BAGIAN DELAPAN BELAS

3051 Kata
Hail POV Kami memanggil Ishak dan saudara-saudaranya ke rumah. Meminta mereka untuk melakukan apa yang kami mau setelah mendapatkan info dari Fanette, bahwa Daran akan pergi menemui Kenan hari ini. Glafira berniat membalas Ian, dia ingin mempermalukan Kenan sekalian. Tetap di depan Daran, ketika Kenan masih sangat yakin kalau kami yang sedang dalam kesulitan saat ini. Tampaknya bermain dengan hati-hatinya sudah tak menarik lagi bagi Glafira, wanita ini menyerang secara terang-terangan. Merasa yakin kalau posisinya sudah cukup kuat untuk mencari masalah. Kenekatan yang tak bisa kuhentikan dan memang tak ingin kuhentikan. Sebab aku sendiri sudah tak sabar ingin menghadapi Kenan secara langsung. “Mengerti? Kalian harus menunggu di balik pintu dan baru masuk setelah aku memanggil,” ujar Glafira. Menerangkan sekali lagi apa maunya pada mereka. Dia bahkan sudah susah payah membuat skenario sendiri, memaksa Ishak untuk mengatakan seperti yang tertulis di dialog. “Aku mengerti, tapi memangnya harus sama persis?” Ishak bertanya, tak mengerti apa gunanya semua itu. Aku pun sama tak pahamnya, tapi aku memilih untuk diam. “Harus.” Glafira menekankan. Tak ada lagi yang berani protes. Tatapan mata buas itu sudah cukup menjelaskan kalau ia tak mau dibantah. Kami kemudian berangkat dengan dua mobil terpisah, meminjamkan ketiga bersaudara itu mobil yang biasanya kugunakan dan punya Glafira aku yang menyetir. Tujuan kami adalah sebuah restoran besar di pusat kota, tempat yang menyediakan ruang pribadi untuk pertemuan spesial seperti ini. Ketika kami sampai, resepsionis berkata kalau Daran dan Kenan sudah berada di dalam sana sekitar dua puluh menit. Ia bertanya, apa benar kami juga diundang ke dalam pertemuan mereka. Sebab di catatan tamu mereka, hanya tertera nama Daran Ester yang ditunggu oleh Kenan dan Ian. “Kau meragukan kami? Apa kau berpikir kalau Nona Ghea berbohong?” balasku. Berpura-pura marah dan tersinggung. “Bukan begitu Tuan, saya hanya menjalankan prosedur di sini.” Pria penjaga resepsionis itu sudah panik, tapi masih berusaha menahan kami untuk tidak masuk. Itu pekerjaannya, memastikan kalau tidak ada yang mengganggu ketenangan tamu khusus mereka. Menjaga nama baik restoran dan kepercayaan tamu. “Bukannya kalian yang salah mencatat? Kenapa kau tak masuk ke dalam dan bertanya langsung pada Tuan Amber, apakah dia mengundang kami atau tidak.” Menghadapi yang seperti ini harus penuh percaya diri, jangan sampai ia menemukan sedikit saja rasa ragu. Dengan begitu, lawan bicara yang justru akan tertekan dan mulai meragukan ingatannya sendiri. “Saya tidak bisa berbuat demikian,” balasnya, terlihat makin tertekan. Aku sudah tahu kalau dia tidak bisa masuk ketika semua tamu sudah datang. Itu peraturan di restoran ini, maka dari itu... aku menekannya sekali lagi. “Kalau begitu biar aku yang menghubungi langsung. Lihat apa yang akan Tuan Amber katakan nanti,” gertakku. Mengeluarkan telepon genggam, berpura-pura akan menelepon Kenan. “Belum selesai juga? Apa sekarang pelayanan restoran ini sudah menurun? Mengecewakan sekali,” sambung Glafira. Berdiri di belakangku, memasang wajah tak senang layaknya nyonya besar yang mudah tersinggung. Sebuah serangan tambahan, gertakan terakhir untuk membuatnya menyerah. “Saya minta maaf, akan saya antarkan ke ruangannya,” ujarnya. Memutuskan untuk percaya pada perkataan kami. Mengantarkan kami ke ruang pribadi yang disewa oleh