BAGIAN SEPULUH

1642 Kata
Hail POV Hari ini adalah hari kesepakatan kami. Aku dan Misora datang bersama menerima undangan makan malam dari Noir. Tentu saja Noir tak tahu kalau Misora membawaku, dia sudah senang saat Misora menerima undangannya dengan syarat akan membawa seorang teman. Mungkin Noir mengira Misora akan membawa teman satu teaternya, maka dari itu dia memasang wajah senang yang terlihat bodoh ketika menunggu kami di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota ini. Dan ketika Misora datang sambil menggandengku, aku bisa melihat wajah terkejut bercampur dengan murka. Begitu menyenangkan. Jantungku berdebar, seluruh tubuhku dipenuhi oleh semangat. Aku tak bisa menghentikan senyumanku ketika tatapan mata kami bertemu. “Perkenalkan, ini Hail,” ucap Misora. Wanita ini belum bisa membaca situasi, dia mengenalkanku saat kami sampai di depan meja Noir, tersenyum basa-basi. Sementara kedua tangan Noir sudah terkepal erat di atas meja, sama sekali tak ada niat untuk menyembunyikannya. “Senang bertemu denganmu, Tuan Amber,” ucapku. Dengan senang hati menyodorkan tanganku untuk bersalaman. Noir tak menerima jabatan tanganku, dia bahkan sama sekali tak berdiri. Hanya menatap dengan permusuhan. Melotot dengan intens seolah matanya bisa copot kapan saja. “Dingin sekali sikapmu, setelah sepuluh tahun tak bertemu,” sambungku. Setelah itu, aku duduk di samping Misora tanpa dipersilakan. Masih dengan wajah senang yang bertolak belakang dengan Noir. “Kenapa kamu membawanya, Misora?” tanya Noir pada Misora, dia berusaha menganggapku tak ada. Sementara Misora terlihat bingung. Dia menatap kami bolak-balik, berpikir apa yang sebaiknya dia lakukan. Namun, ketika aku tersenyum kepadanya, Misora membalas senyumanku dengan senyuman manis. Akting yang sempurna seperti pasangan yang mabuk cinta. “Karena aku ingin mengenalkannya padamu. Kamu selalu bertanya kenapa aku menolakmu, jadi kupikir lebih baik kalau aku menjelaskannya. Aku dan Hail sudah berhubungan cukup lama dan kami berencana serius untuk ke depannya. Makanya aku harap kamu mau mengerti, Noir.” Lihat betapa pucatnya wajah Noir saat mendengar jawaban Misora, lengkap dengan senyum malu-malu yang membuatnya muak. “Jangan bohong! Kalian tak pernah terlihat bersama sebelumnya dan b******n ini tak pernah peduli padamu. Dia hanya ingin balas dendam padaku,” teriak Noir. Tak mau percaya pada perkataan Misora, dia bahkan sudah berdiri sambil menggebrak meja. Misora terlihat makin bingung, dia memegang lenganku, memberi tatapan cemas. “Hail, sebenarnya ada apa ini? Kalian sudah saling kenal?” tanyanya padaku. Butuh bantuan untuk memutuskan apa yang sebaiknya dia katakan untuk membalas perkataan Noir. Misora tak menyangka pembicaraan kami akan mengarah ke situasi semacam ini. “Tenanglah Misora, biar aku yang berbicara dengannya.” Aku sengaja meremas tangan Misora di depan Noir. Membelai rambutnya sok perhatian hanya untuk membuatnya semakin cemburu dan Misora yang lamban masih belum paham situasi. Dia pasti berpikir semua ini masih bagian dari akting kami. “Jangan menyentuhnya!” bentak Noir. Selanjutnya, dia mencengkeram kerah bajuku. Menarikku menjauh dari Misora untuk memukul wajahku. Sayangnya, aku bisa menangkap tangannya dan memukul balik hingga membuatnya terduduk di lantai. “Punya hak apa kau, berkata seperti itu. Misora kekasihku, kaulah yang seharusnya berhenti mengganggunya,” balasku. Aku puas sekali, tertawa seperti pemenang dan menatapnya merendahkan. “Dasar b******k! Beraninya kau menipu Misora!” Noir bangkit lagi, mencoba memukulku dan lagi-lagi dialah yang kena pukulanku. Tuan muda manja sepertinya yang tahunya memerintah orang, bahkan tak tahu caranya memukul yang benar. Segala teriakan menggertak dan tingkah sok itu hanya berakhir mempermalukan