Hail POV
Setelah menginterogasi penguntit kami, aku menemukan fakta bahwa ia adalah salah satu dari tiga orang yang memasukkan minuman merek baru itu. Pria itu mengaku kalau dia bekerja sama dengan dua orang saudaranya untuk menjual barang mereka ke wilayah kami.
“Dia bilang seseorang memberi tahu kepada mereka kalau bisnis minuman keras di kota ini masih sangat kurang persaingan. Hampir tak ada barang impor yang masuk. Jadi mereka datang ke sini dengan harapan kalau usaha mereka berhasil dengan mudah. Pria itu juga bilang kalau investornya menginformasikan pada mereka, bahwa mereka tak perlu cemas adanya saingan,” terangku ke Glafira, memberi laporan.
Glafira memukul samsak dengan lebih keras. Dia sedang latihan tinju saat ini, kerja sambil olahraga adalah hal yang biasa baginya. “Dan mereka percaya saja semua kata manis Kenan!? Lalu buat apa dia datang mengintip kemari?” Glafira bertanya balik, meskipun fokusnya masih berada pada karung berisikan pasir itu. Sedangkan aku berada di belakangnya, menerangkan sambil menjaga jarak.
“Itu dia. Setelah mengikuti semua saran dari investornya itu, mereka baru menemukan fakta mengenai kekuasaanmu. Karena cemas, salah satu dari mereka datang mencari info tentangmu. Setelah mereka melihat banyaknya jumlah minuman yang sudah beredar di sini,” sambungku.
Glafira berbalik tiba-tiba, dia mengangkat kaki. Menyerangku tanpa aba-aba. Entah sedang kesal, atau hanya ingin aku menemaninya latihan. Aku terpaksa mundur ke belakang untuk menghindari tendangan itu. Maju lagi saat Glafira mengubah posisi menjadi bertahan.
“Huh. Kalau begitu kita lihat apa yang akan dilakukan saudaranya untuk menolong,” komentar Glafira. Dia mengubah posisi kakinya lagi, seakan-akan ingin memulai serangan kedua. Terpaksa aku melepaskan jas dan rompiku. Menggulung lengan kemejaku dan bersiap untuk melawan balik.
“Gimana dengan gudang mereka? tempat anak buah kita menjemput barang mereka sebelumnya. Aku sudah mengecek dengan orang gudang, mereka langsung mengaku saat aku bilang komplotan mereka sudah tewas.” Glafira berpura-pura ingin memukul, tapi saat aku menaikan kedua tanganku di depan muka untuk bertahan. Dia malah mengangkat kakinya 90°, berhenti sebentar saat aku mengelak ke samping dan kembali menurunkannya. Dia mengganti kaki kanannya dengan kaki kiri, memutar tubuhnya untuk melakukan tendangan rendah. Serangan itu tepat mengenai pinggangku, membuatku jatuh dengan keras.
“Aku sudah bilang untuk melihat mata lawanmu saat bertarung, jangan melihat seluruh gerakan tubuhnya. Kau hanya akan dikelabui oleh gerakan tipuan.” Glafira marah lagi, dia bersedekap di depanku. Menatap ke bawah dengan tatapan merendahkan. Bukannya memberi jawaban atas pertanyaanku, dia malah mengomentari cara bertarung ku.
“Kau itu, diajak bicara serius malah jadi melatihku,” aku membalas dengan ketus. Dia yang minta laporan, tapi dia juga yang memotong hanya karena kesalahan kecil yang aku perbuat.
“i***t. Kalau tak becus menahan serangan, kau hanya akan mati saat p*********n. Malam ini juga, kita pergi bakar gudang mereka.” Glafira tak mau kalah, memaksa mencampuradukkan semua pembicaraan.
Aku bangkit berdiri, menepuk badanku untuk membersihkan debu yang menempel. Kuusap kepalanya, sengaja hanya untuk membuat Glafira kesal. “Serahkan saja pada anak buahmu, Ma’am. Seorang bos tak perlu turun tangan sendiri untuk setiap serangan pada musuhmu,” ucapku. Menekankan panggilan ma’am itu hanya karena ekspresi wajahnya berubah menjadi menarik.
“Diam! Berhenti mengolokku dengan panggilan itu! Hanya bos tak berguna yang kerjanya duduk santai dan memerintah. Aku bos yang hebat, punya otak dan kekuatan.” Glafira menepis tanganku kasar, lagi-lagi memaksakan pendapatnya.
“Aku tahu. Aku akan mengikutimu apa pun keputusanmu.” Aku tertawa. Bahkan ketika dia tak mau, aku tetap akan mengikutinya. Bertarung di sampingnya tanpa ragu.
Setelah itu Glafira pergi mandi dan bersiap. Sedangkan aku mengumpulkan senjata yang akan kami bawa dan memberi makan kuda yang akan kami pakai. Serangan kejutan malam hari itu harus memakai kuda. Suara mesin mobil terlalu ribut dan lampunya hanya akan membuat posisi kami ketahuan. Setelah selesai dengan itu, aku menghubungi satu tim pembersih famili. Hanya tim pembunuh kecil yang terdiri dari tiga orang, itu sudah cukup untuk menyerang gudang biasa.
Saat matahari terbenam, tim itu datang. Gordon, Slader, dan Andy adalah pembunuh terbaik yang Glafira miliki. Sedikit dari sekian banyaknya anggota famili yang paling sering dia panggil. Sampai memanggil mereka segala, entah apa yang dipikirkan oleh Glafira. Padahal tim lain dengan tingkat lebih rendah saja sudah cukup, tak perlu sampai memanggil yang terkuat.
“Sudah kumpul semua?” tanya Glafira. Dia baru saja keluar dari kamarnya. Berpenampilan serba hitam dengan rambut yang terikat ke atas. Di pinggangnya melilit sebuah sabuk untuk menyimpan senjata.
“Sudah. Jadi kau mau pergi kapan?” Kuberikan dua buah pistol dan dua buah pedang pendek padanya. Glafira mengambilnya, menyelipkan ke ikat pinggang itu. Setelahnya, dia menyodorkan tangannya padaku.
“Minta setengah lusin granat. Kita berangkat satu jam lagi.” Aku tidak tahu untuk apa granat itu, tapi aku tetap pergi ke ruang penyimpanan untuk mengambilkannya. Setelah aku kembali, barulah kami membahas mengenai taktik serang kami.
***
Kami tiba di gudang itu sesuai waktu yang diperhitungkan. Bagian depannya tertutup rapat, tak ada penjaga sama sekali. Terlalu ceroboh untuk tempat penyimpanan sebesar itu. Kira-kira seluas 30 meter persegi. Kami kemudian turun dari kuda, mengikat kuda-kuda kami di pepohonan depan gudang. Setelah itu baru kami berjalan langsung ke depan pintu. Tak ada gunanya mengendap-endap saat tak ada yang perlu dilawan.
Hanya sebuah kamera keamanan yang terpasang tepat di atas pintu. Saat menyadari keberadaannya, aku langsung menembaknya sebelum kami tersorot. Kami begitu lengah, masuk begitu saja setelah merusak gembok yang terpasang. Itulah sebabnya, ketika pintu itu akhirnya terbuka. Kami tak sempat menghindari serangan dadakan dari arah dalam gudang. Beberapa tembakan mengenai aku yang berdiri paling depan. Sedangkan yang lainnya segera mengelak ke samping, bagian tembok di samping pintu.
“Hail, kau baik-baik saja?” tanya Gordon.
“Aku baik-baik saja,” jawabku. Beruntung mereka hanya menembak ke arah badan, tempat yang terlindungi oleh rompi anti peluru. Aku selalu memakainya kapan pun sejak dulu, tak pernah sehari pun terlewatkan. Sebab keselamatan adalah nomor satu, saat aku tahu jelas sebanyak apa musuh yang mengelilingi majikanku. Begitu-begitu juga Glafira cukup berhati-hati. Dia selalu ingat untuk memakai rompi itu juga, tapi hanya saat dia akan pergi untuk menyerang seseorang. Kalau untuk hari-hari biasanya tidak. Harusnya dia mencontoh kebiasaanku.
Tembakan terus saja berdatangan dari arah dalam, sama sekali tak memberi kesempatan kami untuk masuk. Kehilangan kesabarannya, Glafira melemparkan sebuah granat ke dalam. Bersama dengan suara ledakan itu, suara tembakan pun berhenti. Namun, sebagai gantinya beberapa pria berlari ke arah luar. Mereka membawa pipa besi, memukul ke arah kami.
Refleks Gordon dan Andy berlari ke hutan, sedangkan Slader melawan. Aku dan Glafira juga melawan, tapi itu tak bertahan lama. Ketika beberapa orang lain keluar, kami terpaksa harus mundur. “Kita mundur! Lari ke kuda kalian,” perintah Glafira seraya melemparkan sebuah granat lagi.
Kali ini granat yang ia lemparkan berhasil dipantulkan, dipukul menggunakan pipa besi hingga terpantul ke arah Gordon dan Andy. Kedua rekan kami terluka parah, seluruh badan mereka berbau gosong dan berlumuran darah. Kami yang telah berhasil menyusul mereka, menghindar segera. Tahu kalau nyawa mereka sudah tidak bisa diselamatkan.
Sesampai di pepohonan, kuda-kuda kami telah menghilang. Tali pengikat kami terpotong dan lawan kami sudah semakin mendekat. Kami hanya bertiga dan jumlah mereka ada sekitar belasan orang. “Apa yang harus kita lakukan, Nona Ghea?” tanya Slader.
Glafira terlihat terpukul. Baru kali ini kami mengalami situasi seburuk ini, tapi itu tak berlangsung lama. Semangat berperangnya yang menang dalam adu batin Glafira. “Kita berpisah, lakukan apa pun untuk menyelamatkan diri sendiri,” ucapnya. Pada akhirnya Glafira memutuskan untuk mementing nyawa daripada kemenangan, dia melemparkan granat ke tiga untuk menghentikan langkah lawan. Di saat itulah, kami segera menyebar. Berlari ke arah yang berbeda. Memasuki hutan yang lebat dan mencoba bersembunyi di antara rindangnya pepohonan dan gelapnya malam tanpa bulan.
Suara-suara dari pengejar kami terdengar sangat jelas di telingaku. Mereka juga memutuskan untuk mengejar. Membagi kelompok mereka dengan tidak imbang. Ketika aku mendengar kalau mengirim delapan orang hanya untuk mengejar Glafira seorang dan hanya tiga orang untuk mengejar aku dan Slader. Aku memutuskan untuk berlari ke arah Glafira.
Mereka bukan hanya sudah mengetahui rencana p*********n dadakan kami, mereka bahkan tahu siapa pemimpin kami. Sebenarnya bagaimana cara kerja Kenan untuk mendapatkan semua informasi ini? Jangan bilang ada pengkhianat lagi dalam tim ini. Gordon dan Andy sudah tewas, jadi yang tersisa hanya Slader. Namun, aku juga tak bisa seenaknya menuduhnya, bisa jadi ada yang mencuri dengan pembicaraan kami di rumah Glafira. Slader besar bersama denganku dan Glafira, almarhum ayah Glafira membawanya pada kami untuk dilatih bersama enam tahun yang lalu. Kami sudah seperti sahabat baik, tak ada alasan baginya untuk berkhianat. Kurasa aku yang terlalu banyak berpikir. Sebaiknya aku fokus untuk selamat dulu saat ini.
Ketiga orang yang mengejarku telah berhasil menemukanku, mereka bertiga muncul dari arah kanan. Menyorot wajahku menggunakan senter. Masing-masing dari mereka membawa pipa besi, hanya satu saja yang membawa sebuah pistol.
“Ketemu, kali kau tak akan bisa lari lagi,” ujar yang di tengah.
Aku lalu menghadap ke arah mereka, melepas kunci pistolku. Menatap tajam pada mereka, aku serius kali ini. Lawanku hanya amatiran, jadi ini tidak akan sulit. “Sebaiknya kita selesai ini dengan cepat, aku tidak punya waktu untuk bermain dengan kalian.” Aku harus segera pergi menolong Glafira. Bukan saatnya berkelahi dengan amatiran yang bahkan tidak tahu cara menggenggam sebuah pistol dengan baik.
Mereka tertawa mendengar perkataanku. Meremehkan lawan dan memberi celah untukku. Detik berikutnya aku menghampiri mereka, menembak salah satu di antaranya. Tembakan itu sempat dielakkan, karena teman yang berada di sampingnya bisa membaca arah tembakanku.
Namun untuk tembakan selanjutnya, aku berhasil mengenai kepala salah satunya. Hanya dua yang tersisa, satu menembak dari jauh dan satunya lagi nekat menyerangku dari depan. Tanpa ragu ia mengayunkan pipanya, memutar dengan kuat seperti memukul bola bisbol. Mengarah pada kepalaku, tapi aku sudah lebih dulu menunduk, mengelaki pukulan itu. Di saat yang sama, menarik tangannya yang memegang besi. Mencengkeram dengan kuat siku tangannya, menariknya mendekat padaku untuk kujadikan sebagai tameng atas tembakan rekannya.
“Huaaa!” Punggungnya tertembak. Cipratkan darah mengenai wajahku, bersama dengan teriakan kesakitannya. Sedangkan temannya yang menembak ketakutan, tangannya gemetaran hampir menjatuhkan senjatanya. Itulah reaksi amatiran, seharusnya mereka tak main senjata saat tak punya keberanian untuk merenggut nyawa seseorang. Kubantu dia, menembak kepala temannya yang sedang sekarat. Mengakhiri penderitaannya dengan cepat. Lalu selanjutnya aku menembak si penembak tanpa ragu.
Kuusap wajahku dengan lengan bajuku, membersihkan bercak darah yang mengganggu di dekat mata. Kemudian, aku berlari ke arah selatan. Tempat di mana terdengar suara tembakan beruntun dan ledakan granat Glafira. Sudah empat yang terpakai, hanya dua granat yang tersisa dan aku yakin peluru pistolnya sudah hampir habis. Aku harus cepat, tak akan kubiarkan mereka membunuhnya.
***
Hail POV
Semakin aku mendekati Glafira, suara tembakan semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya sama sekali tak terdengar apa pun, tanda bahwa peluru mereka semua telah habis. Hanya suara teriakan, benturan dan gesekan benda tajam yang terdengar. Dan ketika akhirnya aku telah sampai, Glafira dan lawan-lawannya sudah tak ada di sana.
Di sekeliling lapangan kosong itu, di penuhi oleh bercak darah, peluru yang sudah kosong dan salah satu pedang yang Glafira bawa. Tak ada satu pun mayat. Mayat Glafira mau pun mayat lawannya. Hal itu membuatku semakin cemas. Dengan tangan gemetaran, aku memungut pedangnya. Mencengkeramnya dengan kuat. Lalu aku mencari jejak mereka dari daun-daun dan ranting yang berada di tanah.
Ketika aku sudah berhasil menemukan jejak kaki mereka dan mengikutinya hingga ke keluar hutan, tepat di tepi jalan raya. Mereka telah pergi mengendarai kereta kuda, dari kejauhan aku bisa melihat beberapa yang duduk di bagian belakang. Orang itu tidak menyadari keberadaanku, tapi aku bisa melihat dengan jelas wajah mereka dan Glafira yang sudah tak sadar diri di sana.
Mereka tak membunuhnya, berarti ada kemungkinan mereka akan meminta tembusan atau penukaran. Situasi mungkin sangat buruk, tapi setidaknya aku tahu mereka tak akan membunuh Glafira untuk sementara waktu.
Kukepalkan tanganku, berjalan ke arah sebaliknya. Ke arah rumah kami, entah butuh berapa lama, tapi aku tetap akan sampai bagaimanapun caranya. Tawanan itu adalah kuncinya, aku harus memastikan tak ada yang merebutnya. Sebab dia adalah jaminan yang berharga saat ini.
Aku baru berjalan beberapa menit, saat suara tapal kuda terdengar dari belakang. Ketika aku menoleh, aku melihat Slader yang menungganginya. Dia sendirian, terlihat baik-baik saja tanpa luka. “Hail, ternyata kau juga selamat. Butuh tumpangan?” tanyanya, terlihat riang. Sepertinya masih belum mengetahui apa pun.
“Bawa aku pulang,” jawabku. Naik ke atas kuda, duduk di belakang Slader dan membiarkan dia yang memandu. Aku bukannya mau menaruh curiga, tapi sebaiknya aku tidak mengatakan apa pun saat ini. Aku akan menyelesaikannya sendiri, tidak boleh sampai famili tahu Glafira diculik. Bukannya menolong, aku yakin mereka malah akan merasa senang.
“Oh, oke. Bagaimana dengan Nona?” Aku diam saja saat Slader bertanya lagi, membuatnya ikut diam selama mengantarkan aku pulang.
***
Aku telah tiba di rumah dan Slader sudah kusuruh pulang. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung pergi ke ruang bawah tanah. Laki-laki itu masih terantai di dalam sel, duduk bersandar pada tembok menatap padaku saat pintu sel itu kubuka.
“Kau bau darah, apa yang baru saja kau lakukan,” komentarnya. Laki-laki ini jadi lebih berani setelah beberapa kali kuinterogasi tanpa membunuhnya. Dia juga terlihat percaya diri, yakin kalau hidupnya masih berguna untukku.
“Lebih baik kau katakan apa yang belum kau katakan padaku sebelumnya. Hari ini aku tidak sebaik kemarin-kemarin, mungkin aku akan membunuhmu hari ini.” Aku langsung mengancam. Berdiri di hadapannya, menatap ke bawah dengan sikap yang dingin.
Dia diam ketika sadar kalau suasana hatiku tak sebaik biasanya. Laki-laki itu tampak berpikir, lalu dia menarik sebuah senyuman puas. “Biar kutebak, saudaraku membalasmu. Iya, kan?” ucapnya kemudian. Seolah sudah tahu akan begini jadinya sejak awal.
“Tutup mulutmu!” bentakku. Menendang dinding di sebelah wajahnya, membuat pria itu terkejut. “Mau buka mulut atau mati? Pilih salah satu.” Aku tidak akan membunuhnya, tapi aku harus bertingkah seolah aku akan melakukannya.
“Oke, oke. Aku akan bicara, tanyakan apa saja.” Syukurlah dia tertipu, langsung mengangkat tangan menyerah. Raut wajahnya tampak takut, kikuk dan gelisah tak bisa membaca isi pikiranku. Orang bodoh pun paham kalau mereka tak boleh bertaruh dengan nyawanya sendiri.
“Apa saja yang Kenan katakan pada kalian, selain persoalan bisnis minuman keras itu?” tanyaku. Mendengar pertanyaanku, pria itu mengerutkan alisnya bingung. “Kenan siapa?” Bertanya dengan ekspresi wajah polos.
“Investormu! Orang yang membantumu dengan informasi dan dana. Dia juga yang memberi kalian senjata, memang siapa lagi.” Entah memang dia tak tahu atau Kenan menggunakan nama samaran, tapi karena aku sudah menegaskan kalau yang kumaksud adalah investornya. Harusnya pria ini paham sekarang.
“Oh! Teman Ian itu? Jadi namanya Kenan. Hem, tapi kau salah. Mereka hanya berinvestasi dan memberi saran marketing. Mereka tidak memberi kami senjata dan orang-orangku tidak tahu cara menggunakan barang seperti itu.” Dasar pembohong.
Kutampar wajahnya, menendang perutnya. “Jangan bohong. Kalau bukan, lalu siapa yang menembakiku beberapa jam lalu? Rekan-rekanku tewas!” bentakku setelahnya. Memang mereka tewas karena granat Glafira, tapi rekan pria ini yang memukul granat itu ke arah mereka. Jadi intinya Gordon dan Andy tewas karena saudara-saudaranya.
“Aku tidak berbohong! Kami hanya berbinis biasa saja. Saudaraku sama sekali bukan orang yang suka dengan kekerasan, apalagi membunuh orang. Kau pasti salah.” Pria itu masih bersikeras, memaksa kalau mereka bukanlah sekelompok orang yang bisa berbuat jahat demi uang. Omong kosong, sok suci sekali mereka. Uang kotor tetaplah uang kotor, tak peduli mau diakui atau tidak.
“Aku melihat sendiri mereka keluar dari gudangmu. Mereka menyerang, memukul dan membunuh rekan-rekanku. Coba katakan, kenapa mereka mau melindungi gudangmu kalau mereka bukan anak buahmu? Jangan membodohiku. Jawab saja pertanyaanku.”
“Aku mengatakan yang sebenarnya. Kami hanya bertiga, hanya aku, adik dan kakakku saja yang menjalankan bisnis ini. Kami sama sekali tak punya anak buah. Bahkan untuk menawarkan barang dan mengangkut pesanan saja, kami menyewa orang asing,” jelasnya panjang lebar. Masih kukuh kalau orang-orang yang melawan kami bukan orangnya.
“Orang yang kau bayar untuk menjual dan mengangkut barangmu adalah karyawanku. Apa kau tahu? Mereka mati karena menerima uangmu.” Kalau begitu aku mengubah cara bicaraku. Menyalahkannya atas apa yang tidak dia ketahui.
Pria itu memucat, dia tampak makin bingung. “Tapi Ian bilang kalau orang-orang itu kenalannya. Aku tidak tahu kalau mereka anak buahmu dan kau tak bisa menyalahkanku karena seseorang membunuh mereka.” Dia tak mudah dibodohi rupanya, malah berbalik menyalahkan Ian.
“Aku yang membunuh mereka,” kataku. Wajahnya makin memucat, kali ini ia melotot padaku. Antara percaya dan tak percaya dengan apa yang dia dengar. “Mereka mengkhianati Glafira, jadi aku membunuh mereka. Kau yang salah karena percaya saja dengan tipu daya Ian dan kau yang bertanggung jawab atas kematian mereka, karena kau yang membuat mereka berkhianat. Sebaiknya kau bekerja sama denganku sekarang. Sebelum aku membuat kau membayar dengan cara yang sama,” sambungku.
Setelah itu tak ada lagi perlawanan, ia mengatakan semuanya. Kebanyakan sama seperti apa yang dia katakan saat interogasi pertama. Pria itu hanya mengenal Ian, dan yang tahu Kenan sebagai teman Ian yang datang bersama dengan pria itu. Sisanya hanya omong kosong dan pembicaraan manis tentang kesuksesan saja.
Yang menjelaskan lebih detail hanyalah jumlah mereka. Benar-benar hanya tiga orang saja, termasuk dirinya. Kalau begitu, artinya orang-orang yang menyerang kami bukanlah anak buah mereka. Entah orang bayaran atau anak buah Kenan.
Aku sudah memotong jalur penjualannya, memastikan kalau tidak ada yang mau membeli darinya lagi. Harusnya saat ini saudara-saudara pria ini sudah tak bisa berbuat apa pun dan mereka pastinya sedang cemas mencari keberadaannya. Namun bukan berarti aku sudah menang, Glafira ada di tangan mereka. Itulah masalahnya. Aku tak bisa tenang sebelum menyelamatkannya.
“Hei, katakan di mana aku bisa menemukan saudara-saudaramu. Aku akan menukarmu dengan sesuatu milikku yang mereka curi.” Selanjutnya aku mencoba bernegosiasi, “Saudaraku tak akan mencuri apa pun!” tapi dia malah tak mau mendengarkan. Jadi aku menendangnya lagi, mencengkeram rambutnya. Membenturkan kepalanya ke tembok.
“Selanjutnya akan lebih keras. Aku tidak sedang beromong kosong. Kau mati bersama dengan Glafira atau hidup bersama dengannya. Pilih salah satu. Percayalah, Kenan dan Ian tak akan peduli kau mati di sini. Apa pun kata saudaramu. Sekalipun mereka memohon, orang-orang Amber tetap akan mengorbankanmu.” Tak ada lagi cara halus, aku bersungguh-sungguh untuk hal ini.
“Orang Amber!? Ian orang Amber? Jadi jangan-jangan kau orang Ghea!?” Ia akhirnya sadar sedang terlibat dengan apa. Itu karena kabar permusuhan Amber dan Ghea sudah tersebar bahkan ke luar kota, hanya saja untuk detailnya. Serta siapa saja anggotanya, masih begitu asing bagi orang luar. Aku tidak heran kalau pria ini tak begitu tahu siapa saja yang memonopoli tiap sektor bisnis yang ada di sini.
“Kau baru tahu setelah berani macam-macam dengan pasar kami? Sebaiknya kau cukup pintar untuk paham kalau kalian akan mati jika terus terlibat di tengah-tengah perselisihan kami.” Aku membuatnya terdengar lebih buruk, menakutinya hingga dia tak bisa lagi menemukan harapan. Bukan hanya dirinya, tapi saudara-saudaranya juga sudah jadi tahanan Kenan. Hanya saja, tidak secara langsung dan tidak mereka sadari.
“Kalau begitu aku akan memihakmu, kumohon... sebagai gantinya. Biarkan kami hidup, kami akan segera pergi dari kota ini.” Setelah paham benar, negosiasi kami mulai berjalan dengan lancar. Aku memutuskan untuk menerima permohonannya, melepaskannya. Membiarkannya keluar dari penjara. Mengobati lukanya dan meminjamkan pakaianku untuknya.
“Sebaiknya kau bisa meyakinkan saudara-saudaramu, kalau tidak. Aku mungkin akan membiarkan kalian dibunuh oleh orang-orang Amber,” ucapku, menegaskan kembali.
“Mereka akan percaya padaku. Aku janji kami akan membantu sebisa kami, tapi kau juga harus memegang janjimu untuk melepaskan kami nanti. Kami tidak tahu apa-apa, tak sengaja mengganggu bisnis Ghea bukan karena kami mau.”
“Tenang saja. Selama Glafira selamat, tapi kalau dia mati semua perjanjian ini batal.” Aku bukan orang yang tak bisa memegang janjiku. Setelah menyetujui sebuah perjanjian, sebisa mungkin akan kutepati demi menjaga nama baik Ghea. Namun jika Glafira tak selamat, aku tidak punya alasan untuk menjaga apa pun lagi.
“Mana bisa begitu! itu bukan yang kita sepakati tadi!” Pria itu protes. Tak terima mendengar syarat tambahanku, tapi tidak peduli.
“Semua itu berkaitan. Glafira adalah kepala keluarga Ghea. Saat dia tewas, kau pikir akan ada pengampunan? Jangan t***l. Aku punya kekuasaan karena dukungan Glafira, tanpa dirinya aku hanya orang asing yang bisa disingkirkan oleh famili kapan saja. Apa kau pikir aku masih bisa menolongmu setelah itu?”
Bagiku Glafira adalah segalanya. Dia harus hidup atau semuanya harus mati bersama dengannya. Aku tidak suka harus mengalah, tak peduli dengan semua apa yang kukatakan.
Konflik dalam famili bukan sesuatu yang bisa kucampuri dan tidak ada seorang pun dalam famili yang menyukaiku. Aku yakin kalau mereka berharap aku lenyap bersama dengan Glafira. Itulah kenapa, aku harus mengembalikan situasi menjadi terkendali kembali sebelum kabar menghilangnya Glafira tersebar.
“Kalau begitu, begitu wanita itu selamat. Kau harus menepati janjimu.” Dia mengerti, akhirnya paham situasi kami setelah penjelasan panjang lebar itu.