Hail POV
Kudatangi mereka, memasang wajah menyebalkan yang membuat Noir emosi, ketika ia mencoba memaksa Misora masuk ke dalam mobilnya. “Bukannya aku sudah bilang kalau kau harus berhenti mengganggu pacarku,” ucapku, pura-pura marah. Misora mengempaskan tangan Noir, dia berlari ke belakang punggungku. “Berpura-puralah sudah janjian denganku,” bisikku pada Misora.
Misora mengangguk kecil, di saat itulah Noir mulai berteriak. “Aku tak peduli. Aku akan merebutnya dari mu.” Dia menantangku secara langsung. Drama seperti ini konyol sekali, tapi juga sangat menyenangkan.
Aku mendekat padanya, mencengkeram bajunya sok tersinggung. “Coba saja kalau bisa,” balasku.
Noir menepis tanganku kasar, dia mendongak akibat perbedaan tinggi badan kami. “Aku bisa. Tak akan kubiarkan Misora bersama dengan b******n seperti mu. Dasar pengkhianat!” Alah, siapa yang dia sebut pengkhianat? Dasar bocah kurang ajar, mulutnya pun begitu kotor.
“Katakan itu pada saudaramu.” Kucengkeram rahangnya, menatap dengan tajam dengan niat menggertak.
Misora jadi panik tiap kali kami mulai berkelahi menggunakan kekerasan, dia menarik tanganku hingga menjauh dari Noir. Hal itu membuat Noir tersenyum congkak, seolah dia telah menang hanya karena seorang wanita mencoba menolongnya. Padahal jelas-jelas Misora hanya tak ingin memperkeruh suasana.
“Hentikan Hail, jangan bertengkar tiap kali kalian bertemu,” kata Misora. Perempuan satu ini memang konyol, berpikir kalau apa yang kulakukan hanya demi kepentingannya. Dasar naif, aku tak sebaik itu.
“Siapa yang bertengkar? Aku hanya menolongmu, Misora.” Kurangkul bahunya, mulai menggombal. Mengubah sedikit caraku untuk mengganggu Noir dan hasilnya seperti yang di harapkan. “Misora tak perlu ditolong.” Noir datang, memisahkan kami seolah akulah pengganggu di sini. Dia masih tak sadar kalau dirinya dianggap berbahaya. Luar biasa sekali, aku tak pernah tahu kalau cinta bisa begitu membutakan.
“Tak dasar diri, hah!?” Kutarik Misora, menyembunyikannya di belakang tubuhku. Bersikap protektif untuk memperkuat kesan pacar yang marah.
Noir tak peduli, dia melotot tak senang. Kemudian menarik tangan Misora agar mendekat padanya. Sedangkan Misora malah memeluk lenganku agar tak tertarik olehnya. Kekanakan sekali mereka, aku tak percaya akan melihat segala tingkah bodoh ini.
“Kenapa kalian tak coba berdamai saja?” ucap Misora. Entah t***l atau terlalu polos. Memangnya bentuk damai apa yang dia pikirkan saat menghadapkan penguntit dan pacarnya dalam satu waktu. Meskipun ini hanya pura-pura, tetap saja intinya tak masuk akal.
“Jangan mengatakan hal yang mustahil!” Itu teriakan Noir. Aku hanya diam mengamati, melihat apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Siapa yang mau berdamai dengan seorang pengkhianat.” Itu lagi rupanya. Memangnya dia mau menyebutku pengkhianat berapa kali baru bisa puas.
“Sebenarnya apa maksudmu? Sejak kemarin kalian bertingkah saling kenal dan sekarang kau berbicara seolah Hail sudah pernah mengkhianatimu.” Misora mulai ikut campur, membiarkan rasa penasarannya yang menang. Perempuan bodoh itu tampaknya sudah lupa diri, bahwa dia tak berhak untuk tahu urusanku.
Maka dari itu, aku segera bertindak. Menghentikannya sebelum mulut ember Noir membeberkan segalanya. “Sudah cukup. Ikut saja denganku,” perintahku. Lalu menarik Misora mengikutiku. Mengganggu Noir nanti saja, yang penting sekarang adalah menjauhkan Misora dari kebenaran.
“Kau takut rahasiamu terbongkar? Tak ingin Misora tahu kalau kau mengkhianati keluargamu sendiri demi Glafira Ghea? Atau jangan-jangan perempuan itu pacarmu yang lain.” Namun, Noir sudah hilang akal sehat. Ia berteriak ketika aku dan Misora sudah cukup jauh darinya.
“Apa maksudnya?” tanya Misora.
Kucengkeram kedua tangannya dengan kuat, mengusirnya pulang dengan paksa. “Misora, kenapa kamu tidak pulang dulu hari ini? Tinggalkan kami untuk berbicara sesama pria,” ucapku. Wajahku mungkin terlihat tengah tersenyum, tapi jelas mataku terlihat sangat marah. Aku tak bisa melihat seperti apa raut wajahku tanpa cermin, tapi aku tahu jelas hanya dengan membayangkannya.
“Ini bukan hanya soal aku dan Noir, iya, kan? Kau menyembunyikan sesuatu.” Misora tak pergi, dia merajuk tak jelas. Marah karena pertengkaranku dengan Noir bukan hanya menyangkut dirinya saja.
“Apa pun sama saja. Kau pulang sana, jadilah berguna kalau ingin kutolong.” Kali ini aku menunjukkan muka marahku secara terang-terangan. Tak ada lagi cara halus, dia harus patuh apa pun yang terjadi.
“Oke,” sahut Misora. Akhirnya dia paham maksudku.
Perempuan itu kemudian berjalan cepat menjauh dari kami, mengejar seorang temannya yang telah berjalan cukup jauh dari sana. Dia memutuskan untuk mengajak orang itu pulang bersama dan meninggalkan kami berdua saja.
Noir tak terima begitu saja, dia mencoba mengejar Misora. Namun, aku menarik tangannya, memberinya sebuah tatapan menantang. “Tak usah bawa wanita untuk urusan kita,” ucapku.
Lagi-lagi ia menepis tanganku. Mendengus, berjalan menuju ke arah mobilnya terparkir. Hari ini tak ada penjaga, hanya dia sendiri dan dengan bodohnya dia membiarkan diriku begitu dekat dengannya. “Masuk,” perintahnya. Sepertinya dia berniat berpindah tempat untuk berbicara, atau mungkin berniat membawaku masuk ke dalam jebakannya. Tak masalah bagiku. keinginan awalku memang bicara empat mata dengannya.
Aku masuk ke dalam mobilnya, duduk dalam diam saat ia menyetir. Aku tidak tahu ke mana Noir akan membawaku, tapi yang jelas dia mengarah menjauh dari arah kota. Mungkin dia berniat membunuhku di hutan? rasanya tak masuk akal. Karena Noir jelas tahu perbedaan kemampuan fisik kami dari perkelahian sebelumnya. Sebodoh-bodohnya dia, tak mungkin berbuat setolol itu.
Kami tiba di tempat yang membawa nostalgia, sebuah tanah lapang di antara pepohonan. Ini mungkin masih sore, juga sudah terlewat bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi aku ingat jelas akan tempat ini, tempat di mana sosok Hail Amber dibunuh sepuluh tahun yang lalu.
“Untuk apa kau membawaku ke sini?” tanyaku penasaran.
“Untuk mengingatkan siapa dirimu. Orang yang sudah mati, tak seharusnya ada di sini.” Oh, begitu rupanya. Dia berniat mengancamku? Apa dia sungguh berpikir kalau aku akan terancam hanya karena dia membawaku ke tempat ini?
“Kalau kau tak ingin orang-orang tahu aku masih hidup, sebaiknya jaga mulutmu. Kau memang selalu tak berguna, Noir.” Yang ada aku malah terhibur, termotivasi ketika teringat akan malam penuh penghinaan itu. Di tempat inilah aku bertemu dengan Glafira, di sini juga aku membulatkan tekatku untuk balas dendam. Tempat ini selalu menjadi lebih spesial bagiku.
