Glafira POV
Aku bersedekap di depan rumah saat Hail pulang. “Kenapa dengan wajahmu?” tanyaku, ketika aku melihat luka kecil di ujung bibirnya. Bagian rahangnya, juga terlihat sedikit membiru. Aku tak ingat memberinya perintah melakukan pekerjaan yang butuh menggunakan kemampuan fisik. Jadi luka itu tak seharusnya ada di wajahnya.
“Tak apa-apa,” jawab Hail.
“Tak mau bilang rupanya, jadi sekarang kau sudah tidak mau mendengarkanku?”
“Jangan seperti anak kecil, Glafira. Aku tak harus melaporkan semua yang kulakukan seharian. Pekerjaanmu memerintahku, bukan mengawasiku.”
“Siapa yang mengawasimu? Sok penting sekali. Aku juga tak mau tahu apa yang kau lakukan, asalkan jangan bawa masalah untukku nanti.”
“Aku tahu, tak usah kau ingatkan setiap saat.”
Aku kesal. Hail sekarang sudah tahu caranya membantahku. Aku bukannya mau jadi orang yang suka ikut campur. Aku hanya cemas jika dia terlibat masalah, tapi aku tak ingin mengakuinya dan membuat diriku terlihat payah di depannya. Makanya aku hanya bisa bersikap kasar seperti ini, memasang wajah tak peduli padanya.
Hail terlihat lelah, dia melewatiku berniat masuk ke rumah. Kelihatan sekali tak ingin berurusan dengan ocehanku, padahal aku sama sekali tak ada niat untuk memperpanjangnya. Sikapnya itu menambah rasa kesalku berkali lipat.
Kutahan tangannya, menariknya mengikutiku ke arah parkiran mobil. “Ikut denganku,” perintahku.
“Kau masih marah juga?” Hail bertanya.
“Jangan terlalu narsis. Aku ingin kau membantuku di pelabuhan, bukannya mau bertanya-tanya soal urusanmu. Anak buah macam apa yang membuat bosnya menunggu,” balasku sarkastik.
Hail langsung terdiam. Akhirnya sadar kalau dia yang terlalu berprasangka. Aku bukan perempuan merepotkan seperti anggapannya. Aku tak akan bertanya terus-terusan saat sudah jelas dia tak ingin menjawabnya. Kalau tak ingin aku tahu, ya sudah.
“Maaf, apa ada masalah serius?” sekarang barulah dia meminta maaf.
“Martin. Pak tua sialan itu mencuri senjata dari gudangku untuk diberikan pada Kenan. Orangku sudah memastikan kalau malam ini mereka akan memindahkannya ke kapal k*****t itu,” jawabku. Aku mungkin kesal, tapi urusan bisnis selalu jadi yang utama. Aku butuh tenaga Hail, tak peduli seperti apa suasana hatiku. Aku akan tetap memanggilnya jika butuh.
“Oh, bukan sebelumnya kau bilang aku tak usah ikut campur urusan ini?” Hail kurang ajar! Masih juga membantahku, ada apa dengannya hari ini?
“Sebelumnya aku tak butuh kau dan sekarang aku butuh. Jangan terus membuatku kesal, fokus saja menyetir.”
Bagus. Akhirnya Hail diam juga, menyetir dengan tenang tanpa menggangguku. Setidaknya untuk sepuluh menit pertama. Karena setelahnya, dia mulai menggangguku lagi dengan pertanyaannya.
“Apa yang kau mau saat tiba di sana?”
“Kau masih mau tanya? Memangnya berapa tahun kau ikut denganku? Bunuh mereka semua. Begitu saja tanya.” Lihat? Aku mulai marah lagi. Sudah tahu aku sedang kesal, malah terus menguji kesabaranku.
“Aku harus tanya. Mau ikut denganmu seumur hidup pun, tak akan ada orang yang bisa menebak apa maumu. Kau itu kenapa? Marah-marah terus dari tadi.” Memangnya kau pikir salah siapa? Salahmu! Tentu saja aku tak akan berkata seperti itu. Aku ini majikannya, membiarkan emosiku naik-turun karena seorang bawahan hanya akan merendahkan harga diriku.
“Iyalah aku marah. Orang-orang di sekitarku kalau tak berguna, ya pengkhianat,” jawabku. Aku memilih untuk memberikan jawaban lain, tapi itu malah membuat Hail terdiam lagi. Wajahnya terlihat agak kecewa. Aku tahu alasannya, itu karena perkataanku seolah berkata kalau dia tak berguna. Tentu saja aku tak berpikir begitu, Hail tak pernah kumasukkan ke dalam satu kategori dengan anggota famili lainnya.
“Kecuali kau,” sambungku. Aku melunak lagi, membuatnya senang dengan kelemahan hatiku. Harusnya aku biarkan saja Hail berpikir aku menganggapnya tak berguna, jadi dia bisa sedikit lebih bertanggung jawab. Selalu berada di sisiku dan tak hilang-hilang tanpa kabar. Aku benci ketika hatiku dibuat terombang-ambing olehnya, tapi aku lebih benci lagi ketika jarak di antara kami semakin melebar.
“Aku tahu, aku memang selalu jadi kesayanganmu, iya, kan?” Hail memang tak tahu diri, dikasih hati malah minta jantung. Siapa yang mau menjawabnya? Lebih baik aku diam sambil melihat ke luar jendela saja.
Kami tiba di pelabuhan dalam satu jam. Setelah Hail memarkirkan mobil, kami berdua berjalan mengendap-endap di antara celah-celah antar susunan kontainer. Lalu kami bergabung dalam tim kecil yang sudah datang lebih dulu, berbisik mendengarkan laporan pengawasan dari mereka. Masih ada waktu sekitar satu jam hingga kapal milik Kenan bersandar di dermaga, tapi mobil truk yang mengangkut senjataku sudah sampai lebih dulu.
Ada dua orang berada di dalam truk. Dua orang berada di luar dan dua lagi berada agak jauh mereka, membawa senjata laras panjang untuk berjaga-jaga. Total enam orang dan semuanya tak kukenali.
“Hei, kau kenal salah satu dari mereka?” tanyaku ke Hail, siapa tahu dia kenal. Anggota famili kami terlalu banyak untuk kuingat wajahnya. Bahkan anggota yang berada di posisi penting saja suka aku lupakan, apalagi hanya anggota kelas rendah. Semua itu karena aku selalu sulit mengingat wajah seseorang, mungkin karena semua sel otakku sudah dipakai untuk memikirkan semua rencana ke depanku.
Hail berbeda. Dia punya ingatan yang luar biasa, belajar dengan cepat dan terkadang membuatku terkagum secara tak terduga. Kecerdasan kami berada di bidang yang berbeda, dengan memilikinya sama seperti memiliki talenta tambahan.
“Dua orang yang berada di dalam truk anggota yang baru gabung setahun, sisanya bukan anggota famili kita,” jawab Hail mantap. Benarkan apa kataku, Hail tahu segalanya. Padahal Hail hanya kuberi data anggota saja untuk kuingat dan dia jarang kubawa dalam pertemuan famili.
“Begitu,” gumamku, berpikir sebentar. “Kalau begitu tangkap dua orang itu, sisanya bunuh saja bersama dengan semua orang Amber.” Lalu memberi perintah setelah beberapa menit.
Hail menatapku penuh arti, seperti mau protes dengan keputusanku. Setelah bilang bunuh semua, sekarang bilang sisakan dua. “Apa? Kita butuh informasi,” sergahku. Sebelum Hail protes dan membuatku terlihat seperti orang plin-plan. Tadi ya tadi, sekarang ya sekarang. Semua orang bisa berubah pikiran kapan saja.
“Aku tak bilang apa-apa,” balas Hail tak senang.
Aku tidak peduli, segera meninggalkannya dan kembali berkumpul bersama dengan anggota yang lain. Mereka tak tahu apa masalahnya, mereka pikir hanya ada orang yang mencuri barang famili dan operasi ini untuk merebutnya kembali. Orang-orang ini tak tahu kalau semua ini berkaitan dengan Martin Don. Aku sengaja tak memberi tahu karena mukaku hanya akan tercoreng saat mengakui kalau salah satu tetua paling senior mengkhianatiku.
Para tetua sangat loyal saat famili dipimpin oleh ayahku, tapi begitu ia tewas dan kepemimpinan dialihkan padaku, orang-orang mulai berkhianat. Mereka pikir seorang wanita seperti ku hanya akan membawa famili ke kehancuran, makanya mereka mulai bertindak sendiri dengan alasan ingin melindungi famili. Karena alasan itulah, aku harus membuktikan diriku apa pun yang terjadi. Aku akan membuat mereka sadar kalau aku pantas menjadi kepala keluarga Ghea. Dan satu-satunya cara adalah menghancurkan keluarga Amber, musuh yang tak pernah bisa dijatuhkan oleh kepala keluarga sebelum ku. Jika aku mampu melakukan apa yang tak mampu dilakukan oleh pendahulu ku, aku yakin kalau para tetua akan sadar kalau dugaan mereka salah.
Bukan masalah perempuan atau laki-laki, tapi mampu tidaknya seseorang mengendalikan dan melindungi famili. Terkutuklah pandangan mengenai ketidakmampuan seorang wanita, dianggap rendah hanya karena terlahir dengan gender yang dianggap lebih rendah. Aku akan menerobos semua pemikiran sempit itu, akan kubuktikan kalau kesetaraan di antara wanita dan laki-laki adalah sesuatu yang layak untuk diakui.
Kembali pada tujuan awal. Tampaknya kapal Amber telah bersandar, suara riak air yang keras itulah pertandanya. Tanda akan dimulainya misi kami. Aku segera memberi instruksi, memisahkan anggota kelompok kami menjadi tiga tim.
Tim pertama menyelinap menyerang sniper yang bersembunyi secara diam-diam, tim kedua langsung menyerang ke kapal dengan anggota berjumlah besar. Lalu tim terakhir yang berisi aku dan Hail, menyerang truk senjata.
Seperti dugaanku. Ketika kami muncul tiba-tiba dan mulai menembak di dermaga, pengemudi truk segera menyalakan mesin dan berniat kabur. Di sanalah peran kami, menutup satu-satunya jalan kabur.
BRAK!
Sebuah kontainer kujatuhkan, menutup jalan keluar. Di saat itulah, Hail muncul dari tempat persembunyiannya. Dia berguling, menembak roda bagian depan untuk mencegah mereka putar haluan dan kabur ke arah lain. Mereka terpaksa menghentikan mobil, mengeluarkan senjatanya dan mulai melawan.
Aku menarik Hail ke balik kontainer yang lain ketika sebuah tembakan di arahkan padanya. “Jangan nekat, tembak sambil bersembunyi,” kataku. Mengingatkan padanya untuk berhati-hati. Lawan kami keduanya menggunakan pistol, mendekati mereka sama saja cari mati. Untuk pertempuran semacam ini, lebih baik menyerahkan pada keberuntungan. Siapa yang pelurunya habis duluan yang kalah.
“Itu hanya akan membuang-buang waktu.” Hail keberatan, dia suka pamer keberanian rupanya. Mau menyerang nekat sambil ditembaki, entah otaknya bermasalah atau memang aslinya masokis.
“Jangan membantah! Mereka akan kehabisan peluru, saat itu baru kita keluar.” Aku menembak sekali lagi, lalu kembali menyembunyikan tubuhku saat salah satu dari mereka menembak balik. Aku yakin peluru kami lebih banyak, mereka tak akan membawa lebih dari satu kotak hanya untuk untuk standar keamanan.
“Mana tahu. Isi boks itu senjata semua, Glafira,” balas Hail. Itu benar, tapi untuk mengambil isi boksnya. Mereka harus keluar dari truk dan membukanya dari luar. Itu tindakan nekat dan kami akan tahu kalau mereka melakukannya.
“Mereka tak akan berani.” Aku yakin mereka tak senekat itu, tapi detik berikutnya salah satu dari mereka mulai menembaki kami dengan gencar dan di saat yang sama, satu lainnya berlari ke arah bagian belakang boks.
“Mereka berani tuh,” ucap Hail mengejek.
Aku jadi emosi. Sudah mencoba bersabar dari tadi, tapi orang-orang selalu saja menguji kesabaranku. “Oke. Kita serang mereka dari depan.” Kalau mereka main nekat, aku juga akan main nekat. Setelah memutuskan, aku keluar dari tempat persembunyianku. Tanpa aba-aba langsung melemparkan sebuah granat ke arah pria yang mendekati pintu boks. Akibatnya, pertahananku jadi terbuka, membuat pria yang satunya lagi punya kesempatan untuk menembakku.
“Kau yang lebih nekat dari ku!” teriak Hail, matanya melotot tak percaya. Ia kemudian berlari ke arahku, menabrak tubuhku hingga jatuh ke aspal dan tembakan itu pun meleset. Namun, tembakan susulan kembali dilancarkan, membuat kami tak sempat menghindarinya.
Hail tertembak karena kebodohannya sendiri, menggunakan punggungnya untuk menerima tembakan itu tanpa kuminta. Aku tidak histeris atau shock, malahan aku bisa begitu tenang melemparkan granat kedua ke si penembak. Lawan kami mati dua-duanya, orang yang ingin kutangkap dan kuinterogasi.
Aku pikir untuk sesaat aku tak punya hati nurani dan sekarang aku menyesal dengan tindakanku. Bukan hanya kehilangan sumber informasi, aku juga membiarkan diriku berhutang nyawa pada Hail. Rasanya menjengkelkan, merasakan berat tubuhnya yang menindihku seperti ini. Belum lagi perasaan aneh yang bercampur aduk di dalam hatiku, hanya karena diprioritaskan olehnya.
***
Glafira POV
“Bangun. Kau membuatku kesal, kita masih harus membereskan orang-orang Amber. Jangan bersantai-santai kau, kita harus menangkap paling tidak kapten kapalnya,” omelku, memukul kepala Hail dengan tinjuku.
“Kau tahu aku pakai rompi anti peluru ya?” tanyanya bodoh. Memangnya berapa tahun kami tinggal bersama sampai aku tak tahu? Hail selalu memakainya sepanjang tahun, belajar dari pengaman agar perlu lagi merasakan sakitnya timah panas.
“Kau pikir aku i***t? Mau cari kesempatan memelukku saat sibuk begini, cari mati hah?” Aku menendangnya menjauh, kesal karena Hail masih saja betah menindihku. Kami sedang dalam misi, bukan saatnya minta dimanja.
“Kasih bonus dikit, kan tak apa. Aku sudah menolongmu, lagian kau sendiri yang membunuh mereka. Sekarang minta tangkap yang lain, jangan sampai kau bunuh lagi nanti.” Hail kurang ajar, kadang mulutnya suka lupa diri kalau dia hanya seorang b***k dan kadang aku terlalu bodoh untuk ingat harus memukulnya.
Yang kulakukan hanyalah membuang mukaku tanpa berkata-kata, mengisi kembali peluru yang kosong. Lalu berlari menuju kapal yang kini telah menjadi area penembakan. Hail untungnya tak banyak tingkah, dia mengikutiku dengan patuh.
Aku memberi isyarat pada anak buahku, memberi tahu kalau kami akan menyusup ke dalam kapal. Supaya mereka bisa membukakan jalan untuk kami. Setelah itu, begitu mereka mengambil seluruh perhatian lawan kami, aku dan Hail berpisah. Kami masuk ke dalam kapal secara terpisah.
Aku tak perlu cemas akan kemampuannya, dia tak akan mati dengan mudah. Dengan begitu aku pun pergi ke area dek, mencari letak ruang kendali. Seharusnya kapten yang kami cari berada di sana, tapi yang kutemukan adalah tiga orang laki-laki berumur tiga puluhan akhir. Mereka tak mengenakan seragam, karena itulah aku tak tahu yang mana incaranku.
Baru saja aku mendekati pintu masuk, sebuah tembakan datang dari arah kanan. Refleks aku menghindar, memasuki ruangan lain yang terletak tepat di sebelah ruang kendali. Ruangan itu memakai pintu berbahan besi, cukup untuk menyelamatku dari tembakan itu. Namun, sekaligus mengurungku di dalam sana.
Aku berpindah ke belakang pintu, bersembunyi saat mereka membukanya secara paksa. Dalam hitungan detik, aku menangkap salah satu dari mereka, menggunakannya sebagai sandera untuk mengancam tiga orang lainnya yang datang dari ruang kendali.
“Mendekat sedikit lagi, kubunuh dia,” ancamku.
Dua lainnya terdiam, terlihat gentar. Akan tetapi yang paling tua di antara mereka tampak lebih tenang. Dia berjalan maju, menunjukkan statusnya padaku. Kurasa dialah kapten yang kucari. Pria itu terlihat bertanggung jawab atas awak kapalnya, dia bahkan tak berniat untuk lari. “Tolong lepaskan dia, kau bisa mengambilku sebagai gantinya,” ucapnya. Sangat disayangkan, orang seperti ini tak berada di pihakku. Seseorang yang tak akan lari dan melemparkan masalah pada orang lain.
“Kalau begitu kemarilah. Buang semua senjata kalian, dua orang lainnya merapat ke dinding di belakang kalian.” Aku berpura-pura menyetujui pertukarannya, menyingkirkan mereka lebih dulu. Padahal aku tak sebaik itu, aku tak butuh terlalu banyak orang untuk diinterogasi.
Sang kapten mendekat padaku, setelah menyuruh anak buahnya menjauh. Ia berjalan dengan lambat dan hati-hati. Aku menunjukkan sikap positif, mendorong sanderaku berjalan ke arah pintu. “Pergilah, kau sudah bebas sekarang,” kataku, setelah aku mengambil senjatanya.
Satu meter jarak antara aku dan sang kapten. Di saat itulah pria itu mencoba melawan. Ia melayangkan tinjunya, tapi bisa kutangkis dengan cepat dan sebelum ia sadar, aku telah menangkap lehernya dengan lengan kiriku. Pistolku kuletakkan di pelipisnya sejenak. Dan ketika ia menatap sinis kepadaku, aku menembak tiga orang itu satu per satu dengan cepat. Tepat mengenai kepala mereka, membuat mereka tewas dalam sekejap.
“Itu salahmu. Kau yang lebih dulu mencoba melawan, sekarang mereka sudah mati,” ucapku. Menyalahkannya, berkata seolah karena tindakannya itu, anak buahnya tewas. Padahal aku berniat membunuh mereka sejak awal, tapi membuat seolah semua salah orang lain selalu lebih menyenangkan.
Semangatnya redup seketika, seolah tak niat untuk melawan lagi. Aku telah menang di sini, itulah pikirku ketika aku membawa kapten itu keluar dari ruangan. Sebelum akhirnya aku dicegat oleh dua orang lainnya. yang benar saja? memangnya berapa banyak orang yang mereka bawa hanya untuk mengangkut satu truk senjata?
Sialan! Terpaksa aku melepaskan tawananku, menghampiri mereka dari depan. Beruntung mereka tak membawa senjata, sehingga itu memudahkanku untuk melawan. Aku tendang satu yang berada di sebelah kanan, lalu berputar ke belakang kawan di sebelahnya. Memukul lehernya dengan sikut tanganku. Orang yang kutendang kembali lagi. Mencoba memukulku, tapi aku menangkap tangannya. Menarik tubuhnya mendekat padaku agar aku bisa meninju ulu hatinya. Ketika ia terjatuh karena kesakitan, aku mengincar kawannya.
Pria itu berhasil memukul wajahku, membuatku terjatuh karena kaget. Ia tak berhenti hanya dengan itu, selanjutnya ia mencoba memukul sekali lagi. Menurunkan tubuhnya, menggunakan berat tubuhnya untuk menambah kekuatan pada pukulan itu. Aku berguling ke samping menghindarinya, menendang kakinya hingga ia terjatuh. Selanjutnya aku menggunakan pistolku untuk menembaknya. Setelah ia tewas, aku menembak yang satunya lagi, tapi dia terlanjur kabur. Tawananku juga kabur.
Dobel sial! Sekarang aku harus mencarinya, mengulang kembali apa yang aku lakukan. Mungkin aku harusnya menyerah untuk mengambil seorang tahanan saja. Dengan dongkol, aku berjalan ke arah buritan kapal. Saat itulah, aku berpapasan dengan Hail. Sungguh anak buah yang berguna, dia membawa sang kapten yang telah terikat bersama dengannya. Aku lantas tersenyum, menepuk lengannya karena senang.
“Kerja bagus, bawa dia. Urusan kita sudah selesai, sisanya biarkan rekan kita yang melakukannya,” pujiku.
“Tak apa?” Hail agak ragu, mungkin dia pikir kami harus ada di sini sampai semuanya berakhir.
“Apa masalahnya, senjatanya sudah diambil kembali dan tawanannya sudah dapat. Aku tak peduli sisanya, membereskan masalah bos itu pekerjaan bawahan.” Aku tak peduli, kamilah pihak yang diusik. Tak perlu memikirkan kemarahan si pemilik kapal. Mau marah dan menyerang balik silakan. Itu yang kumau.
“Kau benar. Aku lupa kau bos yang semena-mena,” jawab Hail kurang ajar.
Aku pura-pura tak dengar, berjalan dengan santai kembali ke dermaga. Di sana hanya tertinggalkan anak buahku saja. Maka dari itu aku memberi mereka perintah, setelah itu pergi dengan Hail membawa sang kapten ke rumah kami. Kami punya ruang bawah tanah di sana, tempat yang sempurna untuk menyiksanya.
***
Hail POV
Setelah kejadian p*********n di dermaga, suasana antara famili jadi terasa agak tak mengenakan dan Glafira masih saja memasang wajah tak peduli. Seorang wakil dari keluarga Amber bahkan datang untuk marah karena banyaknya orang mereka yang terbunuh. Coba tebak apa Glafira? Dengan cueknya dia membalas, kalau tak terima balas saja. Alhasil orang itu pergi sambil berkata akan melaporkan hal itu pada atasan, entah Noir atau Kenan.
Siapa yang tak marah dengan jawaban seperti itu? Jelas saja para tetua mulai menyalahkannya. Termasuk Martin Don yang menjadi dalang dari masalah ini. Kapten kapal yang kami tangkap masih belum membuka mulutnya dan dua orang dari famili kami sudah tewas. Tak ada yang bisa membuktikan keterlibatan Martin, sehingga situasi menjadi memberatkan kami.
“Kau diam saja,” marah Glafira saat aku mencoba menasihatinya. Dia baru saja pulang dari pertemuan dengan para tetua dan tentunya tidak membawaku bersama dengannya. Hasil dari pertemuan itu selalu buruk, sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.
“Tapi aku cemas padamu,” balasku.
Glafira menatapku singkat, lalu ia berbalik tanpa ragu. “Aku tak perlu kau cemaskan, lakukan saja apa yang kuperintahkan.” Dia mulai lagi, bersikap keras kepala tanpa memikirkan efek buruk terhadap situasinya sendiri. “Setelah aku bisa membuktikan keterlibatan Martin, sekumpulan tua bangka itu juga akan tutup mulut.” Glafira yang butuh menutup mulut kasarnya, tapi dia tak pernah sadar.
“Memangnya bagaimana caranya? Bahkan ketika tawanan kita buka mulut, belum tentu perkataannya akan dipercayai.”
“Tak usah kau ingatkan, aku sudah tahu. Itulah gunanya kau, pergi dan cari bukti. Sejak awal kapten sialan itu hanya kubutuhkan untuk informasi saja. Soal membuktikan pengkhianatan Martin, memang harus pakai cara lain.” Ya ampun, ini yang namanya aku tak butuh terlibat? Sekarang malah dia memintaku mencari bukti. Memangnya semua ini mudah?
“Bagaimana dengan Noir? Jika kau mengizinkan, aku akan mulai darinya.” Aku bisa apalagi? Selain patuh dan segera bertindak untuk menyelamatkan mukanya.
“Jangan cari masalah! Kau belum boleh muncul di hadapan keluarga Amber,” bentak Glafira. Aku pun teringat, aku belum melaporkan perihal sejauh apa Noir tahu tentangku. Jadinya aku menceritakan semuanya, terkecuali tentangku yang membantu Misora.
“Kenapa kau selalu saja seenaknya! Sekarang semuanya kacau!” teriaknya lagi.
“Itu bukan salahku. Jadi sekarang apa maumu?” aku jawab saja dengan santai. Mau seperti apa juga, emosinya tak akan tertolong.
“Tanggung jawab. Selesaikan masalahmu sendiri bodoh!” Itulah balasan dari Glafira, sebelum akhirnya dia pergi sambil membanting pintu. Bagus, sekarang aku sudah dapat izin, jadi menyerang Noir secara terang-terangan tak akan lagi menjadi masalah.
Kuputuskan untuk pergi keluar, mencari Noir secara langsung untuk memancingnya. Noir dari dulu begitu mudah dipermainkan. Saat emosi, dia akan lebih ceroboh dari biasanya. Masalah Martin mungkin berkaitan dengan Kenan, tapi belum tentu kalau Noir tak terlibat. Dia punya posisi bagus dalam famili dan suka bermulut besar tanpa mengerti kalau ucapannya hanya akan menggali kuburnya sendiri.
Pertama-tama, aku pergi mengecek keberadaan Noir. Lalu setelah sudah tahu, aku mengikutinya. Menunggu hingga ia sendirian sebelum aku memunculkan sosokku. Semakin sedikit anggota famili Amber yang kutemui, semakin aman juga posisiku.
Noir meninggalkan salah satu kantornya di siang hari, dia pergi menonton pertunjukan Misora hanya untuk menggodanya. Karena Misora menghindar dan bersembunyi di ruang ganti, Noir menunggu di pintu belakang gedung teater seperti seorang penguntit.
Aku tidak percaya apa yang kulihat, bagaimana bisa dia begitu memaksa seperti itu? Tak heran Misora sampai begitu putus asa, ternyata obsesi Noir padanya sudah kelewatan batas. Namun, semua ini baik untukku. Segera ketika Misora keluar dari pintu itu, aku tersenyum. Kesempatan datang di saat yang tepat.