Kenan. “Seharusnya dari tadi. Cukup sampai di sini, kau boleh pergi,” perintahku. Begitu kami sampai di depan pintu. Aku menggenggam engsel pintu, membuat gerakan seakan ingin membuka pintu tanpa ragu. Layaknya tamu penting yang sudah ditunggu-tunggu. Keraguan pria itu memudar, dia terlihat lega. Mengira kalau ia sudah membuat keputusan yang tepat. Pergi kembali ke meja resepsionis meninggalkan kami berlima di depan pintu. “Kalian benar-benar jago berpura-pura,” komentar Ishak. Aku pura-pura tak dengar. Langsung membuka pintu setelah menyuruh mereka berdiri di titik mati agar tak terlihat oleh Kenan ketika kami membuka pintu dengan lebar. Tentunya Glafira sudah lebih dulu berjalan di depan, memasang ekspresi wajah menyebalkan ingin cari gara-gara. “Kebetulan sekali, kita bertemu di sini,” ucapnya omong kosong. Tak ada kata kebetulan di ruang pribadi seperti ini. Yang ada dia menerobos masuk dengan paksa. Aku yakin itulah yang dipikirkan oleh Daran Ester ketika ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah Glafira. Ian berdiri tiba-tiba melotot menatap Glafira seperti melihat setan. Ia masih mengira Glafira disekap, sebab tak ada laporan dari orang-orang yang ia sewa. Dan Glafira segera sadar reaksi itu, sikap yang mengonfirmasi bahwa memang dialah dalangnya. Tawa jahat penuh niat busuk merekah di wajah cantik Glafira, semakin menarik ketika ia semakin mendekati Ian. “Kaget? Kalau kau penasaran dengan orang yang kausewa untuk menculikku, aku beri tahu. Mereka sudah kubunuh semua,” bohong Glafira. “Jangan bicara omong kosong! Siapa yang menyewa orang untuk menculikmu! Ian tak akan melakukannya! Kaulah yang tak tahu sopan santun, menerobos masuk seenaknya!” Kenan berteriak, membela Ian tanpa tahu apa-apa. Pemandangan yang menarik, aku ingin tertawa melihat betapa naifnya dia. “Kenapa kau tak tanyakan langsung pada orangmu?” Glafira membalas dengan sombong, mengeluarkan surat dan telepon genggam yang sudah sangat Ian kenali. Benda yang Ian berikan kepada komplotan itu ketika menyewa mereka. “Aku tidak perlu bertanya! Kau hanya menuduh tanpa bukti!” Ian sudah memucat, tangannya sedikit gemetar saat Kenan dengan sangat percaya diri berdiri di depannya untuk membela. “Ini buktiku. Lihat sendiri.” Apalagi saat surat dan telepon genggam itu, Glafira pakai untuk menampar pipi Kenan. Aku bisa melihatnya, mata Daran yang terus bergerak mengawasi situasi. Pak tua itu tak berbicara sama sekali, ia mengamati dengan seksama. Menilai, mana di antara Kenan dan Glafira yang lebih menguntungkan dijadikan sekutu. Saat ini dia masih ragu, masih berada di pihak Kenan. Namun, dengan beberapa jaminan lagi, aku yakin Daran akan segera berubah pikiran. Glafira dan Kenan masih saling beradu mulut. Glafira tertawa-tawa dan Kenan marah-marah menanggapi ejekan Glafira. Ian sendiri hanya berdiri mematung, ia ingin menghentikan Kenan, tapi karena tahu jelas dia memang bersalah, laki-laki itu tak berani bergerak dari posisinya. Aku memanfaatkan saat itu untuk mendekati Daran, mengambil tempat duduk kosong di samping kepala keluarga Ester itu. “Aku mohon maaf atas ketidaksopanan Glafira. Dia hanya kesal, bisnis kami diusik dan ia diculik langsung oleh orang-orang Amber,” kataku. Berbasa-basi sedikit. Daran mengalihkan pandangannya padaku. Setelah tahu identitas asliku, ia lebih menaruh respek padaku. “Oh... soal itu. Tuan Amber baru saja membicarakannya, bisnis minuman kalian diserobot oleh orang luar, benar?” tanyanya mengonfirmasi. Sepertinya Kenan menceritakan masalah bisnis kami pada Daran untuk membuat pria ini berpikir kalau kekuasaan Ghea sudah digoyahkan, tanpa tahu kalau masalah itu sudah kami atasi. “Ya, tapi itu kabar lama. Kabar barunya, kami sudah merebut kembali seluruh pasar kami. Kami bahkan sudah menemukan dalang yang menyabotase dan mendatangkan orang-orang itu kemari. Ghea selalu cepat bertindak untuk menyelesaikan segalanya Tuan Ester, kau tidak perlu cemas akan kami kecewakan.” Aku memberi tahu kabar terbaru dengan tenang, tapi itu sudah cukup untuk mengubah ekspresi wajah Daran. Dan juga membuat Kenan berhenti berteriak, mengalihkan fokusnya padaku. Glafira langsung tanggap, saatnya membawa masuk Ishak dan saudara-saudaranya. “Itu benar. Coba tebak Kenan, kira-kira siapa yang kubawa bersama denganku?” ujar Glafira memprovokasi. Menjentikkan jarinya memberi kode, memanggil ketiga orang itu untuk masuk. “Kami sudah mendengar semuanya dari Nona Ghea, Tuan Lago dan Tuan Amber. Bisa jelaskan pada kami, apa maksud semua ini? Perkataan kalian sangat tak sesuai fakta, membuat kami melanggar wilayah orang lain. Selain itu, kalian juga membunuh dan menculik orang-orang yang menjadi saingan kami. Apa kalian berniat menjadikan kami kambing hitam?” Ishak langsung mengucapkan naskah yang telah dia hafal baik-baik, mengikuti instruksi Glafira dengan sempurna. Kenan kehilangan kata-katanya. Dia termundur beberapa langkah hingga betisnya menabrak sofa, membuatnya terduduk dengan kasar di atas sofa itu. Baik Kenan dan Ian, terlihat begitu kaget hingga tak bisa berpikir dengan jernih. Mereka tak membalas sama sekali, menoleh pada Daran dengan wajah panik yang Glafira harapkan. Aku yakin kalau mereka tak akan menyangka betapa cepatnya kami bertindak, menyelesaikan semua masalah yang mereka datangkan pada kami. Datang menemuinya dengan bukti dan saksi, bahkan ketika mereka yakin sudah sangat berhati-hati. Sekarang sudah jelas. Daran kecewa pada Kenan, tak ada gunanya mendukung sekutu yang menyedihkan seperti itu. “Aku rasa, sudah saatnya aku pergi. Mulai dari sini, selesaikan sendiri urusanmu dengan orang-orang Ghea, Tuan Amber. Baru setelah itu, kita bicara soal investasi,” ucap Daran sebelum ia pergi meninggalkan kami dengan muka dongkol. “Selanjutnya kuserahkan padamu, Hail.” Glafira langsung senang, lari mengejar Daran. Ia meninggalkan aku begitu saja, tanpa penjelasan harus aku apakan mereka dan yang pasti dia tahunya semua harus beres. Terserah. Aku akan lakukan apa mauku saja, yang penting hasilnya. Cara tak penting, Glafira toh tidak peduli.  “Tugas kalian sudah selesai, pergilah. Orang-orang kami akan membantu kalian pergi dengan membawa semua sisa stok kalian. Bawa ini untuk melewati perbatasan, kalian sudah berada di bawah perlindungan Ghea. Urusan yang tersisa dengan mereka, akan menjadi tanggung jawabku. Namun ingat ini Ishak, jangan pernah lagi kembali ke kota ini.” Aku langsung memulangkan mereka, memberi surat dengan stempel dan tanda tangan Glafira di dalamnya. Surat yang sudah Glafira siapkan sebelumnya, bayaran atas bantuan kecil ini. Ishak dan saudara-saudaranya terlihat bingung. Heran kenapa mereka hanya perlu berbicara berapa kalimat lalu dibebaskan, tapi mereka tak bodoh. Mereka tahu harus segera menerima surat itu dan pergi sebelum kami berubah pikiran. Mumpung Glafira sedang baik hati akhir-akhir ini. Mereka mungkin berpikir akan digunakan untuk menyerang Kenan dan Ian, tapi sebenarnya guna mereka hanya untuk menjatuhkan nilai Kenan di mata Daran. Daran sudah pulang, jadi tak ada alasan menahan mereka di sini lagi. Sekarang yang tersisa di ruangan ini hanya kami bertiga. Aku, Kenan dan Ian. Dengan segala tuntutan yang harus segera dipenuhi. *** Kenan POV Semuanya kacau! Perempuan sialan itu! Entah apa yang dia lakukan hingga bisa membongkar semuanya dengan cepat. Datang seperti topan, pergi begitu saja setelah puas menertawakanku. Dia meninggalkan laki-laki itu di sini, orang yang dengan lancangnya memakai nama adikku. Aku benci mengakuinya, aku benar-benar tak berdaya. Membiarkan Tuan Daran pergi dengan keadaan marah. Padahal sedikit lagi aku bisa membuatnya percaya kalau dia sudah memilih dengan tepat. Sekarang aku ragu apa yang akan terjadi dengan perjanjian kami. Aku hanya punya perjanjian ini sebagai jaminan kalau Fanette tak akan meninggalkanku. Aku tidak percaya melihat diriku sendiri. Tanganku gemetaran, tak siap menerima kejutan tak terduga. Ian yang selalu bisa lebih berpikiran jernih pun, sama kacaunya denganku. Duduk dengan kepala tertunduk, berwajah pucat menyesali tindakan sebelumnya yang ia pilih. Musuh kami masih di sini. Duduk dengan sombong menatap keterpurukan kami. Mata dingin itu seolah tengah menghakimiku, menatap penuh arti padaku tanpa memedulikan keberadaan Ian sama sekali. “Sudah tenang?” ejeknya. Menyeringai dengan sombong, menaikan kedua kakinya ke atas meja menghinaku. Sama seperti kelakuan majikannya yang sialan itu. Aku memukul meja itu dengan kedua kepalan tanganku, melotot dengan tajam padanya. Mengancam dengan berani, tak akan lagi terpengaruh hanya karena dia berpura-pura menjadi sosok orang yang sudah kubunuh. “Akan kubalas ini. Kalian ingin perang? Baiklah, akan kuladeni!” tantangku. Sudah tak ada lagi menahan diri. Perang dingin sudah usai, saatnya memulai perang yang panas. Mereka yang memulai, menyulut api  berkali-kali. Memancing kesabaranku hingga batasnya dan aku akan membuat mereka menyesal sudah begitu sombong. Dia tertawa lepas, masih tak melepaskan tatapan kami. “Ya, itulah yang kami mau dan kau yang mendeklarasikannya. Amber yang memulai dan Glafira hanya menerima tantangan.” Kata-katanya tak bisa kupahami, kesenangannya juga tak berdasar. Bersemangat ketika berada di situasi yang harusnya sama sulitnya denganku. Berkata ayo mulai perang antar famili mungkin terdengar sangat mudah diucapkan, tapi untuk berani mengucapnya bukanlah keputusan yang bisa dengan mudah diambil. Famili bukan hanya tentang kepala keluarga saja. Ada para tetua, kepala setiap tim dan anggota yang harus dipikirkan sebelum menentukan ayo lakukan atau tidak. Pertanggungjawaban atas perkataan itulah yang akan dituntun saat keadaan menjadi buruk. Jika familiku bisa menang, maka tak ada masalah. Namun jika Ghea yang menang, maka akulah yang akan disalahkan nantinya. Pria ini juga di posisi yang sama denganku. Pertaruhan kami 50-50. Orang yang memulai yang akan menerima hukumannya, tapi kenapa dia tak terlihat tertekan sama sekali? “Kenapa? Masih tak paham maksudku? Aku bilang, kau sudah masuk jebakan kami. Mulai dari sini, Glafira bisa menyerang markasmu secara terang-terangan dan para tetua tak akan bisa menyalahkannya. Karena dia tak memulai, kau yang memulai. Sudah paham?” Aku mengerti sekarang. Jadi ini maksudnya, alasan kenapa mereka main tarik-ulur tak jelas belakangan ini. Menyerangku, lalu berpura-pura tak bersalah. Membuatku marah seakan ingin menyerang, tapi malah menahan diri. Ternyata ini tujuan mereka. Menyelamatkan posisi sendiri di familinya untuk jaga-jaga bila jatuh ke keadaan terburuk. “b******k kalian!” makiku. Menarik keluar sebuah pistol dari saku di balik jasku. Benda yang selalu kubawa ke mana-mana untuk jaga-jaga. Jika sudah begini, maka aku akan membunuhnya. Melenyapkan Hail sekali lagi, baik itu asli atau yang palsu. Hail tidak bergeming saat aku mengarahkan ujung pistolku di depan wajahnya. Dia malah dengan tenang bertanya, “Apa kali ini kau akan menembakku lagi?” Tanganku kehilangan tenaganya seketika, pistolku jatuh ke bawah kakiku. Aku tercengang, mendengar kalimat yang seperti diucapkan oleh Hail, adikku sendiri. Sama seperti malam itu, dia bertanya apakah aku benar-benar akan menembaknya atau tidak saat aku mengarahkan senjata padanya. Sampai sesaat lalu, aku masih yakin dia adalah yang palsu. Namun, saat ini aku agak ragu. Apa yang terjadi di hutan itu hanya diketahui oleh kami berdua. Percakapan kecil sebelum kematiannya masih sangat jelas kuingat. Itu bukanlah kenangan yang pernah kuceritakan pada siapa pun, bahkan kepada mendiang Ibu pun tidak. Hanya ada dua kemungkinan kenapa ia mengucapkannya, karena dia memang Hail yang asli, atau ini hanyalah sebuah kebetulan. Tidak. Hanya ada satu kemungkinan. Dia berkata ‘menembakku lagi’ di akhir pertanyaannya, menandakan kalau dia bukan hanya tahu percakapan itu, tetapi dia juga tahu pasti akulah yang menembak Hail di malam itu. “Kenapa diam? Apa kau seperti melihat hantu?” ejek Hail. Ada nada canda dalam kalimatnya, tapi bagiku ini sama sekali tak lucu. “Jangan bilang kalau kau, Hail yang sa-sama...?” Pertanyaanku tertahan, terbata-bata seperti orang bodoh. Hanya agar dia bisa memasang wajah puas yang memuakkan. Seakan sadar akan kekacauan hatiku, Ian mengumpulkan kembali pikirannya. Dia segera mengambil kembali pistolku yang terjatuh. Mengarahkannya pada Hail. “Sadarlah Kenan! Dia bukan adikmu! Jangan biarkan kata-katanya menipumu. Biarkan aku yang membunuhnya untukmu, agar kau berhenti terus takut pada masa lalu,” teriak Ian. Begitu keras hingga cukup untuk membuat otakku kembali bekerja. “Hahaha... kalian sungguh konyol. Berkata sombong dengan suara keras, setelah dari tadi bergumam sendiri seperti orang putus asa.” Hail palsu itu tertawa dengan puas, seolah mengakui tuduhan Ian yang mengatakan kalau semua kata-katanya adalah hasil rekayasa yang disiapkan oleh Glafira. “Mati kau!” Ian berteriak lagi, terdengar bersama dengan suara tembakan yang di arahkan pada Hail. Namun pria itu bisa mengelak, dia dengan cepat berpindah ke belakang sofa dan menjadikan sofa itu sebagai tameng. Selanjutnya, dia membalas tembakan Ian. Membuat Ian segera menarikku untuk bersembunyi di balik sofa yang lain. Aku tidak tahu berapa banyak senjata yang dia bawa, tapi aku tahu kalau pistolku yang berada di tangan Ian hanya tersisa enam peluru saja. Ian sendiri tak membawa senjata, menjadikan pistol itu satu-satunya senjata untuk bertahan. Tak lama dia menembak kami lagi, dan dibalas oleh Ian dengan ceroboh. Mereka saling tembak, mendekat dengan hati-hati hingga peluru kedua pria itu habis. Mereka membuang pistol yang sudah kosong. Menggunakan tinjunya untuk saling beradu ketika jarak di antara sudah dekat. Aku hanya bisa mengintip di balik sofa, melihat bagaimana gesitnya gerakan mereka. Saling menyerang dan bertahan dengan imbang. Ian sudah sabuk hitam