BAGIAN DELAPAN

1794 Kata
Hail POV Aku terus saja merasa gelisah. Ingin menoleh ke belakang dan memastikan ulang penglihatanku, tetapi lirikan sinis Glafira yang berada di sebelahku membuatku tak berani bergerak sama sekali. “Ada apa denganmu?” tanya Glafira, menyenggol tanganku. “Ada No – ” aku baru akan menjawab, tetapi teriakan Glafira yang menawar dengan ganas memotong perkataanku. “Satu juta!” teriaknya lagi, sangat ngotot ingin memiliki sebuah mantel yang dilelang. Aku menyerah untuk berbicara dengannya. Saat aku sadar kalau saat ini dia sudah sibuk saling melempar tatapan mengancam dengan wanita lain yang tak kukenal. Mereka memperebutkan mantel kulit yang sama. Benda yang tak kupahami kenapa bisa begitu berharganya. Saat dia selesai dengan perebutannya, Glafira menghabiskan sepuluh juta hanya untuk satu buah mantel dan sepasang sepatu. Wajahnya terlihat puas menjadi pemenang alih-alih karena kesukaan pada benda itu. Sifat alami yang menyebalkan, penyebab utama kenapa hingga di umurnya yang ke dua puluh lima, masih belum ada yang melamarnya. Namun itu tak masalah, setidaknya hal itu membuat suasana hatinya membaik saat kami meninggalkan area pelelangan. Noir dan Kenan juga sudah entah ke mana, membuat ketegangan yang kurasakan mereda sedikit. Glafira membawaku ke sebuah ruangan pribadi di lantai paling atas. Hanya ada empat buah sofa tunggal dan sebuah meja bundar di sini. Diletakkan tepat di depan jendela yang menghadap halaman depan vila. Salah satu sofa diduduki oleh Daran Ester, di belakangnya ada dua orang pengawal yang berdiri dengan tegap. Dia menatap kami dengan tenang, isi pikirannya sulit terbaca olehku. Seorang pelayan berdiri di sisi lainnya, menuangkan segelas vodka pada Daran. Pria tua itu tersenyum bisnis, menggerakkan tangannya sebagai isyarat mempersilakan kami duduk di sofa yang berhadapan dengannya. Glafira segera berjalan ke sana, dia mengambil tempat duduk di sisi jendela. Kupikir aku harus berdiri di belakang dan berperan sebagai seorang penjaga, tapi Glafira malah menarik tanganku agar aku duduk di sampingnya. Aku masih belum bisa membaca apa yang ingin mereka bahas, selain fakta kalau Glafira ingin menghasutnya. Mengenai cara dan apa yang akan majikanku tawarkan, aku masih gamang. “Apa yang Nona inginkan, khalua milk?” tanya Daran, menawarkan minuman keras pada Glafira. Dia sama sekali tak melirikku, tak peduli lebih tepatnya. Fokusnya semua terarah pada Glafira, orang yang memiliki posisi yang sama dengannya. Meskipun aku yakin kalau sebenarnya dia tetap menganggap rendah Glafira. Menawarkan khalua milk pada Glafira? Jangan bercanda. Sebagai penguasa bisnis minuman keras, menawarkan minuman dengan tingkat alkohol sangat rendah sama saja dengan merendahkannya. “Cocoroco, aku telah membawa salah satu terbaik yang kami punya.” Lihat? Glafira sudah tersinggung. Dia sepertinya bahkan sudah bisa menebak bakal direndahkan oleh Daran, sampai-sampai membawa minuman dengan kadar alkohol tertinggi yang kami produksi secara ilegal. Hukum di kota ini hanya melegalkan alkohol hingga kadar 55% dan cocoroco yang kami produksi mencapai 90%. Kurang nekat apalagi coba? “Seperti yang diharapkan oleh kepala keluarga Ghea. Nona memang penuh kejutan,” balas Daran. Aku yakin dia masih bisa tersenyum seperti itu karena berpikir Glafira hanya menggertak dan dia tak bisa minum, tak tahu saja seberapa kuat ketahanannya. Karena Daran sudah setuju untuk menerimanya, Glafira meminta pelayan Daran untuk mengambilnya dengan supir kami di tempat parkir. Sementara menunggu, Glafira ingin sedikit berbasa-basi. Tak seperti dirinya yang biasanya, tapi yang pasti selalu ada maksud di balik tiap tindakannya. Awalnya mereka hanya mengobrol tentang bisnis saja, lalu secara perlahan Glafira mengubah arah pembicaraan dengan natural. Membawa pembicaraan ke arah yang ia harapkan. Yakni mengenai pertunangan antara Fanette dan Kenan yang sangat ingin dia batalkan. “Bagaimana kabar putrimu? Kudengar Tuan menunangkannya dengan Kenan Amber,” ujar Glafira. Daran masih saja sangat tenang, menatap langsung mata Glafira tanpa terintimidasi sama sekali. “Fanette baik-baik saja, putriku terlihat bahagia memiliki laki-laki baik di sisinya.” Tentu saja, dia tak menjadi kepala keluarga tanpa alasan. Ester selalu memilih kepala keluarga mereka dengan sangat hati-hati. Memaksa semua anak-anak bersaing secara terbuka dan memilih yang terbaik di segala bidang. Daran adalah lawan yang kuat bagi Glafira. Orang yang lebih ingin dijadikan sekutu daripada musuh, tapi sayangnya Daran memilih untuk bersekutu dengan Amber. Padahal di generasi sebelumnya, Ester memilih untuk tak berurusan dengan Amber maupun Ghea. Mereka cukup puas dengan bidangnya sendiri dan tak mau terlibat dengan perang dingin antar dua keluarga tersebut. Namun zaman sudah berubah. Semenjak Ghea mengalami krisis penerus dan harus mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin, Daran memutuskan untuk melakukan perubahan. Dia dan Kenan mungkin berpikir untuk menyingkirkan Ghea dan membagi wilayah bersama. “Sungguh? Tapi menurutku, Kenan dan Noir hanya sampah. Mereka mungkin anak Almeta, tapi kemampuan, mental dan pola pikirnya sangat menyedihkan. Amber akan segera hancur setelah Almeta tua yang sedang sekarat itu mati,” ucap Glafira. Sudah tak ada lagi rem di mulutnya, berbicara kasar dengan senyuman palsu di wajah cantiknya. Aku sampai terkejut, tak tahu harus bersikap seperti apa saat majikanku mulai menunjukkan taringnya. Ada apa dengan rencana berpura-pura jadi wanita terhormat yang memesona? Daran sendiri tercengang. Dari tadi yang dilakukan hanyalah menatap kecantikan Glafira dengan tatapan kagum, meskipun sambil merendahkan harga diri Glafira. Dan sekarang, dia dibuat kecewa dengan kepribadian Glafira yang sesungguhnya. Apa begini tak apa-apa? Memangnya masih bisa membujuk Daran saat minatnya pada Glafira sudah hilang? “Hahaha, kosakata Nona sangat berani,” komentar Daran. “Oh lihat, pelayan-ku sudah kembali. Kenapa kita tak mencicipi hadiah dari Nona dulu?” Di saat yang sama, cocoroco yang kami tunggu sudah sampai. Daran mengalihkan pembicaraannya, sibuk menyuruh pelayannya menyajikannya pada kami. Aku tahu kalau rencana Glafira sudah kacau di sini, Daran sudah tak ingin mengobrol ria dengan perempuan sekasar Glafira. Namun, Glafira masih belum menyerah. Dia mengambil gelas yang baru saja diisi oleh pelayan, meminum habis dalam satu tegukan. Cara minum yang jantan sekali, hanya akan membuat laki-laki menjauh darinya. “Sudah cukup pura-puranya. Aku memang tak cocok jadi perhiasan pajangan, menjadi bilah pedang Ghea lebih cocok untukku,” kata Glafira. Sepenuh sudah menyerah pada usahanya menipu. Kelihatannya sosok cantik bak pemata itu hanya akan digunakan agar diundang ke ruangan ini dan setelah masuk, dengan berani dia menunjukkan sosok yang sebenarnya. Yah, begini juga tak masalah. Menikmati sosok tipuan yang memukau itu tak boleh berlebihan. “Aku yakin kalau seorang yang kritis seperti mu juga bisa melihat dengan jelas. Kedua putra Almeta itu hanya sok bagus saja di depan publik, tapi kenyataannya mereka masih bergantung pada ayahnya. Mereka tak pantas menjadi pemimpin, mereka tak punya bakat dan kemampuan. Usaha juga hanya setengah-setengah.” Mulai deh mulut beracunnya, dengan tatapan tajam yang berani. Glafira telah sepenuhnya menunjukkan sikap untuk berduel. “Aku tak bisa menyangkalnya. Kalau bicara soal putra Tuan Almeta, jelas putra keduanya yang terbaik. Aku hanya pernah bertemu dengannya sekali, tapi tak diragukan lagi. Dia bisa menjadi kepala keluarga yang luar biasa. Sayangnya pemuda itu sudah tewas, tak ada yang bisa kulakukan selain menerima Kenan. Itu lebih baik daripada membiarkan seorang penguasa wanita,” balas Daran. Cara berbicaranya begitu halus dan tenang, begitu juga dengan sikapnya. Bisa-bisanya dia menghina Glafira secara tak langsung. Baik dengan omongan maupun tindakan, meminum minuman pemberian Glafira seolah tak apa-apa. Setidaknya untuk saat ini, dia telah berhasil mengalahkan Glafira dalam tantangan minum cocoroco itu. Namun, Glafira malah tersenyum seolah dialah pemenangnya, meminum gelas kedua dengan cara yang sama, cara yang