“Diam! Kau yang seenaknya kembali. Harusnya kau tetap menghilang saja.” Noir tak mengerti apa pun. Dia tak berada di sini malam itu, hanya tahu fakta tanpa melihat kejadiannya sendiri. Aku berani bertaruh, kalau dia tak akan bisa berbicara searogan itu jika dia melihat sendiri seperti apa tubuh berlumuran darah.
“Tentu saja aku harus kembali, karena aku ingin membalas kalian.” Mereka yang seenaknya berasumsi jika aku ingin merebut kekuasaan mereka, maka yang kulakukan adalah mewujudkannya.
“Ternyata memang benar, kau menipu Misora karena dendam padaku!” Bodohnya Noir, terlalu meremehkanku. Membalas dendam hanya dengan merebut seorang wanita? Aku tidak akan berbuat sebaik itu. Lagian orang yang ingin kubalas adalah Kenan, Noir hanya sambilan saja.
“Mau benar atau salah, tak akan ada yang peduli selama aku telah mendapatkan hatinya.” Mungkin dia ada gunanya juga, yang perlu kulakukan hanya menunggu.
“b******n kau! Aku tak akan membiarkannya.” Itu dia, emosi yang kubutuhkan. Kebutaan sesaat yang akan memberikan keinginanku.
Aku mendorongnya hingga ia menabrak pohon, menekan tubuhnya agar tak bisa meronta. Kutatap matanya langsung, lalu tersenyum penuh arti. “Kalau begitu mau bertukar? Aku akan memutuskan Misora dan membiarkan kau memilikinya, tapi aku ingin kau memberikan seseorang padaku,” ucapku, mulai bernegosiasi.
“Aku juga tak akan pernah memberikan Kenan,” balas Noir. Belum selesai aku menjelaskan keinginanku, dia sudah menuduh lebih dulu. Mengira kalau aku ingin menukar Misora dengan Kenan, yang benar saja. Nilai mereka jelas tak sebanding.
“Siapa yang bilang itu Kenan, aku ingin Martin Don. Ghea ingin mengadili pengkhianatnya sendiri. Kalau kau berpikir seseorang yang bisa mengkhianati familinya sendiri, akan bisa setia kepada famili musuh. Maka kau i***t. Berikan bukti kerja sama dia dan Kenan, maka Misora akan kembali padamu. Seorang yang belum bisa dipercaya jelas tak seberapa dibandingkan dengan wanita yang kau cintai, bukan?” Aku melanjutkan penjelasanku secara sepihak, panjang lebar secara mendetail agar otak lambat itu bisa mencernanya.
Noir diam sebentar, dia terlihat berpikir keras. Kurasa itu artinya aku harus menambahkan sedikit serangan lagi. “Apa yang kau ragukan? Kalau kau hati-hati, tak akan ada yang sadar. Hanya ada kita berdua di sini dan tak akan ada yang menganggap berkhianat hanya karena kau ingin melindungi wanitamu,” sambungku.
Setelah itu ia mulai bereaksi. Noir membalas tatapanku, mencari kejujuran di sana. “Kau benar-benar akan meninggalkan Misora setelah ini?” ia bertanya untuk memastikan.
“Aku janji,” aku tak akan meninggalkannya sendiri, tapi belum tentu Glafira akan melakukan hal yang sama. Yah, toh Noir tak perlu tahu.
“Kalau begitu baiklah, kembali ke sini di jam yang sama tiga hari lagi.” Akhirnya dia tertipu juga, masuk ke dalam perangkapku.
“Oke, tapi aku baru akan melepaskan Misora setelah mendapatkan apa yang kumau. Kuharap kau lebih cerdas dari Kenan, tidak mencoba menantangku tanpa keyakinan menang 1oo%.” Segini sudah cukup untuk hari ini.
Dengan itu, kami berpisah. Aku pergi duluan, berjalan kaki hingga ke jalan raya dan menumpang kereta kuda orang yang lewat karena aku tidak ingin terlihat bersama dengan Noir. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi hanya karena kecerobohan kecil? Glafira selalu mengajarkan padaku untuk berpikir jauh ke depan sebelum bertindak. Karena dengan cara itulah dia bisa bertahan hidup, jika mengingat sebanyak apa jumlah musuhnya.