karate. Keahliannya dalam bela diri tak perlu lagi kuragukan, tapi melihat bagaimana sulitnya Ian menghadapinya. Aku yakin kalau setidaknya dia juga sudah memiliki sabuk hitam. Ini buruk. Aku tidak bisa bela diri, mendekati mereka hanya akan mengganggu Ian. Akan tetapi menunggu seperti ini juga menyebalkan, melihat bagaimana sahabatku berusaha sendirian demi melindungiku. Aku benci diriku sendiri yang lemah, hanya bisa bergantung pada orang lain, lagi dan lagi. Beberapa menit telah berlalu, suara pecahan kaca dari meja terdengar bersama dengan suara erangan kesakitan Ian. Temanku itu terlempar ke atas meja oleh tendangan Hail, punggungnya membentur meja itu hingga kacanya pecah berkeping-keping. Dan pecahan kacanya menusuk punggung Ian, membuatnya terbaring tak berdaya di hadapan musuh yang terlihat baik-baik saja. Hanya sedikit lembam di wajah dan lengan oleh pukulan Ian sebelumnya. “Lari Kenan!” teriak Ian. Memintaku untuk melarikan diri sendiri, tapi aku tak bisa bergerak dari posisiku. Kakiku tak mau menuruti perintah otakku, hanya diam melihatnya meninggalkan Ian dan berjalan mendekatiku dengan pelan. “Aku bilang lari, tunggu apalagi!” teriak Ian lagi, menangkap kaki Hail dengan tangan kanannya, menahan pria itu agar tak bisa mengejarku. Aku memukul kakiku, memaksanya untuk bergerak. Berdiri dengan susah payah untuk melarikan diri dari sana. Di saat itulah, Hail menendang kepala Ian tanpa ragu. Hingga Ian terhempas, membentur lantai dengan tubuh yang sudah berlumuran darah akibat luka dari pecahan kaca. “Jadi kau akan lari dan meninggalkan orang yang setia padamu untuk mati di sini? Kau masih belum berubah, Kenan. Hanya mementingkan diri sendiri,” ucap Hail. Lagi-lagi seolah dia tahu segalanya, seakan dia sedang menghakimiku atas apa yang kauperbuat sepuluh tahun lalu. Kalimat-kalimat yang terlontar darinya selalu saja membuat tubuhku bereaksi, berhenti bergerak karena rasa takut. “Yah, tapi sayang sekali. Glafira tak ingin aku membunuhmu, dan dia juga tak menyuruhku untuk membunuh tangan kananmu. Jadi akan kuampuni kalian kali ini dan tunggulah pembalasan yang sesungguhnya sambil ketakutan di kastilmu, Kenan,” sambung Hail. Kemudian dia pergi begitu saja, meninggalkan kami tanpa menoleh sama sekali. Entah pembalasan apa yang dia maksudkan. Sebab yang kutahu, tak ada pembalasan yang lebih buruk daripada membunuh kami, tapi yang dia lakukan malah membiarkan kami hidup. Aku tertawa, entah merasa lega atau menertawakan nasib. Terduduk di depan pintu, melihat Ian yang tak berdaya tanpa melakukan apa pun. Di saat yang sama, aku menangis dengan kemarahan yang tak terbendung. Memukul lantai dengan begitu keras hingga melukai tanganku sendiri. Aku marah pada diriku sendiri. Aku yang begitu lemah hingga harus menerima belas kasihan dari musuhku. Aku tidak akan memaafkannya! Dia akan menyesal membiarkan kami hidup. Aku akan membalasnya. Lain kali akulah yang akan tertawa dan bertanya padanya apakah dia menyesal telah membiarkanku hidup hari ini. Lain kali aku tidak akan selemah ini lagi, aku akan menjadi kuat. menertawakannya setelah menghancurkannya bersama dengan w***********g itu. Dia bukan Hail adikku. Si palsu itu, boneka buatan Glafira itu... tak akan kubiarkan mengacaukan pikiranku lagi. Aku bersumpah akan membuatnya menangis karena sudah berani memakai nama dan berpura-pura menjadi Hail.                                          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN