BAGIAN TUJUH BELAS

3347 Kata
Hail POV Aku pergi dengan Ishak, pria yang sempat jadi tahanan itu. Kami pergi menemui saudara-saudaranya di sebuah rumah kontrakan yang mereka sewa. Ketika pintu terbuka, kedatangan kami disambut oleh dua laki-laki asing yang tidak kukenali wajahnya. Ternyata Ishak tidak berbohong, saudara-saudaranya memang tidak bersama dengan sekumpulan orang yang menculik Glafira. Mereka terlihat bingung, memeluk Ishak yang akhirnya pulang setelah hilang beberapa hari. Kelegaan dan suka cita terlihat jelas di wajah mereka. Sama sekali bukan ekspresi yang dimiliki orang orang-orang berhati busuk di sekelilingku. Mungkin mereka memang hanya ditipu dan dimanfaatkan oleh Kenan. Aku bisa memastikan semua itu setelah melihat reaksi mereka ketika Ishak menjelaskan situasi yang sebenarnya. Mereka kaget bukan main, bahkan tak tahu apa yang terjadi di gudang mereka sendiri. Kakak laki-lakinya berkata padaku kalau gudang itu pinjaman dari Ian, jadi bukan mereka saja yang memiliki kuncinya. Mereka juga mengaku kalau aktivitas di gudang hanya sampai sore hari saja, setelah itu mereka pulang meninggalkannya dalam keadaan terkunci tanpa penjaga karena merasa tak perlu dijaga. “Kalau begitu apa yang harus kami lakukan?” tanya yang paling tua. Dia jelas terlihat putus asa, pusing memikirkan apa yang terjadi selanjutnya. Mereka tak mungkin bisa mengangkut sisa stok mereka dan kembali ke kampung halaman. Tidak tanpa memberi tahu kepada Ian, tapi di sisi lain mereka juga takut untuk bertemu dengan Ian lagi. Setelah mendengar tentang pembunuhan dan penculikan yang mereka dalangi. Pulang dengan tangan kosong juga tak mungkin. Mereka akan merugi, belum lagi tak yakin apakah baik Ian atau aku akan membiarkan mereka lari begitu saja. Pada akhirnya mereka tak punya pilihan selain menyerahkan semua keputusan padaku. “Berpura-puralah tak tahu apa-apa dan ketika aku membutuhkanmu, aku akan datang memintamu menemui seseorang. Mulai dari sini, serahkan semuanya padaku,” kataku. Kuputuskan untuk menyimpan ketiga bersaudara itu dulu. Untuk digunakan nanti ketika aku sudah berhasil merebut Glafira kembali. Aku tidak akan melibatkan mereka pada operasi penyeranganku, membawa orang yang tak bisa menggunakan senjata sama saja dengan membawa sebuah beban. Setelah semuanya jelas, aku pergi meninggalkan mereka. Pergi mencari keberadaan tempat mereka menyekap Glafira. Siapa lagi yang tahu segalanya selain Yasa? Hanya dia yang punya mata dan telinga di mana-mana. Sesampai di tempat Yasa, dia langsung tersenyum padaku. Seolah sudah tahu kalau aku akan mendatanginya. Kurasa itu artinya aku bisa mendapatkan informasi yang kuinginkan langsung, tanpa harus memesan lebih dulu. “Berapa yang kau mau?” tanyaku langsung, tak usah basa-basi. Kami sama-sama sudah paham apa yang lawan bicara kami inginkan. “Satu peti vodka, kualitas terbaik. Isi 48 botol, bukan peti yang kecil.” Oh, bukan uang atau emas rupanya. Entah untuk apa benda itu, tapi siapa yang peduli. Mengambil sedikit persediaan untuk menukar nyawa Glafira bukan masalah. “Tuliskan alamat dan waktu yang kauinginkan untuk pengantaran.” Aku langsung setuju, duduk di depan Yasa sambil menunggunya menulis. “Kau memang busuk, kau memintaku mengirim ke rumah musuhku!” Namun ketika aku membaca alamatnya, aku marah padanya. Yasa menuliskan alamat Kenan, dengan tanggal ulang tahun Almeta. Dengan kata lain, dia ingin aku mengirimkan minumanku untuk pesta ulang tahun ayah berhati keji itu. “Haha... aku tidak peduli soal permusuhan kalian. Almeta memesan agar aku mencarikannya vodka terbaik, tapi semua agen yang mengambil dari kalian ada tak berani menjual untuk Amber. Butuh ongkos besar dan waktu banyak untuk membeli ke luar kota. Kualitasnya pun tak terjamin, maka dari itu jauh lebih menguntungkan kalau mengambil dari mu. Selain aku bisa mencukai semua ongkos dan harga beli minuman itu, aku juga tak perlu repot-repot mencari kereta kuda untuk mengirimnya.” Yasa memang licik, jadi harga informasiku ingin dia tukar dengan uang pesanan Almeta. “Baiklah, akan kukirimkan,” tapi aku tidak menjamin isinya. Mungkin sebaiknya kucampurkan racun saja di dalamnya. “Jangan coba-coba mengurangi kualitas atau memasukkan racun ke dalamnya, Hail. Reputasiku dipertaruhkan di sini.” Huh, niatku ketahuan rupanya. Kadang kemampuan membaca isi pikiran lawan bicara itu agak menakutkan untukku, tapi sekali lagi kukatakan. Kemampuannya itulah, yang membuatku masih betah mencarinya meskipun tahu betapa liciknya orang ini. “Oke, oke aku mengerti. Aku tidak peduli dengan reputasimu, tapi aku peduli dengan keselamatan Glafira. Berikan lokasi dan kondisinya, juga berapa lawanku. Senjata yang mereka punya dan jalur pelarian di tempat itu. Keakuratan informasimu menentukan seberapa besar jaminan kualitas vodka yang kusediakan,” balasku. Sedikit mengancam. “Memangnya kau pikir siapa aku? Infoku selalu terpercaya.” Yasa memberikan sebuah amplop padaku, data yang sudah ia siapkan sebelumnya. Aku mengambilnya, langsung pergi tanpa membalas perkataannya sama sekali. Urusanku sudah beres dengan Yasa. Selanjutnya aku akan pergi ke gudang senjata, mempersenjataiku untuk menolong Glafira. Hanya aku sendiri, tanpa bantuan dari orang-orang yang tidak bisa kupercayai. *** Glafira POV Setelah banyaknya orang yang kujadikan tahanan, untuk pertama kalinya aku berada di posisi yang sama. Sesekali punya pengalaman seperti ini tak buruk. Apalagi kalau penjahatnya orang yang mudah dipermainkan seperti mereka. Orang-orang itu mengikatku ke tiang sebuah gudang yang sudah lama ditinggalkan. Tempat ini begitu berdebu, agak gelap dan kumuh. Samar-samar terdengar suara burung camar dan desiran ombak. Dari lubang di dinding, masuk rembesan cahaya matahari. Membantuku untuk mengetahui selama apa aku telah disekap di sini. Dua hari, waktu yang lumayan lama bagi mereka untuk menentukan apa yang mereka mau dengan menangkapku. “Hei, kalau kalian ingin uang, cepatlah hubungi anak buahku. Laki-laki yang datang bersama denganku saat itu. Dia akan membayar berapa pun yang kalian mau,” panggilku. Mengolok salah satu dari mereka yang paling dekat denganku. Aku tahu uang bukanlah tujuannya, tapi pura-pura bodoh juga merupakan bagian dari taktik. “Diam kau jalang!” teriak bos mereka, yang paling besar dan tua. Aku tertawa saja, dimaki tak akan membuatku gentar atau sakit hati. “Kenapa? Kalian tak mau uang? Lalu apa? menunggu perintah bos kalian?” ejekku lagi. “Aku bosnya,” balas pria itu. “Ups, maaf. Maksudku orang yang menyewa kalian.” Aku tertawa dengan santai, menatap langsung ke matanya. Aku ingin dia mengerti kalau aku sudah tahu keadaan mereka, hanya dengan mendengar beberapa kali percakapan mereka di telepon. Orang yang menyewa mereka ingin mereka membunuhku langsung di tempat, tapi dia tak mengatakannya dengan jelas. Sehingga pemimpin kelompok ini salah paham, mengira kalau menculikku akan lebih menguntungkan mereka. Akibatnya, orang itu tak mau membayar. Karena dengan membayar, maka sama saja mengaku sebagai dalang penculikanku. Aku tahu kalau pelakunya bukan Kenan, dia tak punya nyali untuk menyewa orang-orang tak jelas seperti ini. Kemungkinan besar mereka adalah orang sewaan Ian tanpa sepengetahuan Kenan. Itulah sebabnya mengapa saat keadaan menjadi kacau, Ian ingin lepas tangan. Bahkan bila aku bukan kepala keluarga yang disukai, aku tetaplah kepala keluarga Ghea yang sah. Menculik atau membunuhku akan membuat para tertua marah. Entah mereka akan meminta ganti rugi besar pada keluarga Amber, atau malah menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menyerang mereka. Yang jelas, pada akhirnya ini hanya soal mempertahankan harga diri famili. Kalau secara pribadi, aku yakin para tua bangka itu malah senang aku diculik. Mereka mungkin akan pura-pura datang menolongku, tapi yang dilakukan saat sampai adalah membunuhku dengan tangan mereka sendiri. Lalu membunuh semua saksi dan menyalahkannya pada dalang penculikan. Punya famili yang serakah memang sedikit menyedihkan, tapi aku bukan orang lemah yang akan terpuruk dengan hal seperti itu. Aku akan bertarung dengan nasib, berjudi dengan kemenangan dan berusaha keras untuk mewujudkannya. “Ian Lago, benarkan?” tanyaku ulang. Sang pemimpin mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar, dia berhati-hati saat sadar kalau ia sudah salah dengan meremehkanku. Menelepon rekannya di depanku, dengan lengah membuatku mendengarkan semua percakapan mereka. “Dia tak akan pernah membayarmu, Ian takut akan kemarahan atasannya. Ian tak ingin bertanggung jawab, dia tidak ingin menjadi orang yang memulai pertikaian antara Amber dan Ghea secara nyata. Itu karena kalian melakukan kesalahan fatal. Harusnya kalian membunuhku di tempat, membuat seolah-olah aku mati karena kesalahanku sendiri. Menyerang ke tempat orang asing tanpa persiapan, tapi kalian malah membawaku ke sini.” Aku sengaja berbicara banyak, memberi tahu kebenarannya. Bukan karena aku peduli dengan nasib mereka, aku hanya sedang bosan dan ingin mempermainkan orang.  “Tutup mulutmu jalang!” Pria itu menamparku, menendang tiang di atas kepalaku untuk mengancam. Dia tidak ingin percaya kata-kataku, tak ingin mengerti kalau mereka telah terjebak dalam masalah yang besar. “Ayolah, kau tahu apa yang kukatakan adalah benar. Ian sudah membuang kalian, tapi aku bisa memungut kalian. Aku bisa membayar dua kali uang yang dia janjikan dan membiarkan kalian keluar dari Jade Vine dengan selamat. Yang perlu kalian lakukan hanyalah membebaskanku dan memberiku bukti keterlibatan Ian dengan bisnis minuman keras itu.” Tentu saja aku tidak menyerah. mulut jalangku ini tahu caranya mencuci otak. Aku tidak peduli mau dimaki atau dipukuli berapa kali pun, selama aku bisa keluar dari sini sebagai pemenang. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh perempuan sombong seperti mu?” Pria lainnya bertanya. Seseorang yang lebih kurus dari si pemimpin, berpenampilan seperti orang cerdas. Dia tak pernah bersuara sama sekali selama dua hari ini, tapi tak ada seorang pun anggota dari kelompok ini yang berani menegurnya. Bahkan sang pemimpin terlihat menaruh hormat padanya, diam saja membiarkan dia yang berbicara denganku. Mungkin dia seorang yang percaya, atau otak dari kelompok ini. “Aku satu dari tiga penguasa Jade Vine. Memangnya kau masih perlu bertanya? Atau jangan-jangan kalian menerima pekerjaan ini tanpa tahu siapa aku dan kondisi di kota ini? Setelah mencari masalah dengan salah satu penguasa, kau tak bisa keluar dari kota ini hidup-hidup tanpa ampunan penguasa itu atau pertolongan dari penguasa lainnya.” Kuputuskan untuk mengubah target. Bernegosiasi memang lebih baik dengan sesama pengguna otak daripada otot. Pria itu terlihat kaget, dia benar-benar terkejut. Bukti nyata kalau tebakan itu benar, Ian tak memberi mereka informasi jelas. Menyewa orang-orang dari luar memang keputusan yang tepat. Mereka tak tahu apa-apa, bisa digunakan dan dibuang kapan saja. “Kakak! Gawat! Aku perempuan yang kita culik itu pemimpin famili Ghea.” Pas sekali waktunya. Anak buah yang disuruh mencari informasi di luar sudah kembali, dia membawa sebuah koran bisnis lokal yang memampangkan wajahku. Aku lalu tersenyum culas. “Lihat, itu buktinya. Masih tidak mau bernegosiasi denganku? Famili kami terkenal dengan kekejiannya. Hanya soal waktu sampai mereka datang menghabisi kalian semua.” Berbohong dengan penuh keyakinan seolah-olah anggota familiku benar-benar akan datang untuk menolong. Pria yang terlihat cerdas dan pemimpinnya saling tatap. Mereka berdua pergi keluar untuk berdiskusi. Apa mereka masih akan setia menunggu bayaran dari Ian, atau menerima tawaranku. Sementara aku duduk dengan santai dalam ikatan, senyum-senyum licik mengganggu anak buah yang disuruh menjagaku. *** Hail POV Aku telah sampai ke sebuah pelabuhan kecil yang sudah lama tak beroperasi. Tempat di mana Glafira disekap. Sesuai dengan info dari Yasa, mereka memakai sebuah tempat penyimpanan di ujung sebelah timur. Aku lalu menerusi jalan itu dengan hati-hati, menyelip di antara kotak-kotak besar yang terbengkalai di sekitar sini. Sesampai di dekat tempat penyimpanan itu, aku melihat dua orang berwajah sama dengan yang melawan kami malam itu. Mereka berbicara dengan serius di depan pintu masuk. Agak jauh ke arah dermaga, ada lima orang lainnya. Sedangkan satu-satunya pintu masuk dijaga oleh satu orang. Total delapan orang dari empat belas yang diberi tahu oleh Yasa. Itu artinya ada empat orang di dalam sana. Bukan jumlah yang terlalu banyak untuk kuhadapi sendirian. Setelah memastikan jumlah mereka, aku menyelinap dari arah samping. Mengintip dari jendela ventilasi di atas bangunan mirip gudang itu. Ventilasi itu hanya berukuran 80x50 sentimeter, tapi sudah cukup menjadi pintu masuk untukku. Glafira terlihat baik-baik saja. Terikat di salah satu tiang, tertawa menyebalkan sambil membuat empat orang yang menjaganya marah. Kebiasaan yang buruk. Sedang diculik pun, masih ingat untuk membuat orang kesal. Entah terlalu yakin tak akan dibunuh, atau tidak takut mati. Aku menggunakan kesempatan saat dua orang dari mereka berteriak dengan keras memaki Glafira, masuk dengan cepat dan segera berlari ke arah pintu. Kukunci pintunya dari dalam, melemparkan bom asap saat mereka menyadari kedatanganku. “Penyusup! Tangkap dia!” teriak salah satunya. Aku pergi ke arah sebaliknya dari suara itu terdengar, sedikit memutar pergi ke arah Glafira terikat. Namun sesampai di depan Glafira, seseorang sudah menungguku. Ia menodongkan pistolnya di depan wajahku, sama sekali tak terpancing dengan asap itu. “Turunkan senapanmu,” perintahnya. Saat itu mataku bertemu dengan mata Glafira, bosku itu memerintah, “Turuti dia, Hail.” Akan tetapi aku tahu jelas bukan itu maksud Glafira, sebab arah matanya segera ia alihkan ke ikatan di tangannya. Memberi kode minta dilepaskan, meskipun sudah tahu aku tidak berada dalam posisi yang bisa bergerak dengan bebas. Itu artinya Glafira ingin aku melawan, jadi aku menuruti perintah lewat tatapan daripada perintah kebohongan lewat mulut. “Oke,” kataku. Pura-pura patuh, tapi saat senapanku sudah hampir menyentuh tanah. Aku menerjang tubuhnya, menabraknya dengan tubuhku sendiri. Secara diam-diam, melemparkan sebuah pisau ke arah tangan Glafira terikat. “b******n busuk! Mati kau!” Pria itu marah, memukul kepalaku dengan pistolnya. Sementara dua orang lainnya telah datang untuk membantu. Sedangkan yang satunya berlari ke pintu untuk membukanya, mendengarkan perintah bos mereka yang ada di luar. Aku balas memukul kepalanya dengan membenturkannya dengan kepalaku sendiri. menghantam tangannya yang memegang pistol hingga pistolnya terjatuh. Pistol itu lalu dorong ke arah Glafira, lalu aku sendiri berdiri dan berpindah ke arah sebaliknya. Membuat mereka bertiga berfokus padaku hingga tak sadar kalau Glafira sedang berusaha melepaskan ikatannya. “Lama sekali, Hail,” kata Glafira. Menodongkan pistol yang ia pungut ke arah tiga orang yang sedang mengeroyokku. Mereka berhenti menyerang, menatap dengan kaget melihat tahanannya telah lepas. Aku berjalan ke belakang Glafira, mengambil senapan yang sempat aku tinggalkan tadi. “Apa boleh buat, tahanan kita tak tahu apa-apa. Aku harus mencari Yasa dulu,” jawabku. Di saat itulah, pintunya terbuka. Segerombolan orang yang berada di luar masuk bersama-sama. Mereka terlihat cukup tenang saat melihat kami menawan tiga orang anggota mereka. “Bagaimana? Hanya satu orangku saja kalian sudah kewalahan, apalagi jika anggota famili lain sampai. Masih tak mau bekerja sama?” Glafira bertanya, tapi bukan padaku. Fokusnya terarah pada dua orang yang sempat berbicara serius di luar. Kelihatannya, dia tak butuh-butuh amat dengan pertolonganku. Aku merasa sangat bodoh, cemas seperti orang t***l dan bosku ini malah tertawa-tawa mengintimidasi orang yang menculiknya. “Turunkan senjata kalian. Kami setuju untuk bekerja sama,” ucap pria yang kurus. “Baiklah. Pegang ini, Hail.” Glafira lalu memberikan pistolnya padaku. Dia sendiri berjalan dengan santai mendekati mereka hanya untuk jabat tangan. Aku sampai tercengang, bingung dengan situasi ini dan saat aku tersadar, kami semua sudah duduk minum kopi bersama. Mereka memberiku kotak obat untuk mengobati pelipisku yang berdarah, bersikap tak terlalu baik dan tak terlalu buruk. Secara tak terduga, memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi di gudang malam itu. Salah satu dari orang yang datang dengan kami telah membocorkan informasi, menjual nyawa kami pada Ian. Orang dibalik semua masalah ini. “Jadi memang Slader,” ucapku. Tak terlalu kaget mengetahui siapa pengkhianatnya. Hanya sedikit bingung, apa yang menjadi alasan dari perbuatannya itu. “Setahuku orang bernama Slader itu berhubungan baik dengan Ian. Mereka pernah menemui kami bersama-sama,” jelas pria kurus itu. Aku lalu melirik perubahan ekspresi wajah Glafira. Ingin tahu bagaimana perasaannya, saat tahu agen terdekatnya yang malah mengkhianatinya. Seseorang yang besar bersamanya seperti seorang saudara. Namun aku tidak bisa menemukan apa-apa, tatapan mata Glafira tak berubah sama sekali. Begitu tenang dan tertutup, gelap seperti malam tanpa bintang. “Seperti janjiku. Aku akan membayar kalian dan memberi kalian akses untuk keluar dari kota ini. Ikut denganku, aku akan menyiapkan uang kalian.” Glafira malah terlihat santai, mengajak mereka ke rumah kami untuk diberi uang, lalu memberi sebuah surat dengan stempel dan tanda tangannya. Ditambah dengan meminjamkan dua buah kereta kuda agar mereka bisa melewati perbatasan yang dijaga oleh famili kami dengan selamat. Yang mereka tinggalkan hanya sebuah telepon genggam yang dipakai berhubungan dengan Ian, sebuah surat yang berisikan instruksi dan beberapa informasi yang berguna sebagai ganti uang dan kebebasan mereka. Aku tak terlalu tahu apakah Glafira baik atau jahat, membebaskan orang yang menculiknya dengan enteng. Namun di lain waktu, membunuh tanpa ampun orang yang membuatnya marah. Lalu entah apa yang akan dia lakukan pada Slader setelah ini. *** Glafira POV Aku telah selesai membersihkan diri setelah membereskan semua hal merepotkan itu. Duduk dengan santai menyantap makan makam yang disiapkan oleh Hail sambil mencocokkan cerita kami. Menganalisa keadaan, memastikan siapa musuh dan siapa kawan. Lalu memikirkan langkah selanjutnya yang akan kuambil. Hail memang sangat berguna, dia tahu untuk tidak membawa-bawa famili untuk masalah ini. Membereskan beberapa hal dan membantuku menemukan pion baru saat aku sibuk menghapus rasa bosan ketika diculik. “Kau jadi anak baik ternyata,” pujiku. Menyandarkan kepalaku ke tangan di atas meja, menatapnya menggoda. Dengan tangan yang lain, meremas tangan Hail yang duduk di depanku. Wajah Hail berubah serius, matanya menatap tajam pada tanganku yang sedang memainkan jari manisnya. Dia kelihatan tak senang, menarik tangannya dengan cepat seperti gadis remaja polos yang diganggu oleh laki-laki jahat. “Jangan lakukan itu,” marah Hail tak jelas. “Jangan lakukan apa? katakan dengan jelas, kalau tidak maka aku tidak akan mengerti maksudmu.” Aku jadi ingin mengganggunya, membuatnya makin kesal hingga dia tak berani lagi menolakku. Aku sedang memujinya, memberinya hadiah dan dia malah bersikap seperti aku melecehkannya. “Menggodaku seperti kau tertarik padaku, padahal kau hanya ingin main-main. Kau itu perempuan. Sadar akan posisimu, perempuan tak seharusnya bersikap begitu agresif.” Hail malah menanggapi dengan serius. Dia berdiri tiba-tiba, memukul meja dengan jengkel. Berbicara seperti merendahkanku, membawa-bawa perbedaan gender yang ku benci. Aku ikut