diri sendiri. Pengunjung lain restoran ini hanya menonton, beberapa tertawa menikmati pemandangan menarik drama perebutan wanita. Pelayan restoran ini sudah panik, pergi memanggil manajernya dengan wajah pucat. Tak lama, Misora ikut panik. Ia menahan tanganku agar berhenti memukul Noir. “Hentikan, tak perlu pakai kekerasan,” ucapnya. “Kalau Anda sekalian masih tak bisa tenang, saya akan panggil polisi.” Di saat yang sama, sang manajer telah datang. Berdiri di tengah-tengah kami, ia mencoba menghentikan kami dengan gertakan. Aku mundur, mengangkat kedua tanganku dengan sikap yang tenang. “Oke, oke. Aku paham,” ucapku. Kurasa sudah cukup untuk salamnya, aku harus berhenti sebelum mereka membawa-bawa polisi. Glafira bisa marah kalau tahu aku bertindak sendiri dan menyusahkannya kemudian. Namun, Noir tak mau berhenti. Dia berteriak memanggil dua orang pengawalnya yang menunggu di luar untuk masuk dan memukuliku. Karena sudah terlanjur kacau, sekalian saja kutunjukkan kekuatanku. “Jika kau pikir hanya dengan dua orang saja cukup untuk menghajarku, maka kau salah Noir. Kau masihlah anak bodoh yang tak bisa apa-apa,” cibirku. Detik berikutnya, aku sudah fokus saling adu jotos dengan kedua laki-laki bertubuh bongsor itu. Sementara Noir tengah berdebat dengan Misora, ia tak mendengarkanku. Malah sibuk mencoba dengan keras meyakinkan pada Misora kalau aku adalah laki-laki yang buruk. Aku menahan tendangan dari arah kananku dengan lenganku, kemudian berputar untuk menendang seseorang yang datang di sebelah kiri. Pria itu terjungkal, jatuh menabrak sebuah meja yang berada di dekat kami. Ketika aku ingin menghampirinya untuk menendangnya sekali lagi, bahuku ditarik oleh rekannya. Tubuhku terputar menghadap kembali padanya, di saat itulah, sebuah tinju dilayangkan tepat di depan wajahku. Aku termundur sedikit, berdiri dengan goyah seraya mengusap tepian bibirku yang sobek. Dia tak tinggal diam. Dengan cepat, tinju berikutnya ia layangkan ke arah yang sama. Kali ini aku berhasil menghindarinya, sekaligus memberikan satu pukulan balasan di tempat yang sama. Pukulan laki-laki ini sangat kuat, tetapi gerakannya lambat dan mudah terbaca. Menghadapi mereka berdua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan latih tanding bersama Glafira atau pertarungan dengan Yasa. Aku menyengir, memukulnya perutnya di gerakan selanjutnya. Tak peduli meskipun rekannya sudah kembali untuk membantunya, aku masih bisa menghadapi mereka dengan bermain-main. Setiap kali mereka menyerang, aku menghindar. Lalu kembali menyerang balik dalam satu gerakan cepat. Tak butuh waktu lama hingga kedua pengawal Noir terkapar di lantai. Tak lagi sanggup bangun hingga membuat raut wajah tuan mereka menjadi pucat. Dengan percaya diri, aku menghampiri Misora dan Noir. Menarik wanita itu dalam dekapanku, sembari memberi tatapan mengancam pada Noir. “Sudah cukup bicaranya, kuambil kembali wanitaku,” ucapku dengan suara keras. Gigi Noir menggeretak, tangannya terkepal erat. Dia ingin berteriak dan melawan, tapi rasa takut membuatnya hanya bisa menatap menyalak tanpa bisa berbuat apa-apa. “Sebaiknya kau tak macam-macam padanya lagi, tidak selama aku masih belum bosan padanya,” bisikku kemudian. Memastikan kalau hanya Noir yang mendengarnya, hanya untuk membuatnya semakin marah. Sengaja membuat kesan seolah hanya Misora yang serius padaku dan aku hanya ingin mempermainkannya saja. Kemudian, aku menarik tangan Misora mengikutiku pergi. Berjalan dengan cepat secara buru-buru, mencoba lari sebelum polisi yang dipanggil oleh manajer restoran itu datang. Aku masih bisa mendengar makian Noir pada pengawalnya, menyalahkan mereka atas ketidakmampuannya. Setengah jam kemudian, kami sudah berada di sebuah taman dekat rumah Fanette. Kami singgah di sana sebentar karena Misora ingin mengobati lukaku, sekalian membicarakan beberapa hal sebelum ia kembali ke rumah sahabatnya itu. “Kau tak bilang kalau kalian saling kenal,” keluh Misora dengan muka cemberut, kesal usahanya gagal karena ketidakjujuranku. “Kau tak bertanya. Lagian kau harusnya bisa menebak kalau Noir tak akan menerimanya begitu saja.” Aku menjawab dengan cuek, sama sekali tak peduli pada perasaannya atau kesan Noir padanya. Satu-satunya yang kupedulikan adalah keadaan yang akan menjadi menarik setelah ini. Main pura-pura berpacaran tak akan selesai dalam sehari. Setelah ini hingga beberapa waktu ke depan. Aku masih akan terus dihibur oleh kesombongan Noir. “Tapi kau jadi terluka seperti ini, aku tak enak.” “Tak usah kau pikirkan, aku sudah puas bisa memukulnya. Daripada itu, sebaiknya kau bersiap untuk melanjutkan sandiwara ini. Noir tak akan berhenti, dia hanya akan lebih nekat.” Misora tak senang dengan semua ini, tapi dia tak punya pilihan. Setelah semua kekacauan ini, dia hanya bisa melanjutkannya atau mengakui kebohongannya. Yang jelas menghadapi orang menyebalkan seperti ku jauh lebih baik daripada berurusan dengan laki-laki yang terobsesi padanya. Semua ini persis seperti yang kuharapkan. Jika aku belum boleh muncul secara terang-terangan dan membalaskan dendamku dengan cara frontal, maka aku tak keberatan untuk sedikit bermain-main dulu dengan Noir. “Jangan katakan ini pada Fanette, dia bisa cemas nantinya,” perintahku. Aku berkata manis seolah peduli itu hanya karena tak ingin repot berurusan dengan perempuan itu. Fanette yang kutahu adalah wanita cerdas yang sulit untuk dipermainkan, mengikut sertakannya dalam permainan yang tak membawa Glafira sama saja dengan menggali kuburku sendiri. Akan lebih baik jika sementara hanya aku, Misora dan Noir saja yang terlibat. “Baiklah. Aku juga tak ingin membuat Fanette lebih khawatir.” Misora yang bodoh, masih saja belum tahu sifat asli Fanette. Yang dia tahu hanyalah penampilan luarnya yang tampak baik, sosok nona muda bermartabat yang baik hati. Itu bagus untukku, karena begitu ia memberitahukan pada Fanette, maka segala pencucian otak kami akan berakhir sia-sia. Misora akan segera tahu kalau dia hanya diperalat saja. “Lalu bagaimana dengan perkembangannya? Hal yang Glafira minta tempo hari.” Sekalian aku mengecek perkembangan Misora menghasut Fanette. Tindakan yang sebenarnya kupikir sia-sia saja, tapi karena Glafira pikir itu patut untuk dicoba. Maka aku akan mencoba percaya kalau semua itu ada gunanya. Misora menggeleng sebagai jawaban, menjelaskan betapa sia-sianya usaha mencuci otak Fanette. “Aku sudah mencoba meyakinkan kalau rencana pernikahan dengan Kenan hanya akan membuatnya menderita, tapi Fanette tak mau dengar. Dia takut dengan Paman Daran. Soalnya yang menyuruhnya bertunangan adalah ayahnya. Kalau saja Paman Daran bersedia membatalkannya, Fanette tak harus menikah dengan laki-laki seperti itu.” Dengan wajah sedih, Misora menjelaskan semuanya. Ketidaktahuan dan kesalahpahamannya. Omong kosong kalau Fanette takut pada Daran, dia pasti punya maksud tersendiri dengan pernikahan itu. Hanya saja apa itu, aku harus memastikannya lebih dulu. Apakah Fanette bisa diajak kerja sama juga atau tidak. “Kenapa kau tak mencoba membujuk Daran?” tanyaku. “Aku tak berani, Paman Daran sangat sibuk.” “Cobalah dulu, jangan mengeluh.” Aku berpura-pura memberinya saran, padahal Daran sudah ada dalam genggaman tangan kami. Hanya tinggal menunggu waktu hingga dia beralih membantu rencana Glafira, tapi yah... lebih baik mempersiapkan rencana cadangan daripada nanti semuanya menjadi tak terkendali. Siapa tahu saja Daran berubah pikiran dan akan lebih baik jika kami punya Fanette sebagai sekutu di saat seperti itu.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN