Hail POV
Prang!
Suara itu menyita perhatian kami seketika, kaca jendela mobil Yasa berhasil dipecahkan. Yasa mulai panik ketika melihat kedua anak buah Glafira tengah mengeluarkan Misora dari sana. Dia sedikit lengah hingga memberi kesempatan bagi Glafira untuk menebas bahunya.
Yasa berbalik lagi karena kesal. Dia memutuskan untuk menghadapi Glafira dengan serius, berusaha membereskan kami secepat yang bisa agar bisa mengejar dua orang yang telah membawa lari sanderanya. Yasa melayangkan tinju kirinya, di saat yang sama mengayunkan pisau kanan mengincar kepala Glafira dari dua arah. Untungnya Glafira bisa menahan pisau itu dengan bilah pedangnya, dan dengan tangan lain menusuk perut Yasa ketika ia menerima tinju itu.
Sayangnya luka tusukan itu tak terlalu dalam, mungkin hanya masuk sekitar satu sentimeter saja. Karena Yasa sempat melengkungkan tubuhnya ke belakang saat pedang Glafira tertuju padanya. Sungguh tubuh yang lentur, gerakan yang cepat dan tindakan yang tenang.
Aku tak bisa lagi berlama-lama membiarkan Glafira mengurusnya sendirian. Ketika aku telah selesai menutup luka di lenganku, aku segera kembali ke posisiku. Menyerang dari belakang, mengincar kepalanya. Siapa yang peduli soal cara licik dan kecurangan di sini? Selama bisa menang, tak masalah apa pun caranya.
Belakang kepala Yasa berdarah akibat pukulan keras dari ku. Ia menoleh, dengan cepat menendang perutku hingga aku terhempas lagi. Termundur beberapa langkah, dan di saat itulah ia mendekatiku dengan cepat. Senyum di wajahnya amat mengancam, dengan gerakan tangan yang gesit di arahkan ke mataku.
Sedikit lagi aku hampir buta. Terima kasih pada Glafira, wanita itu dengan cepat membaca gerakan Yasa. Ia telah lebih dulu mengunci leher Yasa dari belakang, menariknya menjauh dari ku. Sayangnya, Glafira harus melepaskan kedua pedangnya untuk mempertahankan kuncian itu. Hingga membuat pertahanannya melemah, Yasa pastinya mempergunakan kesempatan itu untuk menusuk tangan Glafira. Kuncian itu lepas. Yasa tertawa dengan keras, mengusap bilah pisaunya yang kini di penuhi oleh darah kami berdua.
Glafira mundur, berpindah ke sampingku. “Kita kabur,” bisiknya, memberi perintah.
Aku mengangguk sebagai balasan, berpura-pura lari ke arah Yasa untuk menyerangnya. Dan ketika ia mengelak ke samping, aku berguling ke tanah. Mengambil kedua pedang Glafira yang terletak di tanah, lalu lari ke arah berlawanan dengan Yasa untuk mengambil kuda Glafira.
Di saat Yasa sadar akan pergerakanku, ia berbalik melihat ke arah Glafira yang telah lebih dulu kabur dengan menggunakan kudaku. Kami mengambil rute pelarian yang berbeda, membuat Yasa bingung harus mengejar yang mana dan kenyataan kalau mobilnya rusak juga tak membantu. Dia harus menunggu seseorang datang menolongnya atau jalan kaki menuju pom bensin yang terletak dua kilometer dari sana.
Dengan itu, kami berhasil meloloskan diri. Tentunya dengan memastikan tak ada bukti yang tertinggal agar bisa digunakan untuk menyalahkan kami nantinya.
***
Satu jam kemudian, kami berkumpul di sebuah pondok di tepian kota. Mengambil Misora dari dua orang laki-laki itu. Setelah membayar mereka, Glafira melepaskan kuda yang kami pakai ke hutan di dekat sana. Menggantinya dengan mobil lain yang sudah di siapkan dari kemarin.
“Kau membayarnya? Bukannya itu anak buahmu?” tanyaku bingung, kenapa dia harus membayar mereka.
“Dasar bodoh. Aku tak mungkin menggunakan orang Ghea, mereka orang bayaran,” jawab Glafira ketus. Suasana hatinya sangat buruk setelah terluka, dia duduk di kursi belakang sendirian dengan muka jutek. Sedangkan aku menyetir dan Misora duduk dengan diam di sebelahku. Tak berani berbicara saat melihat kami berdua terluka dan terlihat sangat tak senang dengan itu.
Kuharap orang-orang itu tak membuka mulut mereka dan ditemukan oleh Yasa. Membayar orang luar memang ide bagus, tapi juga berisiko ketahuan jika mereka tak bisa dipercaya. Harusnya aku dan Glafira tak menunjukkan wajah kami pada mereka.
“Mereka bisa dipercayakan?” tanyaku lagi, memastikan.
Glafira mendengus, dia terlalu kesal untuk menjawab. Tak mau menjawab lebih tepatnya, merasa kalau dia tak perlu memberi penjelasan pada seorang b***k. Terkadang sikap Glafira itu membuatku sedikit terluka, tapi saat teringat kalau ia mencoba melindungiku ketika berhadapan dengan Yasa tadi... aku tak bisa untuk tidak merasa senang.
Selama perjalanan ke rumah Fanette, tak ada yang berbicara. Semua itu karena suasana buruk yang Glafira buat. Bahkan ketika kami sudah sampai di belakang rumah Fanette sekalipun, hanya aku yang bersuara.
“Masuklah ke dalam dan minta perlindungan dari Fanette. Kau harus tinggal di sini sementara agar Yasa berpikir kalau orang-orang Ester yang menolongmu,” jelasku. Mengulang instruksi yang Glafira berikan sebelumnya.
Misora berdiri di depan jendela kaca mobilku, ia masih belum pergi. Malah menatapku, terlihat bingung dan ragu. “Apa? Tanyakan apa yang mau kau tanyakan atau langsung masuk sana!” Aku jadi membentaknya tanpa sadar, tertular sifat buruk tak sabaran Glafira.
“Aku harus bilang apa sama Fanette kalau dia tanya kenapa aku menghilang dan tiba-tiba datang ke rumahnya?” Ah, itu. Aku tak memikirkan sejauh itu, aku tak bisa menjawab semau ku tanpa memahami dengan jelas apa yang Glafira mau dari Misora nantinya.
“Bilang kalau kau diculik oleh orang yang mengaku dibayar oleh Noir dan kau berhasil melarikan diri saat mereka lengah,” jawab Glafira secara tiba-tiba. Membuatku merasa lega, ternyata dia tak semarah yang kukira.
“Tapi itu hanya akan membuat Fanette marah. Dia bertunangan dengan saudara Noir,” bantah Misora.
Aku bisa melihat kekesalan yang mulai bertambah di muka Glafira. Mulutnya sudah akan memaki, tapi tentunya dia tak melakukannya. Menghasut perempuan harus dengan kehalusan dan senyuman palsu yang terlihat asli.
“Memang itu tujuanku. Coba kau pikirkan baik-baik. Apa kau sungguh ingin sahabatmu menikah dengan orang sebusuk Kenan? Laki-laki yang bisa membunuh adiknya sendiri, tak akan bisa membahagiakan seorang wanita. Kau tak ingin menyelamatkan Fanette dari pernikahan menyedihkan itu?”
Glafira sampai keluar dari mobil, berbicara seolah dia peduli dengan masa depan Fanette. Dia menggunakan cerita kematianku untuk mencuci otak Misora. Pembicaraan mereka selanjutnya membuatku teringat akan berita yang ditulis di surat kabar setelah malam penembakan itu.
Wartawan menulis tentang Kenan yang membunuhku karena isu perebutan posisi pewaris utama keluarga Amber. Tentunya di samping gosip itu, juga banyak hal-hal lain yang ditambahkan. Seperti contohnya tentang ceritaku yang mencoba membunuh Fuchia dan Kenan hanya membela diri dan menolong ibunya. Atau soal aku yang melarikan diri dari kediaman Amber dan berakhir mati dimakan binatang buas di dalam hutan. Intinya semua berita yang beredar tak ada yang jelas, mengingat kalau yang ditemukan di tempat itu hanya darah yang merembes ke mana-mana tanpa ada mayat yang tersisa.
Dengan kekuasaan Amber, membereskan kasus seperti itu tanpa melibatkan polisi adalah hal yang mudah. Almeta juga bukanlah seorang ayah yang peduli akan anaknya. Jika mereka saling membunuh untuk menjadi yang terbaik, maka itu tak masalah. Siapa yang mati adalah kesalahannya sendiri karena terlalu lemah, dan yang hidup adalah yang pantas untuk mendapatkan posisinya.
Glafira juga sudah memastikan kalau nilai Misora di keluarga Ester sangat tinggi. Kepala keluarga Ester saat ini, menganggap Misora seperti putri sendiri dan ingin menikahkannya dengan saudara Fanette. Sepertinya itulah yang dia gunakan untuk merusak hubungan antara keluarga Ester dan Amber.
Akan jauh lebih baik jika Ester tak berada di pihak Amber ketika Glafira akan menyerang mereka nanti. Menyingkirkan semua sekutu lebih dulu adalah cara terbaik yang bisa ia lakukan saat ini. Glafira memang luar biasa licik, aku sungguh beruntung dipungut oleh wanita luar biasa sepertinya.
Setelah selesai menghasut Misora, Glafira masuk lagi ke dalam mobil. Dia duduk di sebelahku saat ini. “Ayo pergi mengambil mobilmu. Kita harus sudah berada di rumah saat malam hari,” perintahnya.
Kami kemudian kembali ke dalam hutan, mengambil mobilku dan kembali ke rumah. Setelah itu barulah dengan serius mengobati luka-luka kami, menyembunyikannya di balik pakaian agar tak ada yang tahu.
Malam itu, aku bisa melihat Yasa datang mengecekku. Dia berdiri di belakang pohon seberang rumah kami, memastikan kalau aku ada di rumah dan tak ada Misora di rumah kami. Aku yakin dia juga sudah pergi ke rumah Misora sebelumnya dan mungkin nanti baru akan pergi ke tempat Ester untuk mengecek.
Aku dan Glafira seperti biasanya, makan malam bersama di balkon yang terlihat sangat jelas dari jalan. Majikanku itu juga sudah sadar akan keberadaan Yasa, tapi dia tak peduli. Hanya makan dengan santai sambil memeriksa catatan keuangan yang diberikan oleh akuntan famili.
“Dia datang ke sini lebih dulu, berarti Yasa mencurigai kita. Sebaiknya kau hati-hati agar lukamu tak diketahui siapa pun.” Setelah Yasa pergi, Glafira baru memperingatkan ku.
“Itu juga berlaku untukmu, Glafira, tapi tak masalah. Selama dia tak punya bukti, Yasa tak akan bisa menuduh kita.” Aku membalas dengan mengingatkan Glafira juga.
Kami sama-sama tertusuk di tangan kiri, tapi luka Glafira lebih dalam dan dia lebih banyak bekerja di depan publik daripada aku yang hanya menjadi bayangannya. Kupikir jika Yasa ingin menyelidiki lebih jauh, dia akan mengincar Glafira. Namun, perempuan satu ini terlalu keras kepala untuk mendengarkan kata-kataku, dia mendengus lagi sebagai jawaban. Apa yang bisa kulakukan selain diam dan patuh, jika punya majikan dengan sifat yang buruk?
“Yah, kalau nanti ada apa-apa, aku akan melindungimu,” ucapku. Lalu pergi mengambilkan handuk untuk mengeringkan rambutnya. Risih melihatnya membiarkannya terurai begitu saja dalam keadaan basah.
“Diam. Aku tak butuh kau lindungi,” balas Glafira. Aku tersenyum saja, sudah biasa dibentak-bentak dan disuruh diam. Aku tak akan sakit hati kalau hanya begini saja, tak akan mengkhianatinya seperti yang orang-orang lakukan. Karena aku tahu, di balik semua sikap keras dan sombongnya, Glafira punya hati yang hangat.
Wanita ini selalu punya tempat istimewa di dalam hatiku, sejak hari di mana dia menolongku. Aku tahu kalau dia menolongku karena dia ingin memperalatku. Glafira sendiri yang mengatakannya padaku secara terang-terangan, tapi dari apa yang kami alami selama sepuluh tahun tinggal bersama, aku tahu kalau ada perasaan lain yang tumbuh di antara semua ambisinya.
“Kalau begitu aku akan selalu di sisimu.” Aku memeluknya dari belakang, menyandarkan kepalaku ke pundaknya, mengumpulkan kembali energiku yang sudah terkuras habis seharian. Aku selalu suka dengan posisi ini, karena aku bisa merasakan kehangatan dari suhu tubuhnya. Sesuatu yang selalu membuatku menemukan kembali jalanku tiap kali aku merasa akan tersesat.
Glafira kadang diam saja membiarkanku bermanja, dia bilang sudah kewajiban majikan untuk memberi kasih sayang pada anjingnya. Namun, terkadang dia juga menolakku mentah-mentah seperti saat ini. Tanpa rasa segan, langsung mendorong daguku dengan kasar. Menyingkirkan kepalaku dari pundaknya, tak lupa memberi pelototan tak suka.
Kalau sudah begini, aku senyum lagi saja. “Mau minum s**u stroberi atau s**u cokelat?” Menawarkan s**u hangat untuk menemani malamnya. Biasanya cara seperti ini berhasil memperbaiki suasana hatinya yang buruk.
“Terserah,” jawabnya judes. Langsung mengalihkan fokus kembali pada pekerjaannya. Ya sudahlah, untuk hari ini aku akan bersabar.