Itulah sebabnya aku sampai bertindak sejauh ini, melepaskan mangsaku demi mangsa lain. Sebab aku sudah memikirkan cara untuk menjeratnya kembali suatu saat nanti. Tentunya aku akan menggunakan kail yang sama, Misora-nya tercinta.
***
Hail POV
Tiga hari yang dijanjikan tiba. Aku datang ke hutan itu, bertemu dengan Noir dan menerima bukti perjanjian tertulis antara Kenan dan Martin. Dengan tambahan beberapa potret saat mereka bertemu. Aku tahu kalau kakak beradik itu bodoh dan egois, tapi aku tak menyangka kalau semudah ini mengendalikannya.
“Sebaiknya kau menepati janjimu!” Noir menagih janjinya, hanya fokus pada seorang wanita hingga tak peduli dengan segalanya. Dia bahkan tak mengecek dulu apa hubunganku dengan Misora itu sungguhan atau tidak.
“Aku tahu. Aku akan berbicara dengan Misora dan memutuskannya secara baik-baik.” Yah, sudahlah. Begini malah bagus, sisanya hanya perlu mengurus Misora sedikit.
Dengan ini kami berpisah, aku pun segera pulang dan memberikan semua itu pada Glafira. Biasanya Glafira akan mempertanyakan dari mana aku mendapatkannya, tapi karena sepertinya kali ini dia sudah terdesak. Jadi Glafira langsung pergi membawa tahanan kami dan bukti-bukti itu menemui para tetua.
Aku yang ditinggalkannya menjadi lebih luang, tak ada pekerjaan lain dan sebentar lagi jam Misora selesai bekerja. Kuputuskan untuk pergi menemui Misora saja, menyetir pelan sambil memikirkan apa yang akan kukatakan mengenai rencana pura-pura pacaran kami yang harus diakhiri.
Ini agak merepotkan, mengingat seperti apa pertemuan terakhir kami. Kuharap wanita itu masih cukup bodoh untuk kutipu, akan sulit jika dia mulai mencurigaiku. Apalagi aku tak tahu apakah Glafira masih mau menggunakannya nanti atau tidak.
Aku tiba di gedung teater tepat ketika ia berjalan keluar. Saat tatapan mata kami bertemu, aku membuka pintu mobilku agar dia tahu aku ingin dia mengikutiku. Misora lalu menghampiriku, masuk dan duduk dengan tenang tanpa berkata-kata.
Kami pergi ke sebuah rumah teh dekat pinggiran kota, mencari tempat yang tenang untuk berbicara. Ketika pesanan sudah dibawakan, dia baru mulai bertanya. “Kali ini apa lagi?” Misora terlihat kesal saat bertanya, sama sekali tak ada niat menyembunyikannya.
“Ayo buat seolah-olah kita putus,” jawabku langsung. Sama sepertinya, tak ada basa-basi.
“Apa!? Kau yang bertindak menantang Noir, bertingkah seperti pacar percemburu dan sekarang kau mau membuat seolah aku dibuang begitu saja?” Misora sudah marah sekarang. Aku tahu itu salahku sendiri, mencampur adukan semuanya dan membuatnya rumit. Setelah itu dengan enteng berkata ayo akhiri.
“Kau bisa bilang kalau kau yang mencampakkanku.” Mari buat ini mudah, kalau seperti ini harusnya harga dirinya tak terluka dan kami bisa mengakhirinya sekarang.
“Enak saja! Aku sudah bilang aku serius dan sebagainya. Kalau begini jadinya, Noir akan jadi besar kepala. Dia akan jadi semakin menggangguku.” Harusnya begitu, tapi Misora tak mau. Dia terlalu memikirkan banyak hal dan mungkin agak takut pada Noir. “Apa ini gara-gara masalah kalian? Jangan bawa-bawa aku dengan urusan pribadi kalian.” Ah, jadi begitu. Sepertinya dia juga sebal karena pertengkaranku dengan Noir yang tak diketahuinya sebabnya itu.
“Bukan,” bantahku.
“Bohong! Kalau mau bersandiwara, lakukan sampai akhir.” Misora mengotot tak terima, pada akhirnya keinginannya adalah agar Noir berhenti mengejarnya. Awalnya aku juga punya tujuan yang sama, tapi sekarang aku ingin dia jadi milik Noir dulu. Setidaknya sampai aku sudah tak membutuhkan adik tak berguna itu.
“Jadi begitu,” aku menahan perkataanku. Berpikir sejenak dan baru melanjutkan ketika Misora sudah agak tenang. “Bilang padanya kalau aku berselingkuh dari mu. Biarkan Noir menghiburmu dan kau bisa berpura-pura tersentuh dan cobalah bersabar jadi pacarnya sementara waktu.”
“Apa kau gila!? Yang aku mau menjauh darinya. Sebenarnya kau ingin menolongku atau menjatuhkanku!” Misora mengamuk, dia berteriak sekarang.
Kepalaku sakit. Aku tak tahu kalau menghadapi seorang wanita itu begitu merepotkan. Kalau saja ada Glafira, pasti aku bisa menemukan solusinya, tapi percuma saja. Glafira sedang sibuk dan dia sudah bilang agar aku mengurus masalahku sendiri.
“Aku bilang hanya untuk sementara waktu. Setelah itu percaya padaku, aku akan menjauhkannya dari hidupmu selamanya.”
“Memangnya siapa yang bisa percaya! Jujur saja, kau sebenarnya hanya memperalatku, kan!”
“Tentu saja tidak. Duduk dulu dan tenangkan dirimu, Misora.”
“Pembohong! Aku akan bilang kepada Nona Glafira. Percaya pada laki-laki itu perbuatan bodoh!”
“Aku bilang duduk dan diam,” bentakku. Aku sudah kehilangan kesabaranku, mulai cemas ketika dia membawa nama Glafira. Ini akan buruk bagiku jika sampai Glafira tahu, setelah semua kekacauan ini. Memberitahunya dan membiarkannya yang menyelesaikannya hanya membuatku tampak buruk. Aku tidak peduli pada pandangan orang lain atau pemikiran Misora padaku, tapi aku sangat peduli pada bagaimana penilaian Glafira.
Misora terdiam, mungkin dia takut mendengar bentakanku.
“Oke, untuk sekarang sebaiknya kau pikirkan dulu. Kita bicarakan lagi besok,” aku mundur selangkah. Mencegahnya menangis saat melihat matanya yang mulai sembab. Kuturunkan suaraku, membujuk seolah ada solusi lain. Padahal besok aku hanya akan mengulang hal yang sama, membujuknya untuk berpisah di hadapan Noir.
“Baiklah,” jawab Misora lemah. Dia agaknya menyerah padaku, tapi tak ada tanda-tanda akan setuju pada kemauanku. Sepertinya memintanya menerima Noir itu mustahil, setidaknya untuk putus itu mungkin bisa. Aku bisa repot jika Misora tak mau, sebab aku masih ingin meminta sesuatu pada Noir nanti.
Aku kemudian mengantarkannya pulang ke rumah Fanette. Hingga sekarang Misora masih tinggal di sana untuk alasan keamanan. Sesampai di gerbang rumah, aku menurunkan Misora. Niatku ingin segera pergi begitu ia sudah turun, tapi Misora malah menahan pintu mobilku, dia meminta agar jendelanya diturunkan.
“Hail, aku tidak ingin putus,” ucapnya. Lagi-lagi mencoba untuk mengubah keputusanku.
Pada saat itulah, Glafira melintasi kami sambil menunggangi kuda. Dia datang dari dalam rumah Fanette, terlihat sangat kesal. Mukaku memucat seketika saat dia berhenti di depan kap mobilku.
“Glafira!? Bukannya kau sedang menemui para tetua?” apa yang dia lakukan di sana? Bertemu dengan Daran? Atau Fanette? Siapa yang peduli. Aku harus memikirkan sesuatu, alasan yang tepat untuk menghapus kemarahannya. Aku yakin kalau saat ini Glafira salah paham, dia pasti berpikir kalau aku memang berhubungan dengan Misora.
“Persetan dengan hal itu! Pulang kau sekarang!” marah Glafira, langsung memerintahku untuk pulang.
“Nona Glafira, dengarkan aku,” kata Misora di saat yang sama. Dia mendekati kuda Glafira, berniat meminta tolong padanya. Misora masih mengira bahwa apa pun yang dia lakukan denganku atas sepengetahuan dan perintah Glafira.
“Diam kau! Siapa yang bilang kau boleh memiliki Hail? Dia milikku, sebaiknya jauhkan tanganmu darinya!” Glafira membentak, tentunya dengan tatapan jahatnya. Tak ada akting pura-pura baik atau niat menolong. Dia sepenuhnya telah menjadikan Misora sebagai musuh. Perempuan malang itu terkejut, lari ke dalam rumah dengan ketakutan. Sekarang aku dapat masalah, tak ada lagi umpan untuk memancing Noir. Belum lagi ancaman dari kemarahan Glafira.
“Apalagi yang kau tunggu! Aku bilang pulang sekarang!” bentak Glafira lagi, kali ini tertuju padaku.
Aku tak berani lagi membalas, segera menyalakan mesin dan melaju pulang ke rumah. Dari kaca spion, aku mengintipnya. Glafira tak beranjak dari saja, dia masih diam di atas kuda yang tak bergerak. Menggenggam pelana dengan sangat erat. Jelas sekali sedang menahan emosi. Ini buruk, sebaiknya aku menyiapkan mental untuk hukumannya nanti.
***
Ini sudah malam, tapi Glafira masih belum pulang juga. Kupikir dia akan segera pulang setelah menenangkan diri, tapi nyatanya sampai sekarang belum tiba juga. Rasanya tak mungkin dia singgah dulu untuk bekerja. Glafira yang kukenal akan langsung pulang dan melampiaskan segala emosinya. Kecuali, jika aku tidak lagi penting baginya.
Aku merasa cemas, mondar-mandir di ruang tamu menunggu dengan gelisah. Ingin pergi mencarinya, tapi takut kami selisih jalan dan membuatnya makin marah padaku. Glafira pernah bilang padaku untuk tidak berhubungan dengan wanita mana pun, dia meminta kesetiaanku dalam segala bentuk. Tak boleh membagi prioritas atau peduli pada orang lain, selain dirinya.
Aku selalu setia dan mementingkan perintahnya. Kali ini saja, aku membuat kesalahan dengan tak memberitahunya tentang kegiatanku. Aku harap Glafira bisa mengerti kalau itu hanya salah paham, aku tidak mungkin memacari siapa pun dengan alasan apa pun juga. Mengatasi satu Glafira saja sudah menguras semua energiku.
Akhirnya Glafira pulang juga. Setelah memasukkan kudanya ke dalam kandang, dia masuk ke rumah. “Kau sudah pulang, kenapa larut sekali?” Glafira tak menjawabku, dia berjalan melewatiku begitu saja, lurus menuju ke arah kamar tidurnya. Aku buru-buru menyusulnya, menahan tangannya. “Kau marah? Dengar dulu penjelasanku.” Mencoba menjelaskan padanya.
Namun, Glafira menepis tanganku. Dia memberi tatapan muak pada, bersandar pada pintu kamar tidurnya. “Aku tidak ingin mendengar apa pun. Mulai sekarang jangan pernah menemui perempuan itu apa pun alasannya, itu saja.” Glafira memberi perintah dengan nada suara yang dingin. Dia tak pernah seperti ini padaku, selalu ada teriakan dan kemarahan yang tampak kentara sebelumnya.
“Tapi–“
BRAK!
Glafira membanting pintu kamarnya, tak ingin mendengar apa pun. Dia bahkan memotong perkataanku, sebelum selesai kuucapkan. “JANGAN MEMBANTAH!” teriak Glafira dari balik pintu. Aku terdiam, masih dalam posisi yang sama. Tercengang hingga tak tahu harus bagaimana merespons.
Pertama kalinya sejak kami bertemu, dia mengabaikanku seperti ini. Biasanya apa pun kesalahanku, Glafira selalu mau mendengarkan penjelasan dan menghukumku. Setelah itu dia akan memaafkanku. Kalau dia bahkan tak ingin mendengar penjelasan, lalu bagaimana caranya agar aku bisa dimaafkan?