Glafira POV
“Mau sampai kapan kau cemberut seperti itu?” tanyaku, setelah kami pulang ke rumah. Hail terus saja memasang wajah cemberut sejak aku menyuruhnya memperlihatkan bukti akan identitasnya. Berkat itulah, Daran bersedia mempertimbangkan proposalku. Itu belum pasti, tapi akan menjadi pasti ketika waktunya tiba.
“Ini awal pembalasan dendammu, jangan hanya karena hal kecil saja merajuk begitu,” ucapku lagi.
“Juga awal dari mengejar ambisimu. Tak semua yang kau lakukan demi aku,” balas Hail. Tampaknya dia lupa diri kalau dirinya tak berhak untuk menghakimiku. Haknya sebagai seorang manusia telah dia buang jauh-jauh hari. Berlagak seolah dia masih punya hak untuk keberatan, bukti dari kegagalanku melatihnya. Sepertinya Hail harus diberi sedikit pelajaran lagi.
“Jangan membalasku!” bentakku. Kutarik tangannya, mendorongnya hingga terduduk di kursi ruang tamu. Lalu kucengkeram rahangnya, membawanya mendekat ke wajahku. Aku menatapnya dengan marah, menekan permukaan kulitnya untuk membuatnya mengerti kalau aku kesal mendengarnya terus membalasku.
“Seorang b***k hanya perlu menjawab dengan iya dan bertindak sesuai perintahku. Paham?” tanyaku. Lebih ke penekanan, memaksanya untuk menegaskan kembali posisinya.
Hail menatap ke bawah, tak peduli meskipun kepalanya terdongak seolah tekanan jari-jariku. “Aku tahu,” jawabnya pelan. Sikapnya mirip dengan anjing yang dibuang, lengkap dengan ekspresi yang minta dikasihani. Aku jadi sulit untuk marah padanya, ada sesuatu dalam diri Hail yang selalu bisa membuat hatiku gundah.
Tak peduli dulu atau sekarang, kesan yang dia tinggalkan padaku selalu terasa amat kuat. Membuatku tak marah padanya lama-lama, tak bisa terlalu tegas padanya. Akhirnya selalu saja sama, cara menatapnya itu selalu membuatku ingin memeluknya daripada berteriak padanya. Selalu ada rasa puas tersendiri ketika memanjakan Hail, rasa senang seorang majikan saat melihat tingkah bawahannya yang imut.
“Jangan memasang wajah begitu, kau tahu aku selalu peduli padamu.” Ujung-ujungnya akulah yang membujuknya, membawa kepalanya dalam pelukanku. Membelai wajahnya dengan lembut hanya agar Hail kembali tersenyum dengan hangat kepadaku.
Orang-orang di sekelilingku kebanyakan busuk dan munafik. Beberapa mungkin mendukungku, tapi itu hanya karena mereka tahu aku punya kemampuan yang menghasilkan banyak uang untuk famili. Hanya Hail yang tak melihatku seperti itu, dia melihat seorang Glafira. Hanya Glafira, seorang wanita egois dan semena-mena. Bukan kepala keluarga Ghea ataupun seorang penguasa yang bisanya memaksa orang-orang untuk tunduk dengan status sosialnya.
Aku ingin menghargai Hail, ingin memperlakukannya dengan lebih baik lagi. Namun, terkadang kebiasaan sejak dulu itu sulit untuk dihentikan dan akhirnya aku selalu saja membentak dan memerintahnya sesukaku. Mungkin juga karena aku memang suka melihatnya patuh padaku, jiwa ingin mendominasiku itulah sebabnya.
Hubungan antar majikan dan b***k ini ingin segera kuakhiri, tapi aku tak pernah bisa menemukan bentuk hubungan lain yang cocok untuk kami jalani sebagai gantinya. Aku tak bisa membayangkan akhir tanpa Hail, tak bisa hidup tanpa melihatnya berada di sisiku. Aku mungkin selalu terlihat tak peduli dan tegar, tapi aku bisa menjadi kuat bukan karena diriku sendiri. Itu semua kudapat karena aku tahu kalau aku tidak sendirian, karena aku tahu Hail akan selalu ada.
Aku mungkin yang menyelamatkan nyawa Hail, tapi dialah yang menyelamatkan hatiku dari kehancuran. Aku hanya tak pernah mengungkapkannya dan kalau bisa tak akan pernah kuucapkan. Meskipun aku ingin Hail tahu akan isi hatiku yang sebenarnya.
“Aku tak marah, seorang b***k tak berhak untuk marah.” Aku benci membuat Hail berkata demikian. Aku tahu kalau akulah yang membuatnya berucap seperti itu, tapi aku tetap tak suka mendengarnya berkata demikian. Kenapa begitu susah, hanya untuk membuatnya paham posisinya, tapi juga tak merendahkan diri sendiri. Aku ingin dia mendengarkan semua perkataanku tanpa membuatnya terluka, atau merasa terpaksa. Apa yang seperti itu begitu sulitnya?
Kau bukan b***k, tapi tangan kananku. Aku ingin menjawabnya seperti itu, tapi aku tak bisa mengucapkannya. Aku tak punya keberanian untuk membuat Hail tahu kalau dia bisa membantahku. Aku tidak ingin dia berpikir kalau dia bisa meninggalkanku, jika ia tahu kalau aku tak benar-benar memandangnya sebagai seorang b***k.
Keegoisan, itulah alasannya. Hanya karena aku ingin menang sendiri, ingin memonopoli seluruh yang ada padanya. Hatinya, jiwanya, pikirannya dan juga tubuhnya. Semua yang ada pada Hail adalah milikku.
“Kelihatannya kau sudah paham, Hail. Ini hadiahmu.” Aku lalu menciumnya, menyenangkannya. Aku tahu laki-laki punya yang namanya hasrat dan karena aku tak mengizinkannya berhubungan dengan wanita lain, aku yang memberikan semua kebutuhannya. Hubungan seperti ini tak sehat, mungkin juga tak bermoral. Akan tetapi aku hanya tak mau peduli meskipun paham benar. Hidup di dunia yang busuk, penuh perbuatan buruk dan tak pernah segan menghabisi nyawa manusia lebih buruk dari segalanya. Aku yang sudah terbiasa akan hal itu, tak akan merasa bersalah hanya karena melakukan sedikit dosa tambahan.
***
Hail POV
Aku menemui Yasa sekali lagi, ingin bertanya mengenai Noir. Kemarin aku lupa membicarakannya dengan Glafira, tapi itu bukan berarti aku akan tinggal diam. Yasa tak menunjukkan perubahan emosi apa pun saat aku mendatanginya. Dia seolah aku akan datang padanya. Senyuman licik itu tak pernah berubah, selalu saja membuat orang waswas, bertanya-tanya apa isi kepalanya.
“Kalau mau marah soal Noir, aku tak melanggar perjanjian apa pun. Dia sudah tahu lebih dulu sebelum kita membuat perjanjian,” ucapnya saat aku baru saja duduk, seolah tahu isi pikiranku sebelum aku berkata apa pun. Jadi benar, Noir tahu akan keberadaanku.
“Kalau begitu, seharusnya kau tak memerasku,” marahku, membalas perkataannya. Yasa tertawa kecil sebagai respons. “Salahmu sendiri kenapa mau melakukannya, aku tak pernah berkata kalau hanya aku yang tahu. Kau yang harus lebih kritis dalam mendengarkan. Glafira tak akan tertipu seperti mu, kau masih belum matang Hail.”
“Kau memang busuk.”
“Ini namanya bisnis. Jangan membawa dendam, oke. Aku tak dendam kepada kalian soal luka ini, dan aku harap kalian juga tak membawa hati dalam urusan bisnis,” ujar Yasa, menyentuh bahunya, bagian di mana Glafira melukainya tempo hari.
Jadi semua tebakan Glafira memang benar. Orang ini tahu segalanya, tak ada gunanya menyembunyikan atau khawatir tentang apa pun yang berkaitan dengannya. Dia akan selalu mempermainkan orang dan mencari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Aku harus menenangkan pikiranku, memutar otakku dan menggunakannya dengan bijak. Yasa bisa saja jadi alat selama itu bisa saling menguntungkan.
“Sejauh apa Noir tahu? Bagaimana dengan Kenan?” Kusodorkan sebatang emas seberat 100 gram bersama dengan pertanyaan itu. Dan tentu saja dia langsung mengambilnya, memberi tahu semua yang kumau.
Untungnya Noir begitu bodoh, dia lebih memilih untuk melawan kami sendirian daripada meminta bantuan Kenan. Jika begitu akan lebih mudah untukku berhadapan dengannya. Noir tak bisa mengendalikan emosinya dengan baik dan ada Misora di pihak kami, tak akan sulit menghancurkannya. Baiklah, aku akan mulai dari yang kecil dulu dan setelah itu baru mendekati Kenan.
Aku pun pergi menemui Misora setelah berpisah dengan Yasa. Menjemputnya di rumah Fanette dan membawanya ke sebuah kedai teh. Kami duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Memesan teh dan kue seolah ini hanya pertemuan biasa antara sesama teman. Meskipun raut wajah Misora tampak gelisah, dia tak nyaman berdua saja denganku. Kurasa karena aku pernah menculik dan menakutinya, di samping itu juga, dia hanya memercayai Glafira.
“Nona Ghea di mana?” tanya Misora, melirik ke arah pintu berkali-kali. Mungkin dia mengira aku menjemputnya untuk bertemu dengan Glafira, tapi sayangnya aku bahkan tak mengatakan pada Glafira kalau aku akan pergi menemui Yasa dan Misora.
“Dia tak datang. Yang ingin berbicara denganmu adalah aku, bukan Glafira,” jawabku. Misora diam sebentar, menatapku dengan curiga. Membuatku kesal sendiri, walaupun tak kutunjukkan emosi itu sama sekali. “Jangan takut, aku tak akan melukaimu. Teman Glafira adalah temanku juga,” ujarku. Mencoba membuatnya lebih rileks dan percaya kalau aku tak berbahaya.
“Bukannya aku takut.” Lalu itu apa? Wanita itu bahkan tak berani menatapku dan masih bisa berkata kalau itu bukan rasa takut. Menyusahkan, itulah kenapa aku benci berurusan dengan wanita biasa. Terserahlah, lebih baik kuselesaikan urusanku segera dan pergi secepatnya dari sini.
“Apa Noir masih mencarimu?” tanyaku kemudian.
“Beberapa kali, tapi Fanette menyuruh pelayannya mengusir Noir saat dia datang ke rumah.” Kali ini Misora langsung menjawab. Tampaknya dia juga terganggu atas tindakan Noir yang makin agresif. “Dia juga datang ke gedung teater. Aku memang bisa menghindarinya sementara ini, tapi aku takut dia akan bisa menemukanku. Bisa tolong tanyakan pada Nona Ghea? Apa dia bersedia menolongku?” Sebab, setelah itu dia meminta bantuan padaku.
Aku tersenyum dalam hati, merasa senang mengetahui kalau Noir dianggap pengganggu oleh wanita incarannya. Namun, di luar aku menunjukkan wajah yang serius. Menatapnya bersimpati seolah peduli. “Kami akan menolongmu,” jawabku. “Lalu apa yang kau inginkan dari kami. Katakanlah padaku, tak perlu sampai bertemu dengan Glafira. Bagaimanapun juga, aku berjanji akan melindungimu dari Noir.” Setelah itu aku berbicara seperti orang baik, berpura-pura akan menolongnya. Memberi janji yang terdengar manis, tapi yang pasti akan berakhir dengan pahit saat keberadaannya sudah tak kubutuhkan.
“Kau bisa berpura-pura menjadi pacarku dan berbicara dengan Noir?” pinta Misora. Sedikit mengejutkan, tapi itu terdengar menarik. Aku bahkan sudah bisa membayangkan bagaimana raut wajah Noir saat Misora mengenalkanku sebagai pacarnya.
“Tentu saja. Sudah aku katakan, aku akan melakukan apa saja untuk menolongmu,” jawabku dengan senyuman di wajahku. Misora menghela napasnya lega, tak tahu kalau pilihannya itu hanya akan lebih mengacaukan hidupnya. Ia mungkin mengira jika Noir akan menyerah kalau dia mengenalkan pacarnya. Tanpa tahu bahwa Noir hanya akan semakin terbakar amarah saat dia membawaku untuk diperkenalkan sebagai pacar.
“Syukurlah. Aku selalu berpikir ingin memakai cara ini, tapi aku takut meminta tolong bantuan orang lain. Tak ada yang berani mengambil risiko bersaing dengan seorang tuan muda keluarga Amber. Kuharap permintaanku tak membawa masalah untukmu.” Tentu saja, tak akan ada yang mau mati di tangan tuan muda pencemburu itu.
“Tak perlu sungkan padaku. Aku malah dengan senang hati membuat masalah dengannya, tapi sebelum itu. Sebaiknya kau perbaiki sikapmu, Noir tak akan tertipu kalau kau terlihat setegang itu di samping orang yang kau sebut pacar.” Hanya saja, aku juga Amber. Sesama manusia berhati gelap yang senang menjatuhkan harga diri orang lain. Misora tak tahu itu dan lebih baik tak pernah tahu.
“Eh!? Baik, aku akan berusaha,” jawab Misora. Selanjutnya, kami berlatih menyesuaikan diri agar terlihat seperti pasangan. Mengarang cerita pertemuan hingga kami berpacaran agar jawaban kami cocok ketika Noir bertanya. Walaupun aku ragu Noir akan bertanya, palingan dia keburu emosi dulu dan menggunakan kekerasan padaku.