BAGIAN EMPAT

1709 Kata
Hail POV Aku memanggil Glafira setelah itu, merasa kalau dia perlu tahu jika itu berkaitan dengan keluarga Amber. Saat datang, dia terlihat tak senang. Akan tetapi setelah aku menceritakan semua yang terjadi, Glafira mulai tertarik pada Misora. “Aku yang berbicara dengannya, kamu diam saja di belakangku,” perintah Glafira. Aku mengangguk mengerti, berjalan mengikutinya ke ruang tahanan. Saat kami membuka pintu, Misora kembali tegang. Ia menatap takut-takut, memeluk bantal erat-erat. Glafira tak merasa kasihan sama sekali melihatnya, majikanku itu tanpa ragu mengambil tempat duduk tepat di samping Misora. “Aku yakin kamu mengenali wajahku dan jika kau pintar, jawablah semua pertanyaan dari ku,” ucap Glafira. Siapa yang tak kenal Glafira Ghea? Kepala keluarga Ghea, satu-satunya penguasa wanita pada era di mana wanita selalu dipandang rendah oleh laki-laki. Tak ada satu pun penduduk kota ini yang tak mengenalnya. Wanita tiran yang dengan sombongnya menginjak-injak laki-laki yang berani merendahkannya. Misora tentunya tahu jelas akan hal itu. Sebagai salah satu aktris yang aktif dalam kampanye pembela hak asasi wanita sepertinya, sosok Glafira seperti dewi jahat baginya. “I-iya,” jawab Misora, tergagap. Sikapnya jauh beda saat berhadapan denganku, padahal kami bisa dibilang komplotan yang menculiknya. “Aku ingin tahu hubunganmu dengan Noir Amber.” Glafira memang tak tahu yang namanya basa-basi, dia langsung bertanya tentang hal utama. Dengan nada memerintah dan terdengar bagai tuntutan daripada pertanyaan. Misora terkaget, dia jadi gelisah. Kebingungan mau menjawab apa. Tak ada yang tidak tahu seburuk apa hubungan Ghea dan Amber. Jika dia tak hati-hati dalam menjawab, bisa jadi nyawanya menghilang saat ini juga. “Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya. Kami bertemu di hari pertunangan teman masa kecilku dan sejak itu dia selalu menggangguku. Noir yang menyukaiku secara sepihak, aku sudah menolak lamarannya berkali-kali, tapi dia tetap memaksa. Mengirimkan hadiah, surat dan terkadang membawaku secara paksa ke tempat-tempat mahal,” jawab Misora panjang lebar. Dengan jelas dia menegaskan kalau tak ada hubungan apa pun dengan Noir. Namun, semua itu tak ada artinya bagi Glafira. Siapa yang peduli dengan kebenaran? Glafira hanya peduli bagaimana caranya memanfaatkan perasaan cinta Noir untuk Misora. Semua yang berkaitan dengan Amber, meskipun hanya secuil selalu berguna untuknya. “Jadi begitu, kasihan sekali.” Glafira memeluk Misora, mengusap rambutnya seolah memang bersimpati. Nyatanya ekspresi wajahnya saat berbicara dengan lembut itu, sangat bertolak belakang. “Sebenarnya, penculikan ini juga didalangi oleh Noir. Noir membuat seseorang mengancam Hail-ku untuk menculikmu dan kami harus menyerahkanmu padanya besok.” Glafira bahkan mulai menghasut, membuat Noir makin terkesan buruk dan dirinya sendiri jadi pihak yang baik. “Aku tidak mau,” rengek Misora. Pikirannya mulai berkabut, menaruh curiga ke Noir. Mulai merasa takut saat menyadari kalau cinta Noir terlalu berlebihan untuk dia terima. Misora tak bisa membayangkan apa jadinya bila dia diserahkan pada Noir. Padahal kami bahkan tak tahu siapa sebenarnya yang menginginkan Misora. Apa itu memang keinginan pribadi Yasa, atau ada orang yang meminta Yasa untuk melakukan penculikan lalu dia oper kepadaku. “Aku tidak bisa berbuat apa pun saat menyerahkanmu besok, tapi Misora, aku mungkin bisa melakukan sesuatu untuk menolongmu. Apa kamu percaya padaku?” Yang pasti, Glafira sudah punya rencananya sendiri. Otak itu selalu bekerja lebih cepat dari apa pun juga, selalu siap dengan solusi terbaik. “Tapi kenapa? Menolongku tak ada untungnya untukmu.” Misora rupanya tak bodoh-bodoh amat. Dia melepaskan pelukan Glafira, menatap matanya mencari kejujuran saat dia mempertanyakan alasan dari kebaikan tak beralasan Glafira. Cara itu mungkin bisa menemukan kebohongan orang lain dengan sangat mudah, tapi lawan bicaranya adalah Glafira. Manusia tanpa hati nurani yang bisa berbohong sambil menatap mata lawan bicaranya, orang yang bisa dengan mudah berpura-pura menangis dan tertawa dalam satu waktu. Glafira yang kutahu tak pernah merasa bersalah saat berbohong, dia bahkan tak merasa bersalah saat membunuh. “Bukan tak ada untungnya, Misora. Musuh dari musuhku adalah temanku, pernah dengar itu? Aku sudah cukup puas saat bisa melihat Noir Amber sakit hati saat tak bisa mendapatkanmu. Kalau seperti ini, apa kamu percaya?” Dalam kalimat itu, ada sedikit kejujuran, tapi kebohongannya jauh lebih banyak. Mungkin perkataan Glafira itu memang sesuai dengan pemikirannya, tapi hanya secuil saja. Sisanya tak dia ungkapkan, tidak hingga menemukan waktu yang tepat. “Kalau begitu tolong aku.” Skatmat. Semua berjalan sesuai dengan rencananya, Glafira telah mendapatkan Misora untuk saat ini. “Good girl, dengarkan baik-baik rencanaku,” ujarnya kemudian. Menjelaskan secara detail apa yang dia rencanakan untuk menipu Yasa. Membuat seolah-olah kami menyanggupi permintaannya, lalu kemudian mengambil kembali sandera yang kami janjikan. Majikanku memang wanita licik yang cerdas. Dengan berani menentang Yasa, seseorang yang tak mudah untuk diakali. Glafira selalu bisa membuatku merasa kagum berkali-kali, jatuh dalam pesonanya yang sesat. *** Waktu yang dijanjikan telah tiba. Aku mengintip dari jendela, memeriksa dengan siapa Yasa datang menjemput Misora. Setelah yakin dia hanya datang sendirian, aku mengikat kembali Misora. Membuatnya terlihat seperti tawanan yang sudah pasrah. Glafira tak bersama denganku hari ini, wanita itu sudah pergi bersama dengan beberapa orang anak buahnya. Bersembunyi di tempat yang sudah kami sepakati sebelumnya. Ketika Yasa membuka pintu, aku hanya diam menunggunya. Berdiri di belakang Misora yang terikat di kursi. Tatapan mata kami bertemu, sebelum akhirnya ia mengalihkannya pada tawanan kami. Yasa tersenyum saat melihat Misora yang terikat dengan kuat, dengan mata dan mulut yang juga terikat dengan kain. “Sudah kuduga lebih mudah menyuruhmu yang melakukannya,” ucap Yasa padaku. “Menculik perempuan seperti ini mudah, memangnya untuk apa kau menginginkannya? Dia hanya perempuan yang bagus di wajah saja, tak ada yang spesial,” balasku. Berusaha sebisa mungkin terdengar tak peduli dan tak tahu apa-apa. “Kau tak perlu tahu.” Yasa mendekat pada Misora, ia membuka ikatan matanya untuk memastikan wajah Misora. Setelah yakin, ia melepaskan ikatan pada kursi. Menggantinya dengan hanya mengikat tangan Misora ke bagian depan tubuh wanita itu, tersambung ke tangan kirinya sendiri. “Aku juga tak mau tahu hobi burukmu. Yang jelas aku sudah melakukan sesuai permintaanmu, sebaiknya kau menepati janjimu.” Aku memutuskan untuk meninggalkan mereka, berjalan duluan keluar dari rumah itu. “Tenang saja. Untuk sementara rahasiamu aman,” balas Yasa. Aku bisa melihat senyuman liciknya sebelum kami berpisah dan aku tahu kalau dia tak akan puas semudah itu. Laki-laki itu berniat menggunakanku lain kali. Memang keputusan yang tepat untuk mengkhianatinya, tak ada untungnya memegang ucapan manusia busuk seperti itu. Aku kemudian naik ke dalam mobilku, melaju pergi ke arah berlawanan dengan arah laju mobil Yasa. Namun, aku segera berbalik lagi lewat jalan lain. Berganti pakaian dan memakai topeng wajah berwarna putih dengan corak bunga di sisi kanan yang menjadi ciri khas pengawal khusus keluarga Ester. Ini mungkin tiruan, tapi kualitasnya sama seperti yang asli. Yasa sekalipun tak akan mengira kalau aku yang akan merebut kembali Misora darinya. Dengan topeng ini, dia hanya akan berpikir kalau ini perbuatan pengawal Fanette Ester yang ingin menolong teman masa kecilnya. Sepuluh menit kemudian, aku bergabung dengan Glafira dan dua orang lainnya. Dua orang bawahan Glafira itu, menaiki mobil untuk mengejar mobil Yasa. Sedangkan aku dan Glafira menaiki kuda yang terpisah. Kami melaju di area pepohonan, di sisi kiri dan kanan jalan yang digunakan oleh Yasa. “Mereka sudah hampir sampai, bersiaplah di posisimu,” perintah Glafira. Selanjutnya, aku segera memacu kudaku. Berlari melewati kedua mobil itu. Lalu kemudian memotong jalan Yasa, berhenti tiba-tiba di depannya sehingga dia tak punya pilihan selain mengerem tiba-tiba. Mobil Yasa berputar, terhempas menabrak sebuah pohon setelah terpental bagian depan mobil anak buah Glafira. Laki-laki itu tak terluka, begitu juga dengan Misora. Hanya mobilnya yang sedikit hancur di bagian depan. Aku bisa melihat dengan jelas wajah kesal Yasa saat ia menarik Misora keluar dari mobilnya. Glafira datang ketika mobil anak buahnya berhenti. Kami turun dari kuda bersamaan, mengepung Yasa seorang diri. Kami beruntung, Yasa memilih lokasi yang sepi. Jalan antarkota yang dikelilingi oleh hutan. Tak akan ada orang lain yang datang menolongnya. “Huh, orang-orang Ester rupanya,” ucap Yasa. Dengan cepat ia mengubah posisinya, berpindah ke belakang tubuh Misora dan menjadikan wanita itu sebagai tameng. Bila lawannya Ester, maka Yasa yakin kalau mereka tak ingin Misora terluka. Aku dan Glafira sama sekali tak membalas. Kami tak ingin suara kami dikenali, dua orang lainnya juga sama. Diberi perintah untuk tidak berkata apa pun saat menyerang Yasa. Tanpa berbasa-basi, aku langsung berlari ke arah Yasa. Menendang tangannya yang memegang pisau. Pisau itu hampir saja terhempaskan, tapi dengan cepat ditangkap kembali oleh Yasa. Dia menggunakannya untuk memotong tali di antara dirinya dan Misora, mendorong wanita itu ke dalam mobil dan menguncinya di dalam sana. Tampaknya dia akhirnya sadar kalau menjadikan Misora sandera tak ada gunanya, melawan adalah pilihan terbaik yang ia punya. Aku memberi isyarat pada dua orang anak buah Glafira. Menyuruh mereka membawa lari Misora sementara aku dan Glafira yang mengalihkan perhatian Yasa. Yasa tentunya bisa membaca gerakan tanganku, tapi sayangnya dia tak bisa berbuat apa pun ketika Glafira telah membelakangi kedua laki-laki itu. Majikanku membawa sebuah katana, memasang kuda-kuda siap menyerang untuk menggertak Yasa. Yasa bukan seorang amatiran. Dia bagus dalam menggunakan otak dan ototnya. Dua lawan satu sekalipun, bukan pertarungan yang mudah untuk kami menangi. Itulah sebabnya, saat Yasa mulai bergerak menargetkan Glafira, aku segera bergabung dengan mereka. Glafira menurunkan tubuhnya, menunduk sambil menebas bagian bawah tubuh Yasa. Refleks Yasa melompat ke atas menghindari tebasan itu. Di saat itulah, aku menyerang dari arah punggungnya. Melompat lalu memutar tubuhku saat menendang lehernya. Yasa menangkap kakiku dengan mudah, dia berbalik seraya memukul tinjunya ke mata kakiku. Lalu melompat mundur menginjak punggung Glafira. Kami sama-sama terjatuh, sementara Yasa sudah bisa mendapatkan keseimbangannya lagi. Ia berada di belakang Glafira, berniat menancapkan pisaunya ke pinggang Glafira yang terbuka. Melihat itu, aku segera menarik tubuh Glafira ke arahku. Memeluknya erat ketika Yasa datang lagi untuk serangan berikutnya. Kali ini, aku membengkokkan lenganku 90° untuk menerima tikaman pisaunya. Di saat yang sama, Glafira memutar tubuhnya. Dia menendang kaki Yasa hingga pria itu termundur sejauh satu meter. “Kalian boleh juga, kerja sama yang bagus,” komentar Yasa. Dia terlihat bersenang-senang, tertawa jahat tak seperti orang yang baru saja diserang. Tentunya kami tak membalasnya, masih berkukuh untuk menutup mulut. Menyadari darah yang mengalir di lenganku, Glafira melemparkan sapu tangannya kepadaku. Ia kemudian mengambil posisi di depanku, menarik sebuah katana lagi dari sabuknya. Aku tak bisa melihat bagaimana ekspresinya di balik topeng, tapi aku tahu kalau dia sudah serius saat memutuskan untuk menggunakan dua buah pedang.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN