BAGIAN LIMA BELAS
Hail POV
Ketika aku memeriksa laporan penjualan minuman keras kami, aku menemukan angkat yang turun drastis dari bulan sebelumnya. Glafira langsung mengamuk dan menyuruhku pergi memeriksa ke pabrik. Apa ada masalah pada kualitas atau jumlah yang diproduksi.
“Tak ada masalah apa pun, hanya saja distributor kita cuma mengambil setengah jadi jumlah biasanya.” Jawaban dari bagian produksi mengatakan kalau semua berjalan seperti biasanya. Aku bahkan memeriksa sendiri mesin dan kerja karyawan kami dan hasilnya memang seperti yang dia katakan.
“Jadi kapan jadwal pengiriman berikutnya?” tanyaku sekali lagi. Kalau begitu aku harus bertemu dengan orang dari bagian pengiriman. Mengecek apa ada yang salah saat mendistribusikan atau memang sales kami yang kerjanya tak becus.
“Masih seminggu lagi. Gimana kalau langsung pergi saja ke sana?” Huh!? Jadi aku tidak punya pilihan selain pergi ke sana langsung? Ke sana-sini hanya untuk mencari sebab itu sungguh menyebalkan, Glafira memang selalu tahu kapan harus melemparkan pekerjaan merepotkan padaku.
“Baiklah. Hubungi mereka dan katakan aku akan ke sana sekarang,” perintahku. Lalu menaiki kudaku, pergi ke kantor distributor kami di tengah kota.
Sesampai di sana, aku disambut oleh direktur yang ditunjuk oleh famili. Pria itu terlihat lega saat aku yang datang, bukan Glafira langsung. “Ini bukan seperti aku ingin mengurangi pesanan, tapi masalahnya gudang kami sudah penuh,” jelasnya.
Kubaca laporan penjualan mereka, sampai meminta data stok mereka. Semua memang apa adanya, tak ada tanda-tanda dimanipulasi sama sekali. Jumlah sales juga tak berkurang, masih empat orang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal itu membuatku mengenyit, tak bisa menemukan masalah dengan distributor.
“Kau mengganti sales lama dengan orang tak berguna atau apa?” tanyaku curiga.
Sang direktur berkeringat dingin, mengusap keningnya dengan sapu tangan. Dia terlihat takut-takut, selalu saja menunduk tanpa berani menatap mataku langsung. Akibat dari hasil trauma yang ditinggalkan oleh Glafira ketika ia datang untuk melakukan pengecekan rutin. Aku bahkan hanya berdiri di sampingnya sepanjang waktu dan orang-orang tetap berpikir aku sama kejamnya dengan majikanku itu.
“Tidak. Kami sama sekali tidak mengganti karyawan selama dua tahun ini. Hanya saja bar-bar langganan kami hanya memesan lebih sedikit dari biasanya. Mereka bilang kalau pembeli yang datang mencari minuman lain,” jelasnya panjang lebar.
“Omong kosong! Semua jenis minuman keras yang beredar diproduksi oleh keluarga Ghea, barang impor pun kami yang memasukkannya. Kau saja yang tak memesan jenis yang lebih populer, iya, kan?”
“Bukan itu. Mana berani aku sembarangan memesan, lagi pula stok di gudang sangat lengkap. Semua jenis ada, sungguh... kau bisa mengeceknya sendiri.”
Kuperiksa laporan stok sekali lagi, di sana memang tertulis kalau semua jenis dan Merek tersedia. Tak ada masalah dengan kualitas, jumlah stok atau cara kerja distributor. Lalu kenapa jumlah pesanan menurun drastis?
“Apa polisi mulai melakukan razia?” tanyaku lagi. Meskipun rasanya masalah kami tak mungkin hanya itu saja. Jika pun ada razia, biasanya sudah ada info yang menyebar dan mereka hanya akan menyita beberapa jenis saja yang kadar alkoholnya terlalu tinggi, tapi dari laporan penjualan ini malah tertulis sebaiknya. Minuman dengan kadar alkohol rendahlah yang penjualannya menurun drastis.
“Tak ada yang seperti itu, tapi menurut sales-sales ada merek baru yang lebih populer. Aku tidak menanggapi mereka dengan serius, soalnya aku tahu kalau hanya keluarga Ghea yang memproduksi alkohol di kota ini.” Itu benar, tapi aku juga tak bisa mengesampingkan isu seperti itu. Tak ada asap tanpa api, aku harus mengeceknya kembali.
“Buat promosi dan suruh salesmu menjual setidaknya 70% omzet dari biasanya. Jika tak bisa kau akan diganti. Sementara ini aku akan ke pasar dan mengeceknya sendiri,” perintahku. Sedikit semena-mena, tapi itulah yang akan Glafira katakan jika dia ada di sini saat ini.
Aku pergi begitu saja tanpa mendengarkan segala permohonan dan alasannya. Glafira tak butuh anak buah tak berguna. Jika hanya karena dapat sedikit masalah lalu tak sanggup bangkit, maka orang itu tak dibutuhkan dalam famili Ghea.
Setelahnya aku pulang ke rumah, melaporkan semua hasil pemeriksaanku pada Glafira. Wanita itu sudah pasti mengamuk lagi. Dia bahkan menendang sebuah kursi dengan beringas. “Lalu kau berani pulang sebelum memastikan sendiri? Pergi ke bar-bar itu! Periksa apa yang mereka pajang di etalase!” teriaknya padaku.
Aku menyerap kopiku, menatap ke jalan dengan tenang. Saking biasanya mendengarnya berteriak, telingaku sudah kebal. “Ini masih sore, mana ada bar yang sudah buka,” jawabku.
Glafira duduk dengan kasar di atas meja. Refleks aku mengangkat wadah penyimpanan krim dan gula yang terletak di sana, meletakkannya di kursi yang kosong. Soalnya kalau sampai tumpah mengenai celananya, dia pasti makin marah nanti. “Jangan kasar-kasar, sopan sedikit kenapa?” komentarku.
“Diam! Aku akan ikut denganmu nanti malam,” balasnya dengan bentakan. Seenaknya merebut kopiku dan meminumnya. Matanya menatap dengan tajam ke arah jalan, sadar kalau dari tadi mataku sibuk mengikuti gerakan penguntit yang mengawasi kami.
“Oke, tapi bagaimana dengannya? Kau ingin aku menangkapnya?” tanyaku. Ingin tahu apa yang Glafira mau pada pengintip itu.
“Yasa? Biarkan saja. Sudah biasa dia muncul sana-sini, mengintip seperti penguntit,” balas Glafira. Kelihatannya dia mengira kalau itu ulah Yasa seperti biasanya, datang cari masalah tanpa rasa takut.
“Tapi itu bukan Yasa. Aku sempat melihat wajahnya tadi, bukan orang yang pernah kutemui,” balasku.
Seketika itu, Glafira berdiri tiba-tiba. Dia melemparkan cangkir kopiku ke lantai bawah, pecah di atas permukaan tanah. Kasar sekali. “Bilang dari tadi! Sekarang pergi dan tangkap dia!” perintah Glafira kemudian.
Aku geleng-geleng kepala, tapi tetap pergi ke bawah. Turun dari tangga dengan langkah pelan, keluar sambil membawa tempat sampah dan selang air untuk membersihkan pecahan cangkir itu. Namun, ketika sudah sampai di luar, aku berlari tiba-tiba. Mengagetkan pengintip itu, mengejarnya dengan cepat hingga dia tak sempat kabur.
Saat sudah berjarak satu meter, aku melompat ke arahnya. Mendarat tepat di atas punggungnya hingga dia jatuh tengkurap di jalan. Saat dia berniat untuk bangkit, aku menekan tengkuknya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kiriku memiting tangan kirinya, menarik ke belakang dengan kuat.
“Kalau kau masih melawan, aku akan mematahkan tanganmu. Lalu jari-jarimu dan terakhir kakimu tanpa membiarkanmu mati dengan mudah. Pilih yang mana?” tanyaku dengan nada bicara lembut. Aku bahkan tersenyum saat dia menoleh ke belakang untuk melihatku, tapi dia malah menatapku dengan ngeri. Lemas seketika tanpa ada niat untuk melawan.
“Ya ampun, aku sedih kalau dilihat seperti orang jahat. Aku tidak sekejam Glafira tahu,” protesku. Menariknya berdiri untuk membawanya masuk ke dalam rumah.
“Diam kau! Beraninya menjelekkanku seperti itu!” Glafira rupanya sudah menunggu di jendela yang terbuka, dia marah padaku karena candaan tadi. Aku senyum saja membalasnya dan dia hanya mendengus dan jalan ke dalam dengan cepat. Menyuruhku membawa tahanan kami ke penjara bawah tanah tanpa mengucapkan satu kata pun.
***
Malam harinya, kami pergi ke pusat hiburan malam. Menaiki kuda berdua setelah Glafira muak menginterogasi orang yang tak mau buka mulut. Kami akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya terkunci sendirian di sana, jadi kami bisa pergi memeriksa bar-bar besar.
Sudah bisa diduga reaksi mereka, terlihat jauh lebih takut akan kunjungan Glafira daripada kedatangan polisi yang ingin razia. Tiap kami melangkah, orang-orang secara alami memberi jalan. Apalagi ketika ekspresi muka wanita satu ini terlihat kecut seperti sekarang. Takutnya dia mulai membantai tanpa pandang bulu. Padahal Glafira tidaklah sekejam itu, dia tak membunuh tanpa alasan. Dia hanya mengincar orang yang menantang atau mengkhianatinya saja, tapi orang-orang sudah terlanjur berpikiran buruk tentangnya.
Kami duduk di kursi depan meja bar, membuat orang-orang yang duduk di sana sebelumnya pergi sendiri tanpa diminta. Pemilik bar sudah datang tergopoh-gopoh, berdiri di samping bartendernya untuk berjaga-jaga.
“Berikan minuman terbaik yang kalian punya,” kata Glafira dingin.
Tak butuh satu menit, segelas rum sudah tersedia di depannya. Gerakan tangan bartender itu memang luar biasa cepat. Tahu kalau tamunya bukan orang yang boleh dibuat menunggu. Hanya saja, rum yang dia tuangkan berasal dari botol yang tak kukenali. Herannya mereka masih berani menyajikannya pada Glafira.
Glafira hanya melirik sekilas dari botol itu. Lalu dia menyerap rumnya dengan perlahan, meletakkan kembali gelasnya di atas meja setelah satu sisipan. “Aku tidak kenal rasa ini, ke mana rum yang biasanya?” tanya Glafira, terdengar horor bagi sang pemilik.
“I-itu... merek yang biasanya kurang laku, jadi aku menggantinya dengan merek baru,” jelas sang pemilik dengan tergagap.
Glafira menatap mengancam, menarik lengannya hingga tubuhnya terempas. Perutnya menubruk pinggiran meja, sedangkan wajahnya kini sudah saling berhadapan dengan wajah Glafira. “Jadi kau mau bilang kalau minumanku lebih buruk dari minuman ini? Lebih baik kau katakan dari mana kau dapatkan merek ini.” Wajah laki-laki pucat pasi, dia terlihat kebingungan saat Glafira melepaskannya. Tubuhnya bahkan hilang keseimbangan hingga perlu bantuan dari karyawannya untuk bisa berdiri dengan tegap.
“Ta-tapi merek baru ini juga berasal dari mu. Sales yang menjual dan orang yang mengantarkannya sama seperti biasanya,” jawab sang pemilik.
Glafira meremas gelasnya, membantingnya meja hingga pecah hanya untuk menakuti. “Aku tidak punya merek seperti ini, lebih baik tidak bohong padaku.” Bukannya karena dia tak percaya sama sekali, tapi hanya untuk memastikan ulang.
“Sungguh! Aku tidak akan berani memesan barang dari orang lain,” ulangnya lagi. Tak ada kebohongan di sana, dari suaranya terdengar jelas keputusasaan. Rasa frustrasi, bingung dan takut yang bercampur aduk.
“Sudah cukup, Glafira. Kurasa dia tak bohong. Ayo kita pergi ke tempat lain dan lihat apa yang akan mereka katakan.” Aku putuskan untuk menghentikan Glafira, membawanya pergi dari sana sebelum tamu-tamu lain ketakutan dan pulang. Itu akan buruk untuk bisnis kami, pembeli itu adalah raja. Bahkan orang-orang seperti kami tahu itu.
“Huh, ya sudah.” Glafira mendengarkan, berbalik pergi tanpa ragu. Aku segera mengikuti dari belakang, tentu saja setelah menyuruh pemilik bar untuk tidak memesan merek itu lagi.
Setelah itu kami pergi ke bar-bar lain di sekitar sini. Melakukan hal yang sama, bertanya seperti mengancam dan hasilnya kurang lebih sama seperti bar pertama. Salah salah satu sales kami menjual barang dari tempat lain secara diam-diam.
***
Hail POV
Esok harinya, kami pergi ke kantor distributor. Mengumpulkan semua sales untuk ditanyai satu per satu. Tentunya cara bertanya ala Glafira lain daripada yang lainnya. Menodongkan senjata ke depan mereka sambil mengancam adalah hal biasa baginya. “Akan kuampuni jika saat ini ada yang mengaku, tapi kalau tidak semuanya akan mati,” kata Glafira serius.
Karyawan lain dan Tuan Direktur berada di ruang sebelah. Dengan dinding tipis dari kayu yang pastinya bisa mendengar suara lantang Glafira. Aku berdiri di belakangnya dengan tegap, berperan untuk memberikan tekanan lebih. “Sebaiknya kalian cepat memutuskan, kesabaran Glafira itu nyaris tak ada,” saranku. Berharap semua ini selesai tanpa ada darah yang tumpah.
Tak ada yang berani bersuara, mereka saling curiga satu sama lainnya. Melirik cemas dari yang satu ke lainnya. Supervisor mereka yang tinggal di ruangan sama akhirnya tak tahan, dia menghampiri kami. “Nona Ghea, mungkin memang tak ada di antara mereka,” ucapnya membela.
Glafira memindahkan ujung senapannya pada wajah sang supervisor. “Kau mempertanyakan hasil penyelidikanku? Sekali kubilang ada ya ada,” bentak Glafira.
“Tidak, aku tidak berani,” balasnya pelan. Dengan hati-hati mundur kembali ke posisi semula. Matanya kini bergerak mengamati satu per satu bawahannya, mencoba menerka siapa yang berbuat curang di antara mereka.
“Cepat jawab!” Di saat yang sama, Glafira menembak. Sasarannya adalah kapur yang terletak di dekat papan tulis di belakang mereka. Benda kecil itu begitu mudah dibidik dari jarak yang cukup jauh. Menjelaskan sebaik apa kemampuan menembak Glafira, siapa pun akan tahu saat melihatnya.
Kemudian Glafira menarik lagi pelatuknya, perlahan-lahan sambil mengarahkan di depan mereka berempat yang berjejer dengan rapi. Senapannya dia gerakan seperti akan menembak secara acak. Saat itulah, salah satu dari mereka berlari ke arah pintu dan orang itulah yang menjadi sasaran Glafira. Begitu tembakan kedua dilepas, orang itu jatuh terduduk dengan gemetaran, mengusap pipinya yang tergores.
“Sayang sekali, kau belum boleh mati,” kata Glafira saat ia berjalan mendekati pria itu. Namun, Glafira juga tak memberi ampun. Tanpa peringatan, ia menampar wajah pria itu dengan senapan yang kini telah kehabisan peluru. “Berani sekali kau bermain kotor di belakangku,” desisnya murka.
“Mereka membayar lebih baik kau! Dasar sinting!” balasnya nekat. “Argh!!” Selanjutnya, teriakan yang terdengar. Kaki Glafira sudah menginjak telapak tangannya, diulek-ulek menggunakan hak sepatu bot yang dia pakai.
“Oh begitu, kalau begitu biar kuperlihatkan sesinting apa aku,” balas Glafira. Sekali lagi dia memukul wajah pria itu dengan senapannya, lalu melirik ke arahku memberi perintah tanpa suara.
Aku segera menghampiri mereka, menarik kerah baju pria itu memaksanya berdiri. Lalu menarik kedua tangannya ke belakang untuk kuikat, barulah habis itu kami pergi sambil membawanya. Tak ada kalimat apa pun yang terlontar, atau hanya sekadar memberi instruksi. Namun, itu saja sudah cukup untuk membuat orang-orang di kantor ini paham seperti apa bos mereka itu. Bahkan jika beberapa hari kemudian, mereka mendengar kabar kematian orang yang kami bawa, aku yakin mereka tak akan kaget.
Kami lalu membawanya masuk ke dalam hutan, mendorongnya hingga ke tepi jurang. Hanya sebuah tali yang terhubung padakulah satu-satunya jaminan hidupnya. Pria itu menatap menantang, terlihat tak ingin membuka mulutnya. Jadi Glafira makin kesal, dia mendekat padanya hanya untuk menendangnya, menginjak pundaknya hingga ia berlutut di hadapannya.
“Katakan dari mana kau mendapatkan minuman merek baru itu.” Glafira menuntut jawaban, tapi dia mendengus sebagai jawabannya. Jelas saja Glafira makin marah. Tak rasa ragu majikan itu menendang kepalanya berkali-kali. Hingga tubuh pria itu jatuh terpental dan masih juga ditendang hingga terdorong mendekati bibir jurang.
“Kau pikir aku sedang main-main? Kalau tak mau bicara tak masalah, kau hanya perlu mati,” ujar Glafira.
“Cih! Perempuan jalang,” umpatnya.
Bruak!
Tendangan keras kembali menghantam kepalanya, membuat tubuhku sedikit ikut terseret ketika tali penghubung kami menerik. Aku berjalan mendekati Glafira, ingin menghentikannya sebelum dia kalap dan melempar saksi kami ke dalam jurang. Namun, Glafira sudah lebih dulu menendangnya lagi hingga setengah dari tubuhnya terjatuh.
“Glafira! Jangan keterlaluan! Aku bisa ikut jatuh!:” teriakku, menariknya kembali ke atas.
“Ya sudah, lepaskan saja talinya,” jawab Glafira serius. Mulai lagi. Kalau sudah emosi selalu saja seperti ini, membunuh sumber informasi dan kemudian menyesal setelahnya.
“Kita butuh informasinya,” kataku, menekannya agar lebih sabar. Mendengar itu, laki-laki itu menyeringai, berpikir kalau kami tak berniat membunuhnya karena masih membutuhkannya. Perbuatan bodoh itu membuat Glafira makin emosi, jangankan mendengarkan perkataanku, yang ada dia malah mengeluarkan pisau untuk memotong tali di antara kami.
“Kalau tak mau bicara sama saja dengan tak punya informasi.” Lalu dengan cepat dia berlari menangkap pria itu saat dia mencoba untuk kabur. Glafira lalu mendorongnya kembali ke depan jurang, menendang kakinya hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan. Hanya tangannya yang mencengkeram tangan pria itu yang menjadi pengaman.
“Kayaknya tanganku mulai lelah,” ucapnya main-main. Perlahan melepaskan jari-jarinya. Tepat ketika tangannya hampir terlepas, pria itu menubruk tubuh Glafira dengan kepalanya. Nyawanya selamat, tapi terempas jatuh bersama dengan Glafira.
Aku segera bertindak, menginjak punggungnya saat dia berniat bangkit. Di saat yang sama menarik lengan Glafira, membantunya bangun. “Cari mati kau ya. Tadinya aku tidak ingin membunuhmu, tapi sekarang aku berubah pikiran.” Akulah yang kesal sekarang, jika Glafira sudah tak peduli maka aku juga tak mau peduli lagi.
“Akan kukatakan! Akan kukatakan semuanya!” teriaknya langsung, entah kenapa tiba-tiba mau buka mulut.
“Pfft. Kau selalu bilang aku kejam, tapi lihat siapa yang lebih membuatnya ketakutan. Sisanya kau saja yang lakukan, aku mau membersihkan tanganku dulu.” Glafira tertawa karena hal itu. Kemudian dia pergi ke kuda kami terikat untuk mengambil kotak obat dan merawat telapak tangannya yang tergores.
“Ya, pergilah,” jawabku.
Setelah itu aku menariknya, melemparkannya hingga menabrak bongkahan batu besar di dekat sana. Mulai menginterogasi dengan cara keji dan ketika semua yang ingin kuketahui telah kudapatkan, aku mendorongnya ke dalam jurang. Memberi pengampunan bukan kebiasaanku, kesempatan kedua tak berhak dia dapatkan. Usai menyingkirkannya barulah aku kembali ke tempat Glafira, melaporkan apa yang sudah kudapatkan. Lalu kami pulang ke rumah, menyusun kembali semua informasi yang kami dapatkan.
***
“Jadi seseorang berani masuk ke kota ini dan mencuri langgananku rupanya,” gumam Glafira. Kami kini tengah berdiskusi di beranda lantai dua seperti biasanya, duduk di meja teh dengan hamparan kertas di atas meja.
“Tapi ini agak aneh untuk perbuatan orang luar, mereka terlalu tahu situasi. Menggunakan sales dan orang gudang kita seolah sudah tahu kalau tidak akan ada bar yang mau membeli dari mereka jika tidak meminjam namamu.” Terkadang kami menghabiskan waktu seperti ini, bertukar pikiran dan memikirkan solusi untuk setiap masalah. Glafira tak pernah bergantung pada para tetua atau rapat rutin untuk menyelesaikan masalahnya. Dia selalu hanya meminta pendapatku dan memikirkan solusi berdua. Ini seperti sebuah kehormatan bagiku, menjadi satu-satunya orang yang dia percayai.
“Tentu saja Kenan ada di baliknya, tak ada alasan lain. Ini pembalasan untuk kapalnya.” Setidaknya kali ini Glafira sudah yakin siapa dalangnya, hanya saja mungkin semua ini tak sesederhana ini.
Kenan tak membiarkan mereka menggunakan akomodasi atau nama Amber, tapi hanya memanfaatkan dan menggunakan mereka demi kepentingannya. Cara kerjanya selalu sama, hati-hati dan terorganisir. Tak berani mengambil risiko, menantang dengan cara pengecut. Caranya mungkin bagus saat dia ingin lepas tangan dan terhindar dari tuduhan, tapi dengan bantuan kecil seperti itu kami bisa lebih mudah menghancurkan sekutunya.
“Kalau begitu kita tak bisa menyalahkannya,” komentarku.
“Betul, tapi kita masih bisa mempermalukannya.” Glafira menyeringai, seolah telah menemukan mainan baru yang menarik. Dia merasa tertantang, ingin main siasat lagi untuk ke sekian kalinya.
Semangatnya itu selalu menyilaukan seperti mentari pagi. Tatapan matanya yang begitu hidup dan penuh akan ambisi memesonaku dalam sekejap. Dadaku mulai berisik, terisi oleh bisingnya debaran jantungku. Aku ingin mengejarnya dengan semua yang kupunya, mendekapnya dalam dadaku dan memilikinya untuk diriku sendiri.
Bola matanya berpindah padaku, kami saling bertatapan dalam diam. Tanpa sadar aku menahan napasku, mengulurkan tanganku untuk membelai wajahnya. “Kurasa aku jatuh cinta denganmu,” ucapku tanpa kusadari. Ketika aku sadar, aku menarik kembali tanganku.
“Bicara apa sih? Mau merayuku ya?” Aku sedikit kecewa ketika Glafira tertawa, dia tak menanggapi kata-kataku dengan serius. Namun, di sisi lain aku juga merasa lega. Setidaknya tanggapannya ini lebih baik daripada dia menolakku secara langsung.
“Berhubung tak ada laki-laki yang akan mengatakannya untukmu, aku berbaik hati mengatakannya,” balasku santai, membuatnya terdengar seperti candaan.
“i***t. Aku tak butuh itu.” Hasilnya Glafira menampar pipiku, hanya main-main tanpa menggunakan tenaga, tapi terasa sedikit sakit untukku.
“Daripada menggombal tak jelas, lebih baik kau membuat penguntit itu buka mulut.” Setelah itu Glafira kembali fokus pada lembaran kertas di atas meja, sekalian mengingatkan padaku tentang tahanan kami yang sempat terlupakan.
“Menyiksa dan menginterogasi tahanan itu, kan hobimu. Lakukan sendiri,” balasku tak peduli. Glafira telah membuat suasana hatiku jadi muram, aku sama sekali tak ada niat untuk mengancam orang lagi hari ini.
“Tapi mereka lebih takut padamu. Tak sadar apa, kadang ekspresi mukamu kayak penjahat yang keji.” Pandangannya padaku juga jadi begitu buruk, heran deh. Bagaimana bisa aku melihatnya dengan cara yang manis ketika sikap, perilaku, cara berbicara dan ekspresi wajahnya tak manis sama sekali.
“Aku tak mau dengar hal itu dari mu.” Yah sudahlah, aku menyerah saja. Pergi ke ruang bawah tanah meskipun tak niat. Untuk kali ini saja, aku tak akan mendengarkannya ketika ia berteriak memprotes padaku.