Taksi Online

1148 Kata
Tiga hari kemudian, dengan cuaca yang terlihat tidak memungkinkan untuk berangkat ke tempat KKN. Tapi, hari yang dijadwalkan sudah tiba. Nalendra bersama teman-teman satu kelompok memilih untuk tetap berangkat. Mereka menjadikan kampus sebagai pusat titik kumpul. Di tengah langit yang gelap, mereka menunggu taksi yang telah dipesan. Sebelum taksi datang, Pak Didit menghampiri sembari membawa satu dus. Entah apa yang ada di dalamnya. “Nak, ini dibawa. Bisa menjadi bekal kalian. Nanti sore, saya jenguk,” ujarnya sembari menaruh dus itu di tanah. “Terima kasih banyak, Pak. Seharusnya, Bapak tidak perlu untuk repot-repot,” kata Nalendra mengajak Pak Didit untuk bersalaman. Mereka berpamitan untuk berangkat ke tempat yang sudah ditentukan. Lima menit kemudian, taksi yang telah dipesan pun tiba di depan kampus. Mereka menata barang-barang ke bagasi. Tidak lupa dengan dus pemberian Pak Didit. Setelah selesai, mereka masuk ke dalam taksi. Baru saja duduk, tiba-tiba hujan deras mengguyur bumi, terutama Jakarta. Mereka tetap melakukan perjalanan, sesuai dengan arahan sopir taksi. Mereka hanya memperkuat doa agar sampai di tujuan dengan selamat. Walaupun, tetap saja tidak bisa tenang selama perjalanan. Di luar mobil, hujan masih deras dan terlihat angin yang kencang. Nalendra hanya bisa berharap kepada Tuhan akan keselamatannya. Mobil melaju dengan kecepatan di bawah rata-rata. Sopir taksi mengatakan bahwa beliau tidak sanggup menempuh perjalanan dalam keadaan hujan yang demikian menyeramkan. Khawatir jika akan terjadi musibah kala memaksa mengendarai mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. “Kalian tahu jalan?” tanyanya. “Tidak, Pak. Sebelumnya, kami tidak sempat untuk melakukan survei lokasi. Bukankah Bapak bisa melihat dari peta yang ada di internet?” tanya Bram dengan tutur kata sebaik mungkin. Tentu saja, hal itu karena ada Dewi dalam satu tempat. “Tapi, dari tadi saya mencoba untuk menelusuri melalui map tidak ada, apa karena saya yang tidak bisa membaca peta?” lirihnya sembari mengamati ponsel yang diletakkan di depannya. Nalendra buru-buru mengambil ponsel dari dalam tasnya. Membuka peta untuk melihat jalan yang bisa dilalui secepat mungkin. Tapi, apa yang dikatakan oleh sopir taksi benar. Tidak ada jalan yang bisa dilalui untuk mencapai desa tujuan. Padahal, kemarin Nalendra sempat membuka peta dan menemukan desa itu. Lalu kenapa sekarang, tiba-tiba desa itu menghilang dari peta? “Benar, tidak ada di peta. Lalu, kita bakal bagaimana?” sahut Nalendra. Pratiwi yang duduk di belakang bersama teman yang lain pun melihat ke arah kanan kiri jalan. Mencari gang yang mungkin bisa menghubungkan ke desa itu. Tapi, belum juga menemukan sama sekali. Rasanya, sudah ada yang janggal sejak awal. Tapi, Nalendra harus bisa tenang dan mencari jalan keluar. “Gini, coba telepon Pak Didit, siapa tahu bisa membantu,” saran dari Pratiwi. Taksi yang mereka tumpangi pun berhenti di tepi jalan. Mereka mencoba mencerna dan mencari solusi. Tapi, anehnya, jalanan sejak tadi terlihat sepi tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Hanya taksi mereka yang melewati jalanan itu. Apa ada sesuatu yang aneh? Nalendra mencoba untuk menggunakan kemampuannya. Tapi, entah mengapa, dia tidak bisa mencari jalan. Dia terpaku pada sebuah sosok yang berdiri di depan sana. Seperti kuntilanak yang menghadang ke jalan. Tapi, apa maksud kuntilanak itu berada di sana? Nalendra mencoba untuk berpikir positif, sebab, energi di sana benar-benar dalam keadaan yang tidak baik. Jalan satu-satunya hanya mencoba untuk berpikir positif dan tenang. “Ndra, Pak Didit enggak angkat telepon,” kata Pratiwi yang menahan tangis. Di saat kondisi yang seperti ini, pasti mereka akan merasa bingung. Jalan yang tidak kunjung ketemu, bantuan yang tidak kunjung datang. Dari dalam hati seorang Pratiwi hanya bisa pasrah pada Allah dan terus berdoa. Tidak ada yang bisa membantu selain Tuhan. Tidak lama kemudian, Pratiwi menerima pesan dari Pak Didit. Beliau memberikan nomor telepon milik kepala dusun yang akan mereka tempati. Kata Pak Didit, mereka bisa menghubungi ke nomor yang telah dikirimkan agar bisa diberi bantuan. Nalendra memutuskan untuk menghubungi nomor yang telah diberikan. Beberapa detik kemudian, kepala dusun itu telah mengangkat telepon. Beliau mengatakan akan mengirimkan beberapa warganya untuk menjemput di tempat mereka berhenti. Setelah telepon dimatikan, Nalendra memilih membuka Al-Quran dan membacanya sembari menunggu bantuan tiba. “Ndra, nebeng,” kata Pratiwi yang tengah menghapus air matanya. “Sama gue aja,” kata Dewi sembari membuka kitab sucinya. Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat suci yang telah diturunkan Allah. Mereka berharap dengan bacaan itu akan membantu dalam menyelesaikan masalah. Sebenarnya, itu bukan sebuah masalah. Tapi, sebuah musibah. Entah bagaimana, mereka bisa melewati jalanan yang menghubungkan ke tengah hutan rimba. “Pak, maaf jika kami malah membuat Bapak kebingungan,” kata Nalendra yang duduk di belakang sopir taksi. “Tenang, Nak. Kita di sini bersama-sama. Jangan takut, kita harus berani, maka hantu-hantu yang sedang mengganggu kita akan pergi, kita cukup berdoa sembari menunggu jemputan,” kata sopir itu. “Aduh, kapan sih sampainya, gue udah keder ini,” kata Pratiwi sembari menggunakan jaketnya sebagai penutup wajah. “Gue tuh takut, di depan sana kaya ada sesuatu yang tidak nyaman,” sambungnya. Nalendra tidak menggubris perkataan Pratiwi. Memang benar, di depan sana masih ada kuntilanak yang menunggu mobil taksi berjalan ke arahnya. Tapi, yang ada di dalam pikiran Nalendra, apa Pratiwi bisa melihatnya? “Tiwi, memang lo lihat apa?” tanya Nalendra. “Enggak tahu. Tapi, rasanya tidak nyaman. Kaya auranya itu tidak enak,” jawabnya, “Gue ini saking pekanya, sama hal-hal mistis aja gue peka. Tapi, gue berharap supaya tidak jadi pekok cukup peka saja,” sambungnya. “Amit-amit,” sahut Dewi yang sedang meletakkan kitab sucinya ke dalam tas ranselnya. Setelah kurang lebih satu setengah jam, warga yang menjemput pun telah sampai. Mereka menumpang ke sepeda motor milik mereka. Nalendra berada di paling depan. Entah kenapa, firasatnya telah tidak nyaman. Malah, bisa dikatakan semakin buruk. Tapi, masih tetap mencoba tenang dan berpikir positif. Di tengah perjalanan, Nalendra merasa kebingungan dengan sepeda motor yang melewati jalanan rusak. Bisa dibilang, melewati tengah-tengah hutan dengan jalan setapak. Sebenarnya, desa itu ada di mana? Hanya itu yang terbesit di dalam pikirannya. Suasana semakin menakutkan, sebab, warga yang menumpangi Nalendra sama sekali tidak mengucapkan satu kata pun. Bahkan, mengajak kenalan saja tidak. Setelah menempuh sekitar setengah perjalanan, Nalendra mendengar suara gamelan yang terdengar nyaring. Lalu, di sebelah kanan, dia melihat adanya sebuah sanggar yang khas seperti zaman dulu. Tapi, Nalendra tidak berani untuk menanyakan perihal itu kepada bapak yang menyetir motor. “Pak, anu, sopir taksinya bagaimana?” tanya Nalendra untuk menghilangkan rasa khawatir dan cemas. “Oh, sudah diantar sama salah satu warga,” katanya. Nalendra mengelus dadanya lembut. Bersyukur jika sopir taksi itu telah diantar sampai jalanan yang terlihat ramai. Walaupun, bukan siapa-siapa, Nalendra tetap saja memikirkan keselamatannya. Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di dusun yang dituju. Mereka kumpul di depan rumah Pak Kadus untuk diberi pengarahan. Mereka ditempatkan di salah satu rumah kosong yang ada di dusun itu. Tentu saja, dengan syarat tidak melakukan hal yang di luar batas. “Selamat datang, saya akan memberikan kalian sedikit nasihat yang harus diterapkan selama berada di dusun ini,” katanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN