Akibat adanya masalah sepanjang perjalanan, membuat mereka tiba di tempat KKN telah sore. Malahan, hanya berselang beberapa jam saja dengan Pak Didit. Mereka duduk di rumah kepala dusun untuk membahas banyak hal. Di sana ada juga Pak Didit yang duduk dengan rokoknya.
“Pak, maaf, jika mahasiswa-mahasiswi saya merepotkan, padahal sudah diberi alamat lengkapnya,” kata Pak Didit yang tengah membuang abu hasil rokoknya yang terbakar.
“Tidak apa-apa, saya hanya meminta kepada kalian agar menaati peraturan yang ada di dusun ini. Terutama, jangan pernah masuk ke kebun yang ada di ujung desa,” katanya.
“Nah, tolong, ya, kalian ikuti apa yang Pak Kadus katakan,” kata Pak Didit, “Kalau begitu, Bapak kembali dulu ke Jakarta. Kalian baik-baik di sini. Beberapa hari lagi, Bapak akan menjenguk kalian. Bapak yakin, kalian sudah dewasa dan bisa mengerti hal baik dan buruk ... Pak, saya pamit terlebih dahulu,” kata Pak Didit sembari meraih tas ranselnya yang ada di lantai.
Kepala dusun yang bernama Pak Arya itu pun mengikuti Pak Didit keluar dari rumah. Kebetulan, beliau akan pergi ke kota. Sebuah kota yang berjarak kurang lebih dua belas kilo meter dari dusun. Tambah lagi, melalui jalanan yang sepi, seperti jalan tengah hutan. Menambah suatu hal yang membangkitkan bulu-bulu roma.
Nalendra dan teman-temannya pun menuju sebuah rumah yang telah dikasihkan untuk ditempati. Mereka membawa barang masing-masing lalu mengikuti arah jalan ibu Rahma yang memakai kerudung berwarna hitam itu. Mereka tiba di sebuah rumah berbahan dasar anyaman bambu sebagai dinding. Kemudian, lantai yang masih tanah asli dan sebuah kamar mandi di luar rumah dengan gentong sebagai penampungan air.
“Semoga saja gue betah,” ucap Pratiwi.
“Sudahlah, mending kita beres-beres. Biar bisa istirahat,” jawab Nalendra.
Mereka membersihkan dua ruangan yang ada di dalam sana. Ruangan yang akan digunakan untuk tidur. Satu ruangan untuk Pratiwi dan Dewi, sedangkan satunya lagi untuk Bram dan Nalendra. Walaupun, kelompok mereka hanya beranggotakan empat orang, mereka pasti bisa menjalankannya sampai selesai. Mereka fokus dengan tugas yang harus dilaksanakan demi lulus kuliah.
Pratiwi mengambil kemoceng yang ada di atas almari kayu yang sudah mulai lapuk. Bahkan, almari itu telah terlihat berlubang-lubang akibat dimakan rayap. Tapi, mereka tidak akan menyingkirkannya. Mereka tahu bahwa itu bukan hak mereka untuk memindahkan barang yang sudah ada di dalam rumah itu. Ketika tangan Pratiwi meraih ganggang kemoceng, tiba-tiba ada seekor kecoa yang merambat ke telapak tangannya. Secara langsung, Pratiwi menjerit lalu mengibaskan tangannya sampai menampar kayu almari. Perih dan nyeri yang dirasakannya, hal itu membuat Nalendra tidak bisa diam saja. Buru-buru mengambil minyak yang ada di dalam tas ranselnya untuk diberikan kepada Pratiwi. Menyuruh perempuan itu untuk mengoleskan di tangannya yang terasa keram.
Melihat perhatian Nalendra kepada Pratiwi membuat ulu hati Dewi terasa mendidih. Tidak dapat dipungkiri, Dewi menaruh Nalendra sejak pertama kali bertemu. Tepatnya, ketika pertama kali masuk kuliah, dulu. Tapi, Dewi tidak sanggup untuk menyatakannya terlebih dahulu. Dewi memilih pergi dari rumah itu. Dewi duduk di teras dengan beralaskan sebuah bangku dari kayu yang ada di sana. Menatap kosong dengan hati yang masih panas akibat api cemburu. Bram, melihat Dewi keluar dari rumah pun mengikutinya.
“Apa gue boleh duduk di sini?” tanya Bram kepada Dewi, tapi tidak mendapatkan respons dari perempuan itu. Justru, Dewi malah menunjukkan sikap tak sukanya jika diganggu oleh Bram. Sebab, Dewi memang sedang mencari perhatian dari sosok pria yang dikaguminya.
Bram pun memaksa duduk di sebelah Dewi. Bahkan, tanpa ada izin darinya. Dia meraih tangan Dewi yang ada di pangkuannya. Bram memegang telapak tangan Dewi sembari diusapnya lembut. “Wi, lo tahu enggak? Gue itu .... “
Dewi melepaskan tangan Bram ketika ada ibu Rahma yang datang dengan membawa satu teko air teh beserta gelas. Tidak lupa, di atas nampan itu ada beberapa bungkus camilan yang bisa dinikmati oleh mereka. Bu Rahma masuk ke dalam rumah lalu menaruh nampan di atas meja yang sudah sedikit reyot.
“Ada apa?” tanyanya dengan lembut kala melihat Nalendra yang sedang membantu Pratiwi memijat jemari yang masih terasa keram.
“Anu, Bu, ini tadi tangan Pratiwi tidak sengaja menampar almari, waktu mau mengambil kemoceng,” jawab Pratiwi dengan jujur.
Ibu Rahma mendekat ke arah Pratiwi. Melihat luka yang ada. Katanya, hal itu tidak akan memberikan efek cedera atau lainnya. Hanya saja, masih terasa keram akibat tulang yang tidak sengaja tertampar terlalu keras pada benda padat. “Nalendra, tolong dua temanmu itu diajak masuk. Tidak baik jam segini di luar rumah,” katanya sembari menunjuk pintu depan dengan dagunya.
Nalendra mengangguk lalu berdiri untuk mengajak kedua temannya masuk ke rumah. “Baru juga habis magrib,” kata Bram dengan nada yang terkesan tidak sopan.
“Iya, tapi tidak baik magrib-magrib duduk di luar kaya begitu. Apalagi, kalian berdua beda jenis kelamin,” jawab bu Rahma sembari menuangkan air teh hangat ke dalam gelas. Sebanyak lima gelas untuk dinikmati bersama-sama. “Kalian jangan pernah melakukan hal yang di luar batas. Kalau ada apa-apa, datang ke rumah Ibu,” sambungnya sembari membuka bungkusan camilan yang terbuat dari ketela itu.
“Bu, sebenarnya kenapa dilarang duduk di luar rumah saat magrib atau habis magrib?” tanya Dewi dengan suara yang terdengar lembut dan menenangkan. Suara sopan dan halusnya ini yang membuat Nalendra tergila-gila dengan Dewi. Tambah lagi, aura wajah Dewi tidak bisa dibohongi. Dia memang cantik, bahkan amat cantik, menurut Nalendra.
“Ya, karena saat magrib, setan-setan itu berkeliaran. Alangkah baiknya kalian berada di dalam rumah, melaksanakan ibadah dan mengaji. Bukannya di luar rumah dengan keadaan melamun, apalagi Dewi, Ibu lihat tadi tatapan kamu kosong banget,” kata ibu Rahma sembari beranjak ke kamar mandi yang ada di belakang rumah.
Tidak lama kemudian, beliau telah selesai mengambil air wudu. Beliau mengajak Nalendra dan teman-teman untuk menjalankan ibadah salat magrib, sebelum waktu habis. Perlu diingat, waktu magrib begitu singkat. Hanya ada kurang lebih satu jam untuk sampai pada waktu isya. Setelah selesai salat tiga rakaat berjamaah, ibu Rahma mengajak untuk datang ke rumahnya.
Mereka berjalan melalui jalan setapak. Berkunjung ke rumah ibu Rahma untuk menikmati hidangan malam bersama. Mereka memakan makan malam dengan menu yang sangat sederhana. Makanan yang dimasak dengan cara desa dan rumahan, tapi memiliki cita rasa yang tidak kampungan. Apa karena ibu Rahma yang pandai mengolah makanan?
“Bu, terima kasih atas jamuan ini, untuk gelas dan teko, besok saya bawakan ke sini,” kata Pratiwi setelah berhasil menelan suapan terakhirnya.
Mereka berpamitan untuk kembali ke rumah itu. Tapi, sebelum pergi mereka mendapatkan nasihat dari pak Arya. Beliau mengimbau agar mereka tetap mengingat Tuhan dan tidak melanggar peraturan. Salah satunya, pergi ke kebun unjung desa. Mereka pun hanya bisa mengangguk, walaupun sebenarnya merasa penasaran dengan kebun itu.
“ADUH!” teriak Dewi.