“Maafkan aku, Hail.” Suara bisikan Kenan terdengar pelan, nyaris tak terdengar tertutup oleh suara letusan senjata.
Sakit ... punggungku begitu sakit, terbakar oleh panasnya besi yang menembus permukaan kulitku. Bau darahku sendiri, tercium begitu jelas bercampur dengan bau bubuk mesiu. Keringat berjatuhan dari dahiku, menahan sakit yang membakar. Tanganku bergerak menyentuh luka di punggungku yang kini telah basah oleh banyaknya darah yang mengalir keluar. Aku tak yakin lagi peluru itu menembus hingga ke mana, yang jelas aku yakin tak mengenai jantungku. Sebab, saat ini bagian itu masih berdetak dengan cepat, perlahan melambat memberi tahu akan hidupku yang semakin mendekati ajalnya.
Sayup-sayup, aku bisa mendengar derap langkah Kenan yang menjauh. Dia benar-benar pergi, meninggalkanku untuk mati sendirian di sini. Itukah yang disebut dengan keluarga? Jika iya, maka aku berharap tak akan pernah memilikinya. Tidak, aku tahu pasti kalau keluargaku satu-satunya telah mati satu tahun yang lalu. Keluarga Amber tak pernah menjadi keluarga bagiku.
Terbawa oleh rasa putus asa, aku membaringkan tubuhku yang lelah ke atas rerumputan. Melihat pemandangan langit malam yang begitu gelap untuk terakhir kalinya. Berharap, jika saja aku masih sempat untuk melihat terangnya mentari terbit, biarpun untuk terakhir kalinya juga.
“Wow, kau terlihat menyedihkan. Keluarga Amber memang busuk, tapi aku tak tahu mereka sebusuk itu hingga melakukan hal ini pada saudaranya sendiri.” Di saat itulah, gadis itu datang. Ia berdiri di depanku, menyorot wajahku dengan senter di tangannya. Cahaya dari benda kecil itu, terlihat seperti cahaya mentari bagiku. Membawa harapan di dalam keputusasaan.
“Kau ingin kutolong? Kau ingin balas dendam?” tanya gadis itu. Glafira Ghea, putri tunggal keluarga Ghea.
“Ya, tolong aku ... aku ingin hidup,” mohonku. Merangkak dengan semua sisa tenaga yang kupunya, menjatuhkan kepalaku ke atas sepatunya. Tak ada harga diri yang tersisa, hanya ada keinginan hidup yang kuat.
“Kalau begitu cium kakiku dan memohonlah dengan semua yang kau punya. Bersumpahlah untuk jadi b***k setiaku dan aku akan menolongmu. Memberimu kehidupan dan kesempatan untuk balas dendam,” perintahnya.
Aku melakukannya, memeluk kakinya dan menciumnya tanpa ragu. Bersumpah setia padanya, menjadi b***k bagi musuh keluarga ayahku. Hanya agar memiliki kesempatan lain untuk membalaskan dendamku, kesempatan untuk membuat mereka merasakan kehancuran yang sama.