Noir POV
Yasa datang melapor, mengatakan kalau dia gagal menjalankan tugasnya. “Memangnya apa saja yang kau kerjakan? Menangkap satu perempuan saja tak becus,” marahku, tapi Yasa tak terlalu peduli. Laki-laki itu masuk ke kamarku tanpa rasa segan, dia bahkan masih bisa tersenyum seolah-olah tak bersalah.
“Apa boleh buat, empat lawan satu. Aku hampir mati tahu,” jawabnya. Aku tak percaya, apanya yang hampir mati? Dia masih bisa jalan-jalan dengan leluasa ke sini, menyusup masuk lewat jendela tanpa diketahui oleh banyaknya penjaga di rumah ini.
“Halah, empat lawan satu tak sulit untuk orang seperti mu.” Orang dengan kemampuan fisik setaraf agen khusus dan otak secerdas alih strategi sepertinya, tak akan mudah dikalahkan begitu saja. Kecuali jika lawannya terlalu banyak atau dia yang tak serius menjalankan pekerjaannya.
“Aku ini informan, bukan penculik. Itu bukan spesialisku, aku hanya bilang akan mencoba. Kalau gagal ya sudah.” Tuh, kan laki-laki ini hanya main-main padaku. Sejak awal dia memang tak niat membantuku menangkap Misora.
“Alasan. Palingan kau berpikir kalau mengurus masalah percintaan anak kecil itu pekerjaan tolol.” Yasa selalu meremehkanku, memandang rendah aku. Padahal orang lain selalu takut atau kagum padaku. Hanya karena aku menyandang nama Amber, tapi laki-laki ini berpikir sebaliknya. Dia selalu berkata aku tak bernilai tanpa nama itu, aku tak pernah pantas menjadi seorang petinggi keluarga Amber.
Lihat tatapan meremehkannya, dia seolah ingin berkata ‘kalau sudah tahu, jangan menyuruhku’ padaku. Kalau bukan karena berhutang budi sekali padaku, dia tak akan pernah mau repot-repot berurusan denganku.
“Bukan begitu, itu karena ada orang yang merebut Misora saat aku berniat membawanya padamu,” jawab Yasa.
Mendengar itu, aku mencengkeram kerah bajunya secara refleks. Merasa cemas akan keselamatan Misora dan b******n ini malah datang ke sini dengan muka riang. Tertawa-tawa seperti tak ada masalah sama sekali. “Kalau begitu kenapa kau di sini? Pergi dan tolong dia! Aku tak akan memaafkanmu kalau sampai Misora kenapa-kenapa!”
“Tenang, dia baik-baik saja. Orang yang mengambilnya memakai topeng milik pengawal khusus keluarga Ester[E1] [M2] dan aku sudah mengeceknya, Misora aman di kediaman utama keluarga Ester.”
“Begitu, perbuatan Fanette ternyata.” Aku merasa lega mendengarnya, melepaskan Yasa. Kalau begitu tak masalah, mungkin aku gagal mengurung Misora di sisiku, tapi selama dia baik-baik saja di tempat yang kukenal baik maka itu artinya masih ada lain kali.
“Bukan. Aku bilang mereka memakai properti pengawal Ester, tapi aku bisa jamin kalau itu bukan perbuatan Ester. Mereka tak punya info tentang tempatku mengurung Misora atau rute perjalananku dan yang terpenting, salah satu dari orang yang menyerangku adalah seorang wanita.” Namun, ketika Yasa melanjutkan penjelasannya, aku kembali tegang.
Terganggu atas perkataannya yang tak jelas, “Maksudnya?” aku bertanya.
“Keluarga Ester selalu memandang rendah wanita, mereka berpikir tugas wanita itu hanya jadi pajangan di rumah dan melahirkan anak. Apa kau pikir dengan pola pikir sekuno itu, mereka akan membiarkan seorang wanita menjadi anggota pengawal khususnya? Semua orang tahu kalau pengawal khusus itu adalah kebanggaan dan harga diri bagi Daran Ester. Dan coba pikirkan baik-baik, wanita mana yang punya kemampuan bertarung yang baik dan punya nyali untuk merebut apa yang kubawa?” Yasa sialan itu tak langsung menjawab, dia malah berbicara panjang lebar. Menyuruhku menebak-nebak sendiri dengan segala ocehannya itu.
“Aku tidak peduli, langsung saja katakan apa yang kau tahu!” bentakku kesal.
Yasa memasang wajah mengejek lagi, dia dengan lancang mengambil minuman dari lemari penyimpananku. Menuangkannya ke gelas pajangan yang tak pernah ingin kugunakan. “Itulah kenapa kau selalu diremehkan orang, Noir. Kau tak pernah menggunakan otakmu dengan baik. Aku berani bertaruh, kau bahkan belum membaca laporan mengenai hasil penyelidikanku tentang Hail, saudara tiri-mu itu.” Dia mulai lagi dengan pembicaraan yang tak ingin kudengar, meledekku.
“Jangan mengalihkan pembicaraan, sialan! Ini semua tak ada kaitannya dengan Hail.” Aku memakinya, memukul dinding untuk menunjukkan kemarahanku.
“Itu ada. Orang yang merampas Misora dari ku adalah Hail Amber dan Glafira Ghea. Hanya wanita itu satu-satunya perempuan yang punya nyali dan kemampuan untuk menantangku. Dia pula satu-satunya orang yang bersumpah akan menjatuhkan Amber dan saudara tiri-mu saat ini berada di sisinya. Menjadi anjing setia wanita itu. Aku bisa melihatnya, suatu saat dia akan menggigit kalian sebagai pembalasan atas apa yang terjadi sepuluh tahun lalu.” Tadinya aku ingin membuat Yasa gentar dengan sikapku, tapi malah dia yang membuatku terkejut setengah mati.
“Jadi dia memang masih hidup? Tapi kenapa bersama dengan Ghea?” Aku tahu kalau aku yang meminta Yasa untuk menyelidiki keberadaan Hail, tapi aku tak pernah menyangka kalau dia benar-benar masih hidup. Kupikir dia sudah mati dan penyelidikan itu hanya untuk membuatku merasa tenang setelah memastikan kematiannya.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku melihat Kenan mengejar Hail sambil membawa senapan, aku tahu kalau semua desas-desus mengenainya yang kabur dari rumah adalah kebohongan. Ibu dan Kenan berbohong pada Ayah, mereka berkata kalau Hail mencoba membunuh Ibu, lalu Kenan melihatnya dan mencoba menghentikan Hail. Karena ketahuan, Hail kabur ke hutan dan berakhir dimakan oleh binatang buas.
Kenyataannya, Ibu dan Kenan yang berniat membunuhnya. Lalu mengenai kematiannya, aku tak yakin ketika aku melihat sendiri tempat di mana polisi menemukan genangan darah dan sepatu Hail. Aku yakin darah itu berasal dari luka tembakan Kenan dan mayat yang tak pernah ditemukan itu. Mungkin saja masih hidup di suatu tempat.
Aku terus terganggu dan merasa penasaran selama bertahun-tahun, terus takut kalau dia akan kembali untuk balas dendam. Makanya aku meminta Yasa untuk mencari tahu kebenarannya, tapi karena rasa takut juga, aku tak pernah berani membaca laporan hasil penyelidikannya.
“Keluarga Ghea adalah musuh bebuyutan keluarga Amber, menjadi bawahannya. Hail itu bodoh atau apa?” ucapku kemudian, lebih seperti berbicara pada diri sendiri.
“Bukannya malah itu lebih masuk akal. Setelah dikhianati dan ingin dilenyapkan oleh keluarganya sendiri, bergabung dengan musuh merupakan keputusan yang tepat jika dia mau balas dendam. Kalau aku jadi Hail, aku juga akan bersekutu dengan Ghea. Lagian yang menolong Hail di malam itu adalah Glafira, aku sudah mengeceknya. Glafira melewati hutan itu menaiki kereta kuda dari rumah peristirahatan menuju ke rumah utama di hari yang sama, tapi dia tak pulang ke rumahnya seperti yang dijadwalkan dan malah berbalik lagi ke rumah peristirahatan yang baru saja dia tinggalkan. Setelah itu dia tinggal di sana selama beberapa tahun bersama dengan seorang remaja laki-laki yang tak diketahui asal usulnya. Remaja itu bernama Hail dan sekarang menjadi tangan kanan Glafira, orang itulah saudara tiri-mu,” Yasa malah menyambung. Dia terlalu banyak berbicara, mengatakan hal yang tak ingin kudengar. Meskipun semua itu terdengar sangat masuk akal, sekaligus menambah rasa khawatir. Jika memang semua perkataan Yasa benar, maka aku harus berbuat sesuatu.
Kenan memang bodoh. Harusnya dia memastikan Hail sudah mati, baru pulang ke rumah. Sekarang lihat masalah yang datang karena perbuatan yang setengah-setengah, aku yang direpotkan karenanya. Sepertinya aku yang harus membereskannya sendiri kali ini.