terlalu jantan. “Tuan Daran tahu? Dia belum tewas dan ada di sini. Lihat baik-baik wajah ini, Hail Amber ada di sisiku,” ucap Glafira, membongkar identitasku tanpa peringatan. Entah karena sudah mabuk atau memang itu rencana awalnya, yang jelas aku jadi seperti orang bodoh saat dia berdiri tiba-tiba. Berjalan ke belakangku, merangkulku sambil mengangkat wajahku untuk dipamerkan. “Aku memungutnya sepuluh tahun yang lalu dan saat ini kami akan menghancurkan kekuasaan Kenan. Merebut posisi kepala keluarga untuk diberikan kepada Hail, lalu setelah itu Amber akan menjadi organisasi di bawah Ghea. Tak akan ada yang menolak pewaris yang berbakat, para petinggi Amber akan berada di sisi Hail. Bila begitu, apa Tuan masih berpikir kalau bekerja sama dengan Amber yang sekarang lebih menguntungkan?” Glafira mengatakan rencananya pada Daran dan sepertinya memang itu yang dia inginkan saat membawaku kemari. Aku agak kaget, tapi aku bisa mengerti tujuannya. Sejak awal memang ayahku ingin menjadikanku kepala keluarga, itulah alasan kenapa Fuchia ingin aku mati. Dibandingkan dengan Kenan dan Noir, aku lebih berbakat di segala bidang. Para tetua juga sudah mengakuiku hanya dalam waktu satu tahun sejak aku dibawa masuk ke rumah itu. Jadi masuk akal jika mereka ingin aku mengambil alih posisi Kenan, setelah tahu kalau aku masih hidup. Hanya saja, aku tak menyangka kalau bentuk balas dendam yang Glafira inginkan sedikit berbeda dari bayanganku. “Jangan berbicara omong kosong. Nona tak bisa membawa seseorang secara acak dan mengatakan kalau dia Hail Amber. Pemuda itu sudah tewas, mustahil kembali hidup.” Daran tak percaya pada perkataan Glafira, dia bahkan tak mau repot-repot menilaiku. Tak heran kalau mengingat berapa tahun yang sudah terlewatkan. Wajahku juga sudah berubah, tak akan semudah itu membuat orang percaya kalau aku adalah Hail Amber hanya karena memiliki umur dan nama yang sama. “Aku tak berbicara omong kosong. Tuan tak bisa menyebut seseorang telah mati tanpa melihat mayatnya. Malam itu, aku menolong Hail setelah Kenan menembaknya. Lihat dia baik-baik, dia pemuda yang sama dengan yang diperkenalkan Almeta sepuluh tahun yang lalu,” jelas Glafira. Kepercayaan diri dan kesombongannya membuat Daran sedikit tergugah, untuk sesaat pandangannya ia arahkan padaku. Menatap dengan lekat seolah tengah menilai. Aku membalas tatapannya dengan berani, menegakkan tubuhku. “Kau bisa menyelidikiku, Tuan Daran,” ucapku. Daran terdiam, dia mulai ragu. Kemudian dia bangkit berdiri, berjalan mendekatiku untuk melihat dengan jelas wajahku. Kami pernah bertemu sebelumnya, meskipun hanya bertukar sapaan saat aku masih remaja. Hanya saja, aku sangat yakin kalau tak banyak kemiripan yang tersisa. Aku ragu apakah cara seperti ini ada gunanya. Coba ingat kembali, apa yang kami bicarakan dulu, setidaknya mungkin itu bisa membuatnya memercayaiku. Aku harus membuat Daran percaya, atau rencana Glafira tak akan berjalan seperti yang dia harapkan. “Kau punya mata yang sama dengan pemuda itu,” komentar Daran kemudian. Glafira menyengir puas, dia merasa sudah akan menang. “Ingin melihat bekas tembakannya? Atau tato yang ditinggalkan oleh Almeta padanya?” tanya Glafira memancing. Benar juga, aku lupa kalau ayahku itu meninggalkan sebuah tato di bagian atas lengan kananku. Sebuah lambang yang menunjukkan identitas sebagai pewaris sah keluarga Amber. Kenan dan Noir juga punya yang sama, di tempat yang sama juga. Saking bencinya aku pada mereka, aku berhenti untuk melihat cermin saat tak berpakaian dan melupakan tanda ikatan kutukan itu begitu saja. “Dia benar-benar punya?” Daran bertanya balik, ada rasa penasaran yang tampak jelas kali ini. Tampaknya jika aku memang Hail yang dia kenal, mungkin keputusan Daran akan berubah. “Tentu saja. perlihatkan padanya, Hail,” perintah Glafira. Memangnya aku bisa apa jika sudah diperintah seperti itu? Perintahan Glafira adalah mutlak. Bahkan ketika aku tak ingin melakukannya, aku tetap membuka pakaianku dan memperlihatkannya pada Daran.                            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN