Hail POV
Aku langsung melapor saat Glafira pulang. Ia sampai tercengang saat mendengarkan ceritaku. Tak habis pikir betapa bodohnya Noir. “Kita tolong saja,” ucap Glafira. Memutuskan sambil tertawa, entah serius atau tidak dengan perkataannya.
“Untuk apa? aku tahu akan buruk jika pertemuan dengan Daran ketahuan, tapi kalau sampai menolongnya rasa tak ada gunanya.”
“Kau salah. Apa kau pikir aku sebaik itu? Aku tak akan menolong orang yang ingin kuhancurkan tanpa alasan. Kali ini kita tolong dia, selanjutnya kita gunakan untuk menghancurkan familinya.”
“Oh iya, benar juga.”
“Lagi pula aku tidak bisa membuat Daran dapat masalah sekarang, kehilangan pion yang kuat akan sangat merugikan.”
Aku nyaris lupa kalau Glafira adalah orang seperti itu. Semua orang adalah pion, yang membedakan hanyalah seberapa berguna mereka. Terkadang aku sampai lupa, bahwa Glafira juga menganggapku sebagai pionnya. Dia menolongku karena ingin menggunakanku, mau diingatkan berapa kali baru aku akan sadar? Merasa senang hanya karena dia sedikit merasa cemburu pada Misora. Membangun harapan hanya karena dia suka memonopoliku. Pada akhirnya aku memang hanya propertinya saja. Sama seperti koleksi mobil atau senjatanya. Rasa kecewa ini mau berapa kali kurasakan agar aku bisa berhenti berharap padanya?
“Kenapa kau diam? Kau tak senang aku menolong musuhmu? Tak usah cemas Hail, karena aku akan selalu di pihakmu.” Perkataan itu terdengar manis, panas tubuhnya yang memelukku membuatku nyaman. Aku tahu kalau semua ini tidaklah nyata, tapi aku masih saja membalas pelukannya dengan perasaan yang mendalam.
“Kita akan menghancurkan Amber dan saat itu, aku akan membuatmu mendapatkan semuanya.” Bola matanya yang segelap malam, begitu menghipnotisku. Saat aku tersadar, aku telah jatuh sekali lagi dalam pesonanya.
“Setelah itu, apa yang kau mau?” Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat menanyakan hal ini, tapi ketika aku sedekat ini padanya, aku jadi selalu lebih berani dari biasanya. “Kita tak bisa selamanya seperti ini. Suatu saat kau harus menikah dan melanjutkan garis keturunan Ghea. Kau tidak berpikir untuk sendiri selamanya, kan?” Masa depan Glafira bukanlah sesuatu hal yang berhak kuputuskan, apa pun pilihannya tak berkaitan denganku. Dia hanya membiarkan aku memeluknya, menahanku di sisinya karena aku berguna untuknya. Ketika semuanya berakhir dan aku tidak lagi berguna. Aku penasaran apa yang akan terjadi pada hubungan kami nantinya.
“Pertanyaan bodoh. Aku tidak pernah sendirian dan tak akan pernah sendirian. Ada kau di sisiku, itu saja sudah cukup.” Jawaban Glafira tak menjawab rasa penasaranku, malahan menambah pertanyaan lain di benakku. Aku tidak mengerti maksudnya, makna di balik sikapnya yang membiarkan aku berada di sisinya selamanya. Apa itu artinya sebagai b***k atau sebagai seorang pria.
Akan tetapi, berapa kali pun aku tanyakan. Tak ada respons dari Glafira. Dia hanya berdecak kesal dan mengusirku dari kamarnya. Ini begitu membuatku frustrasi, perasaan yang tertuju padanya selalu saja berakhir melukaiku lagi dan lagi.
***
Aku tak tahu apa yang Glafira lakukan untuk menolong Noir, yang jelas saat ini lagi-lagi tamu tak diundang datang. Kali ini Kenan yang datang sendiri ke kantor kami, dia hanya membawa seseorang yang terlihat cerdas dan dua orang bertubuh bongsor sebagai penjaga.
Aku baru saja datang setelah dipanggil oleh karyawan kami dan Glafira saat ini masih dalam perjalanan kemari. Ketika aku masuk ke ruang kerja Glafira, orang yang bertugas mengurus kantor ini segera menghampiriku. Sebagai orang yang dikenalkan sebagai tangan kanan Glafira, tak heran jika dia sepenuhnya bergantung padaku.
“Tuan Hail, apa yang harus kita lakukan? Mereka tiba-tiba saja datang mencari Ketua,” ujar pria itu.
“Serahkan padaku, kembalilah bekerja dan pastikan tak ada yang masuk ke ruangan ini sampai Glafira datang.” Aku segera mengusirnya, memastikan tak ada sosok yang tak diperlukan di sini. Pria itu terlihat lega dan mengerti, dia segera keluar meninggalkan kami.
Selama itu, aku bisa melihat bagaimana terkejutnya Kenan melihatku. Kurasa karena dia tak mengira aku berada di pihak Ghea ketika kami tak sengaja bertemu di rumah tunangannya dan mungkin juga karena dia akhirnya mengetahui namaku. Hal itu juga menegaskan kalau dia tak melihat foto-foto yang Noir bawa padaku sebelumnya. Sebab dia tak tahu kalau aku juga ada di dermaga malam itu.
Aku tersenyum bisnis, menghampiri mereka dengan tenang. “Apa yang membuatmu datang kemari, Tuan Amber?” ucapku. Terlanjur sudah aku mengakui kalau mengenalinya. Kuharap otak Kenan tak terlalu tajam untuk sadar kalau aku tengah memanipulasinya saat aku membicarakan tentang Karina.
“Kau ternyata orang Ghea,” balasnya sinis. Tak menjawab pernyataanku dan aku pun sebenarnya tak butuh jawaban. Sebab hanya satu alasan kenapa dia sampai datang kemari sendiri.
“Ya, aku Hail. Seharusnya kau bertanya siapa lawan bicaramu sebelum banyak bertanya. Bukannya aku sengaja menipumu saat itu, kau yang tak tertarik untuk tahu.” Aku sengaja mengulang pengucapan namaku hanya untuk menikmati perubahan ekspresinya. Wajah kaget, takut dan ragu bercampur aduk. Aku ingin tahu apakah terlihat sedikit saja dalam benaknya, kalau ada kemungkinan aku adalah adiknya atau tidak.
“Apa nama keluargamu?” Kenan bertanya hal di luar urusannya hingga membuat rekannya mengenyit tak paham, tapi aku mengerti. Rasa penasaran itu tak bisa untuk dikendalikan. Seseorang dengan nama yang membawamu kembali ke masa lalu yang buruk, bukanlah sesuatu yang bisa kau lawan dengan mudah.
“Ghea. Glafira mengadopsiku untuk masuk ke dalam keluarganya,” jawabku. Sekarang apa responsmu? Dengan jawaban sepertinya, tentunya Kenan hanya akan semakin penasaran saja.
“Sebelumnya. Sebelum dia mengadopsimu,” teriak Kenan, mulai terlihat kalut.
“Kenan, tolong tenanglah. Kita ke sini bukan untuk menanyakan hal seperti ini.” Pria yang duduk di sebelahnya segera menangkan Kenan, merasa kalau atasannya mulai kehilangan ketenangan. Itu buruk ketika kau datang ke sarang musuh untuk menuntut sebuah penjelasan.
Pas itu, Glafira datang. Dia membuka pintu dengan kasar, menutupnya dengan kaki pula. Berjalan cepat dengan tatapan tak senang ke arahku. Lalu dia duduk di sampingku, menatap tajam Kenan dan pria itu dengan dingin. “Huh, Kenan Amber dan Ian Lago rupanya,” katanya. Tak ada sopan-sopannya sama sekali, bahkan tak ada niat untuk berbasa-basi.
“Apa itu caranya menerima tamu?” Pria bernama Ian memprotes.
Glafira bersedekap, menyilangkan kakinya dengan santai. “Musuhku bukan tamu yang pantas dihargai,” balasnya menantang. “Apalagi orang yang tak tahu malu seperti temanmu itu. Untuk apa bertanya tentang propertiku? Mau merebutnya?” Menuduh pula. Aku sampai tak bisa berkata-kata kalau sudah seperti ini. Semangatku menyerang Kenan jadi hilang, malah jadi cemas memikirkan masalah yang akan datang karena sikapnya itu.
“Bicara apa kau!” Ian berteriak.
“Kau hanya perlu mengatakan di mana kau mendapatkannya.” Di saat yang sama, Kenan berdiri. Dia menunjuk wajahku, terlihat sangat ingin tahu tentang asal usulku.
Glafira menyeringai saat Ian dan Kenan mulai berdebat karena sikap tak jelas Kenan. Mereka tampak lupa diri hingga tak menyadari kepala Glafira yang mendekat padaku. “Kau diam saja, iya, kan semua perkataanku,” bisiknya memerintah. Ya sudah, aku diam saja.
Tak lama, Glafira menaikan kakinya ke atas meja. Menimbulkan suara keras yang membuat perhatian mereka kembali tertuju padanya. “Kalau mau ribut sendiri lakukan di tempat lain,” ucapnya dengan nada tinggi.
Mereka berdua segera mengesampingkan masalah lain, jadi marah akibat sikap buruk majikanku itu. “Kau memang kurang ajar! Setelah menyerang kapal kami, begini sikapmu!” marah Ian, kembali ke permasalahan awal.
“Aku tak tahu apa maksudmu.” Glafira pura-pura bodoh, memasang wajah tak peduli.
“Bulan lalu kau menyerang kapal kami, membunuh semua awak dan menculik kaptennya. Ada saksi yang melihatnya, jangan kau pikir kau bisa lolos hanya dengan berkata tak tahu.” Kali ini Kenan ikut berbicara, dia memukul meja dengan telapak tangannya. Mereka bertiga sudah memanas, tapi yang jelas dari pihak kami sama sekali tak terintimidasi.
“Oh... jadi itu kapal kalian. Aku tidak tahu, kupikir itu kapal Martin Don,” jawab Glafira santai, tersenyum palsu. Kenan dan Ian jelas tahu kalau Glafira berbohong, tapi mereka tak bisa membalas ketika Glafira melanjutkan kalimatnya. “Kudengar salah satu petinggiku mencuri senjataku untuk dijual ke pihak luar, jadi kuserang mereka. Merebut kembali milikku dan membunuh semua pengkhianat. Apa itu salah? Bukannya famili kalian juga melakukan hal yang sama jika berada di posisi serupa?”
“Ini hanya salah paham, Tuan Amber. Atau mungkin sebenarnya kalian sudah tahu dan sengaja ingin merebut pasar senjata Ghea?” sambungku, mendukung perkataan Glafira.
Jika Kenan mengakuinya dan ingin menyalahkan Glafira saat ini, maka perang dingin antar dua famili itu bisa berubah menjadi perang yang sesungguhnya. Glafira sendiri memang ingin itu terjadi, tapi dia tak mau memulainya duluan. Harus Kenan yang memulai, jadi dia punya alasan saat para tetua menekannya. Hal itu juga sama bagi Kenan, Ghea adalah musuh mereka, tapi jika sampai perang antar famili secara terang-terangan, merekalah yang akan kesulitan.
Kenan jelas tak punya keberanian untuk itu, dia tak punya kepercayaan diri untuk bisa menang melawan kami. Ketika ia tahu jelas seberapa banyak jumlah senjata yang kami miliki dan betapa gilanya pemimpin kami. Merelakan satu kapal adalah kerugian terkecil yang bisa mereka terima saat ini.
“Baiklah. Kurasa ini memang hanya kesalahpahaman saja, tapi setidaknya aku ingin kalian mengembalikan kapten kami yang kalian tahan.” Lihat? Kenan mengambil pilihan aman, dia mengakui kebohongan Glafira demi dirinya sendiri.
“Aku inginnya sih begitu, tapi aku tidak sengaja membunuhnya. Iyakan, Hail?”
“Ya, itu benar. Kami menginterogasinya selama berminggu-minggu dan dia tetap tak mau mengaku siapa pemilik kapal itu. Jadi Glafira hilang kesabaran dan menyiksanya hingga tewas. Kami minta maaf soal itu. Mayatnya akan segera kami kembalikan, tapi mungkin sudah tak bisa dikenali.” Soalnya setelah bosan menyiksa, Glafira membakarnya hidup-hidup.
Aku bisa melihat betapa Kenan dan Ian berusaha keras menahan diri. Kapten itu sudah ikut dengannya sejak dia kecil. Seseorang paling loyal di antara anggota famili yang ia kenal. Mendengar bagaimana nasibnya, tak heran kalau dia sampai begitu marah. Namun, pada akhirnya Kenan tetap memilih posisinya. Menjaga famili daripada membalaskan dendam orang yang dia sayangi.
Mereka pergi setelah itu, jelas dengan kekecewaan dan kemarahan. Pemandangan yang menyenangkan untuk kulihat. Rasanya sekarang aku bisa mengerti kenapa Glafira ingin menjatuhkan dan merebut posisi Kenan alih-alih membunuh semua keluarga Amber. Ternyata karena kesenangan dan kepuasan yang didapatkan selama prosesnya. Merebut semua yang berharga lebih menghancurkan daripada mengakhiri hidupnya dengan mudah.
***
Glafira POV
“Apa yang kamu lakukan hingga Kenan tak tahu jelas apa yang terjadi? Dia datang dengan informasi setengah-setengah,” tanya Hail ketika kami sudah berduaan saja. Dia pasti merasa penasaran. Karena setelah aku menyanggupi permintaan tolong dari Noir, aku melakukannya sendiri tanpa memberi tahu apa pun pada Hail.
“Menyogok informan pribadi keluarga Amber.” Segala info yang masuk ke telinga Kenan sudah kuubah dulu. Membuatnya seolah tahu semua, tapi sebenarnya hanya tahu sedikit saja.
“Kau akan segera ketahuan kalau Kenan mencari Yasa. Pria itu tak akan mengubah informasi apa pun, dia hanya menjual ke sana-sini pada siapa yang bersedia membayar lebih tinggi.” Hail terlalu cemas, Kenan tak akan melakukannya. Dia seorang pengecut. Orang yang tak berani bertaruh atau terlibat dengan orang luar berisiko tinggi seperti Yasa. Kenan hanya mendengarkan apa kata anggota familinya, hanya menggunakan mereka tanpa pernah berpikir untuk membayar orang luar. Noir yang bodoh itu bahkan lebih berani dari abangnya, sayangnya dia hanya modal nekat saja. Tak tahu apa itu kendali diri atau bermain siasat.
“Tak akan,” jawabku.
“Kadang aku suka bingung dari mana datangnya kepercayaan dirimu itu, tapi justru itulah yang aku suka.” Aku terdiam saat Hail tiba-tiba saja berbicara seolah sedang memujiku. Padahal aku yakin kalau di kepalanya hanya penuh dengan kesan buruk padaku.
“Jangan bicara hal tak penting. Sekarang kau pergi temui Noir, katakan kalau masalah kapal itu sudah tuntas. Dan pastikan dia sadar kalau dia berhutang pada kita,” perintahku, mengalihkan pembicaraan segera. Aku selalu bingung bagaimana harus merespons ketika Hail membawa pembicaraan normal di antara kami. Itu selalu terasa asing dan mengganggu.
“Oke, aku pergi kalau begitu. Sampai nanti, Glafira.” Untungnya Hail tak peka untuk hal seperti ini. Dia pergi dengan patuh. Membuatku merasa lebih tenang. Dan sekarang, sudah saatnya melanjutkan ke rencana berikutnya.
***
Kenan POV
Kami baru kembali dari menemui perempuan ular itu. Aku dan Ian segera masuk ke ruang kerjaku ketika kami tiba ke kantor. Ian membanting pintu, menutupnya dengan kasar. Lalu dia mendudukan diri ke atas sofa.
“Sialan! Perempuan itu sungguh licin!” maki Ian. Aku setuju, Glafira Ghea memang sangat licik dan berani. Aku sudah tahu kalau menghadapinya tak akan mudah, tapi tak kusangka kami sampai dipermalukan habis-habisan seperti ini.
Semua ini salah laki-laki itu. Laki-laki teman Karina, orang yang ternyata tangan kanan Glafira. Kenapa aku sampai tak tahu mengenai hal itu? Gara-gara dia aku kehilangan segala konsentrasiku. Tatapan matanya yang dingin benar-benar sama seperti Hail yang kukenal, hingga aku merasa seperti mereka adalah orang yang sama.
“Sebenarnya ada apa denganmu, Kenan? Kau seperti kehilangan pikiran hanya karena seorang laki-laki tak jelas.” Ian mulai mengungkit, mempertanyakan apa masalahku. Tak heran, memang salahku hingga kehilangan ketenangan di kandang musuh.
“Namanya,” perkataanku tertahan di tenggorokkan. Rasa takut membuatku sulit untuk mengakui dugaanku.
“Hail itu memang bukan nama yang umum, tapi juga bukan berarti tak ada yang memiliki nama sama. Dia bukan adikmu, Hail yang kau kenal sudah lama tewas dimakan binatang buas. Kau melihatnya dengan matamu sendiri, jangan biarkan sebuah nama mengacaukan segalanya.” Itu tak benar. Aku memang mengaku kalau aku melihat kematiannya dengan mataku sendiri. Namun, dimakan oleh binatang buas adalah kebohongan. Aku tidak mungkin bilang kalau aku melihatnya sekarat setelah kutembak.
Ya, itu benar. Aku tidak melihat sendiri kematiannya, tidak memastikan sendiri jantungnya berhenti berdetak dan mayat yang tak pernah ditemukan itu membuatku merasa ragu. Bagaimana jika itu Hail yang sama? Bagaimana kalau ternyata dia kembali untuk merebut semua yang kumiliki?
“Mereka punya mata yang sama dan wajahnya mirip. Bagaimana kalau itu memang Hail? Bagaimana kalau ternyata dia selamat? Mayatnya tak pernah ditemukan, Ian.”
“Itu mustahil. Gunakan otakmu, Kenan. Yang ada juga Glafira sengaja mengadopsi seseorang yang mirip dan menamainya dengan nama adikmu hanya untuk mempermainkan mu. Tak ada bukti kalau Hail itu memang nama aslinya. Ingat siapa lawan Kita. Perempuan licik dengan kepribadian buruk seperti itu bisa berbuat sejauh itu hanya untuk mengerjai seseorang.”
“Tapi bisa saja Glafira memang menyelamatkan Hail. Bisa saja dia sengaja melakukannya untuk membuat Hail balas dendam kepada famili.”
“Untuk apa Glafira menyelamatkan anak musuhnya? Itu tak masuk akal. Lagi pula tak ada alasan bagi adikmu untuk balas dendam.”
Hail punya alasan kuat. Ian tak tahu itu, makanya dia bisa berkata demikian. Ian hanya tahu kalau aku punya dua adik laki-laki, mereka hanya pernah saling sapa beberapa kali saat aku membawa Ian main ke rumah dulu. Ian tak pernah tahu kalau Hail anak haram, tak pernah tahu kalau Ayah memutuskan untuk menjadikannya kepala keluarga daripada menyerahkan posisi itu pada anaknya sahnya, aku atau Noir. Dia tak pernah tahu apa yang benar-benar terjadi malam itu. Hanya aku, Ibu dan Noir yang tahu. Bahkan Ayah tak pernah tahu kejadian sebenarnya. Kebohonganku dan pengakuan Ibu menutup semua itu rapat-rapat.
“Dengar Kenan, keluarga Ghea sudah biasa mengadopsi anak-anak yatim piatu untuk dibesarkan sebagai tentara pribadinya. Pria itu hanya salah satu dari mereka. Dia bukan adikmu, bukan Hail Amber. Jangan biarkan masa lalu mengganggumu saat ini. Perempuan itu ingin cari masalah, kita harus berpikiran jernih untuk menghadapinya. Kau paham?” Ian menekankan padaku, memaksa pikiranku untuk percaya pada sugestinya. Ia bahkan mendekat padaku langsung, mencengkeram kedua bahuku sambil menatap tajam padaku.
Aku jadi sedikit tenang karenanya. Kata-katanya itu mungkin benar. Aku hanya terbawa oleh rasa bersalah, takut akan dosa masa laluku. Bila dipikirkan baik-baik, dugaan Ian itu masuk akal. Glafira sudah mengenalku sejak kecil, bukan hal yang aneh jika dia menggunakan segala yang ia tahu untuk mengintimidasiku.
“Kau benar, kurasa aku yang salah.” Aku beruntung punya sahabat seperti Ian. Anak dari salah satu keluarga yang sudah mengabdi pada famili selama generasi ke generasi, dia orang yang kini menjadi tangan kananku. Bukan bisikan musuh yang harus kudengar, melainkan perkataan penasihat ku.
Ian merasa puas ketika aku sudah kembali seperti Kenan yang ia kenal. Dia kembali ke sofa, mencari posisi yang enak untuk duduk. Dan mungkin sedikit memikirkan sesuatu. Sebab, ketika ia membuka mulutnya beberapa menit kemudian, Ian terlihat penuh percaya diri.
“Kenan, ayo balas mereka,” usul Ian.
Aku menghampirinya, duduk di sampingnya untuk mendengar lebih jauh tentang rencana pembalasan pada Ghea. Mukaku tak akan punya tempat jika aku diam saja setelah dihina seperti itu.
“Aku setuju, tapi sebelumnya kita harus dapatkan tetua Ghea dulu. Lebih mudah bertindak kalau punya sekutu berposisi tinggi di sana,” kataku. Kami butuh pengganti Martin, akan sulit mengetahui gerakan lawan kalau tak punya mata-mata.
“Mustahil. Orang-orang tua itu sudah ketakutan saat Glafira menghabisi Martin di depan mata mereka. Aku sudah meminta sebelumnya, tapi mereka semua menolak dengan alasan yang sama. Perempuan ular itu menyiksa Martin dan membunuhnya perlahan-lahan di depan mata semua tetua. Saat ini dia bahkan mengawasi mereka semua, tak ada yang cukup berani untuk mendukung kita saat ini.” Namun, ternyata keadaan sudah jadi sesulit itu. Ada apa dengan kepribadian Glafira? Membunuh seperti bermain. Itu bukan cara memimpin sebuah organisasi dengan baik. Yang dia lakukan hanyalah memaksa mereka untuk patuh dengan kekuatan.
“Memimpin seperti seorang tiran, perempuan memang tak tahu cara memimpin. Harusnya dia jadi istri saja, melayani seorang laki-laki,” komentarku sinis.
Ian tertawa, setuju dengan pendapatku. “Tak ada yang mau menikahi perempuan gila seperti itu, tapi mungkin ini bagus untuk kita. Dengan cara memimpin seperti itu, pasti banyak yang ingin dia melepaskan posisinya. Kalau kita bisa membuatnya kelihatan muka, para tetuanya bisa memaksa untuk mengganti pemimpin.” Ide yang bagus. Sekarang pikirkan baik-baik, di mana keunggulan Glafira. Cari celah dan hancurkan itu.
“Bagaimana dengan orang kepercayaannya? Siapa yang kira-kira bisa kita dapatkan?” tanyaku. Bila tak bisa mendapatkan tetua, setidaknya aku bisa dapatkan seseorang yang berada di dekatnya.
“Aku rasa itu juga mustahil. Orang-orang bilang Glafira tak percaya siapa pun, semuanya hanya alat. Dia orang yang berdiri di atas dengan menginjak orang lain, memangnya masih punya hati nurani?” Namun, lagi-lagi Ian membuatku merasa putus asa untuk hal ini. Manusia tak bisa hidup sendiri, selalu membutuhkan keberadaan dan dukungan orang lain. Apa memang ada manusia sekeras itu? Atau mungkin Glafira memang ular.
“Kalau tak bisa diserang dari dalam, kita serang dari luar. Glafira sangat percaya diri dengan pasar minum kerasnya. Kalau kita bisa hancurkan itu, aku yakin ia akan kehilangan keyakinannya.” Ah, itu dia. Masuk akal, kalau aku bisa menciptakan saingan berat dalam bisnis yang telah dimonopoli oleh Ghea selama beberapa generasi itu, Glafira pasti akan kehilangan mukanya.
“Ayo kita pergi ke Ibukota, kita lihat siapa yang mau mengedarkan minumannya ke Jade Vine.” Mustahil kalau mencari saingan lokal, tapi orang luar yang tak tahu akan reputasi buruk Ghea pasti bersedia melakukannya untukku selama aku mendanai mereka.