“Bagaimana dengan Misora? Kenapa mereka merebutnya dari mu dan membawanya ke Ester?” tanyaku. Untuk sekarang, aku ingin memastikan dulu apa yang Hail mau dengan membawa-bawa Misora dan jika dia berniat jahat padanya, aku tak akan tinggal diam.
“Entahlah, mungkin mereka bekerja sama,” jawab Yasa asal.
“Kau masih berani mengaku sebagai informan nomor satu dengan jawaban seperti itu? Keluarga Ester telah setuju untuk bekerja sama dengan Amber, pertunangan Kenan dan Fanette itulah jaminannya. Mustahil mereka juga bekerja sama dengan Ghea di saat yang sama.” Aku marah lagi, berakhir berteriak karena kehilangan kontrol dan Yasa masih saja tak peduli.
“Informan nomor satu pun, bukan berarti tahu segalanya. Aku bisa menyelidikinya sih, tapi tak gratis.” Jadi ini masalah uang? Akhirnya dia mulai minta uang setelah semua ucapannya tentang balas budi.
“Begitu sikapmu pada orang yang menyelamatkan nyawamu? Harusnya aku membiarkanmu mati dimakan singa tahun lalu.”
“Dengar Noir, segala permintaanmu yang egois sudah kulakukan selama setahun ini. Menyelidiki kasus sepuluh tahun lalu tak mudah, belum lagi segala hal bodoh yang kau minta untuk mendapatkan hati wanita yang bahkan tak sudi berduaan saja denganmu. Itu semua sudah cukup untuk balas budi dan bila sekarang kau ingin meminta sesuatu, maka kau harus membayar.”
“Baiklah. Aku akan bayar, puas kau! Sana pergi, kalau kau ingin uangmu! Selidiki secara detail hubungan Hail dan keluarga Ester!” Dasar rubah busuk! Harusnya aku tak percaya begitu saja dengan kata-kata manisnya. Aku harusnya tahu, suatu saat dia akan minta uang padaku.
“Oke, oke. Jangan marah begitu, aku akan segera memberimu laporannya, Noir.” Tawa mengejek itu benar-benar membuatku muak. Bahkan caranya keluar dari jendela pun menggangguku. Yasa selalu membuatku ingin membanting barang setiap kali dia datang, tapi aku juga harus mengakui kalau aku sangat membutuhkan kemampuannya.
“Sial! Semua ini membuatku gila!” teriakku, menendang kursi yang berada di dekatku.
“Kenapa lagi? teriak-teriak sendiri seperti itu.” Pada saat itulah, Kenan mengagetkanku. Entah sejak kapan, dia sudah berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka.
Aku menelan ludahku gugup, terdiam memikirkan apa yang harus kuucapkan untuk menjawabnya. Aku yakin tadi pintu kamarku tertutup rapat, dan aku tak yakin sejak kapan dia berdiri di sana. Sampai mana dia mendengarkan pembicaraanku dengan Yasa. Lalu jika memang Kenan mendengarnya, apa sebaiknya aku memberikan laporan hasil penyelidikan Yasa padanya saja? Biar Kenan yang mengurus segala hal tentang Hail dan aku bisa menghabiskan seluruh waktuku untuk mendekati Misora.
Kenan selalu yakin kalau Hail sudah mati. Dia berusaha keras agar bisa menjadi kepala keluarga yang diakui oleh Ayah, karena merasa bertanggung jawab atas perbuatannya pada Hail. Kalau sekarang dia tahu Hail masih hidup, bukannya semua usahanya itu hanya seperti lelucon saja?
Tidak. Aku tidak boleh egois, perasaan Kenan bisa saja terluka. Lagian kerja Kenan tak pernah becus. Sebaiknya memang aku yang melakukannya sendiri.
“Noir, aku bertanya padamu,” Kenan mengulang kembali perkataannya, menyadarkanku dari lamunan. Melihat raut wajahnya, sepertinya dia tak mendengar apa pun yang kubicarakan dengan Yasa. “Tidak apa-apa. Aku hanya kesal setelah melihat laporan hasil penambangan yang menurun.” Makanya berbohong, berbalik badan agar dia tak bisa melihat seperti apa ekspresi wajahku. Aku bukanlah orang yang pandai berbohong, tak bisa memasang wajah datar saat aku menyembunyikan sesuatu.
“Ya sudah kalau tak ada apa-apa, aku akan kembali ke ruang kerjaku. Jangan membanting barang tiap kali kau kesal, itu sikap yang buruk.” Untunglah Kenan segera pergi setelah ceramah sedikit.
[E1]Bagaimana ini bisa didapatkan?
[M2]Sudah dijelaskan di bab sebelumnya, mereka membuat tiruannya.