berdiri, memukul meja lebih keras. “Coba katakan lagi! berani sekali kau bicara soal perbedaan padaku! Perempuan dan laki-laki itu sama bagiku! Aku akan menggoda saat aku mau, membuangmu saat aku ingin.” Aku tidak ingin berbicara begini, tapi lagi-lagi Hail membuatku lepas kendali, mengucapkan apa yang akan kusesali nantinya. “Tingkahmu seperti perempuan murahan,” balas Hail dingin. Aku tahu itu tidak berasal dari dalam hatinya. Dia hanya sakit hati karena ucapanku. Ingin membalasku, tapi tetap saja aku merasa terluka karena kata-kata itu. “Diam!” Aku menamparnya, pergi ke kamarku dengan marah. Aku benci mengakuinya, tapi memang perkataan Hail bisa menggangguku lebih dari yang kuduga. Itu karena Hail spesial, karena aku telah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku hanya tidak tahu kapan harus mengakuinya, tak bisa menemukan cara untuk mengungkapkan bahwa aku mencintainya. Hail tak akan percaya kalau aku mengatakannya dengan kasual, dia hanya akan berpikir aku bercanda saja. Dia bahkan pernah bertanya kapan aku mau mencari suami, padahal sudah jelas-jelas kukatakan kalau aku sudah memilikinya. Hanya aku yang melihat Hail dengan cara romantis, menginginkannya lebih dari apa pun dan Hail tak pernah melirikku. Dia hanya melihatku sebagai majikannya, orang yang akan dia ikuti dan layani. Bukan orang yang bisa menjadi pendamping dan berdiri sejajar dengannya. Aku tahu semua ini salahku. Masalah pola pikir dan kepribadian Hail itu terbentuk dari tuntutanku selama bertahun-tahun. Akulah yang membangun jarak, menarik batas jelas akan hubungan kami. Dan sekarang, ketika aku ingin menghancurkan batas itu... semua sudah di luar kendaliku. “Glafira, jangan marah. Buka pintunya,” panggil Hail dari luar. Dia mengetuk pintu dengan pelan, membujukku seperti aku anak kecil yang sedang merajuk. Selalu saja begitu, mengalah meskipun dia tak merasa salah. “Aku yang salah. Maafkan aku, ya?” Meminta maaf meskipun itu tak perlu. “Kalau kau marah ya, marah saja. Jangan malah berbalik membujukku!” Aku kesal, tak mau membuka pintu. Berteriak dari dalam, berharap dia sadar maksudku dan meninggalkan aku sendirian. Hail lalu membuka pintu kamarku, tidak lagi menunggu izin. Dia menghampiriku yang sedang bersandar di beranda. Seenaknya memelukku dari belakang sesuka hatinya, membujuk dengan bisikan. “Aku tidak marah padamu, yang tadi hanya bercanda. Jangan marah ya.” Pembohong! Itu adalah isi hatinya, tapi malah dia sangkal hanya demi menjaga perasaanku. Aku benci sisi Hail yang seperti ini, tapi aku juga mudah diluluhkan oleh kebohongannya. “Kalau begitu cium aku,” ucapku. Sama sekali tak menoleh, menatap ke arah bawah tanpa berani mengangkat kepalaku. Hail tidak menjawab. Dia mengangkat daguku, memutar wajahku ke samping dan menciumku dengan intens. Mempererat pelukannya seolah-olah aku berharga untuknya. Aku membalik tubuhku, melingkarkan kedua tanganku ke lehernya saat ia menurunkan kedua tangannya ke pinggangku. Lagi-lagi aku kalah oleh bujukan Hail. Membiarkan wajahku bersemu seperti orang bodoh, menyerahkan tubuhku pada sentuhannya. Memanas oleh gairah dari tiap belaian dan bisikan kata-kata penuh kebohongan.                                                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN